Cerpen : Bukan Sekedar Berbagi Gundah, Sejuta Cinta Mama Muda
Event Menulis Cerpen Sejuta Cerita Cinta Mama
Cerita Singkat- Siapa yang tak ingin segera berbagi dengan orang lain saat hatinya gundah, kecewa atau bahkan saat tersakiti? Apalagi jika ia seorang wanita. Tapi, apakah setiap urusan hati harus dibagi? Bisa saja, mereka yang khusyu mendengar curhat ini, sedang menahan perih di dalam hatinya sendiri.
Reva bergegas memasukkan beberapa helai pakaian kedalam tas, setelah deru motor yang dibawa suaminya tak terdengar lagi. Rendi memang selalu sibuk dengan pekerjaan, pergi pagi dan pulang malam adalah menu yang sudah ditelan Reva hingga mau muntah.
Seperti makanan yang bikin eneg tapi harus ditelan karena tak ada pilihan lain, hingga wanita jelita ini benar-benar bosan dan ingin mengeluarkan semua yang masuk kedalam lambung. Adalah Vanny, sahabat Reva yang menjadi tujuannya saat ini. Ya, Reva ingin segera berbagi dengan sahabatnya itu, atas rasa bosan karena kurang perhatian dari Rendi.
Vanny adalah sahabat Reva saat SMA dulu, hanya saja dia tidak seberuntung Reva dalam hal ekonomi. Tapi dengan keadaan itu, Vanny tetaplah menjadi sahabat yang tulus, penuh perhatian, sabar dan sederhana.
Hal inilah yang nembuat Reva selalu nyaman saat curhat tentang apapun pada Vanny, bahkan hingga dalam urusan rumah tangga.
"Bik, tolong jaga adik ya, saya pergi dulu," ucap Reva pada wanita setengah baya yang sudah tiga tahun menjadi pengasuh untuk putranya.
"Iya Bu," jawab Bi Inah.
Reva segera meletakkan tasnya di atas motor matic, motor sebagai hadiah dari Rendi saat ultah pernikahan ke-2. Diatas kuda besi warna merah itu dirinya menyusuri jalanan menuju rumah sahabat.
Pertengkaran dengan Rendi semalam membuat Reva nekat ingin pergi dari rumah, untuk sehari atau dua hari. Sebagai wanita, ia merasa tidak dihargai, karena suaminya selalu mementingkan pekerjaan.
"Reno, anter tante beli es krim ke toko depan yuk," ajak Reva pada Reno dan Afik yang disambut bahagia oleh kedua bujang kecil itu.
"Jangan Rev, nanti ngrepotin kamu," cegah Vanny tiba-tiba.
"Ga apa lah, lagian kan aku udah lama banget ga main kesini," jawab Reva.
"Reno, Afik, ayok ikut tante sebentar." Reva berdiri sambil mengulurkan tangan. Kedua bocah itu berdiri dan memandang Bundanya seolah memohon, lalu menggandeng tangan Reva setelah Vanny mengisyaratkan sebuah anggukan.
"Rev, jangan belikan jajan yang banyak ya, nanti kebiasaan."
"Reno dan Afik, nurut sama tante ya, jangan nakal," ucap Vanny menasehati kedua putranya.
"Oke Bunda, siap." Dua bocah segera nangkring diatas motor dan siap meluncur bersama Reva.
Selang sepuluh menit, mereka bertiga sudah sampai di depan minimarket. Reva berencana membelikan es krim dan cemilan untuk anak-anaknya Vanny. Tapi ternyata ditolak oleh Reno, Reno hanya mau es krim saja.
"Loh kenapa? Kok ga mau dibeliin jajan?" tanya Reva heran.
"Ga usah Tante, nanti ngrepotin." Jawab Reno mantap, karena sesuai pesan Bundanya, bahwa kalau beli jajan cukup satu macam saja, agar lebih hemat dan uangnya bisa untuk jajan dilain kesempatan.
"Tante ga repot kok," ucap Reva.
"Ini aja Tante, kata Bunda kita ga boleh jajan banyak-banyak," ucap Reno polos. Begitu juga Afik, hanya mau jajan satu macam saja.
Reva terharu, betapa anak dari sahabatnya ini lebih dewasa dari usianya.
"Ya udah, kita beliin sesuatu buat Bunda aja ya, Kira-kira Bunda suka cemilan apa ya Ren?" tanya Reva sambil memilih beberapa produk yang berjajar rapi di rak supermarket. Tapi yang ditanya tak menyahut, mereka diam saja.
"Bunda dibeliin keripik sama kue aja ya Ren, yuk sini pilihin camilan buat Bunda." Reva menarik pelan tangan Reno, berharap dia mau membantu memilih camilan untuk Vanny. Tapi Reno menggeleng, tak mau membantu memilih camilan yang berjajar rapi di rak
"Itu saja Tante," ucap Reno lirih sambil menunduk, seolah ragu. Jari telunjuknya mengarah ke tumpukan beras yang disusun di dekat rak mainan.
"Beras?" tanya Reva heran.
"Iya tante, Bunda ga punya beras." Jawaban itu membuat dada Reva deg-degan. Ga tahu harus bilang apa, tapi Reva tetap tenang sambil tersenyum.
"Emangnya, beras di rumah Reno habis?" tanya Reva hati-hati.
"Iya Tante, kata Bunda hari ini kita tidak masak karena beras habis, kemarin bunda masih bisa masak bubur untuk Reno dan Adik, kata Bunda karena berasnya tinggal sedikit," ucap Reno pelan, yang diikuti anggukan oleh Afik.
Ya Alloh, Reva bahkan tak pernah tahu jika sahabatnya itu sedang kesulitan ekonomi, bahkan kesulitan untuk makan.
Reva segera memasak kesukaan suaminya itu, membersihkan seluruh sudut rumah dan berdandan cantik untuk menyambut kepulangan Rendi.
Hingga waktu yang ditunggu telah tiba. Rendi merasa heran karena ada yang berbeda di rumah. Rumah lebih rapi, istri berdandan cantik dan ada aroma enak yang menguar dari atas meja makan. Reva hanya senyum-senyum melihat reaksi Rendi.
"Sana Mas, mandi dulu, biar ganteng," kata Reva sambil tersenyum malu dan menggandeng Rendi menuju kamar mandi.
"Ya Dik." Rendi menjawab tanpa banyak bertanya, meski dalam hati bertanya-tanya ada apa? Ada acara apa? Tapi sepertinya lebih baik diam. Bukankah ini lebih baik dari pada setiap hari bertengkar, batin Rendi.
Rendi duduk di kursi makan bersama Reva. Reva mengambilkan makan dan minum, dan mereka menikmati makan malam bersama. Makan malam yang berbeda dari biasanya. Suasana romantis lebih terasa malam ini.
"Mas, aku minta maaf ya." Reva memulai percakapan.
"Iya Dik, Mas sudah memaafkanmu kok," jawab Rendi.
"Harusnya aku bersyukur, atas rejeki keluarga kita Mas, bukan ...." Reva tak sempat melanjutkan ucapannya, Rendi buru-buru memutus ucapan Reva.
"Maafkan Mas juga ya, kita lupakan yang sudah terjadi." Rendi berkata demikian, ia tak mau suasana romantisnya berubah jadi melow.
Mereka berdua benar-benar ingin menikmati suasana yang telah lama tidak tercipta. Rendi menggandeng Reva masuk ke kamar dan berbagi bahagia disana. Untunglah Alif tidur lebih awal dan tidak rewel.
Suara kokok ayam membangunkan Rendi dan Reva, Reva melepaskan pelukan suaminya sambil beranjak. Rendi pun ikut terbangun, dan segera membersihkan diri ke kamar mandi.
"Dik ini tas besarnya kok diluar? Kamu mau kemana?" tanya Rendi yang melihat tas yang biasanya digunakan untuk mereka saat keluar kota.
"Ga kok mas, kemarin Adik lihat tasnya kotor, jadi mau di loundry," jawab Rena sambil menahan tawa. Masa iya mau bilang kalau kemarin Reva ingin kabur, kan malu.
"Oh." Rendi hanya menjawab sekadarnya saja.
"Mas, tolong tanyain atasannya mas dong, ada lowongan kerja ga gitu," pinta Reva.
"Lowongan buat siapa? Kamu ingin kerja?"
"Enggak lah Mas, buat suaminya Vanny."
"Kayaknya ada Dik, tapi cuma penjaga kantor aja."
"Ya udah gapapa, nanti saya kabari Vanny dulu,"
"Kalau mau lho ya, kamu jangan maksa," ucap Rendi.
Rendi bersiap untuk berangkat kerja, sementara Reva menyiapkan sarapan sambil menjaga Alif, sebelum pengasuhnya datang.
Reva mengabari Vanny jika dikantor suaminya ada lowongan pekerjaan dan disambut bahagia oleh Vanny dan suaminya. Sampai akhirnya suami Vanny tidak menganggur lagi.
Seminggu berikutnya, Reva datang ke rumah Vanny, tapi kali ini Reva tidak curhat lagi. Reva tidak mau berbagi cerita kehidupan rumah tangganya pada orang lain. Karena setiap orang pasti memiliki masalah masing-masing.
"Yakin Rev, kamu kesini ga curhat lagi?" Vanny heran.
"Yakin Van, aku mau berbagi bahagia saja sama kamu," jawab Reva sambil mengeluarkan sesuatu dari kantong plastik.
"Nih, aku beliin jilbab buat kamu, ini kembaran sama aku loh," kata Reva.
"Ya Alloh ini bagus bamget, makasih ya Rev," jawab Vanny. Mereka pun berpelukan. Reva pun sadar, bahwa sahabat bukan hanya tempat berbagi gundah.
The End
Author: Beti Athina
Bio narasi: Hallo gaes, ane ibu rumah tangga dengan 2 putri. Ane asli dari Magelang,Jateng. Ane hobbi ngerusuh dan rebahan.
Reva bergegas memasukkan beberapa helai pakaian kedalam tas, setelah deru motor yang dibawa suaminya tak terdengar lagi. Rendi memang selalu sibuk dengan pekerjaan, pergi pagi dan pulang malam adalah menu yang sudah ditelan Reva hingga mau muntah.
Vanny adalah sahabat Reva saat SMA dulu, hanya saja dia tidak seberuntung Reva dalam hal ekonomi. Tapi dengan keadaan itu, Vanny tetaplah menjadi sahabat yang tulus, penuh perhatian, sabar dan sederhana.
Hal inilah yang nembuat Reva selalu nyaman saat curhat tentang apapun pada Vanny, bahkan hingga dalam urusan rumah tangga.
"Bik, tolong jaga adik ya, saya pergi dulu," ucap Reva pada wanita setengah baya yang sudah tiga tahun menjadi pengasuh untuk putranya.
"Iya Bu," jawab Bi Inah.
Reva segera meletakkan tasnya di atas motor matic, motor sebagai hadiah dari Rendi saat ultah pernikahan ke-2. Diatas kuda besi warna merah itu dirinya menyusuri jalanan menuju rumah sahabat.
Pertengkaran dengan Rendi semalam membuat Reva nekat ingin pergi dari rumah, untuk sehari atau dua hari. Sebagai wanita, ia merasa tidak dihargai, karena suaminya selalu mementingkan pekerjaan.
Bahkan saat hari libur, Reva tak pernah diberi perhatian lebih. Ia merasa seperti tanaman yang dibiarkan begitu saja, tanpa disiram atau dipupuk.
Ah, Rendi memang menyebalkan dan tidak peka, istrinya yang cantik itu dibiarkan begitu saja tumbuh di padang tandus, diberi kemewahan tanpa kasih sayang.
Reva menggigit bibir, nyeri di dada masih terasa berdenyut. Berkali-kali berdebat tentang pekerjaan yang tak mengenal waktu, tapi selalu buntu. Rendi selalu berdalih bahwa dia bekerja untuk siapa? Dan Reva selalu kalah.
Kali ini Reva ingin memberi pelajaran pada Rendi, agar ia ikut merasakan kesepian tanpa ada istri disampingnya.
Motor terus melaju, jarak beberapa puluh kilometer ditempuh dengan singkat, karena jalan sedang sepi mirip seperti hatinya Reva.
Sebelum sampai di rumah Vanny, Reva mampir dulu ke warung makan untuk membeli makanan untuk dirinya dan Vanny. Beberapa bungkus nasi Padang sudah tergantung di motor dan siap dibawa.
Reva merasa bebas, karena akan segera bertemu Vanny dan bisa curhat dengan puas atas semua kekesalannya pada Rendi.
Tin ... tin ... tin ... suara klakson dari motor Reva menjadikan pemilik rumah mengintip dan segera keluar. Binar bahagia terpancar dari kedua wanita yang telah bersahabat sekian lama.
Vanny menyambut Reva, keduanya berpelukan dan saling melepas rindu.
"Ya ampun Rev, kamu datang kok ga ngabarin dulu sih," ucap Vanny sambil melepas pelukan.
"Iya, maaf ya," balas Reva.
"Ayok masuk dulu." Vanny mempersilahkan Reva untuk masuk ke rumah. Reva mengekor dibelakang Vanny, tangannya menenteng makanan yang tadi dibeli. Setelah masuk rumah, Reva memilih tempat duduk paling pojok, meluruskan kaki dan ambil nafas dalam-dalam.
Ah, Rendi memang menyebalkan dan tidak peka, istrinya yang cantik itu dibiarkan begitu saja tumbuh di padang tandus, diberi kemewahan tanpa kasih sayang.
Reva menggigit bibir, nyeri di dada masih terasa berdenyut. Berkali-kali berdebat tentang pekerjaan yang tak mengenal waktu, tapi selalu buntu. Rendi selalu berdalih bahwa dia bekerja untuk siapa? Dan Reva selalu kalah.
Kali ini Reva ingin memberi pelajaran pada Rendi, agar ia ikut merasakan kesepian tanpa ada istri disampingnya.
Motor terus melaju, jarak beberapa puluh kilometer ditempuh dengan singkat, karena jalan sedang sepi mirip seperti hatinya Reva.
Sebelum sampai di rumah Vanny, Reva mampir dulu ke warung makan untuk membeli makanan untuk dirinya dan Vanny. Beberapa bungkus nasi Padang sudah tergantung di motor dan siap dibawa.
Reva merasa bebas, karena akan segera bertemu Vanny dan bisa curhat dengan puas atas semua kekesalannya pada Rendi.
Tin ... tin ... tin ... suara klakson dari motor Reva menjadikan pemilik rumah mengintip dan segera keluar. Binar bahagia terpancar dari kedua wanita yang telah bersahabat sekian lama.
Vanny menyambut Reva, keduanya berpelukan dan saling melepas rindu.
"Ya ampun Rev, kamu datang kok ga ngabarin dulu sih," ucap Vanny sambil melepas pelukan.
"Iya, maaf ya," balas Reva.
"Ayok masuk dulu." Vanny mempersilahkan Reva untuk masuk ke rumah. Reva mengekor dibelakang Vanny, tangannya menenteng makanan yang tadi dibeli. Setelah masuk rumah, Reva memilih tempat duduk paling pojok, meluruskan kaki dan ambil nafas dalam-dalam.
Perlahan ia membuang nafas bersama rasa gundah yang menyeruak dalam dada. Rasa yang membuatnya sesak seperti menghirup asap tebal. Kini perlahan mulai berkurang, bahkan sebelum ia curhat apapun.
"Van, aku makan dulu ya, laper banget nih soalnya tadi ga sempet sarapan, yuk makan bareng-bareng," ucap Reva sambil mengeluarkan lima bungkus nasi padang dan menyerahkan empat bungkusnya pada Vanny.
"Silahkan kalau mau makan dulu, santai aja lah," balas Vanny sambil tersenyum. Lesung pipit di pipi kiri menambah kecantikan alami Vanny. Walau mukanya terlihat agak pucat.
"Ayok lah makan bareng, ini buat Reno dan Afik ya." Reva menyodorkan empat bungkus nasi yang disambut gembira oleh Reno dan Afik, anak-anaknya Vanny.
"Makasih ya Tante Reva, ayok Dik kita makan dulu, Alhamdulillah hari ini kita diberi rejeki makanan yang enak," ucap Reno girang, binar matanya memancarkan rasa gembira yang luar biasa. Dua bocah SD yang terpaut usia dua tahun itu sangat lahap, membuat Reva heran karena melihat mereka seperti sedang kelaparan.
"Sama-sama, ayok dihabisin biar kenyang." Reva membalas ucapan Reno.
"Makannya pelan-pelan dong, nanti kesedak loh." Vanny beranjak mengambil minum untuk Reva dan anak-anak. Lalu keluar sambil menggendong Hifa yang terlihat baru saja bangun tidur.
"Eh cantik, sini peluk tante dulu." Reva mengulurkan dua tangan yang disambut oleh Hifa. Reva pun melepas rindu pada balita mungil itu.
Reva sangat bahagia berada ditengah-tengah keluarga ini. Keluarga kecil yang sederhana tapi tak pernah ada masalah, seperti yang Reva tahu, Vanny tak pernah sekalipun mengeluhkan keadaan keluarganya.
Acara sarapan yang kesiangan akhirnya selesai juga. Reno dan Afik segera membersihkan bungkus makanan selaligus tempatnya. Dalam hati, Reva memuji kepiawaian Vanny mengajarkan tanggung jawab pada anak-anaknya.
"Van, sini adik aku gendongin dulu, biar kamu bisa sarapan," ucap Reva.
"Nggak kok, nanti saja," balas Vanny.
"Iya Bun makan dulu, kan Bunda juga belum makan." Reno menimpali ucapan Reva. Tapi Vanny hanya tersenyum.
"Tuh Van, kamu pingsan loh nanti," desak Reva.
"Insyaalloh aku lagi puasa sunah." Vanny menjawab dengan mantap.
"Udah seminggu, Bunda puasa terus," gumam Reno lirih.
Entah kenapa, Reva merasa tak enak hati. Melihat muka pucatnya Vanny, ditambah sudah seminggu puasa sunah, seperti ada beban yang berat yang sedang ditanggung.
Sekelebat bayangan masa lalu tiba-tiba hadir. Saat sekolah dulu, Vanny sering puasa sunah karena tidak ada sarapan apapun dirumahnya. Dan Reva sering berbagi bekal kue untuk dibawa pulang Vanny, untuk berbuka.
"Van, aku makan dulu ya, laper banget nih soalnya tadi ga sempet sarapan, yuk makan bareng-bareng," ucap Reva sambil mengeluarkan lima bungkus nasi padang dan menyerahkan empat bungkusnya pada Vanny.
"Silahkan kalau mau makan dulu, santai aja lah," balas Vanny sambil tersenyum. Lesung pipit di pipi kiri menambah kecantikan alami Vanny. Walau mukanya terlihat agak pucat.
"Ayok lah makan bareng, ini buat Reno dan Afik ya." Reva menyodorkan empat bungkus nasi yang disambut gembira oleh Reno dan Afik, anak-anaknya Vanny.
"Makasih ya Tante Reva, ayok Dik kita makan dulu, Alhamdulillah hari ini kita diberi rejeki makanan yang enak," ucap Reno girang, binar matanya memancarkan rasa gembira yang luar biasa. Dua bocah SD yang terpaut usia dua tahun itu sangat lahap, membuat Reva heran karena melihat mereka seperti sedang kelaparan.
"Sama-sama, ayok dihabisin biar kenyang." Reva membalas ucapan Reno.
"Makannya pelan-pelan dong, nanti kesedak loh." Vanny beranjak mengambil minum untuk Reva dan anak-anak. Lalu keluar sambil menggendong Hifa yang terlihat baru saja bangun tidur.
"Eh cantik, sini peluk tante dulu." Reva mengulurkan dua tangan yang disambut oleh Hifa. Reva pun melepas rindu pada balita mungil itu.
Reva sangat bahagia berada ditengah-tengah keluarga ini. Keluarga kecil yang sederhana tapi tak pernah ada masalah, seperti yang Reva tahu, Vanny tak pernah sekalipun mengeluhkan keadaan keluarganya.
Acara sarapan yang kesiangan akhirnya selesai juga. Reno dan Afik segera membersihkan bungkus makanan selaligus tempatnya. Dalam hati, Reva memuji kepiawaian Vanny mengajarkan tanggung jawab pada anak-anaknya.
"Van, sini adik aku gendongin dulu, biar kamu bisa sarapan," ucap Reva.
"Nggak kok, nanti saja," balas Vanny.
"Iya Bun makan dulu, kan Bunda juga belum makan." Reno menimpali ucapan Reva. Tapi Vanny hanya tersenyum.
"Tuh Van, kamu pingsan loh nanti," desak Reva.
"Insyaalloh aku lagi puasa sunah." Vanny menjawab dengan mantap.
"Udah seminggu, Bunda puasa terus," gumam Reno lirih.
Entah kenapa, Reva merasa tak enak hati. Melihat muka pucatnya Vanny, ditambah sudah seminggu puasa sunah, seperti ada beban yang berat yang sedang ditanggung.
Sekelebat bayangan masa lalu tiba-tiba hadir. Saat sekolah dulu, Vanny sering puasa sunah karena tidak ada sarapan apapun dirumahnya. Dan Reva sering berbagi bekal kue untuk dibawa pulang Vanny, untuk berbuka.
"Reno, anter tante beli es krim ke toko depan yuk," ajak Reva pada Reno dan Afik yang disambut bahagia oleh kedua bujang kecil itu.
"Jangan Rev, nanti ngrepotin kamu," cegah Vanny tiba-tiba.
"Ga apa lah, lagian kan aku udah lama banget ga main kesini," jawab Reva.
"Reno, Afik, ayok ikut tante sebentar." Reva berdiri sambil mengulurkan tangan. Kedua bocah itu berdiri dan memandang Bundanya seolah memohon, lalu menggandeng tangan Reva setelah Vanny mengisyaratkan sebuah anggukan.
"Rev, jangan belikan jajan yang banyak ya, nanti kebiasaan."
"Reno dan Afik, nurut sama tante ya, jangan nakal," ucap Vanny menasehati kedua putranya.
"Oke Bunda, siap." Dua bocah segera nangkring diatas motor dan siap meluncur bersama Reva.
Selang sepuluh menit, mereka bertiga sudah sampai di depan minimarket. Reva berencana membelikan es krim dan cemilan untuk anak-anaknya Vanny. Tapi ternyata ditolak oleh Reno, Reno hanya mau es krim saja.
"Loh kenapa? Kok ga mau dibeliin jajan?" tanya Reva heran.
"Ga usah Tante, nanti ngrepotin." Jawab Reno mantap, karena sesuai pesan Bundanya, bahwa kalau beli jajan cukup satu macam saja, agar lebih hemat dan uangnya bisa untuk jajan dilain kesempatan.
"Tante ga repot kok," ucap Reva.
"Ini aja Tante, kata Bunda kita ga boleh jajan banyak-banyak," ucap Reno polos. Begitu juga Afik, hanya mau jajan satu macam saja.
Reva terharu, betapa anak dari sahabatnya ini lebih dewasa dari usianya.
"Ya udah, kita beliin sesuatu buat Bunda aja ya, Kira-kira Bunda suka cemilan apa ya Ren?" tanya Reva sambil memilih beberapa produk yang berjajar rapi di rak supermarket. Tapi yang ditanya tak menyahut, mereka diam saja.
"Bunda dibeliin keripik sama kue aja ya Ren, yuk sini pilihin camilan buat Bunda." Reva menarik pelan tangan Reno, berharap dia mau membantu memilih camilan untuk Vanny. Tapi Reno menggeleng, tak mau membantu memilih camilan yang berjajar rapi di rak
"Itu saja Tante," ucap Reno lirih sambil menunduk, seolah ragu. Jari telunjuknya mengarah ke tumpukan beras yang disusun di dekat rak mainan.
"Beras?" tanya Reva heran.
"Iya tante, Bunda ga punya beras." Jawaban itu membuat dada Reva deg-degan. Ga tahu harus bilang apa, tapi Reva tetap tenang sambil tersenyum.
"Emangnya, beras di rumah Reno habis?" tanya Reva hati-hati.
"Iya Tante, kata Bunda hari ini kita tidak masak karena beras habis, kemarin bunda masih bisa masak bubur untuk Reno dan Adik, kata Bunda karena berasnya tinggal sedikit," ucap Reno pelan, yang diikuti anggukan oleh Afik.
Ya Alloh, Reva bahkan tak pernah tahu jika sahabatnya itu sedang kesulitan ekonomi, bahkan kesulitan untuk makan.
Bulir bening dari sudut matanya menetes, seolah ikut merasakan kepedihan Vanny. Tapi bukan Vanny namanya, kalau tidak tegar dan kuat, bahkan sekalipun tak pernah mengeluhkan kondisinya.
Reva mengambil satu karung kecil beras, telur, minyak, gula dan beberapa kebutuhan lain. Reva berfikir, jika beras saja Vanny tidak ada, berarti kebutuhan lainnya pun mungkin tak ada.
"Tante, kok belanjanya banyak sekali?" tanya Reno.
"Iya nak, buat masak Bunda ya," jawab Reva.
"Makasih ya tante, pasti Bunda senang sekali, karena kata Bunda, kita harus bersabar sampai Ayah dapat kerjaan lagi," ucap Reno dengan mata berbinar.
"Loh, emangnya Ayah lagi ga kerja?" tanya Reva pada Reno.
"Enggak Tante, udah lama Ayah ga kerja, tapi setiap hari Ayah pergi kok, nyari kerja gitu kata Bunda," jawab Reno lebih semangat.
Lagi-lagi Reva harus menelan ludah. Anak kecil ini pasti berkata jujur akan kondisi keluarganya, tapi kenapa Vanny ga pernah cerita? Ah, Reva jadi lupa akan masalahnya sendiri yang ternyata baru seujung kuku jika dibandingkan masalah yang dihadapi sahabatnya.
Acara belanja pun selesai dan mereka bertiga pulang ke rumah Vanny. Tapi kedatangannya justru mengejutkan Vanny karena Reva belanja banyak sekali.
"Loh ini buat apa Rev? Kok banyak sekali?" tanya Vanny
"Buat kita masak bareng lah, yuk aku pengen banget nih masak bareng disini." Reva bergegas memasukkan barang belanjaannya.
"Tapi ini banyak banget loh," tanya Vanny heran.
"Ga apa," jawab Reva mantap.
Dalam hati, Vanny sangat bersyukur mendapat rejeki sebanyak ini saat dirinya sama sekali tidak punya bahan untuk memasak. Tapi juga heran, karena tidak biasanya, sahabatnya itu belanja seperti ini. Biasanya, Reva membelikan jajan yang banyak dan mainan, tapi ini kok?.
Vanny menatap kearah Reno dan Afik, seolah memohon penjelasan apakah mereka yang berbicara sesuatu pada Reva atas kondisi keluarga ini. Kedua bujangnya menunduk dan berkata maaf.
"Rev, terima kasih ya kamu sudah membantuku, tapi ga harus sebanyak ini kan?" ucap Vanny yang diikuti senyum dari Reva.
"Van, harusnya kamu cerita ke aku jika ada masalah. Oh iya, Reno tidak cerita apa-apa kok, hanya kebetulan saja aku tanya."
"Oh ya Van, aku ga jadi masak bareng ya, kayaknya aku mau pulang aja deh, kasihan Alif sendiri." Reva memohon pamit, karena sekarang ini waktu yang tidak tepat untuk curhat pada sahabatnya itu. Jangankan untuk mendengar ocehan Reva yang sudah pasti melebar kemana-mana, Vanny sendiri sedang mengalami kesulitan.
"Jangan buru-buru dong Rev, sini ngobrol dulu," cegah Vanny, karena dia paham betul bahwa kedatangan Reva sudah pasti ingin berbagi banyak cerita, seperti kehadirannya yang sudah-sudah.
"Insyaalloh besok atau lusa, aku kesini lagi kok," jawab Reva mantap.
"Beneran ga mau curhat," ledek Vanny.
"Besok aja ya, aku pamit dulu, Reno, Afik, Tante pulang dulu ya," pinta Reva.
"Ya udah, hati-hati di jalan ya." Vanny tak bisa mencegah lagi.
Setelah anak-anaknya Vanny bersalaman, dan dua sahabat itu berpelukan, dan Reva pun pulang.
Sesampai di rumah, Reva memasukkan tasnya kembali dan segera memeluk Alif, anaknya yang baru berusia tiga tahun. Reva merasa sangat bersalah pada suaminya yang sudah membanting tulang untuk keluarga tapi sering tidak diterima dengan baik.
"Yah, nanti pulang cepet ya," sebuah pesan dikirim Reva untuk Rendi.
Reva mengambil satu karung kecil beras, telur, minyak, gula dan beberapa kebutuhan lain. Reva berfikir, jika beras saja Vanny tidak ada, berarti kebutuhan lainnya pun mungkin tak ada.
"Tante, kok belanjanya banyak sekali?" tanya Reno.
"Iya nak, buat masak Bunda ya," jawab Reva.
"Makasih ya tante, pasti Bunda senang sekali, karena kata Bunda, kita harus bersabar sampai Ayah dapat kerjaan lagi," ucap Reno dengan mata berbinar.
"Loh, emangnya Ayah lagi ga kerja?" tanya Reva pada Reno.
"Enggak Tante, udah lama Ayah ga kerja, tapi setiap hari Ayah pergi kok, nyari kerja gitu kata Bunda," jawab Reno lebih semangat.
Lagi-lagi Reva harus menelan ludah. Anak kecil ini pasti berkata jujur akan kondisi keluarganya, tapi kenapa Vanny ga pernah cerita? Ah, Reva jadi lupa akan masalahnya sendiri yang ternyata baru seujung kuku jika dibandingkan masalah yang dihadapi sahabatnya.
Acara belanja pun selesai dan mereka bertiga pulang ke rumah Vanny. Tapi kedatangannya justru mengejutkan Vanny karena Reva belanja banyak sekali.
"Loh ini buat apa Rev? Kok banyak sekali?" tanya Vanny
"Buat kita masak bareng lah, yuk aku pengen banget nih masak bareng disini." Reva bergegas memasukkan barang belanjaannya.
"Tapi ini banyak banget loh," tanya Vanny heran.
"Ga apa," jawab Reva mantap.
Dalam hati, Vanny sangat bersyukur mendapat rejeki sebanyak ini saat dirinya sama sekali tidak punya bahan untuk memasak. Tapi juga heran, karena tidak biasanya, sahabatnya itu belanja seperti ini. Biasanya, Reva membelikan jajan yang banyak dan mainan, tapi ini kok?.
Vanny menatap kearah Reno dan Afik, seolah memohon penjelasan apakah mereka yang berbicara sesuatu pada Reva atas kondisi keluarga ini. Kedua bujangnya menunduk dan berkata maaf.
"Rev, terima kasih ya kamu sudah membantuku, tapi ga harus sebanyak ini kan?" ucap Vanny yang diikuti senyum dari Reva.
"Van, harusnya kamu cerita ke aku jika ada masalah. Oh iya, Reno tidak cerita apa-apa kok, hanya kebetulan saja aku tanya."
"Oh ya Van, aku ga jadi masak bareng ya, kayaknya aku mau pulang aja deh, kasihan Alif sendiri." Reva memohon pamit, karena sekarang ini waktu yang tidak tepat untuk curhat pada sahabatnya itu. Jangankan untuk mendengar ocehan Reva yang sudah pasti melebar kemana-mana, Vanny sendiri sedang mengalami kesulitan.
"Jangan buru-buru dong Rev, sini ngobrol dulu," cegah Vanny, karena dia paham betul bahwa kedatangan Reva sudah pasti ingin berbagi banyak cerita, seperti kehadirannya yang sudah-sudah.
"Insyaalloh besok atau lusa, aku kesini lagi kok," jawab Reva mantap.
"Beneran ga mau curhat," ledek Vanny.
"Besok aja ya, aku pamit dulu, Reno, Afik, Tante pulang dulu ya," pinta Reva.
"Ya udah, hati-hati di jalan ya." Vanny tak bisa mencegah lagi.
Setelah anak-anaknya Vanny bersalaman, dan dua sahabat itu berpelukan, dan Reva pun pulang.
Sesampai di rumah, Reva memasukkan tasnya kembali dan segera memeluk Alif, anaknya yang baru berusia tiga tahun. Reva merasa sangat bersalah pada suaminya yang sudah membanting tulang untuk keluarga tapi sering tidak diterima dengan baik.
"Yah, nanti pulang cepet ya," sebuah pesan dikirim Reva untuk Rendi.
Reva segera memasak kesukaan suaminya itu, membersihkan seluruh sudut rumah dan berdandan cantik untuk menyambut kepulangan Rendi.
Hingga waktu yang ditunggu telah tiba. Rendi merasa heran karena ada yang berbeda di rumah. Rumah lebih rapi, istri berdandan cantik dan ada aroma enak yang menguar dari atas meja makan. Reva hanya senyum-senyum melihat reaksi Rendi.
"Sana Mas, mandi dulu, biar ganteng," kata Reva sambil tersenyum malu dan menggandeng Rendi menuju kamar mandi.
"Ya Dik." Rendi menjawab tanpa banyak bertanya, meski dalam hati bertanya-tanya ada apa? Ada acara apa? Tapi sepertinya lebih baik diam. Bukankah ini lebih baik dari pada setiap hari bertengkar, batin Rendi.
Rendi duduk di kursi makan bersama Reva. Reva mengambilkan makan dan minum, dan mereka menikmati makan malam bersama. Makan malam yang berbeda dari biasanya. Suasana romantis lebih terasa malam ini.
"Mas, aku minta maaf ya." Reva memulai percakapan.
"Iya Dik, Mas sudah memaafkanmu kok," jawab Rendi.
"Harusnya aku bersyukur, atas rejeki keluarga kita Mas, bukan ...." Reva tak sempat melanjutkan ucapannya, Rendi buru-buru memutus ucapan Reva.
"Maafkan Mas juga ya, kita lupakan yang sudah terjadi." Rendi berkata demikian, ia tak mau suasana romantisnya berubah jadi melow.
Mereka berdua benar-benar ingin menikmati suasana yang telah lama tidak tercipta. Rendi menggandeng Reva masuk ke kamar dan berbagi bahagia disana. Untunglah Alif tidur lebih awal dan tidak rewel.
Suara kokok ayam membangunkan Rendi dan Reva, Reva melepaskan pelukan suaminya sambil beranjak. Rendi pun ikut terbangun, dan segera membersihkan diri ke kamar mandi.
"Dik ini tas besarnya kok diluar? Kamu mau kemana?" tanya Rendi yang melihat tas yang biasanya digunakan untuk mereka saat keluar kota.
"Ga kok mas, kemarin Adik lihat tasnya kotor, jadi mau di loundry," jawab Rena sambil menahan tawa. Masa iya mau bilang kalau kemarin Reva ingin kabur, kan malu.
"Oh." Rendi hanya menjawab sekadarnya saja.
"Mas, tolong tanyain atasannya mas dong, ada lowongan kerja ga gitu," pinta Reva.
"Lowongan buat siapa? Kamu ingin kerja?"
"Enggak lah Mas, buat suaminya Vanny."
"Kayaknya ada Dik, tapi cuma penjaga kantor aja."
"Ya udah gapapa, nanti saya kabari Vanny dulu,"
"Kalau mau lho ya, kamu jangan maksa," ucap Rendi.
Rendi bersiap untuk berangkat kerja, sementara Reva menyiapkan sarapan sambil menjaga Alif, sebelum pengasuhnya datang.
Reva mengabari Vanny jika dikantor suaminya ada lowongan pekerjaan dan disambut bahagia oleh Vanny dan suaminya. Sampai akhirnya suami Vanny tidak menganggur lagi.
Seminggu berikutnya, Reva datang ke rumah Vanny, tapi kali ini Reva tidak curhat lagi. Reva tidak mau berbagi cerita kehidupan rumah tangganya pada orang lain. Karena setiap orang pasti memiliki masalah masing-masing.
"Yakin Rev, kamu kesini ga curhat lagi?" Vanny heran.
"Yakin Van, aku mau berbagi bahagia saja sama kamu," jawab Reva sambil mengeluarkan sesuatu dari kantong plastik.
"Nih, aku beliin jilbab buat kamu, ini kembaran sama aku loh," kata Reva.
"Ya Alloh ini bagus bamget, makasih ya Rev," jawab Vanny. Mereka pun berpelukan. Reva pun sadar, bahwa sahabat bukan hanya tempat berbagi gundah.
The End
Daftar Cerpen
Author: Beti Athina
Bio narasi: Hallo gaes, ane ibu rumah tangga dengan 2 putri. Ane asli dari Magelang,Jateng. Ane hobbi ngerusuh dan rebahan.
kenapa banyak bawangnya, ya, ini... 🥺🥺🥺
ReplyDeleteDibawah kita masih banyak dan dia tas kita juga masih banyak...pandai bersyukur saja.
ReplyDeleteKarena syukur akan membuat semua terasa nikmat 😁