Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Ayah Akulah Putrimu, Sejuta Cinta Mama Muda

Event Menulis Cerpen Sejuta Cerita Cinta Mama Muda





Based on true story dari salah satu sahabat online yang kini telah berpulang kepada-Nya


Jika seseorang menorehkan luka di hatimu, memaafkan adalah penawarnya, agar kau tak tersiksa dengan bara dendam, karena sesungguhnya Alloh pun Maha Pengampun dosa dan khilaf yang kita buat.

Ayah Akulah Putrimu 


Langit Bandung sore ini begitu indah, setelah beberapa jam yang lalu menumpahkan hujan yang begitu derasnya. Jalanan dan dedaunan masih basah tertimpa airnya. Udara terasa sejuk, sesejuk hati dan perasaan Dinda yang tengah berkumpul dengan keluarga kecilnya, suami tercinta dan kedua buah hati tersayang mereka, Nurul dan Raffa. 

Mereka tengah menonton tv di ruang keluarga ditemani teh manis hangat dan pisang goreng buatan Dinda. Sambil menyuapkan pisang goreng ke dalam mulutnya, Dinda menatap lekat-lekat lelaki yang duduk di sampingnya, Mas Anwar, suaminya.



Dia bersyukur dipertemukan dengan lelaki yang sudah hampir 15 tahun menemani hari-harinya, bersama mengarungi bahtera rumah tangga dan juga memberinya seorang putri berumur 10 tahun dan seorang putra berumur hampir tiga tahun, buah hati mereka, kesayangan dan kebanggaan bagi mereka. 

Lelaki inilah yang hadir dan mewarnai kehidupannya, bagai pelangi yang muncul setelah hujan, lelaki yang sanggup membuka hatinya yang dipenuhi kebencian terhadap kaum lelaki. Satu-satunya lelaki yang mampu meyakinkan Dinda bahwa tidak semua laki-laki membuat luka hati perempuan.

 Lelaki yang telah menghapus luka hati Dinda dengan cinta dan kasih sayang yang tulus dia perlihatkan.

Ya, hati Dinda pernah amat sangat terluka, sakit sekali, dialah penyebabnya. Pak Bambang, lelaki yang Dinda sebut ayah, yang seharusnya menjadi pelindung untuk Dinda dan Bu Lastri, ibunya. Dia memilih pergi dari kehidupan mereka, meninggalkan Bu Lastri dan Dinda, darah dagingnya yang masih berusia lima tahun. Dia lebih memilih menceraikan Bu Lastri dan menikahi perempuan lain, melupakan mereka, bagian dari hidupnya, meninggalkan mereka tanpa jejak, tanpa kabar, tanpa nafkah pula.

 Dia benar-benar hilang dari kehidupan mereka. Setelah Dinda hampir lupa dengan rupa wajah ayahnya, tiba-tiba sosok lelaki itu kembali hadir, membuat luka hati Dinda kembali menganga.

Berpamitan ke Jakarta 



“Bu, Lastri titip Dinda ya,” ucap Bu Lastri pada ibunya, Bu Ningrum, membuat wanita itu mengernyitkan dahi dan bertanya keheranan, “Memangnya kamu mau kemana, Las?” 
“Lastri mau ke Jakarta Bu, cari pekerjaan, kalau nanti Dinda sudah mulai bersekolah, dia pasti butuh biaya banyak,” Bu Lastri menjawab keheranan ibunya.

 “Memangnya disana ada lowongan, Las?”
 “Ada Bu, tadi Lastri baca iklan di koran, di sebuah pabrik boneka, kebetulan lagi membutuhkan tenaga kerja, Lastri mau melamar jadi sewing disana, sekalian mempraktekkan hasil Lastri ikut kursus menjahit, doakan Lastri ya Bu semoga diterima,” jawab Bu Lastri sambil menatap lurus ke depan halaman rumah.

Bu Ningrum mengangguk seolah memahami apa yang sedang dipikirkan Lastri, putrinya. Bu Lastri ingin mencari kegiatan sebagai pelipur laranya, setelah ditinggalkan suaminya. 

“Pasti ibu doain Nak, tanpa kamu minta pun, tapi hati-hati ya disana, jaga diri baik-baik di kota orang, apalagi kamu seorang perempuan, jangan lupa shalat, ngaji, oh ya, kapan rencananya berangkat kesana?" ucap Bu Ningrum menasehati putrinya.

 “Inshaa Alloh besok Bu, iya Bu Lastri akan selalu ingat pesan ibu.”

Esoknya, pagi-pagi sekali, Bu Lastri berpamitan pada Bu Ningrum, ibunya, “Bu, Lastri pamit ya, maaf kalau Lastri merepotkan, ibu harus ngurus Dinda yang baru berumur lima tahun, belum lagi harus ngurus nek Ningsih yang lumpuh total,” ucap Bu Lastri pada ibunya, sambil mencium tangan wanita terkasihnya itu. 

“Gak apa-apa Nak, Dinda anak yang baik dan penurut, hati-hati disana ya, Nak, kabari ibu segera, diterima atau tidaknya kamu di pabrik itu.” Lastri mengangguk dan segera melangkahkan kaki, menuju ke kota yang dituju.

Jakarta, tempatnya mengadu nasib, semoga disana kehidupan akan lebih baik, harapnya dalam hati.

Bu Ningrum melepas kepergian putrinya dengan mata yang berkaca-kaca. Pandangan matanya tertuju pada putrinya yang semakin lama langkah kakinya semakin menjauh dari rumah, hingga kemudian hilang di ujung gang. 

Bu Ningrum kemudian menghampiri cucunya, Dinda yang masih tidur terlelap dan mencium lembut keningnya, ada setitik air jatuh di pelupuk matanya.

“Semoga nasibmu beruntung ya, cu, lebih baik dari ibumu,” gumamnya

Menjadi Buruh Pabrik 


Sudah dua bulan lamanya Bu Lastri bekerja di pabrik boneka di Jakarta, sudah dua kali pula dia pulang ke Bandung menemui ibunya, Bu Ningrum, putrinya Dinda, dan Nek Ningsih, neneknya yang mengalami kelumpuhan total dan harus selalu menghabiskan waktunya di kursi roda. 

Memang, setiap sehabis gajian, Bu Lastri selalu menyempatkan diri pulang ke Bandung menemui keluarga tersayangnya. Seperti siang ini, dia baru saja tiba dari Jakarta membawa oleh-oleh untuk keluarga tercintanya serta membawa sejumlah uang untuk kebutuhan keluarga.

Tak terasa Dinda sudah berumur tujuh tahun dan sekarang sudah bersekolah di salah satu Sekolah Dasar Negeri yang ada di kota Bandung, dekat tempat tinggal neneknya. Saat ketiga perempuan beda generasi ini sedang duduk-duduk santai di teras rumah, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara tangis Dinda yang baru saja pulang dari sekolah. 

“Cu kenapa datang-datang kok nangis?” tanya Bu Ningrum, bukannya menjawab, yang ditanya malah menggeleng.

“Dinda sakit? Makan dulu yuk terus minum obat,” kata Bu Lastri sambil meraba dahi putrinya. Untuk kedua kalinya Dinda menggeleng sambil terus menangis.

 “Lalu kenapa nangis? Ada yang menjahili?” Bu Ningrum kembali bertanya dengan kuatir. Setelah tangisnya agak mereda, Dinda mulai membuka suara.

“Dinda tadi malu Bu, Nek, diejek sama teman-teman anak yatim, anak yatim, gitu, hu...hu...hu,” kembali Dinda menangis.

 Ibu dan neneknya saling berpandangan, mereka tak tahu harus menjelaskan apa pada Dinda. 

“Dinda benci ayah, kenapa ayah tega meninggalkan kita Bu? Dinda jadi malu main sama teman-teman, Dinda malu diejek terus,” kata Dinda di sela-sela isak tangisnya. Mereka menatap Dinda dengan pandangan iba, tak satu pun mampu berkata-kata.

Tiba-tiba Dinda masuk ke kamar ibu dan mengambil semua foto ayahnya yang disimpan di laci. Kemudian dia mengambil korek api dan membakar foto-foto itu tanpa ada yang tersisa, hanya sekejap saja wujudnya telah berubah menjadi abu. 

Bu Lastri dan Bu Ningrum terbengong-bengong menyaksikan pemandangan di hadapan mereka yang hanya terjadi sekejap mata saja. Sejak membakar foto-foto ayahnya, Dinda tak mengenal lagi seperti apa wajah ayahnya. Yang dia ingat, ayahnya adalah lelaki yang telah membuat luka di hatinya.


Terbiasa dengan Buliying 



Waktu terus berputar, Dinda sekarang sudah kelas tiga SD, dia sudah tidak peduli lagi dengan ejekan-ejekan dari teman-temannya di sekolah, sepertinya dia sudah terbiasa dengan itu....

Hanya di sekolah, dia menjadi sosok yang pendiam. Saat istirahat tiba, dia lebih suka menghabiskan waktu dengan membaca buku cerita atau majalah bobo daripada bermain dengan teman-teman sebayanya. Dia lebih memilih menyepi dan sendiri, bicara pun seperlunya, dia mau bermain hanya jika ada teman yang mengajak.

Suatu hari, sepulang sekolah, Dinda mendapati ada seorang lelaki seumuran ibunya sedang duduk di ruang tamu. Setelah mengucapkan salam, dia mencium tangan lelaki itu, karena kebiasaan inilah yang diajarkan nenek dan ibu padanya, jika bertemu dengan orang yang lebih tua.

 “Baru pulang sekolah, Nak? Gak kerasa kamu sudah sebesar ini ya, ini ada sedikit uang buat jajan,” ucapnya pada Dinda sambil memberikan selembar uang lima puluh ribuan. 

Dinda menerimanya dengan ragu-ragu, pelan sekali dia mengucapkan terima kasih.

Esoknya, lelaki itu datang lagi, kali ini membawa beberapa baju dan makanan buat Dinda. Dia jadi merasa heran, siapa sebenarnya lelaki itu? 

Saat mereka tengah makan siang bersama, Dinda bertanya pada neneknya, ingin mendapat jawaban dari rasa penasarannya.

“Nek, om baik yang akhir-akhir ini sering datang ke rumah itu siapa ya? Gak kenal tapi banyak ngasih ke Dinda,” neneknya hanya bungkam, tak bersuara sedikit pun.

 “Nek kok diam, memangnya dia itu siapa?”
 Dinda kembali bertanya.

 “Cerewet banget sih kamu, makan ya makan, jangan pake ngomong segala, mau tahu dia itu siapa? Dia itu Pak Bambang, ayah kandung kamu!” jawab Sundari tante Dinda, adik dari ibu yang kebetulan sedang singgah ke rumah nenek. 

Entah mengapa tante Sundari itu sikapnya selalu galak pada Dinda. “Ndari, sudah, omongannya kok gak dijaga!” tegur nenek pada tante. 

“Gak apa-apa kan Bu, sudah saatnya dia tahu siapa ayahnya, biar dia gak harus tinggal disini terus, nyusahin ibu aja, suruh ayah dan ibu tirinya yang ngurus dia!” ucapan tante membuat hati Dinda sakit, dia berlari ke kamar sambil menangis.

Nenek menghampiri Dinda yang tengah menangis di kamar, “Sabar ya, cu, nenek selalu mendoakan yang terbaik buatmu, gak usah denger apa kata orang, yang penting kamu harus rajin belajar, terutama ilmu agama, buat bekal kamu di dunia dan di akhirat, kalau kamu dekat sama Alloh, kamu pasti jadi orang sukses,” kata nenek sambil mengelus lembut punggung Dinda.

 Di sela isak tangisnya, Dinda berkata, “Nek, kalau besok dia kesini lagi, nenek bilangin ya, gak usah datang-datang lagi, Dinda gak mau ketemu dia, cuma bikin sakit hati Dinda."

 Nenek hanya menghela nafas mendengar ucapan cucu tersayangnya itu. Sejak saat itu Pak Bambang tak pernah muncul lagi di rumah nenek.

***

Pengumuman kelulusan kelas enam pun tiba, Dinda mendapat nilai ujian tertinggi di sekolahnya. Berkali-kali Dinda berucap syukur atas prestasi yang dia raih. Dinda merasa terharu ketika teman-teman yang mem bully nya dulu, satu persatu menyalami dia dan mengucapkan selamat. Sepulang sekolah, Dinda disambut hangat oleh nenek dan ibunya yang kebetulan pulang.

“Alhamdulillah, selamat ya, cu, nenek bangga atas prestasimu, nenek mau mendaftarkan kamu ke pesantren, cu, biar memperdalam ilmu agama dan kelak jadi istri sholehah buat suami kamu,” kata nenek sambil memeluk Dinda. 

“Iya Dinda mau saja, pendidikan pesantren itu bagus, dapat ilmu agama dan ilmu pengetahuan juga, jangan pikirkan biayanya, ibu masih sanggup Nak menanggungnya,” ibu menambahkan.

Mendengar ucapan ibu, Dinda menggeleng, Dinda kasihan sama ibu yang harus sendirian membanting tulang di kota metropolitan untuk membiayainya, sementara itu biaya pesantren lumayan mahal bagi mereka yang kehidupan ekonominya menengah ke bawah alias pas-pasan. 

“Gak usah, bu, nek, Dinda mau ikut ibu saja ke Jakarta, gak apa-apa disana tinggal di rumah kontrakan juga,” nenek menatap Dinda lekat-lekat.

“Benar cu, kamu mau ikut sama ibumu?” 

Dinda mengangguk mantap.

“Ya sudah nenek gak akan memaksa kalau memang maumu begitu cu, tapi Las, nanti disana masukkan Dinda ke Madrasah Tsanawiyah, biar belajar agamanya lebih banyak, sayang banget kalau harus di sekolah umum, ibu kuatir dia lupa pelajaran agama yang sudah didapatnya, karena disini sehabis pulang sekolah, sorenya dia pasti ibu suruh mengaji, pintar loh Las anakmu ini agamanya, jadi sumber jawaban buat teman-temannya,” ucap nenek panjang lebar. 

“Iya Bu, Lastri janji, disana dia mau Lastri daftarkan ke MTs.”

Masuk Madrasah Aliyah 


Setamat MTs, Dinda sangat ingin melanjutkan sekolah ke jenjang Madrasah Aliyah atau disebut SMA di sekolah-sekolah umum. Bersamaan dengan itu, pabrik tempat ibu bekerja mengalami kebangkrutan, ibu dan sejumlah karyawan pabrik di PHK, alhasil ibu sudah tak sanggup membiayai sekolah Dinda. 

“Bu, boleh gak Dinda minta dibiayai sama ayah?” tanyanya pada ibu. 
“Jangan temui ayahmu Nak, dia sudah bahagia dengan keluarga barunya, ibu yakin dia tidak akan suka kau temui,” 
“Bu, Dinda juga anaknya, darah dagingnya, bukankah kewajiban dia sebagai ayah kandung, membiayai anaknya?”

Ibu tak mampu menolak permintaan Dinda, ia menyerahkan secarik kertas berisi alamat rumah ayah pada Dinda, “Baiklah jika kamu memaksa, ini alamat rumah ayahmu di Bandung, semoga dia senang bertemu denganmu,” ucap ibu dengan sedikit ragu. Esoknya Dinda pamit pada ibu, menemui ayahnya di Bandung, dengan harapan mendapat uang untuk biaya sekolahnya.

Sesampainya di rumah ayah, benar saja ucapan ibu, ayah sepertinya tak suka dengan kehadiran Dinda, sikapnya dingin, begitu juga dengan istri barunya. Setelah mengutarakan maksud kedatangannya, tak disangka jawaban yang Dinda terima dari ayahnya membuat hatinya sakit.

 “Ngapain kamu sekolah tinggi-tinggi, yang namanya perempuan itu mau sekolahnya sampai sarjana juga tetap nantinya jadi ibu rumah tangga.” 

Sejak dia menemui ayahnya, rasa benci terhadap lelaki itu semakin besar, Dinda jadi bersikap dingin dan hatinya tertutup rapat untuk kaum lelaki, baginya semua lelaki sama saja, hanya membuat luka bagi makhluk tak berdaya, perempuan, seperti dia.

Sejak ayahnya menolak membiayai sekolah, Dinda mulai mencari pekerjaan kesana-kemari dan ikut kursus menjahit, seperti ibunya waktu itu. Alhamdulillah dengan adanya kegiatan yang dia jalani, hatinya tidak begitu merasakan sakit, walaupun dia harus putus sekolah, dia terima dengan hati yang lapang dan ikhlas.

Ijin Membina Rumah Tangga 


Di sebelah kontrakan yang ditempati ibu dan Dinda, ada penghuni baru, Anwar namanya. Sudah seminggu lamanya dia menempati rumah kontrakan di samping kontrakan Dinda dan ibunya. Dia sering menyapa ibu dan Dinda.

 Hampir setiap sore sepulang bekerja, Anwar suka singgah ke kontrakan Dinda dan ibunya serta membawakan makanan untuk mereka. Hati Dinda yang semula tertutup dan dingin terhadap lelaki, entah mengapa hatinya bisa begitu saja menerima dengan terbuka kehadiran Anwar, sang tetangga baru. 

Anwar sosok yang enak diajak bicara, tutur katanya lembut, tidak gombal, tidak penuh dengan janji-janji yang muluk-muluk, namun tegas.

Anwar mampu mencairkan hati Dinda yang sebeku es. Anwar mampu meyakinkan hati Dinda bahwa dia tidak akan melukai hati Dinda, Anwar mampu menunjukkan kasih sayang yang tulus padanya sehingga Dinda yakin, Anwar lah lelaki yang tepat untuknya.

 Setelah tiga bulan lamanya berkenalan, di sore yang cerah itu, Anwar berkata pada ibu, “Umi (panggilan Anwar pada ibu Dinda), Dinda nya buat saya saja ya, saya akan jaga dia baik-baik,” ucapan Anwar mampu membuat pipi Dinda bersemu merah dan jantung berdebar tak karuan. “Ibu sih terserah Dinda saja,” jawab ibu sambil tersenyum dan menatap ke arah Dinda yang sedang tersipu.

Meminta Restu Pernikahan 


Untuk kedua kalinya Dinda melangkahkan kaki ke rumah ayahnya. Walau sebenarnya ia enggan dan langkahnya terasa berat, namun mengingat esok adalah hari pernikahan Dinda dan Anwar, ayah kandungnya adalah wali yang wajib hadir menyaksikan pernikahannya.

 Lagi-lagi jawaban ayahnya membuat hati ini bagai tersayat pisau, “masih muda kok sudah mau nikah? Kamu mau kayak ayahmu ini mengalami kegagalan berumah tangga, lagian ya, kamu itu kalau dilihat-lihat, ingat ayah kalau lagi butuh duit doang, waktu itu minta buat sekolah, sekarang pasti minta duit buat biaya nikah ya? Kalau begitu gak usah temui ayah lagi deh!”

Ya Alloh, mengapa ayah seperti membenci Dinda? Seolah-olah Dinda adalah anak yang tidak diakui dan tidak diharapkan kehadirannya oleh ayahnya sendiri. Padahal dia kelihatan sayang pada dua anak lelakinya dari istri barunya. Ingin rasanya hati ini menjerit, ayah Dinda juga anak ayah punya hak yang sama dengan mereka, ingin pengakuan dari ayah, ingin kasih sayang dari ayah juga, Dinda pernah baca di timeline facebook milik ayah, ayah membuat status, ingin punya anak perempuan.

 Dinda kan anak perempuan ayah, mengapa ayah seperti tidak mengakuinya, tidak peduli terhadapnya?





Esoknya hari pernikahan Dinda dan Anwar pun berlangsung, tak disangka ayahnya hadir menjadi wali dalam pernikahan mereka. Walau hati Dinda masih sakit atas perkataan-perkataan ayah padanya, namun dalam hati dia berucap syukur dan berterima kasih ayahnya telah hadir. Walau bagaimana pun, tanpa ayahnya, dia tak mungkin terlahir ke dunia ini.

Sejak hari pernikahan itu, Dinda tak pernah lagi menemui ayahnya, begitu pula dengan ayah, tak pernah sedikit pun mengabarinya. Biarlah ayah tenang dan senang dengan keluarga barunya, Dinda pun demikian, bahagia dengan keluarga kecilnya, dan hal ini membuatnya secara perlahan-lahan mampu mengikis luka di hatinya.

Ayah...

Tak mengapa seolah kau tak menganggapku ada
Walau hati berkata
Ingin sedikit pengakuan darimu
Namun
Jika boleh ku meminta
Beri anak-anakku
Setitik cinta, kasih sayang, dan perhatianmu
Agar kelak cucu-cucumu mengenang tentangmu
Sebagai sosok baik hati
Bak superhero idola mereka
Tidak seperti diriku


Author, Teh Icus, Penulis Fiksi 


6 comments for "Ayah Akulah Putrimu, Sejuta Cinta Mama Muda "