Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Bayangan Bidadari , Bagian 27, Cinta Terlarang Remaja Ini Dosa Siapa?

Novel Cinta Terlarang Ini Dosa Siapa? Bayangan Bidadari, Episode 27



Novel Cinta Terlarang- Raditya tertegun beberapa jenak. Memikirkan kejadian demi kejadian dari hari-hari yang telah dilalui. Kenapa mahkluk betina yang manusia menyebutnya gadis bernama Dita itu selalu memenuhi mata, dada dan tidak terkendali? Menyebalkan sekali, berbagai cara dilakukan untuk mendepak senyum itu dari kepala belum juga pergi. Justru yang terjadi semakin menggila. 

Siapapun cowok bebas memilih mendekati cewek yang disukai. Lantas apakah bisa memilih jatuh cinta pada siapa? Dita seperti biasanya, saat marah bibirnya bisa dikucir, menakjubkan. Raditya suka sekali ngambeknya gadis itu untuk mengisi hari-hari sekolahnya menjadi lebih berwarna cerah.


Terulang seperti sebuah karma dari alam semesta. Entah mengapa Raditya mulai dihantui bayang-banyang wajah Dita. Makan tidak enak, tidur pun tidak nyenyak selalu teringat akan senyum khasnya meski hanya curi-curi pandang saat saling marah. Seolah O2 dari hembusan nafas mereka seperti senyawa Al kali atau apa? Logika mulai lumpuh.

Cinta tumbuh bukan karena menemukan orang yang sempurna. Melainkan karena kemampuan menerima kelemahan-kelemahan orang itu secara sempurna. Namun benarkah Dita cinta sejatinya Raditya atau karena ada hubungan konspirasi semesta? Mereka berdua tidak menyadari sama sekali.

Bayangan Bidadari   



Pikirannya seperti gelombang elektomagnet dari ingatan tidak akan terpisahkan, menyimpan kenangan hari ke hari yang telah terlewati. Meski itu adalah sebuah pertengkaran, misteriusnya justru hati keduanya saling terpaut. 

Mungkinkah Raditya jatuh cinta gadis sinis itu? Sementara bayangan bidadari hadir membuatnya selalu merasa terjaga. Lastas bagaimana dengan perasaan Anya?

Ilustrasi : Anya, Raditya dan Dita 

"Hai ... Ngelamunin apa loe?"
Sapa Anya pada suatu senja, tanpa di undang ia datang ke rumah Raditya. Cowok berbadan tegap itu kaget."Ada apa kesini?"

"Ngusir ini maksudnya?'' Anya dongkol, sedikit susah bernafas.
"Gak. Maafin gue kalau udah menyinggung perasaan loe!" balasnya mempersilahkan Anya duduk di kursi teras depan, menikmati pemandang taman.

Bersama lagit membiru, keduanya sama-sama lidahnya kelu. Sesuatu begitu canggung, seperi ada tembok menjadi penghalang. 

"Dit. Mama nanti pulang telat ada ururan mendadak di kantor." Suara mamanya dari dalam rumah.
"Ma ... Apa gak bisa besok?"

"Kok gak ngomong bawa teman kesini , Dit?" Eva mengalihkan pembicaraan dan kebetulanya ada tamu gadis cantik. Semenjak di tinggal Surya, ia memang mengurusi perusahan dan membersarkan putra semata wayangnya sendirian.



Memang pada awalnya Eva tidak mengerti sama sekali dengan perusahaan peninggalan suaminya itu karena Surya dulu selalu hidup sederhana dan memulai usahanya sendiri dari nol tanpa meminta bantuan keluarga.

"Sore Tante.," sapa Kanya dengan mencium tangan Mamanya Raditya.

Eva terkejut melihat Kanya mencium tanganya. Sebuah sikap santun yang sudah mungkin punah pada kehidupan kota. Prilakunya begitu tertata, ada kecantikan yang berpendar dalam sikapnya.

"Oh iya. Tante tinggal dulu ya." Pamit Eva pada mereka setelah mencium kening jagoanya itu. Sopir lalu mengantar mamanya Raditya pergi dan meninggalkan sepasang remaja itu di rumah.

"Mau minum apa, Anya?"
"Apa aja Dit. Penting Loe ikhlas."

Anya memang bukanlah putri keluarga kaya raya seperti Raditya. Bahkan ia bisa sekolahpun karena beasiswa akan tetapi selama ini hanya Raditya lah yang selalu membantunya bahkan di luar kelas. 

Sejak  kecil ia sudah yatim piyatu tanpa tau siapa orang tuanya. Panti asuhan tempat tinggalnya itu dulu donatur utamanya adalah keluarga Surya yang kemudian diteruskan oleh Eva sebagai warisan paling berharga.

Menurut cerita ibu panti dan kakak-kakak panti yang lebih dewasa dari pada Kanya. Papanya Raditya dulu suka menghabiskan waktu di panti dan sangat menyayangi anak-anak disana. Raditya dulu sering diajak mamanya kepanti itulah awal mereka kenal dan akrap hingga mereka masuk SMA. Bisa dikatakan Anya bisa sekolah berkat Mamanya Raditya.

"Ini minum dulu," ucap Raditya dengan menyuguhkan minuman dingin di atas meja.
"Gua kesini sebenarnya mau minta loe ajarin PR Matematika," ujar Anya dengan suara ragu agak sedikit manja. Ah Raditya sebenarnya tidak ingin membuat Anya ragu-kaku, tidak wajar rasanya bersahabat dari kecil seolah kini sangat asing. 

"Ya udah mana ...." Mereka akhirnya belajar bersama di teras depan dengan serius. Baru dua puluh soal terjawab, langit menggulung mendung menjadi hujan. Milyaran rintik mulai menyerbu bumi, hujan deras. 

"Kita belajar di dalam aja ya," pinta Raditya tergesa merapikan tas dan buku. 

Sekejap  mereka masuk ke ruang tengah. Ada alasan kenapa Raditya tidak mengajak Anya masuk  rumah dari tadi? Adalah karena bibi rumah itu sedang pulang kampung. Jadi kini mereka tinggal berdua saja.

Hingga semua PR itu selesai hujan bukanya berhenti malah semakin deras dan gemuruh petir semakin menggelegar. Menyambar-nyambar. 

"Loe laper kagak? Yuk kita masak. Mau beli diluar juga hujan deras kaya gini," kata Raditya sambil melempar senyum termanis, membikin diabetes. 

 Alih-alih  mendengarkan panggilan itu, Anya justru terbuai memandangi wajah tampannya  Raditya. Pikiranya mulai mengembara bebas membawa pada satu episode dimensi lain. Seolah layar lebar dalam minda menyuguhkan sebuah film tentang Kanya dan Raditya dalam lautan asmara ....

Raditya terpana melihat kecantikan memabukan, itulah yang diingikan Anya. Ia terbangkit tergesa-gesa, buku dan pensil berantakan. Hujan seharusnya membawa udara dingin, sementara dalam ruangan itu justru semakin memanas. 

Pemuda itu terpaku di tempatnya duduk, memandang Anya perlahan, degub jantung berpacu kencang menciptakan debar dalam dada. Apa yang harus dilakukan? Raditya mendekat, meraih tangan gadis itu dengan lembut. Lalu tanpa rencana sama sekali gadis itu jatuh dalam pelukan. Tanpa rencana sama sekali pula berpagut tarian dengan ritme lambat, lagi senyap. 

"Ahh  Raditya ..." desah Anya ketika pemuda itu merenggangkan pagutan. Sejenak tediam membisu, sebelum akhirnya mulai terlu mat bib ir ra num membasah. 

Entah sejak kapan tangan Anya  sudah memeluk leher Raditya. Buku dan bolpoin jatuh berantakan di lantai. Matanya yang tadi sayu kini terpejam. Gadis itu kini tubuhnya bagai sehelai kapas yang ringan terhempas terbang ke atas awan surgaloka. 

Sebersit kerinduan terdalam yang telah didambakan selama ini seolah berjalan pada padang pasir dan menemukan oase. Perjalan pada gurun itu telah sampai pada dua bukit yang terbelah, sebuah pemandangan begitu indah dan memabukan bagi para musafir kerinduan. Melandai-landai, berat namun bukan beban. 

Raditya terpejam merasakan hangat menerpa dari pelukan gadis berambut lurus itu. Selama ini  pelukan pangeran itulah yang Anya dambakan, bahu tempatnya bersandar dari kesepian dan kesunyian. Sejak kecil tanpa kasih sayang orang tua, Anya begitu kesepian. 

Salahkah Anya ingin menjadi istrinya Raditya? Putra semata wayang keluarga terpanadang, cukup sandang dan pangan. Semua kemewahan, fasilitas untuk siapa lagi? Anya hanya gadis beranjak dewasa yang berpikir logis, walapun terkadang semuanya semu. 

"Yakin dengan semua ini, Anya?" Sebuah tanya lembut dari Raditya untuk memasuki sebuah gerbang yang belum pernah terjamah sama sekali oleh siapapun juga. Anya mengangguk, membukakan pintu dengan senyuman bermekaran, berkedut sudah tidak tertahan. 

Ayuk  masuklah jika memang memiliki rasa yang sama. Jangan ragu-ragu, teroboslah secara kastria perkasa. Semuanya sudah terasa panas dan basah, jika Anya membumbung tinggi bersama sebening tirta melompat dari kelopak matanya. 

Raditya mengusap-usap punggung itu, lagi lembut dan mesra. Hujan disertai angin membuat 'gedung dpr' banjir hanya tidak bandang. Gagah berdiri tegak tugu monas menjadi pertanda siapnya sebuah peradaban baru dimulai. Anya sudah siap dan tidak sabar lagi ....


"Halo halo ... Loe laper gak, Anya?" tanya Raditya lagi. Suaranya membuyarkan lamunan Anya, seketika lenyap, seperti terbang tinggi ke langit, kemudian dibanting begitu saja jatuh ke bumi. 

"Emm ... emm ... iya, Dit." Anya terbata, mengumpulkan kewarasan yang berceceran di otaknya agar kembali normal pada dunia nyata.  Dalam benaknya ia berharap suatu hari nanti bisa mempunyai suami sebaik Raditya. Ah ... Sekolah aja belum lulus udah mikir nikah?

"Iya ... ayuk. Dengan senang hati," jawab Anya sambil berdiri senang namun itu malah yang membuatnya terpeleset terjatuh. Beruntung cowok ganteng itu segera menangkapnya.

Waktu seolah berhenti saat Anya dalam dekapan Raditya yang tanpa sengaja kini tubuh itu menindihnya. Jantungpun bergetar saat sorot mata saling menatap mengikat seperti magnet dengan kutub yang berbeda.

Hampir saja bibir manis Anya menyentuh bibir Raditya, begitu dekat begitu kuat. Kuat untuk segera mengecupnya. Raditya bisa saja melumat bibir Anya tanpa ampun. Akan tetapi entah mengapa justru bayangan Dita yang ada dalam pikiran Raditya. 

"Maaf ...'' ujar Putra Surya mendorong gadis cantik begitu saja. Tentu saja Anya malu dengan apa yang telah terjadi. Segera bola matanya mencari cara mengalihkan suasana ganjil itu. Neutron-neutron dengan cepat merangkai koneksi dalam minda  saat Anya melihat foto Papanya Raditya yang masih terpajang rapi sejajar dengan foto-foto keluarganya di dinding.

"Papa Loe dulu ganteng juga ya,  Dit? Pantes menurun ke anaknya. Gue bahkan tak tau siapa kedua orang tua gue," entah mengapa bibir Anya begitu mudah mengurai kata-kata yang justru menorehkan seribu luka kenangan.  Kepedihan dalam hati Raditya  merindukan kasih sayang seorang papa semakin menguat. 

Papa  yang tidak tau dimana rimbanya. Bahkan untuk zarah ke kuburanya pun tidak tau? Apakah papanya Raditya masih hidup? Lalu kemana saja selama ini jika memang Urya masih ada? 

"Jadi masak gak, Anya?"
"Iya jadi.  Biar gue aja yang masakin loe. Tapi loe kudu janji kalau gak enak jangan ngedumel ya?"
"Iyain aza  dah."

Bercanda manja masak di dapur justru bukan  Anya yang masakin Raditya melainkan sebaliknya. Ternyata cowok ganteng itu pandai memasak, mungkinkah itu warisan bakat dari Surya. Begitu juga dengan gadis-gadis cantik yang selalu ingin mendapatkanya.

Waktu terus berjalan,  Anya hanya memandangi Raditya yang begitu lincah menjadi koki menyiapkan semua masakan di atas meja. Betapa  dalam hati Anya bertekad bagaimana'pun caranya ia harus bisa mendapatkan hati Raditya.  Bahkan jika kalau memang terpaksa dan diperlukan, mahkota suci siap ia persembahkan untuk pangeran pujaan hatinya itu. 

Ah ...  tidak. Bagaimana mungkin seorang gadis yang masih duduk dibangku SMA bisa mempunyai pemikiran seperti tidak semestinya? Mungkinkah seorang Anya rela melakukan hal semacam itu? Seharian penuh gemericik hujan tidak kunjung juga reda hingga berganti malam. 

Apakah  semua  itu melalui hujan adalah cara semesta untuk menyatukan kerinduan? Hasrat anak remaja begitu tinggi, sedikit saja membuncah dan bisa tidak terkendali. 


Kini tinggalah mereka berdua dalam rumah elite, ruangan besar dan modern,  jika berteriakpun tidak akan terdengar dari luar.  Belum lagi mamanya Raditya tidak mungkin pulang ke rumah. Setanpun turun bersama butiran-butiran air hujan menyuruh manusia berpesta pora sepanjang malam. Apakah lingkaran karma itu akan terjadi pada Raditya putra Surya? Next 

Daftar Isi Novel 

3 comments for "Bayangan Bidadari , Bagian 27, Cinta Terlarang Remaja Ini Dosa Siapa? "

  1. ehhh ... cuma khayalan,yaaa. benerannya, kapan? :D

    ReplyDelete
  2. yg bagian 29 dst gimnaa cara nyarinyaa??

    ReplyDelete
    Replies
    1. Part selanjutnya atau, indeks link atau label, CTIDS atau di forum Novel Online, tinggal baca aja, Kak

      Delete