Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Hari Pernikahan, Bagian 8, Cinta Terlarang Ini Dosa Siapa?

Baca Novel Online Cinta Terlarang Ini Dosa Siapa? Episode 8 Hari Pernikahan 





Novel Cinta Terlarang- Pertunangan Eva dan Urya yang mendekati pernikahan berbuntut problema. Taufik mengetahui kenyataan itu belum bisa merelakan wanita pujaan hatinya dimiliki lelaki lain.

Persaingan merebut hati meruncing, karena ini adalah kompetisi antar hati: antara tiga orang yang menyatakan cinta duluan dan seorang serius menuju pelaminan.

Memilih Mantan vs Tunangan   


Sebenarnya pula, ini adalah perbenturan antara dua bentuk cinta; antara kesetiaan cinta pertama dengan ketotal-kepenyerahan kasih dua sejoli dalam membina hubungan rumah tangga.

Siapa pemenangnya … manakah yang patut menang?


"Kamu benar-benar tidak berperasaan. Kamu bilang tidak mau berpacaran sebelum menikah, tapi apa? Justru pacaran dengan Dayat. Tega sekali kamu membohongiku, Va?"

"Tidak, aku tidak bohong. Waktu itu aku berkata jujur, tapi kamu terlalu cepat menyerah," jerit Eva di depan Taufik yang berdiri tegak dengan kedua tangan terkepal dan muka merah padam.

Mereka saling berhadapan bagai dua banteng yang siap beradu tanduk. Suara Eva melengking mengalahkan gemerisik daun pepohonan yang sedang dilanda badai siang itu.

"Kamu bilang aku cepat menyerah? Kenyataannya alam semesta menghukummu dengan Dayat menikah dengan orang lain. Kamu dicampakkan. Walaupun begitu aku datang kepadamu, aku selalu ada saat kamu sedih. Siapa diantara kita yang jahat, Va?"

"Selalu ada? Aku menunggumu datang saat aku susah, aku menantimu. Sementara kamu malah menjauh saat aku terjatuh. Kamu bilang ada, Fik?"

Alam memang seperti menjadi musik latarbelakang, menambah drama ke tengah pertengkaran mereka di pinggir lapangan basket yang sedang sepi. Mahasiswa lain masih berada di kelas. Mereka berdua sengaja meninggalkan kelas untuk urusan genting ini.

Sudah hampir 10 menit keduanya bersitegang.


“Kamu sendiri yang memintaku untuk menjauh. Kamu bilang ingin sendiri dan tidak mau diganggu, Va."

"Cewek jika bilang tidak mau diganggu, bukan dijauhin. Melainkan dimengerti. Kamu memang tidak pernah paham perasaanku, Fik."

Anak rambut Eva yang jatuh menjuntai sebagian menutupi mukanya, sedikit menyembunyikan kedua matanya yang bercucuran air mata.

Taufik sebenarnya sempat iba melihat sinar itu, yang sayu, menyimpan banyak kepedihan.

"Aku mencintaimu, Va. Sangat mencintaimu. Tidak peduli kamu sakiti, aku mencintaimu, Va."

"Tidak... jangan siksa aku seperti ini. Aku sudah bertunangan dengan lelaki lain," sergah yang rambutnya juga berkibaran, “Aku memang menunggumu datang melamarku. Siang dan malam aku memikirkanmu. Semuanya sudah terlambat, Fik."

"Sebelum janur kuning melengkung, kamu masih belum miliknya," sahut Taufik dengan nafas terengah-engah menahan amarah, cemburu dan takut kehilangan.

“Itu cuma interpretasimu. Cuma pembelaan, … Cuma pembenaran atas kesalahan! Kamu tidak pernah serius ingin menikahiku," jerit Eva sambil menyibak rambut dari depan matanya. Tetapi angin kembali menerpa dan membuat separuh matanya tertutup lagi.

Repot sekali gadis itu merapikan rambut sambil beradu argumentasi dengan seorang yang hatinya sedang mengeras seperti batu….

“Tidak!… Aku mencintaimu, aku ingin menikahimu,” sahut Taufik meyakinkan bahwa kali ini ia serius.

“Tetapi cinta mu itu membuat aku muak!" jerit Eva. Sesungguhnyalah gadis itu merasakan sedikit mual sejak pertengkaran dengan Taufik ini dimulai.

Taufik menahan nafas karena sangat marah. Bukan main marahnya ia mendengar kata “memuakkan” itu.

Tidak pernah ia merasa begitu terhina karena seorang mengatakan cintanya sebagai yang memuakkan.

Begitu rendahkah nilai cintanya sehingga gadis di depannya ini merasa muak? Teriak hatinya dengan geram…..


Prosa Hati Terlunta




Taukah kamu, bahwa setiap detik yang pernah terlewati bersamamu adalah kenangan terindah. Tiada akan pernah ada jemu. Memang hanya kamu yang sanggup membuatku rindu.

Perlahan namun pasti rasa aneh ini tumbuh dalam hati, kupupuk, berkembang biak lagi. Hanya untuk mencintaimu, aku ingin kamu jadi istriku.

Berikan aku kesempatan menjabat tanganmu, menuntun langkahmu, meraih bahagia, sebagai anugrah cinta yang terindah.

Benar adanya sekarang kamu tunangan lelaki lain. Tidak usah kamu jadikan itu sebuah beban. Selagi nafas masih ada, mari lakukan yang terbaik dan terindah.

Pada akhirnya, semua yang ada di dunia ini memang akan menjadi kenangan. Suka tidak suka, ya seperti itu adanya.

Pilihanya, apakah itu kenangan jahat atau kenagan pahit yang mengasyikan. Biarlah waktu yang akan menjadi sejarah, sedangkan aku akan berjuang hingga sebelum kamu kepelaminan.

Tapi....


Bicaramu.
Sentuhanmu. Kasih.
Menghangatkan kenangan.
Namun hati yang terluka ini, mengunci perasaan untuk kita bercinta lagi seperti dulu.

Satu hal yang tidak pernah aku bayangkan adalah kamu bilang muak terhadapku. Kata-katamu begitu menyakitkan, aku tidak pernah membayangkan jika akhirnya kamu mengabaikan semua perasaanku, pengorbananku selama ini.

Aku tau akan tetap hidup tanpamu, jika akhirnya kamu tetap menikah dengan dia. Hanya hari-hariku tidak akan lagi sama.

Meski pada akhirnya aku menikahi wanita
selain dirimu, hatiku selamanya untukmu. Terimakasih selama tiga tahun mengenalmu di kampus, kuliyahku menyenangkan. Menjadi cerita terindah karena mengenalmu.

Jika suatu hari nanti lelaki itu menyakitimu, ingatlah ada aku disini yang mencintaimu tanpa pamrih. Selamanya.....


Sebenarnya ingin Eva perknalkan Urya dengan Taufik, mungkin bisa lebih baik. Tapi ia menghindar. Meski mereka berdua sudah berpapasan dijalan saat mengantar Eva ke kampus.

Urya sama sekali belum mengetahui tentang Taufik yang sangat mencintai Eva dan Eva juga mencintainya hingga Urya kembali ketempat kerjaanya.


Sejak pertengkaran di lapangan basket kampus itu, Taufik kerap mendekati Eva. Tanpa menyerah Taufik selalu berusaha untuk menarik simpati dari gadis asal jepara itu.

Taufik selalu memberikan perhatian lebih, tidak peduli berkali-kali meminta kiriman orang tuanya dari Riau agar bisa untuk menyenangkan Eva. Berkali-kali mengirimi hadiah, walaupun tetap ditolak oleh Eva.



Entah apa yang merasuki, Taufik belum juga menyerah. Pantang mundur, mepet terus memperjuangkan Eva, pujaan hatinya.

"Gimana kabarnya hari ini, Sayang?"

Sebuah percakapan lewat udara dari Urya pada Eva. Mempersiapkan pernikahan dan menanggung semua biaya kuliah calon istrinya, ia harus berkerja keras dari biasanya.

"Lumayan baik, Mas. Seperti biasa," balas Eva menutupi segala peristiwa yang terjadi.

"Apa ada masalah, kok bilang lumayan baik, Dek? Oh iya silahkan dicek rekeningnya. Adek jika kurang bilang aja ke Mas."

"Uang kiriman bulan kemarin masih ada. Kenapa Mas kirim lagi? Aku juga akan cari kerja sampingan agar beban Mas tidak terlalu berat."

"Udah jangan protes. Fokus aja kuliahnya agar cepat lulus. Jaga dirimu untukku, Sayang."

"Males... Kapan pulang dari Bali, Mas? Adek butuh Mas disini." Eva mencebik, air matanya tertumpah.

"Sabar ini ujian. Mas kerja di sini untuk kita, untuk masa depan kita. Mas sayang banget sama Adek."

"Halah gombal. Berapa banyak wanita yang Mas perlakukan seperti ini? Jujur saja. Cewek mana yang hatinya tidak meleleh jika dikucuri uang?"

"Ngomong apa sih, Dek? Sini aku peluk Adek. Cium kening Adek."

"Cium aja hpnya. Mas di Bali, aku di kudus, gimana ciumnya coba?"

"Cium online aja ha ha ha," goda Urya tanpa dosa.

Eva akhirnya bisa tersenyum. Perasaannya terhadap Urya semakin mendalam. Tidak peduli terkadang kenangan jahat masa lalu tentang Taufik hadir, Eva menabahkan hati untuk Urya.


Eva bukan tidak menyadari resiko menjadi istrinya Urya yang kerjaannya jarang di rumah. Bisa saja calon suaminya itu memiliki wanita lain ditempatnya bekerja. Akan tetapi bukti Urya lebih nyata dan lebih dahulu berjuang tidak bisa dibantah.


Tanpa harus meminta Urya selalu lebih dulu tau apa kebutuhan Eva. Wanita mana di atas bumi ini yang bisa menolak jika diperlukan oleh lelaki seperti itu? Eva hanya realistis saja.


Hari Pernikahan


Eva mematut diri didepan cermin, sebelum bersiap-siap menuju altar. Debu kosmetik merias wajahnya secantik bidadari turun dari khayangan. Berbalut busana tradisonal jawa, hari ini ia akan menadi ratu dalam sehari. Memasuki babak baru dalam hidupnya.


Jika ditanya-tanya tentang hidup, mungkin Eva akan menjawabnya seperti tamu pernikahanya haru ini. Bagi yang datang akan disambut, bagi yang pergi akan dipersilahkan. Sisanya adalah sesuatu yang tidak bisa dipaksa untuk tinggal.


Hidup tanpa cinta bagaikan malam tanpa bintang, gelap. Sedangkan cinta tanpa ikatan pernikahan seperti kopi tanpa gula, pahit. Cinta itu tidak bersyarat, jika cinta bersyarat maka itu perjanjian dan cinta bukan perjanjian. Sedangkan cinta tanpa perjanjian yang terikat dalam pernikahan adalah cinta yang palsu. Menikah dan mencintai Urya adalah kerelaan Eva. Sebuah kerelaan yang membawa ingatan Eva kembali satu bulan sebelum pernikahanya.....

"Maafkan aku, Fik. Jodoh kita mungkin hanya sampai di sini. Bukannya mengingkari janji manisku, namun kamu terlambat. Terlalu lama aku menunggu hingga yang lain datang. Bukan masalah, siapa yang lebih baik di antara kalian berdua, bukan. Hanya siapa yang lebih dahulu benar membuktikan cintanya dan itu bukan kamu."

Eva tegugu mematung mengingat semua peristiwa kenangan yang sangat tidak lucu sama sekali. Sementa Taufik lelaki ditunggu-tungu untuk menjadi imamnya, justru lelaki lain yang datang meminang.


"Aku mohon mengertilah akan keadaan ini, Fik. Maafkan aku." Kaki Eva memaku di teras depan kos-kosan tempatnya tinggal di Kudus.
"Bagaimana caranya membuktikan jika aku benar-benar cinta padamu, Dek Va?"
"Kamu tidak perlu membuktikan apapun. Memang benar aku juga cinta padamu, hanya ... Lebih baik kita berteman saja, Fik."


Mungkin itu adalah kata-kata menyebalkan bagi para lelaki. Walaupun begitu, kalimat ini adalah senjata sakti para wanita untuk menolak cinta.

"Beri aku kesempatan, Dek Va!"
Taufik bertekuk lutut di hadapan Eva. Bercucuran air mata membasahi pipi pria itu.

Eva rasanya sudah tidak sanggup melihat matanya yang berkaca-kaca, di mana sorot mata itu dulu selalu membuat hatinya bergetar. Ia hanya terdiam dengan lidah kelu. Apa yang harus dilakukan?

"Maafkan aku. Pulanglah sebelum orang lain berprasangka buruk pada kita."
Sebuah jawaban dari bibir Eva meluncur tanpa perasaan untuk terakhir kalinya. Tergesa Eva kembali masuk kedalam kamar dan mengunci pintu serapat menutup pintu hatinya pada Taufik.

Selama tujuh hari tujuh malam, Eva tidak berhenti menangis? Sebuah tangis tanpa tujuan, bodoh bukan? Demikian segala sesuatunya sulit dijelaskan dengan kata-kata. Sudah menjadi tradisi, wanita pandai menangis. Sungguhpun demikian, Eva sebenarnya bukan wanita seperti berhati ketan. Kodrat alam macam apa itu? Menyakitkan....

"Kamu sudah siap sayang?" Entah sejak kapan mamanya berdiri disebelahnya. Memberikan dukungan kasih sayang pada putri pertamanya itu.
"Oh Mama... Sudah menjadi keputusanku sendiri. Aku harus siap, Ma," balas Eva memeluk mamanya.



Eva memakai kebaya berwarna putih, warna lambang kesakralan pernikahan. Begitu cerah dan berkilau, cantik sekali. Upacara pernikahan mereka berjalan seperti pada umumnya. Penuh dengan kebahagian dari langit dan bumi. Sakral lagi suci.

Tuhan beserta langit dan bumi seisinya sebagai saksi mereka resmi menjadi suami istri yang syah secara agama dan secara hukum negara. Berlimpah kebahagian untuk keluarga, tetangga, sanak-saudara dan terlebih bagi kedua mempelai.

Sekalipun ada kenyataannya di luar sana masih ada laki-laki lain masih menunggu Eva, cintanya itu kini hanya untuk Urya. Hasrat begitu kuat yang terpendam kini menjadi keindahan di malam pertama. Walaupun dihari pertama pernikahan mereka gagal malam pertama karena masih banyak tamu dan kelelahan.




Eva dan Urya memutuskan honymoon di salah satu hotel di Ungaran, Semarang. Sengaja mencari pegunungan yang berhawa dingin. Mungkin dengan demikian mampu memendam hatinya yang memanas.


Hari itu dunia begitu indah, betapa bahagianya Eva dan Urya, karena tidak ada lagi ngompol di celana, sebab sekarang sudah di halalkan dan ada tempatnya.


Setibanya di villa yang dipesan, Eva seperti perangko yang menempel Urya kemanapun pergi.

Perjalanan jepara menuju jngaran sebenarnya tidak begitu jauh, hanya setelah melewati Semarang jalanya berliku. Udaranya dingin membuat suasana semakin syahdu.


Istirahat sejenak, di kamar villa, Urya duduk di dipan dan bercerita panjang lebar tentang berbagai hal. Terkadang bercanda mengoda istrinya. Eva duduk di sebelahnya, sambil terus memegangi pergelangan tangan Urya.


Eva matanya tidak lepas dari muka Urya, bagai hendak menemukan makna yang lebih dalam di balik kata-kata yang berhamburan lancar keluar dari mulut suami belahan jiwanya itu.


“Aku bahagia sekali…,” ucap Urya pelan di ujung cerita. Dihelanya nafas dalam-dalam, lalu dihembuskannya kuat-kuat.

“Apa Mas gak malu punya istri sepertiku?” tanya Eva setelah sejenak terdiam.
“Tidak, Mas justru merasa beruntung memiliki istri seperti Adek,” jawab Urya sambil memandang kekasihnya. Ia selalu senang memandang wajah di sampingnya itu, karena dari situ ia selalu mendapat kekuatan.

“Tetapi aku benar-benar takut tidak bisa menjadi istri yang baik untuk, Mas,” bisik Eva sambil membalas tatapan Urya. Ia merasa bersalah karena hatinya masih memikirkan lelaki lain.

Kedua pandangan mereka terjalin-jalin bagai benang-benang sutra tidak kasat mata, membentuk berlembar-lembar hamparan rasa sayang yang membuat keduanya merasa sangat-sangat dekat lahir dan batin, luar dan dalam, berujud maupun abstrak.

“Sayang... jangan bicara seperti lagi. Sekarang Adek adalah belahan jiwaku. Setengah hidupku adalah milikmu, Sayang,” ucap Urya pelan dan penuh katergasan.

Sebening tirta jatuh begitu saja membasahi pipi Eva, dengan kedua tangan dipegangnya wajah Urya, lalu diciuminya dengan penuh perasaan sambil berbisik berulang-ulang,
“Aku sangat mencintaimu, Mas.…” Urya diam, membiarkan bidadarinya menciumi pipi, mata, dahi, dagu, bibir... bahkah juga hidungnya yang entah kenapa kali ini Eva yang mulai dululan.

“Seharusnya aku tidak menerima, Mas jika bukan banyak uangnya…,” bisik Eva sambil tersenyum, tetapi air mata sudah jatuh berderai di pipinya yang licin bak pualam walau tanpa pupur.

Urya tetap diam, memandangi wajah yang tersenyum sekaligus menangis itu. Air mata itu bagai sepasang jeram bening di tengah hutan asri yang sering ia kunjungi sebagai pencinta alam.

Kedua mata Eva yang indah itu bagai telaga luas di mana air berlimpah-ruah menjadi sungai-sungai besar maupun kecil, membawa berliter-liter kehidupan untuk disebarkan di seantero bumi.


Sesungguhnyalah wajah cantik yang selalu menghiasi mimpinya itu adalah salah satu wujud pertiwi. Sesungguhnyalah wajah teduh yang selalu menghibur gundahnya itu adalah pelabuhan tempat ia bisa melabuhkan semua cintanya.

“Seharusnya Mas tidak menanggung semua biaya kuliahku…,” bisik Eva lagi sambil mencium sudut mulut suaminya, sambil terus menangis pula walau tanpa sedu sedan.

Urya merebahkan tubuhnya diranjang, membawa serta tubuh belahan jiwanya yang terasa ringan sekali bagai segumpal kapas halus. Mereka berpelukan mesra dan Eva menyandarkan kepalanya di dada uaminya, membiarkan air mata membasahi kaos oblong kesukaan pria berhidung bangir itu.

“Seharusnya Mas tidak ngompol lagi dicelana…,” desah Eva menajamkan matanya. Apapun kegetiran yang Eva alami, sekarang ia sudah menikah, menjadi istirnya Urya.

Sudah menjadi kewajiban Eva untuk mengabdi dan mempersembahkan mahkota suci miliknya.


Daftar Isi Novel 



Selamat membaca dan jangan lupa bahagia 

<Part Sebelumnya < > PartSelanjutnya>

Post a Comment for "Hari Pernikahan, Bagian 8, Cinta Terlarang Ini Dosa Siapa? "