Membencimu Adalah Wujud Cintaku Terdalam, Kumpulan Prosa Galau Kekasih
Membencimu Adalah Wujud Cintaku Terdalam …!
Prosa Galau- Berkuat sungguh kulipat seluruh luka ini. Melalui malam demi malam panjang yang kini hampa terasa. Tersebab bayangmu kerap menggodaku, meski kini pupus sudah.
Adakah kau memahami arti luka yang kau hunjamkan di palung hatiku ini? Gaung perihnya sungguh menyesakkan, sangat!
Harus dengan apa kubalas sembilu yang kau goreskan ini ....
Jika saja layak meminta pasukan langit, pastilah sudah kubariskan menuju sasaran hatimu.
Namun, di detik terakhir keputusanku ... aku tak sanggup ...!
Boleh jadi kebencianku menjadi panglima atas sakitku ....
Akan tetapi, jika harus berhadapan denganmu langsung, hatiku tetap luluh ....
Untukmu, seseorang yang pernah singgah di lubuk hatiku terdalam ... terimalah, bait bait raungan elegiku ....
Frasa demi frasa ....
Selamat merangkainya menjadi catatan luka sepanjang hayatmu ...!
Pernahkah kita saling berharap sedangkan saling mengenal saja bisa dikatakan baru saat kemarin senja …? Ibarat asam nun jauh di gunung, takkan bisa menjumpai garam di lautan bila bukan ulah mulut yang ingin mencecap hidangan lezat.
Mengenalmu dalam satu masa yang tiada pernah kubayangkan jauh sebelumnya. Tersebab sepintas saja menyimak polahmu, kutahu jika dirimu tak ada bedanya dengan sejenismu yang telah kuhapal sangat … gombal nomer wahid!
Tapak bumi masih bermandikan tangisan langit. Kian menderas tatkala gelegar guntur memecut gemawan yang menghitam. Adakah dirimu di sana masih saja menggulung rindu kita yang kian memudar tersebab rasa tak lagi purna mencipta sabar ...?
Coba pahami, begitu ujaranmu selalu padaku. Haruskah kulantangkan kembali seluruh genderang kepiluan yang sebetulnya telah tersimpan dalam peti berjuluk pasrah ...?
Ketika mencintaimu adalah melepaskan seluruh gemuruh keluh dalam satu lubang yang kubiarkan membelesak tiada terkira atau bahkan melayang jauh hingga membumbung tak terukur lengkungmu ... percayalah, Sayangku ... hanya dalam kebisuan yang abadi maka jiwa dan hati kita akan memagut penuh pengharapan nan mendamba tiada bersekat.
Rembulan belum lagi pulang ke peraduannya. Lolongan anjing tetangga pun terdengar begitu meremangkan bebulu sekujur tubuh. Terjaga dalam suasana yang tidak kusuka, bukan mauku. Namun, kelebat bayangmu seolah jauh lebih mengusik. Entah harus bagaimana lagi kutepis seluruh jejak rindu akanmu.
Permainan apalagi yang harus kusajikan pada sekian pasang mata yang diam-diam rajin menyimak tindak-tanduk kita ...? Pun dirimu, selalu saja penuh dengan semilyar kejutan yang kerap membuatku hanya bisa mengukir senyum, meski tak kalah sering jua mencebik penuh gemas. Bila saja mampu, menggigiti bagian tertentu dari tubuhmu ... adalah bentuk puasku, paham?
Desir rindu dalam jiwa begitu menusuk kalbu. Angin resah membawa gulana menerpa setiap titik gelisah dalam raga yang mengharapkan sebuah pertemuan. Entah itu dalam alam nyata atau sekadar bunga dalam buaian. Kelamnya malam adalah saksi bisu atas segala rintihan kesakitan yang berulang kali coba kubelenggu sekuat mungkin.
Setiap rindu adalah terpaan badai elegi yang hanya mereda bila telah datang hujan pemuas haus dahaga. Begitu pun sukma ini, setia membelai seluruh keinginan demi bertahan pada sebuah keyakinan. Walau entah kapan kan terjawab segala pinta.
Bilakah pelangi terbit sehabis hujan sedangkan itu adalah malam gulita? Adalah sebuah keniscayaan yang semakin menipis mengalahkan kabut pagi tatkala kuterjaga pada sebuah masa. Terdongak menatap langit dipenuhi gemintang. Mencoba mencari di antara sekian kejora di sana, adakah hadirmu …?
Pada tetes embun pagi, kusetia menyapu setiap titik air yang tersisa di ujung dedaunan. Berharap akan hadirnya salam teramat merindu darimu akanku …. Hingga kutersadar oleh dinginnya basah yang menyapu wajahku. Menderas hingga tiada dapat kubendung.
Langit biru adalah senyum terindah yang setia menyapaku. Menggantikan sapamu padaku … berpuluh purnama yang telah lalu. Kuterpaku menatap ujung kaki langit, menyaksikan mega berarak memayungi lautan selewatnya saja.
Kasih … benarkah kita seperti itu …?
Awalnya saling mencari dan bertanya tapi akhirnya memilih berlalu ….
Jangan … sekali pun, jangan pernah kau ragukan seluruh gejolak hatiku padamu. Namun, cobalah tanyakan pada satu bilik dalam ruangmu bernama nurani ….
Tersebab aku tetap merajut rasa yang entah ini, meski sendiri, bahkan tiada berbalas … tiada hirauku!
Kau tau, hatiku telah memilih, seyakinnya, sedemikian percayanya ….
Walau tanah kita berpijak teramat berjarak dan berangin besar … tetaplah langit kita masih satu ….
Langit biru di kala pagi, pun gulita di kelam malam.
Pada batas kenisbian, di situlah kita berikrar. Menyadari seluruh onak dan duri tapi tetap saja merangsek maju. Terkadang, memang janji adalah sebuah kebohongan termanis. Namun, yakinlah ... sehancur apa pun kau luntakan diri ini, janji adalah tetap janji. Ia takkan tercuat tersebab nyawaku telah tergadai. Pergilah, sejauh hasratmu menuntun. Aku tetap menanti dalam diam dan selalu sedia membalut segalamu ....
Lantas … apalagi ragumu?
Aku … tetap di sini, pada sudut bilik ruang bernama: rindu tiada terperi … dan membencimu adalah wujud cintaku terdalam …!
Musim berangin membawa segala yang tersapu dalam putingan pusaran. Tiada peduli apakah harga terbesar telah terkorbankan untuk seluruh kekacauan yang tercipta. Bilakah terbawa setiap debu-debu harapan dalam tiupan raksasa, adalah bukan lagi sesuatu ternilai.
Dalam amukan segala rasaku, adakah gejolak dalam nuranimu, aduhai kekasih jiwa ...? Tersebab getaran hampaku begitu kuat membelai sanubari, membelesak hingga ke ujung palung hati. Berputar dan terus mencari ... akankah luluh jua kepongahanmu padaku?
Musim berangin itu masih selalu datang, membawa seluruh kekuatan durjana tuk menyapu helai demi helai kepiluan pun elegi yang menyesakkan dada. Entah kapan kesanggupan tetap setia menemani sunyi jiwaku, menanti sekejap saja hirau jujurmu.
Musim berangin, penuh bising dan membuat porak-poranda apa pun yang tersentuh. Namun, Sang Maha Cinta tidak akan berdiam mendengarkan nyanyian pilu yang kian sumbang kulagukan.
Percayalah ... mentari akan segera mewujud. Menerpa setiap wujud rasa, meski terkadang tetap butuh sebatang lilin tuk menerangi sudut kelam. Untuk itu, aku memilih menjadi demikian.
Pergilah, berlalulah, lanjutkan badaimu untuk selain aku ....
Pernahkah kau perhatikan arakan mega di langit luas? Berasal dari mana sekumpulan kapas mengandung uap air itu? Adakah yang setia meniupkan uap-uap agar menggumpal menjadi awan-awan indah, kadang pun menghitam?
Menatap cakrawala, selalu saja mengingatkanku pada sosokmu. Ah, tidak. Bukan hanya cakrawala. Melirik pada sekumpulan burung manyar di dahan pohon yang merimbun di hutan kampus pun, tetap membawa lamunanku padamu.
Menyebalkan …!
Betul, sungguh sangat menyebalkan sekali. Namun, apa daya, seluruhku adalah terisi oleh tetesan-tetesan rindu akan hadirmu. Menahan segala ledakan, membelainya dengan sehamparan sabar yang kerap kau lagukan. Jarak telah sedemikian berdepa, bahkan layak berjuluk kilometer. Namun, sedikit saja terdenyut namamu, serasa hadirmu memelukku dalam segala hasrat kehendak semesta.
Menyebalkan …!
Kali kesekian, selalu itu yang kulantangkan dalam palung terjauh hatiku. Tenang saja, sesak siksa ini masih sanggup kurajam dalan lumatan pilu nan menyembilu. Saat berpisah, biarkan saja seluruh lakon berpentas. Tersebab aku menikmati setiap perih dan riang dalam kebersamaan pandang. Menyadari bahwa begitu banyak sekat dan tabir yang takkan sanggup terpecahkan dalam labirin hatimu. Hadirku pun belum tentu hendakmu. Saat rasa hadir tanpa tedeng aling-aling, lantas siapa yang patut tersalahkan? Sungguh tak ingin kumenuai tarung dalam kegaduhan yang hanya akan membawa kepedihan bagiku semata.
Menyebalkan …!
Masih saja … lontaran itu sering menyeruak tanpa permisi. Bagaimana tidak … ada rindu yang masih harus kujaga agar tak berkalang elegi. Walaupun berpisah adalah kenyataan yang tak bisa kupungkiri, tapi hadirmu adalah mega-mega indah dalam cakrawala hatiku. Terkadang menghitam, kala guntur cemburu memercikkan kilatannya. Jangan marah, yaaa. Kau tahu pasti, petirku hanya sekian detik saja, yang seketika sirna kala hujan welas asihmu membasahiku.
Sampai di sini … masihkah hatimu membatu, Sayangku? Apa dayaku selain pasrah ….
Tiada pintaku padamu melainkan kebaikan atas dirimu semata. Selalu jaga seluruh rasamu pada bias-bias mega yang kadang menjadi mendung tak berkesudahan bila diterpa angin kangen. Ada kalanya pula, menjadi secerah mentari ketika sapamu merajai seluruh hari.
Ketahuilah ….
Berpisah, bisa bersama ... meski hanya dalam rasa, apabila dedoa terlangitkan.
Prosa Galau- Berkuat sungguh kulipat seluruh luka ini. Melalui malam demi malam panjang yang kini hampa terasa. Tersebab bayangmu kerap menggodaku, meski kini pupus sudah.
Adakah kau memahami arti luka yang kau hunjamkan di palung hatiku ini? Gaung perihnya sungguh menyesakkan, sangat!
Harus dengan apa kubalas sembilu yang kau goreskan ini ....
Jika saja layak meminta pasukan langit, pastilah sudah kubariskan menuju sasaran hatimu.
Namun, di detik terakhir keputusanku ... aku tak sanggup ...!
Boleh jadi kebencianku menjadi panglima atas sakitku ....
Akan tetapi, jika harus berhadapan denganmu langsung, hatiku tetap luluh ....
Untukmu, seseorang yang pernah singgah di lubuk hatiku terdalam ... terimalah, bait bait raungan elegiku ....
Frasa demi frasa ....
Selamat merangkainya menjadi catatan luka sepanjang hayatmu ...!
Pernahkah kita saling berharap sedangkan saling mengenal saja bisa dikatakan baru saat kemarin senja …? Ibarat asam nun jauh di gunung, takkan bisa menjumpai garam di lautan bila bukan ulah mulut yang ingin mencecap hidangan lezat.
Mengenalmu dalam satu masa yang tiada pernah kubayangkan jauh sebelumnya. Tersebab sepintas saja menyimak polahmu, kutahu jika dirimu tak ada bedanya dengan sejenismu yang telah kuhapal sangat … gombal nomer wahid!
Tapak bumi masih bermandikan tangisan langit. Kian menderas tatkala gelegar guntur memecut gemawan yang menghitam. Adakah dirimu di sana masih saja menggulung rindu kita yang kian memudar tersebab rasa tak lagi purna mencipta sabar ...?
Coba pahami, begitu ujaranmu selalu padaku. Haruskah kulantangkan kembali seluruh genderang kepiluan yang sebetulnya telah tersimpan dalam peti berjuluk pasrah ...?
Ketika mencintaimu adalah melepaskan seluruh gemuruh keluh dalam satu lubang yang kubiarkan membelesak tiada terkira atau bahkan melayang jauh hingga membumbung tak terukur lengkungmu ... percayalah, Sayangku ... hanya dalam kebisuan yang abadi maka jiwa dan hati kita akan memagut penuh pengharapan nan mendamba tiada bersekat.
Rembulan belum lagi pulang ke peraduannya. Lolongan anjing tetangga pun terdengar begitu meremangkan bebulu sekujur tubuh. Terjaga dalam suasana yang tidak kusuka, bukan mauku. Namun, kelebat bayangmu seolah jauh lebih mengusik. Entah harus bagaimana lagi kutepis seluruh jejak rindu akanmu.
Permainan apalagi yang harus kusajikan pada sekian pasang mata yang diam-diam rajin menyimak tindak-tanduk kita ...? Pun dirimu, selalu saja penuh dengan semilyar kejutan yang kerap membuatku hanya bisa mengukir senyum, meski tak kalah sering jua mencebik penuh gemas. Bila saja mampu, menggigiti bagian tertentu dari tubuhmu ... adalah bentuk puasku, paham?
Desir rindu dalam jiwa begitu menusuk kalbu. Angin resah membawa gulana menerpa setiap titik gelisah dalam raga yang mengharapkan sebuah pertemuan. Entah itu dalam alam nyata atau sekadar bunga dalam buaian. Kelamnya malam adalah saksi bisu atas segala rintihan kesakitan yang berulang kali coba kubelenggu sekuat mungkin.
Setiap rindu adalah terpaan badai elegi yang hanya mereda bila telah datang hujan pemuas haus dahaga. Begitu pun sukma ini, setia membelai seluruh keinginan demi bertahan pada sebuah keyakinan. Walau entah kapan kan terjawab segala pinta.
Bilakah pelangi terbit sehabis hujan sedangkan itu adalah malam gulita? Adalah sebuah keniscayaan yang semakin menipis mengalahkan kabut pagi tatkala kuterjaga pada sebuah masa. Terdongak menatap langit dipenuhi gemintang. Mencoba mencari di antara sekian kejora di sana, adakah hadirmu …?
Pada tetes embun pagi, kusetia menyapu setiap titik air yang tersisa di ujung dedaunan. Berharap akan hadirnya salam teramat merindu darimu akanku …. Hingga kutersadar oleh dinginnya basah yang menyapu wajahku. Menderas hingga tiada dapat kubendung.
Langit biru adalah senyum terindah yang setia menyapaku. Menggantikan sapamu padaku … berpuluh purnama yang telah lalu. Kuterpaku menatap ujung kaki langit, menyaksikan mega berarak memayungi lautan selewatnya saja.
Kasih … benarkah kita seperti itu …?
Awalnya saling mencari dan bertanya tapi akhirnya memilih berlalu ….
Jangan … sekali pun, jangan pernah kau ragukan seluruh gejolak hatiku padamu. Namun, cobalah tanyakan pada satu bilik dalam ruangmu bernama nurani ….
Tersebab aku tetap merajut rasa yang entah ini, meski sendiri, bahkan tiada berbalas … tiada hirauku!
Kau tau, hatiku telah memilih, seyakinnya, sedemikian percayanya ….
Walau tanah kita berpijak teramat berjarak dan berangin besar … tetaplah langit kita masih satu ….
Langit biru di kala pagi, pun gulita di kelam malam.
Pada batas kenisbian, di situlah kita berikrar. Menyadari seluruh onak dan duri tapi tetap saja merangsek maju. Terkadang, memang janji adalah sebuah kebohongan termanis. Namun, yakinlah ... sehancur apa pun kau luntakan diri ini, janji adalah tetap janji. Ia takkan tercuat tersebab nyawaku telah tergadai. Pergilah, sejauh hasratmu menuntun. Aku tetap menanti dalam diam dan selalu sedia membalut segalamu ....
Lantas … apalagi ragumu?
Aku … tetap di sini, pada sudut bilik ruang bernama: rindu tiada terperi … dan membencimu adalah wujud cintaku terdalam …!
Badai (Harus) Segera Berlalu
Musim berangin membawa segala yang tersapu dalam putingan pusaran. Tiada peduli apakah harga terbesar telah terkorbankan untuk seluruh kekacauan yang tercipta. Bilakah terbawa setiap debu-debu harapan dalam tiupan raksasa, adalah bukan lagi sesuatu ternilai.
Dalam amukan segala rasaku, adakah gejolak dalam nuranimu, aduhai kekasih jiwa ...? Tersebab getaran hampaku begitu kuat membelai sanubari, membelesak hingga ke ujung palung hati. Berputar dan terus mencari ... akankah luluh jua kepongahanmu padaku?
Musim berangin itu masih selalu datang, membawa seluruh kekuatan durjana tuk menyapu helai demi helai kepiluan pun elegi yang menyesakkan dada. Entah kapan kesanggupan tetap setia menemani sunyi jiwaku, menanti sekejap saja hirau jujurmu.
Musim berangin, penuh bising dan membuat porak-poranda apa pun yang tersentuh. Namun, Sang Maha Cinta tidak akan berdiam mendengarkan nyanyian pilu yang kian sumbang kulagukan.
Percayalah ... mentari akan segera mewujud. Menerpa setiap wujud rasa, meski terkadang tetap butuh sebatang lilin tuk menerangi sudut kelam. Untuk itu, aku memilih menjadi demikian.
Pergilah, berlalulah, lanjutkan badaimu untuk selain aku ....
Berpisah (Bisa) Bersama Kembali
Pernahkah kau perhatikan arakan mega di langit luas? Berasal dari mana sekumpulan kapas mengandung uap air itu? Adakah yang setia meniupkan uap-uap agar menggumpal menjadi awan-awan indah, kadang pun menghitam?
Menatap cakrawala, selalu saja mengingatkanku pada sosokmu. Ah, tidak. Bukan hanya cakrawala. Melirik pada sekumpulan burung manyar di dahan pohon yang merimbun di hutan kampus pun, tetap membawa lamunanku padamu.
Menyebalkan …!
Betul, sungguh sangat menyebalkan sekali. Namun, apa daya, seluruhku adalah terisi oleh tetesan-tetesan rindu akan hadirmu. Menahan segala ledakan, membelainya dengan sehamparan sabar yang kerap kau lagukan. Jarak telah sedemikian berdepa, bahkan layak berjuluk kilometer. Namun, sedikit saja terdenyut namamu, serasa hadirmu memelukku dalam segala hasrat kehendak semesta.
Menyebalkan …!
Kali kesekian, selalu itu yang kulantangkan dalam palung terjauh hatiku. Tenang saja, sesak siksa ini masih sanggup kurajam dalan lumatan pilu nan menyembilu. Saat berpisah, biarkan saja seluruh lakon berpentas. Tersebab aku menikmati setiap perih dan riang dalam kebersamaan pandang. Menyadari bahwa begitu banyak sekat dan tabir yang takkan sanggup terpecahkan dalam labirin hatimu. Hadirku pun belum tentu hendakmu. Saat rasa hadir tanpa tedeng aling-aling, lantas siapa yang patut tersalahkan? Sungguh tak ingin kumenuai tarung dalam kegaduhan yang hanya akan membawa kepedihan bagiku semata.
Menyebalkan …!
Masih saja … lontaran itu sering menyeruak tanpa permisi. Bagaimana tidak … ada rindu yang masih harus kujaga agar tak berkalang elegi. Walaupun berpisah adalah kenyataan yang tak bisa kupungkiri, tapi hadirmu adalah mega-mega indah dalam cakrawala hatiku. Terkadang menghitam, kala guntur cemburu memercikkan kilatannya. Jangan marah, yaaa. Kau tahu pasti, petirku hanya sekian detik saja, yang seketika sirna kala hujan welas asihmu membasahiku.
Sampai di sini … masihkah hatimu membatu, Sayangku? Apa dayaku selain pasrah ….
Tiada pintaku padamu melainkan kebaikan atas dirimu semata. Selalu jaga seluruh rasamu pada bias-bias mega yang kadang menjadi mendung tak berkesudahan bila diterpa angin kangen. Ada kalanya pula, menjadi secerah mentari ketika sapamu merajai seluruh hari.
Ketahuilah ….
Berpisah, bisa bersama ... meski hanya dalam rasa, apabila dedoa terlangitkan.
Post a Comment for "Membencimu Adalah Wujud Cintaku Terdalam, Kumpulan Prosa Galau Kekasih "
Disclaimer: Semua isi konten baik, teks, gambar dan vidio adalah tanggung jawab author sepenuhnya dan jika ada pihak-pihak yang merasa keberatan/dirugikan silahkan hubungi admin pada disclaimer untuk kami hapus.