Sandiakala Bidadari, Bagian 32, Cinta Terlarang Ini Dosa Siapa?
Novel Cinta Terlarang Ini Dosa Siapa? Sendiakala Bidadari Bagian 32
Novel Cinta Terlarang- Ruang emergency tampak lenggang dan terang berderang pagi itu. Beberapa orang tampak duduk di bangku panjang. Seorang suster terlihat mulai sibuk di meja informasi, melayani pengunjung dan keluarga pasien di rumah sakit. Celline baru sadar dari pingsan mengumpulkan sisa-sisa tenaga tersiksa, duduk di dekat sebuah pintu yang bertulisan “dilarang masuk”.
Angela datang tergopoh-gopoh, panik dan tampak bingung. Ia memang baru enam hari mengenal Urya, entah mengapa ada perasaan aneh dalam dadanya.
“Bagaiman keadaannya, Lin?” tanya Angela ramah.
“Entahlah ....” jawab Celline terbata, air matanya tidak sanggup lagi dibendung. Ia sangat ketakutan kehilangan Urya.
Polisi terlihat datang mendekat untuk mengurus identitas Urya. Celline dengan air matanya memainkan sebuah sandiwara yang sangat berbahaya. Entah apa yang dipikirkan oleh wanita pasundan itu, ia memanipulasi data dan mengaku sebagai istrinya korban.
Beruntung saat tiga hari sebelum kecelakaan, saat Urya bersenang-senang bersama Angela. Karena perasan cemburu, Celline mencari tau semua tentang Urya. Celline juga tau bahwa ada Eva Puspita Sari istri syah Urya di jakarta. Termasuk dokumen-dokumen penting dan surat berharga milik kliennya itu.
“Aku istrinya …,” desah Celline, bingung harus berkata apa. Menatap nanar ke arah pintu yang tertutup. Ia ingin menyerbu masuk, menanyakan keadaan pemuda itu. "Bagaimana aku hidup tanpamu, Aa?"
“Apakah lukanya parah?” Angela mengalihkan pembicaraan dengan risau, pikirannya mencoba memahami dengan kondisi yang terjadi.
“Dokter bilang, cukup parah. Tetapi belum ada kepastian,” ucap Celline tenang.
"Perdarahannya berhenti, Dok!” lapor suster kepala; ada nada harapan di suaranya.
Dokter Nanda cuma bergumam, tetap tekun menjahit luka yang menganga di dahi Urya.
“Jantungnya tetap tidak stabil, Dok!” lapor suster yang lain. Suster kepala menengok ke monitor dan wajahnya langsung tersaput risau.
“C’mon.. C’mon!”, desis dokter Nanda sambil melirik monitor di atas kepala pasiennya,
”Hang in there, buddy!”
Dokter itu berharap agar kemauan hidup pasiennya muncul di saat kritis ini. Jika tidak, ia kuatir pria ini akan tergelincir ke alam coma. Ia belum tau status kerusakan pada otak pasiennya; ia masih berkonsentrasi menstabilkan tubuhnya yang banyak kehilangan darah.
Kalau benturan ke aspal itu sampai menimbulkan luka di jaringan otaknya dan kalau fighting spirit pemuda ini lemah …… Dokter Nanda menggeleng-gelengkan kepalanya.
“C’mon.. C’mon!”, desis dokter Nanda untuk kesekian kalinya,
“Jangan menyerah sekarang, please!”
“Siapkan oksigen ekstra!” perintah dokter Nanda sambil menyodorkan wajahnya ke suster kepala yang dengan sigap melap keringat dari wajah dokter muda itu. Perawat yang lain segera sibuk menjalani perintah.
Terhampar sebuah tanah lapang amat luas berwarna cokelat pekat, demikian luasnya sehingga tidak berujung, sebuah dimensi lain dari dunia ini. Entah dimana? Tanah lapang yang begitu halus lurus-datar sejauh-jauh mata memandang, begitu lembut dipijak kaki dan begitu tipis sehingga tertembus pandang.
Angela datang tergopoh-gopoh, panik dan tampak bingung. Ia memang baru enam hari mengenal Urya, entah mengapa ada perasaan aneh dalam dadanya.
“Bagaiman keadaannya, Lin?” tanya Angela ramah.
“Entahlah ....” jawab Celline terbata, air matanya tidak sanggup lagi dibendung. Ia sangat ketakutan kehilangan Urya.
Polisi terlihat datang mendekat untuk mengurus identitas Urya. Celline dengan air matanya memainkan sebuah sandiwara yang sangat berbahaya. Entah apa yang dipikirkan oleh wanita pasundan itu, ia memanipulasi data dan mengaku sebagai istrinya korban.
Mengaku Sebagai Istrinya
Beruntung saat tiga hari sebelum kecelakaan, saat Urya bersenang-senang bersama Angela. Karena perasan cemburu, Celline mencari tau semua tentang Urya. Celline juga tau bahwa ada Eva Puspita Sari istri syah Urya di jakarta. Termasuk dokumen-dokumen penting dan surat berharga milik kliennya itu.
“Aku istrinya …,” desah Celline, bingung harus berkata apa. Menatap nanar ke arah pintu yang tertutup. Ia ingin menyerbu masuk, menanyakan keadaan pemuda itu. "Bagaimana aku hidup tanpamu, Aa?"
Membawa pikiran Celline kembali kemesraan pada Urya dua hari sebelumnya .....
Ia masih sangat mengingat remasan tangan lelaning jagat pada kecemasan dan kegundahan. Ahh siapa yang sanggup menahan desah dari tarian jemari lembutnya?
Matanya terpejam dalam nikmat melintasi sembilan samudra asmara lewat ujung-ujung jari pria itu. Mendayung lincah menciptakan gelombang dalam dada, bergetar dari ujung jari hingga kepala.
"I love you. I miss you. Jangan tinggalkan aku, Aa."
Apakah masih bisa berenang di sana? Atau membiarkan deru nafas memenuhi leher dan wajah. Lalu Celline membiarkan bibir Urya menciumi inci demi inci kulit seputih kapas itu dengan lembut. Ia membiarkan aliran hangat mengalir, menerobos cepat untuk berlabuh di dadanya.
Neuron-neuron kembali terkoneksi dalam mindanya, seperti adegan film : memfreenze salah satu adegan dalam bingkai rasa kangen yang mengental, menyembur begitu dalam. Bagaimana Celline mampu melupakan bibir itu? Pernah mengulum sepenuh hati. Membuat gugup dan getar membahana, menggelora tidak terkendali .....
“Kamu tidak boleh masuk ke sana,” ucap Angela getir, menahan sesak di dada. Ada rasa cemburu menelusup dalam hatinya, bagaimana mungkin Celline jatuh cinta dengan Urya? Tidak, semua pria tidak dapat dipercaya.
“Iya aku tau. Sangat tau bahkan,” balas Celline begitu saja tanpa mempedulikan perasaan Angela.
“Iya aku tau. Sangat tau bahkan,” balas Celline begitu saja tanpa mempedulikan perasaan Angela.
“Apakah lukanya parah?” Angela mengalihkan pembicaraan dengan risau, pikirannya mencoba memahami dengan kondisi yang terjadi.
“Dokter bilang, cukup parah. Tetapi belum ada kepastian,” ucap Celline tenang.
Badai Bayangan Mencekam
"Perdarahannya berhenti, Dok!” lapor suster kepala; ada nada harapan di suaranya.
Dokter Nanda cuma bergumam, tetap tekun menjahit luka yang menganga di dahi Urya.
“Jantungnya tetap tidak stabil, Dok!” lapor suster yang lain. Suster kepala menengok ke monitor dan wajahnya langsung tersaput risau.
“C’mon.. C’mon!”, desis dokter Nanda sambil melirik monitor di atas kepala pasiennya,
”Hang in there, buddy!”
Dokter itu berharap agar kemauan hidup pasiennya muncul di saat kritis ini. Jika tidak, ia kuatir pria ini akan tergelincir ke alam coma. Ia belum tau status kerusakan pada otak pasiennya; ia masih berkonsentrasi menstabilkan tubuhnya yang banyak kehilangan darah.
Kalau benturan ke aspal itu sampai menimbulkan luka di jaringan otaknya dan kalau fighting spirit pemuda ini lemah …… Dokter Nanda menggeleng-gelengkan kepalanya.
“C’mon.. C’mon!”, desis dokter Nanda untuk kesekian kalinya,
“Jangan menyerah sekarang, please!”
“Siapkan oksigen ekstra!” perintah dokter Nanda sambil menyodorkan wajahnya ke suster kepala yang dengan sigap melap keringat dari wajah dokter muda itu. Perawat yang lain segera sibuk menjalani perintah.
“Perdarahan sudah berhenti. Balut lukanya dengan baik!” perintah dokter Nanda lagi. Phew! desahnya dalam hati. Luka itu begitu mengerikan dan begitu cepat menumpahkan darah. Untung pasiennya termasuk kategori sangat sehat, sehingga masih bisa bertahan.
Sekarang tinggal menstabilkan terus jantungnya. Baru kemudian memeriksa sejauh mana kerusakan di jaringan otak.
“Persediaan darah cukup?” tanya dokter Nanda yang dijawab dengan anggukan suster kepala.
“Good!” kata dokter itu.
“Bawa dia keluar dari ruang operasi. Awasi terus!”
Dokter muda ini harus menangani pasien berikutnya. Ia kini tinggal berharap pasien yang barusan keluar itu tidak terlalu mengalami kerusakan di kepala. Dengan begitu, recovery bisa lebih cepat....
Sekarang tinggal menstabilkan terus jantungnya. Baru kemudian memeriksa sejauh mana kerusakan di jaringan otak.
“Persediaan darah cukup?” tanya dokter Nanda yang dijawab dengan anggukan suster kepala.
“Good!” kata dokter itu.
“Bawa dia keluar dari ruang operasi. Awasi terus!”
Dokter muda ini harus menangani pasien berikutnya. Ia kini tinggal berharap pasien yang barusan keluar itu tidak terlalu mengalami kerusakan di kepala. Dengan begitu, recovery bisa lebih cepat....
Antara Kehidupan dan Kematian
Terhampar sebuah tanah lapang amat luas berwarna cokelat pekat, demikian luasnya sehingga tidak berujung, sebuah dimensi lain dari dunia ini. Entah dimana? Tanah lapang yang begitu halus lurus-datar sejauh-jauh mata memandang, begitu lembut dipijak kaki dan begitu tipis sehingga tertembus pandang.
Ah, ini sebuah tanah lapang yang mengapung-apung dalam ruang kehampaan yang legam-pekat. Urya melihat ke sekelilingnya, mengira-ngira apakah ia di tengah, atau di atas, atau di tepi, atau di mana-mana?
Kemudian ada suara-suara keheningan dan dengung-dengung kebisuan. Urya tersenyum merasakan sekelilingnya seperti merengkuh gemulai, apalagi kemudian sebuah sinar mulai membersit di kejauhan sana. Sebuah sinar yang amat terang sesilau-silaunya mata memandang.
Ah, .. Urya tersenyum lagi karena dari titik membersit itulah datangnya rasa selaksa damai yang mendatangkan teduh. Aneh memang, kebenderangan yang terik itu justru membawa sejuk. Sama anehnya dengan keheningan yang bersenandung ramah. Atau kegulitaan yang menerangkan.
Urya melangkah ke arah sinar itu. Ringan dan santai dan nyaman sekali langkahnya. Riang sekali rasa hatinya, walau sempat ia bertanya: Siapa gerangan di balik sinar itu yang bernyanyi kepadanya begitu menina-bobokkan?
***
“Stabilkan jantungnya. Cepat!” sergah dokter Nanda. Para suster bergerak tiga kali lebih cepat. Sigap sekali gerak mereka, hasil pengalaman beratus kali menangani berbagai kasus darurat.
“C’mon.. C’mon!”, desis dokter Nanda sambil melirik monitor di atas kepala pasiennya,
“Jangan menyerah sekarang, please!”
Dentang-denting gunting dan berbagai peralatan memenuhi ruang operasi yang terang berderang tetapi mencekam itu. Walau sudah berkali-kali ikut dalam operasi seperti ini, suster kepala terkadang ikut tegang juga.
Apalagi kalau pasiennya pria dewasa seperti yang sekarang tergeletak di meja di depannya. Betapa sayangnya kalau tubuh tegap penuh vitalitas itu harus kehilangan roh segagah itu. Padahal, pasti banyak tanggung jawab yang dipikulnya dalam hidup.
***
Kemudian ada suara-suara keheningan dan dengung-dengung kebisuan. Urya tersenyum merasakan sekelilingnya seperti merengkuh gemulai, apalagi kemudian sebuah sinar mulai membersit di kejauhan sana. Sebuah sinar yang amat terang sesilau-silaunya mata memandang.
Ah, .. Urya tersenyum lagi karena dari titik membersit itulah datangnya rasa selaksa damai yang mendatangkan teduh. Aneh memang, kebenderangan yang terik itu justru membawa sejuk. Sama anehnya dengan keheningan yang bersenandung ramah. Atau kegulitaan yang menerangkan.
Urya melangkah ke arah sinar itu. Ringan dan santai dan nyaman sekali langkahnya. Riang sekali rasa hatinya, walau sempat ia bertanya: Siapa gerangan di balik sinar itu yang bernyanyi kepadanya begitu menina-bobokkan?
***
“Stabilkan jantungnya. Cepat!” sergah dokter Nanda. Para suster bergerak tiga kali lebih cepat. Sigap sekali gerak mereka, hasil pengalaman beratus kali menangani berbagai kasus darurat.
“C’mon.. C’mon!”, desis dokter Nanda sambil melirik monitor di atas kepala pasiennya,
“Jangan menyerah sekarang, please!”
Dentang-denting gunting dan berbagai peralatan memenuhi ruang operasi yang terang berderang tetapi mencekam itu. Walau sudah berkali-kali ikut dalam operasi seperti ini, suster kepala terkadang ikut tegang juga.
Apalagi kalau pasiennya pria dewasa seperti yang sekarang tergeletak di meja di depannya. Betapa sayangnya kalau tubuh tegap penuh vitalitas itu harus kehilangan roh segagah itu. Padahal, pasti banyak tanggung jawab yang dipikulnya dalam hidup.
***
Angela menghela nafas, memenuhi rongga dada. Ia tengah dalam pertarungan batin melihat perubahan pada diri Celline.
Apakah harus bahagia karena lelaki yang disukai Celline kecelakaan? Jika Urya pergi untuk selamanya tentu Angela tidak akan kehilangan Celline.
Apakah justru bahagia karena seseorang yang disayangi akhirnya menemukan lelaki pujaan hatinya? Demikian seharusnya jalan benar harus ditempuh.
Bagaimanapun juga menciptakan kebahagiaan sendiri dengan melawan hukum alam semesta pada akhirnya menyisakan kecewa. Akan tetapi kehilangan orang yang disayangi juga menyakitkan. Apa yang akan terjadi? Next ..
Jangan lupa baca cerita menarik lainya di forum cerpen, novel online atau story. Jika suka dengan karya-karya kami boleh berikan dukungannya.
Sahabat pembaca bijak meninggalkan jejak dan terimakasih.
Post a Comment for "Sandiakala Bidadari, Bagian 32, Cinta Terlarang Ini Dosa Siapa? "
Disclaimer: Semua isi konten baik, teks, gambar dan vidio adalah tanggung jawab author sepenuhnya dan jika ada pihak-pihak yang merasa keberatan/dirugikan silahkan hubungi admin pada disclaimer untuk kami hapus.