Cinta di Ujung Bibir , Sejuta Cinta Mama Muda
Event Menulis Cerpen Sejuta Cerita Cinta Mama Muda
Cerita Pendek, Cinta Di Ujung Bibi Oleh Adanisa
‘Tak ada manusia
Yang terlahir sempurna
Jangan kau sesali
Segala yang telah terjadi
Kita pasti pernah
Dapatkan cobaan yang berat
Seakan hidup ini
Tak ada artinya lagi’
~~~
Hujan masih deras. Membasuh bumi tanpa jeda. Menghanyutkan segala macam yang dilalui. Sebagian, menerima itu sebagai berkah. Tidak sedikit jua menanti derainya berhenti, guna melanjutkan mencari peruntungan.
Sayup terdengar lagu D'masiv terlantun dari rumah tetangga sebelah tembok.
“Mas, tadi aku sudah menemui Pak Dukuh. Mencoba mengajukan Jamkesmas buat biaya lahiran bulan sembilan nanti.” Minah menyiapkan segelas kopi sembari membuka percakapan dengan suaminya.
“Oh … lha, terus piye?” tanya Mintolo. Suasana dapur kecil terasa semakin sesak, bila mengingat HPL istri tercinta semakin dekat.
Diambilnya gelas kopi, di dekatkan pada mulutnya. Sedikit memonyongkan bibir, meniup permukaan gelas. Berharap tidak tersengat panas, bahaya. Bisa mengacaukan pekerjaan satu-satunya.
Minah melirik polah suaminya. Sedikit menyunggingkan senyum, dia hapal betul jika suaminya tidak suka kopi panas. Namun, mau bagaimana lagi. Air sumur di tempat mereka rasanya sedikit aneh. Oleh sebab itu, menyeduh kopi adalah sebuah siasat. Tidak pernah terlintas dalam benak, bisa memasang mesin air. Bisa makan berlauk telur dadar, itu sudah sangat nikmat dan mewah.
“Terus--terus … kenapa bukan Mas saja yang ngadep Pak Dukuh. Aku, ya malu. Ditanyai, ke mana suaminya, kok datang sendirian. Kan harus ada yang ditandatangani, tho, Mas!”
“Hloh! Kamu itu, gimana sih! Aku ya kerja. Walaupun ndak di kantor mentereng, ya tetep saja, namanya kerja! Nih … pake ini, aku kerjane!” sungut Mintolo, sembari menunjuk bibirnya.
“Di luar masih hujan. Apa ya mau berangkat sekarang? Mending kita sekarang ke Pak Dukuh saja, tho ….” rengek Minah, jurus terakhirnya. Jika dengan berkata biasa suaminya tidak takluk, mau tak mau, harus mengeluarkan trik tertentu.
“Shh … a--aduuhh!” Refleks Minah mengelus perut yang kian hari bertambah maju dan besar.
Mintolo menatap Minah. Pada bening mata berwarna coklat tua itu, dahulu dia terpikat. Tampak kecerdasan dan keuletan yang bersinar kuat. Menyiratkan bahwa perempuan yang dinikahinya setahun lalu, bukan tipe yang mudah menyerah.
“Nah, tho … sakit lagi perutmu. Wis tho, sabar. Nanti ada sela, aku pasti rawuh[1] ke Pak Dukuh. Kamu yang tenang, ya …. Jaga calon anak kita. Inget tho, yang dibilang bu Bidan? Selama hamil, ndak boleh mikir abot[2], harus makan yang bergizi.” Hibur Mintolo sembari mengusap rambut Minah yang hitam dan panjang sepinggang.
“Maafkan aku, ya … belum bisa 'mbelikan daging rendang, senenganmu. Duitku, kurang sedikit lagi,” bisik Mintolo di dekat telinga istrinya tersayang.
Minah pun pasrah. Tidak tega rasanya, jika harus memaksa lelaki yang sudah mengucap janji di depan penghulu. Hanya doa yang sanggup dia tambahkan. Berharap keberkatan dan sedikit keajaiban akan muncul menyambut kelahiran anak pertama mereka.
Minah segera menggamit kedua tangan suaminya. Membawa ke dekat bibir, lalu mengecup dengan takzim. Air mata keluar tanpa diminta. Teringat akan pesan orang tua, rida suami adalah rida Allah. Sekelebatan, rasa kurang bersyukur menghinggapinya. Terpengaruh perbincangan tetangga sebelah dinding rumah. Mintolo pun segera beranjak, guna menunaikan kewajiban mencari nafkah.
‘Syukuri apa yang ada
Hidup adalah anugrah
Tetap jalani hidup ini
Melakukan yang terbaik
Tuhan pasti kan menunjukkan
Kebesaran dan kuasaNya
Bagi hambaNya yang sabar
Dan tak kenal putus asa
~~~
Hujan deras, perlahan berganti gerimis. Lalu mereda, meninggalkan senyap. Yang tersisa hanya genangan air dalam legokan tanah. Berikut jejak alas kaki mendalam, karena tanah yang melunak. Semerbak petrikor menelisik tanpa permisi. Minah menyukainya.
Aroma tanah yang semula kering berdebu, terguyur air langit, menggelitik hidung tanpa tertolak. Dihirupnya sedalam mungkin, 'tuk kemudian perlahan menghembuskannya. Kesegaran pun menghampiri. Mengisi paru-paru kemudian terkirim ke otak melalui neuron sarafnya.
Ahh, senja menjelang. Segera ia masuk ke dalam kamar. Menyiapkan mushaf dan alas berupa bantal. Sebisanya, menyamankan diri saat berkhalwat dengan Sang Pencipta, Pemilik seluruh alam. Memasrahkan segala pinta dan maksud dalam hati. Ikhlas, laksana hujan yang turun seperti tadi pagi. Langit tak pernah meminta bumi membalas kebaikan dari setiap tetes air yang tercurah.
“Minah! Minah!” tiba-tiba terdengar suara pintu digedor dengan kuat.
Minah pun bergegas membuka pintu.
“Iya! Kenapa, Bu Unang?” tanya Minah dengan dada masih berdegup kencang.
“Mintolo--suamimu … kecelakaan! Ketabrak mobil pas lagi markirke[3] mobil. Yuk, kamu ikut ke rumah sakit, tak[4] anter, ndang[5] salin[6], gek uwis.[7]”
“Ap--paaa!? Gustiii, paringono sabaaarrr, astaghfirullahaladzhim … Ya Allah, Mas Mintolo …!” jerit tangis Minah berbarengan dengan kekagetan. Dirinya langsung terduduk lemas. Ada yang terasa terlepas dari dalam perutnya. Akan tetapi, saat itu sudah tak dihiraukannya.
‘Jangan menyerah
Jangan menyerah
Jangan menyerah
Jangan menyerah
Jangan menyerah
Jangan menyerah oh
Syukuri apa yang ada
Hidup adalah anugrah’
Dalam perjalanan menuju rumah sakit, semua terekam dalam benak Minah. Biaya persalinan yang tinggal enam puluh hari lagi, belum seberapa dikumpulkannya. Upah mengupas bawang merah yang dilakoninya, baru berjalan tiga minggu. Itu pun, tanpa sepengetahuan suami. Rencananya, genap sebulan nanti, baru akan memberitahu calon ayah anak yang dikandungnya. Uang kontrakan, minggu depan sudah harus pelunasan. Ahh, betapa ujian kehidupan berumah tangga benar-benar hanya indah dalam sinetron.
‘Syukuri apa yang ada
Hidup adalah anugrah
Tetap jalani hidup ini
Melakukan yang terbaik
Tak ada manusia
Yang terlahir sempurna
Jangan kau sesali
Segala yang telah terjadi’
Entah dengan apa, dirinya harus meneruskan jalannya nasib keluarga. Suami yang bekerja sebagai juru parkir, tak bisa ditentukan besaran pastinya. Ada sedikit pengharapan, jika nanti surat Jaskesmas bisa diperolehnya, setidaknya berkurang satu beban pikirannya. Seumpama Sang Khalik memudahkan renjana bahtera rumah tangga mereka, itulah keajaiban yang tidak pernah luput dipinta Minah.
Yah, semoga saja ….
‘Tetap jalani hidup ini
Melakukan yang terbaik
Tuhan pastikan menunjukkan
Kebesaran dan kuasaNya
Bagi hambaNya yang sabar
Dan tak kenal putus asa
Dan tak kenal putus asa’
Roda Mobil terus melaju. Begitu pula arah nasib manusia. Terkadang di atas, meski sejenak saja. Sering jua, di bawah. Tertindas ego dan nafsu duniawi. Bismillah, hanya itu yang mampu diucapkannya, lirih. Selemah kesadaran yang perlahan mulai meninggalkan fisiknya.
“Mas … Mintolo, tunggu a--ku dan anak Kita, ya Mas ….”
Bu Unang seketika berteriak, “Minah …!”
-selesai-
INDEKS LINK EVENT MENULIS CERPEN SEJUTA CINTA MAMA MUDA
catatan kaki:
[1] datang, [2] berat, [3] parkir, [4] aku, [5] cepat, lekas
[6] berganti pakaian, [7] sudah
Background song : Jangan Menyerah
Penyanyi: D'Masiv
Penulis lagu: Rian Ekky Pradipta
Lirik Jangan Menyerah © Pt. Musica Studio'S
________________________________
bionarasi
Nama pena Adanisa, lahir di Gorontalo. Masa kecil hingga sebelum menikah, banyak dihabiskan di Jakarta. Seorang ibu dengan satu anak laki-laki. Kini, ia menetap di Kutoarjo, Purworejo.
Menulis awalnya adalah sebuah momok menakutkan dalam hidupnya. Dia tak pernah tahu sebelumnya jika untuk bisa berbicara dengan baik, harus diawali dengan membaca. Hingga akhirnya kertas robekan sisa bungkus cabe, bawang bahkan surat kabar yang isinya hanya berita pembunuhan dan berita duka cita, jadi bacaan kesehariannya. Membaca, membaca, membaca lalu menulis. Buku tulis selalu jadi sasaran. Namun, keberanian menulis cerita yang panjang, adalah sebuah tantangan. Bahkan, meski sudah bergabung dengan grup kepenulisan sekali pun.
Pembawaan ceria namun lebih suka jadi penyimak. Senang mengamati polah setiap insan yang akrab dengannya. Mudah akrab tapi tetap memilih menyendiri. Seluruh aksara dalam kepalanya, dibaktikannya pada mentari hatinya, anak laki-laki semata wayang.
Untuk berinteraksi lebih lanjut:
Blog: enolastory
FB: adanisa saja
IG : enolastory
Cerita Pendek, Cinta Di Ujung Bibi Oleh Adanisa
‘Tak ada manusia
Yang terlahir sempurna
Jangan kau sesali
Segala yang telah terjadi
Kita pasti pernah
Dapatkan cobaan yang berat
Seakan hidup ini
Tak ada artinya lagi’
~~~
Hujan masih deras. Membasuh bumi tanpa jeda. Menghanyutkan segala macam yang dilalui. Sebagian, menerima itu sebagai berkah. Tidak sedikit jua menanti derainya berhenti, guna melanjutkan mencari peruntungan.
Sayup terdengar lagu D'masiv terlantun dari rumah tetangga sebelah tembok.
“Mas, tadi aku sudah menemui Pak Dukuh. Mencoba mengajukan Jamkesmas buat biaya lahiran bulan sembilan nanti.” Minah menyiapkan segelas kopi sembari membuka percakapan dengan suaminya.
“Oh … lha, terus piye?” tanya Mintolo. Suasana dapur kecil terasa semakin sesak, bila mengingat HPL istri tercinta semakin dekat.
Diambilnya gelas kopi, di dekatkan pada mulutnya. Sedikit memonyongkan bibir, meniup permukaan gelas. Berharap tidak tersengat panas, bahaya. Bisa mengacaukan pekerjaan satu-satunya.
Minah melirik polah suaminya. Sedikit menyunggingkan senyum, dia hapal betul jika suaminya tidak suka kopi panas. Namun, mau bagaimana lagi. Air sumur di tempat mereka rasanya sedikit aneh. Oleh sebab itu, menyeduh kopi adalah sebuah siasat. Tidak pernah terlintas dalam benak, bisa memasang mesin air. Bisa makan berlauk telur dadar, itu sudah sangat nikmat dan mewah.
“Terus--terus … kenapa bukan Mas saja yang ngadep Pak Dukuh. Aku, ya malu. Ditanyai, ke mana suaminya, kok datang sendirian. Kan harus ada yang ditandatangani, tho, Mas!”
“Hloh! Kamu itu, gimana sih! Aku ya kerja. Walaupun ndak di kantor mentereng, ya tetep saja, namanya kerja! Nih … pake ini, aku kerjane!” sungut Mintolo, sembari menunjuk bibirnya.
“Di luar masih hujan. Apa ya mau berangkat sekarang? Mending kita sekarang ke Pak Dukuh saja, tho ….” rengek Minah, jurus terakhirnya. Jika dengan berkata biasa suaminya tidak takluk, mau tak mau, harus mengeluarkan trik tertentu.
“Shh … a--aduuhh!” Refleks Minah mengelus perut yang kian hari bertambah maju dan besar.
Mintolo menatap Minah. Pada bening mata berwarna coklat tua itu, dahulu dia terpikat. Tampak kecerdasan dan keuletan yang bersinar kuat. Menyiratkan bahwa perempuan yang dinikahinya setahun lalu, bukan tipe yang mudah menyerah.
“Nah, tho … sakit lagi perutmu. Wis tho, sabar. Nanti ada sela, aku pasti rawuh[1] ke Pak Dukuh. Kamu yang tenang, ya …. Jaga calon anak kita. Inget tho, yang dibilang bu Bidan? Selama hamil, ndak boleh mikir abot[2], harus makan yang bergizi.” Hibur Mintolo sembari mengusap rambut Minah yang hitam dan panjang sepinggang.
“Maafkan aku, ya … belum bisa 'mbelikan daging rendang, senenganmu. Duitku, kurang sedikit lagi,” bisik Mintolo di dekat telinga istrinya tersayang.
Minah pun pasrah. Tidak tega rasanya, jika harus memaksa lelaki yang sudah mengucap janji di depan penghulu. Hanya doa yang sanggup dia tambahkan. Berharap keberkatan dan sedikit keajaiban akan muncul menyambut kelahiran anak pertama mereka.
Minah segera menggamit kedua tangan suaminya. Membawa ke dekat bibir, lalu mengecup dengan takzim. Air mata keluar tanpa diminta. Teringat akan pesan orang tua, rida suami adalah rida Allah. Sekelebatan, rasa kurang bersyukur menghinggapinya. Terpengaruh perbincangan tetangga sebelah dinding rumah. Mintolo pun segera beranjak, guna menunaikan kewajiban mencari nafkah.
‘Syukuri apa yang ada
Hidup adalah anugrah
Tetap jalani hidup ini
Melakukan yang terbaik
Tuhan pasti kan menunjukkan
Kebesaran dan kuasaNya
Bagi hambaNya yang sabar
Dan tak kenal putus asa
~~~
Hujan deras, perlahan berganti gerimis. Lalu mereda, meninggalkan senyap. Yang tersisa hanya genangan air dalam legokan tanah. Berikut jejak alas kaki mendalam, karena tanah yang melunak. Semerbak petrikor menelisik tanpa permisi. Minah menyukainya.
Aroma tanah yang semula kering berdebu, terguyur air langit, menggelitik hidung tanpa tertolak. Dihirupnya sedalam mungkin, 'tuk kemudian perlahan menghembuskannya. Kesegaran pun menghampiri. Mengisi paru-paru kemudian terkirim ke otak melalui neuron sarafnya.
Ahh, senja menjelang. Segera ia masuk ke dalam kamar. Menyiapkan mushaf dan alas berupa bantal. Sebisanya, menyamankan diri saat berkhalwat dengan Sang Pencipta, Pemilik seluruh alam. Memasrahkan segala pinta dan maksud dalam hati. Ikhlas, laksana hujan yang turun seperti tadi pagi. Langit tak pernah meminta bumi membalas kebaikan dari setiap tetes air yang tercurah.
“Minah! Minah!” tiba-tiba terdengar suara pintu digedor dengan kuat.
Minah pun bergegas membuka pintu.
“Iya! Kenapa, Bu Unang?” tanya Minah dengan dada masih berdegup kencang.
“Mintolo--suamimu … kecelakaan! Ketabrak mobil pas lagi markirke[3] mobil. Yuk, kamu ikut ke rumah sakit, tak[4] anter, ndang[5] salin[6], gek uwis.[7]”
“Ap--paaa!? Gustiii, paringono sabaaarrr, astaghfirullahaladzhim … Ya Allah, Mas Mintolo …!” jerit tangis Minah berbarengan dengan kekagetan. Dirinya langsung terduduk lemas. Ada yang terasa terlepas dari dalam perutnya. Akan tetapi, saat itu sudah tak dihiraukannya.
‘Jangan menyerah
Jangan menyerah
Jangan menyerah
Jangan menyerah
Jangan menyerah
Jangan menyerah oh
Syukuri apa yang ada
Hidup adalah anugrah’
Dalam perjalanan menuju rumah sakit, semua terekam dalam benak Minah. Biaya persalinan yang tinggal enam puluh hari lagi, belum seberapa dikumpulkannya. Upah mengupas bawang merah yang dilakoninya, baru berjalan tiga minggu. Itu pun, tanpa sepengetahuan suami. Rencananya, genap sebulan nanti, baru akan memberitahu calon ayah anak yang dikandungnya. Uang kontrakan, minggu depan sudah harus pelunasan. Ahh, betapa ujian kehidupan berumah tangga benar-benar hanya indah dalam sinetron.
‘Syukuri apa yang ada
Hidup adalah anugrah
Tetap jalani hidup ini
Melakukan yang terbaik
Tak ada manusia
Yang terlahir sempurna
Jangan kau sesali
Segala yang telah terjadi’
Entah dengan apa, dirinya harus meneruskan jalannya nasib keluarga. Suami yang bekerja sebagai juru parkir, tak bisa ditentukan besaran pastinya. Ada sedikit pengharapan, jika nanti surat Jaskesmas bisa diperolehnya, setidaknya berkurang satu beban pikirannya. Seumpama Sang Khalik memudahkan renjana bahtera rumah tangga mereka, itulah keajaiban yang tidak pernah luput dipinta Minah.
Yah, semoga saja ….
‘Tetap jalani hidup ini
Melakukan yang terbaik
Tuhan pastikan menunjukkan
Kebesaran dan kuasaNya
Bagi hambaNya yang sabar
Dan tak kenal putus asa
Dan tak kenal putus asa’
Roda Mobil terus melaju. Begitu pula arah nasib manusia. Terkadang di atas, meski sejenak saja. Sering jua, di bawah. Tertindas ego dan nafsu duniawi. Bismillah, hanya itu yang mampu diucapkannya, lirih. Selemah kesadaran yang perlahan mulai meninggalkan fisiknya.
“Mas … Mintolo, tunggu a--ku dan anak Kita, ya Mas ….”
Bu Unang seketika berteriak, “Minah …!”
-selesai-
INDEKS LINK EVENT MENULIS CERPEN SEJUTA CINTA MAMA MUDA
catatan kaki:
[1] datang, [2] berat, [3] parkir, [4] aku, [5] cepat, lekas
[6] berganti pakaian, [7] sudah
Background song : Jangan Menyerah
Penyanyi: D'Masiv
Penulis lagu: Rian Ekky Pradipta
Lirik Jangan Menyerah © Pt. Musica Studio'S
________________________________
bionarasi
Nama pena Adanisa, lahir di Gorontalo. Masa kecil hingga sebelum menikah, banyak dihabiskan di Jakarta. Seorang ibu dengan satu anak laki-laki. Kini, ia menetap di Kutoarjo, Purworejo.
Menulis awalnya adalah sebuah momok menakutkan dalam hidupnya. Dia tak pernah tahu sebelumnya jika untuk bisa berbicara dengan baik, harus diawali dengan membaca. Hingga akhirnya kertas robekan sisa bungkus cabe, bawang bahkan surat kabar yang isinya hanya berita pembunuhan dan berita duka cita, jadi bacaan kesehariannya. Membaca, membaca, membaca lalu menulis. Buku tulis selalu jadi sasaran. Namun, keberanian menulis cerita yang panjang, adalah sebuah tantangan. Bahkan, meski sudah bergabung dengan grup kepenulisan sekali pun.
Pembawaan ceria namun lebih suka jadi penyimak. Senang mengamati polah setiap insan yang akrab dengannya. Mudah akrab tapi tetap memilih menyendiri. Seluruh aksara dalam kepalanya, dibaktikannya pada mentari hatinya, anak laki-laki semata wayang.
Untuk berinteraksi lebih lanjut:
Blog: enolastory
FB: adanisa saja
IG : enolastory
50 Kata Kata Mutiara Inspirasi Hidup
ReplyDelete