Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Bimbang, Bagian 15, Cinta Terlarang Ini Dosa Siapa?

Baca Novel Online Cinta Terlarang yang Bikin Baper 


Novel Cinta Terlarang- Tepat setengah tahun Eva menempati rumah mungil warisan Neneknya Urya di atas bukit, ditepi pantai. Di sore hari Eva biasanya duduk di halaman belakang rumah, menikmati angin laut, membaca buku kumpulan puisi milik Asrul Sani Angkatan 45 yang sudah ia baca puluhan kali atau membaca buku lain.

Kemarin umurnya genap dua puluh delapan tahun tetapi Eva merasa sepuluh tahun lebih tua. Nikah muda dengan Urya memang sudah menjadi keputusannya. Siapa sangka  jika akan seperti? Di sini, detik jam seperti berat melangkah.

Hari ini Eva memandangi  dirinya  dicermin, masih cantik. Kerutan-kerutan yang ia  takutkan di wajah tidak muncul sama sekali. Kulitnya  memang sedikit pucat, tapi mungkin itu karena efek obat. Terdengar suara bel memanggil.

"Ada paket untukmu dari kota, Nona," ucap seorang kurir. Eva tersenyum mengangguk dan mengucapkan terimakasih. Cepat-cepat ia rogoh saku,  lalu memberikan tip padanya.
Saat membuka kotak besar berwarna oranye, Eva seolah sedang membuka kotak pandora.



"Oh sayang ...," sedikit gemetar Eva mengucapkannya sedikit panjang dan memeluk Teddy beer usang yang selama ini telah menemani.

Eva  kembali terpusat pada kotak itu. Ibu mertua mengirimkan peralatan merajut, beberapa cat minyak dan beberapa kuas lukis keramatnya.  Semua peralatan itu adalah hobinya selama ini sebelum Eva  berpikir bahwa semua itu membosankan.

Beberapa waist drees, dua gelas paperweights yang ia  beli di toko loak sewaktu zaman kuliah dulu, sebuah photo frame kosong berwarna putih dan sehelai amplop berwarna coklat muda terekat padanya.

"Eva, bagaimana kabarmu, Nak? Mama dan keluarga di sini sangat merindukanmu. Oh ya selamat ulang tahun, kami selalu mendoakan yang terbaik untukmu disini.

Umurmu kini dua puluh delapan tahun dan kami yakin kamu tambah dewasa dan bijaksana dalam menghadapi hidup. Kamu bukan seperti anak menantu. Kamu seperti anak sendiri bagi kami. Terimaksih udah mencabut tuntutannya.  Urya kini sudah bebas dan biarkan saja dia menyadari kesalahanya sendiri," belum selesai membaca surat itu entah mengapa hatinya terasa sakit.

Meski tidak sesakit dulu Eva mencoba melanjutkan membacanya lagi dengan sedikit gemetar.

"Eva, tenangkan pikiranmu. Mama gak akan pernah merestui Urya menikah lagi dengan wanita manapun selain kamu. Meskipun Alena mempunyai anak dari Urya, Mama tidak akan pernah menganggapnya. Kamu jangan kuwatir percayalah hubungan kalian nanti akan baik-baik saja."

Eva tau keluarga Urya sangat menyayanginya  melebihi anaknya sendiri, terutama Mama  dan almarhumah Neneknya. Eva memang masih sangat mencintai  Urya tapi ....

Tidak terasa rinai air mata membasahi pipi dan surat yang masih tergenggam erat ditangannya. Orang tuanya begitu baik, mengapa mempunyai anak seperti itu? Sampai matipun Eva  sangat sulit untuk memaafkanya. Tapi....

Oh tidak! Takdir macam apa ini? Keluarga Urya meski hanya orang lain, mereka lebih menyayanginya  dari pada keluarganya  sendiri yang terkadang tidak peduli.

"Percayah Eva pasti kamu akan biasa punya keturunan. Kita akan memberikan pengobatan terbaik agar kamu hamil kelak. Kalau di indonesia tidak mampu, kita bisa membawamu ke Singapura kalau perlu ke Australia. Apapun akan kita berikan yang terbaik untukmu."

Eva  sedikit terharu dengan kasih sayang keluarga mertuanya  itu walaupun jujur ia  belum benar-benar bisa menerima  Urya atas perlakuanya yang kejam terhadapnya.

Dengan menggigil dan gemetar, Eva merogoh kedalam amplop itu. Otaknya berpikir keras dan berputar-putar sakit. Ingatan akan pengkhiayanatan  Urya menari-nari di kepala seolah akan  pecah.

Tepat sebelum Eva menciptakan labirin dalam otak,  surat di tangannya meluncur terbang jatuh ke lantai. Tangannya tergesa-gesa memungutnya,  hatinya  tidak siap, sama sekali tidak siap.

Eva sudah hampir melupakan untuk beberapa bulan terakhir ini, tetap saja hati masih terasa nyeri, tanpa ia sadari pikirannya  sudah berada disuatu tempat. Di atas bukit, di sebuah bangunan tidak bertuan dengan begitu banyak pohon di taman.



Sementara Urya kini menyibukan diri dalam pekerjaannya. Memilih keluar kota untuk beberapa bulan cara terbaik untuk menenangkan diri. Satu sisi keluarganya menekan hanya Eva yang di restui oleh mamanya. Lalu bagaimana dengan istri keduanya?

"Kenapa Mama tidak adil pada Dek Na? Bukankah dia juga menantu Mama?" tanya urya dalam sebuah percakapan via telepon.

"Sekali tidak ya tidak! Kamu harusnya bersyukur bisa keluar dari penjara karena Eva memaafkanmu, Urya!"

"Nanti ... Dek Na akan aku buat hamil dan punya anak. Pasti Mama akan menerimanya."

"Sekali tidak ya tidak! Sampai matipun Mama tidak akan mengakuinya."

"Kalau Dek Na punya anak? Itu juga kan cucu Mama nantinya?"

"Sekali tidak ya tidak. Kalau kamu sayang keluarga dan Mama, tinggalkan wanita itua!"

"Aku cinta sama dia,  Ma."
"Makan tu cinta! Kapan kamu sadar. Apa kamu udah gak mau dengerin kata-kata Mama lagi?"

"Bukan begitu, Ma. Keduanya adalah istriku dan aku harus adil dengan mereka."

"Istrimu hanya Eva. Camkan itu Urya! Kapan kamu sadarnya?"

"Maaf Ma, aku tidak tau. Ya udah besok sambung lagi." 

Urya mematikan teleponya. Kini otaknya benar-benar pusing tidak tau harus berbuat apa?

Hari itu juga, setelah memesan tiket pesawat Urya terbang ke Bali menemui istri keduanya dan untuk sementara waktu ia memang tidak berani menemui Eva. Sudah kepalang basah, maju kena mundur kena. Biarkan waktu yang akan menjawabnya.




Ketika rindu tidak bersambut hati siapa yang tidak kesal? Jengkel, marah sudah pasti bahkan kerjapun tidak tenang. Hari itu sepulang kerja ia langsung pulang ke rumah kontrakan yang tidak begitu jauh dari tempat kerjanya.

Sudah menjadi ciri khas rumah di Bali dipenuhi ukiran dengan gaya seni tinggi dan sesampainya di depan pintu rumah lalu ia mengeluarkan kunci dari tasnya, aneh pintunya tidak terkunci.


 "Ah mungkin aku lupa tadi menguncinya!" pikir perempuan berambul ikal itu. Setelah masuk ruangan tengah ia lempat tasnya kearah sembarangan begitu saja. Lalu perempuan itu membuka baju kerjanya dan di taruh di atas sofa.

Ia masuk kamar mandi setelah meletakan sepatunya di rak sepatu yang tertata rapi. Langsung menyiram tubuhnya begitu saja tanpa membuka pakaiannya karena ia memang sangat penat dan letih.

Kesepian hatinya merasuk membelenggu jiwanya yang gersang dengan menangis menggugu dalam kamar mandi satu persatu kain penutup kulit melayang hingga tanpa sehelai benang.

"Kak ... Adek kangen. Kenapa kamu tega lakukan ini padaku?" ucapnya dengan air mata larut bersama air yang menyiram tubuhnya.

"Kangen ama siapa?" Sebuah suara yang tidak asing,  membuat wanita molek itu terkejut. Alena kaget senang melihat kekasih hatinya tiba-tiba ada di kamar mandi.

"Aku udah curiga pintu rumah tidak terkunci. Seingatku tadi aku sudah menguncinya."
"Benarkah? Tadi siapa yang kangen?" tanya Urya lekat sekali dimata Alena. Jarak begitu dekatnya, Urya bisa memandang mata bidadari yang selalu bermain dalam minda.  
 
Sebaliknya, sorot mata Urya bagi Alena adalah pancaran kehangatan dan kedamaian sekaligus jendela harapan hidupnya yang lembut selaput sendu. 

"Kakak nakal..,” jawab Alena manja dengan berbisik pula. Dibalasnya tatapan pria itu dan sejenak keduanya membiarkan jiwa mereka tertaut di jembatan pelangi yang tercipta dari dua pasang mata, menghanyutkan damai. 

"Kangen..," bisik Urya  lagi sambil menghela nafas dalam-dalam menikmati harum segar nafas Alena. Ia seperti sedang menghirup aroma mistis, membuat dadanya seperti dipenuhi perasaan bahagia dan keindahan semata.

"Ah!! Kakak jahat ...,"  jawab Alena pelan sekali, mendesah sebelum  selesai kata-katanya,  Urya langsung melumat bibir manis wanita itu. Alena  meraih pinggang Urya,  memeluknya dengan sayang, menengadahkan mukanya menawarkan bibir yang merekah basah. 

Ayo, banjiri  sawah yang sudah mengering jika memang keduanya saling merindu, buat semuanya bawah larut dalam desah tidak berkesudahan. Mungkin dengan begitu mereka  bisa mencapai puncak-puncak kenikmatan agung surgawi. 

Urya membiarkan tubuhnya sedikit terhuyung dipeluk oleh Alena. Muka bidadarinya itu dekat sekali dengan mukanya. Nafasnya yang harum menerpa bersama gemericik air jatuh memantul di atas lantai kehidupan, di bawah sana. 

Berdiri tegak, kokoh seperti tugu monas, tanpa ragu, Urya  mencecapi bibir yang mempesona, mengulumnya dengan sepenuh hati, menumpahkan segala perasaannya ke mulut perempuan yang sudah menyita hidupnya. 

Alena  memejamkan matanya erat-erat, menutup pandangannya dari dunia nyata, membiarkan jiwanya terbang ke alam maya yang penuh ketakjuban. 

Bibir pemuda itu terasa hangat di bibirnya, membiaskan citra kasih yang merayapi leher, turun ke dadanya, membuatnya melayang seakan berenang-renang di lautan perasaan yang amat dalam. 

Alena  membiarkan dirinya terlena karena ia ingin pula segera menemukan, ada apa di dasar perasaannya. Apakah perasaan terkuat ataukah semacam episode sesaat dalam hidup yang tidak  pernah bisa diduga sepenuhnya itu?

Perlahan tapi pasti, keduanya saling lekat mengulum dan saling melumat segala kegundahan akibat musim kemarau.  Kemesraan mereka berkembang berbuah menjadi kehangatan melintasi sembilan samudera asamara. 

Alena  semakin jauh terlena, merasakan desir darahnya bertambah cepat dan daerah-daerah terlarang di tubuhnya seperti terbangkit oleh sebuah kekuatan sihir.  Kedua tangannya merangkul leher Urya,  merengkuh tubuh lelananginging jagat itu agar lebih erat terhenyak ketubuhnya. Nafasnya mulai memburu dan desah gelisahnya mulai terdengar nyata.

Urya terbuai, merasakan kelembutan kehangatan Seroja Bergoyang  dalam pelukannya bagai segumpal awan yang dapat membawanya terbang. 

Nikmat sekali rasanya memeluk orang terindukan setiap hari, bisik keduanya dalam hati. Harum tubuh  mereka sangat memabukkan, membuat Urya terasa berada di salah satu sudut di kahyangan, di mana segalanya cuma keindahan dan kenikmatan belaka.

Mengalir seperti air ke telaga bening tanpa warna, ia merebahkan segala kerinduan  di lantai dermaga, menindihnya dengan sepenuh cinta,  memberikannya kenikmatan berkali-kali, bertubi-tubi tanpa henti melintasi sembilan samudera asmara. 

Musim penghujan telah tiba, sawah yang kering gersang itu telah diairi hingga banjir bandang dengan skala richter namun tidak berpotensi stunami. Hanya meledak gemetar hingga tepar. 

Bunga yang layu itu kini mekar memawangi menghiasi indahnya surga dunia. Terserah orang mau ngomong apa, jika sudah jatuh cinta siapa yang bisa menahannya. Apa jatuh cinta itu salah? Jawab.

Daftar Isi Novel 


1 comment for "Bimbang, Bagian 15, Cinta Terlarang Ini Dosa Siapa? "