Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Single Mom Juga Manusia, Sejuta Cinta Mama Muda

Event Menulis Cerpen Sejuta Cerita Cinta Mama Muda





Cerpen Mama Muda- Sudah hampir dua tahun aku hidup sendiri. Sejak kematian Mas Pram, otomatis aku yang menjadi tulang punggung keluarga, menghidupi tiga orang anak yang masih kecil-kecil.



Single Mom Juga Manusia Punya Hati Punya Rasa 



Hari ini aku kembali berkumpul dalam kegiatan arisan bulanan. Semua yang hadir adalah ibu-ibu sosialita, dan aku ... terselip sendirian, ibu muda biasa, bukan istri pengusaha, apalagi istri pejabat dan juga bukan anak siapa-siapa. Ditambah pula dengan status janda. Asli, membuatku seperti terasing saja. 

Namun, meskipun merasa kurang cocok berada di lingkungan tersebut, aku tetap berusaha menikmatinya demi menghargai permintaan seorang teman yang membawaku ikut bergabung di sana. 

Ibu-ibu yang lain, sih, sebenarnya terlihat bersikap wajar-wajar saja, tak begitu memedulikan kedudukanku, hanya sayang, mereka selalu fokus pada satu hal, statusku yang sebagai orang tua tunggal.




Tanpa adanya hujan, tanpa terlihat adanya badai, saat sedang menikmati suguhan makan siang, tiba-tiba saja Mbak Sasa--teman yang mengajakku ikut arisan ini--memulai pembicaraan yang membuatku risih mendengarnya. Menurutku itu hal yang sangat sensitif untuk dibicarakan dan aku pun enggak berminat.



Sedikit mencondongkan badan, Mbak Sasa berbisik,

"Mbakyu, panjenengan apa gak mau menikah lagi, toh? Masih muda ini, cantik pula. Pasti banyak, lho, yang mau ama panjenengan. Apa Mbakyu mau menjanda seumur hidup?"



Suer, aku terkejut mendengar ucapan Mbak Sasa. Dengan perasaan berkecamuk, aku menelisik setiap jengkal wajah cantiknya itu. Menatapnya lama. Mbak Sasa hanya diam, tak menanggapi. 

Tidak sekali dua kali Mbak Sasa menanyakan hal yang sama. Terus terang, lama-kelamaan aku menjadi kurang nyaman berada di dekatnya. Namun, entah kenapa setiap arisan begini, aku selalu saja semeja dengan istri pengusaha mebel ternama itu.



Kami berdua saling kenal karena para suami. Dulu, Pak Bayu--suami Mbak Sasa--pernah memberi bantuan dana untuk mengembangkan usaha Mas Pram--suamiku--yang juga sahabatnya saat SMA.






Belakangan, Mbak Sasa semakin gencar saja menyodorkan laki-laki pilihannya itu. Masih muda dan katanya perjaka ting-ting.


"Aih, Mbak Sasa, kenapa toh, sibuk-sibuk nyariin saya jodoh? Mana brondong, pula. Apa dia tau kalau saya ini janda beranak tiga? Kenapa pula dia nyarinya yang ibu-ibu seperti saya? Yang gadis kan banyak? Anak Mbak Sasa, Dina, misalnya?"


"Eh, Mbakyu, jangan bawa-bawa Dina, dong. Dina mah, gak level ama laki-laki macam, 'tu!"


Mendengar jawaban Mbak Sasa, seketika saja dadaku jadi panas. Emosi merasa dilecehkan.


"Jadi, apa maksud Mbak Sasa nyodorin dia ke saya? Emang, saya ada minta bantuan Mbak Sasa buat nyari suami? Emang saya pernah ngomong begitu, apa? Atau, saya kelihatan keganjenan, ingin buru-buru menikah lagi? Tolong dong, Mbak Sasa, kalau ngomong itu, mbok, ya, dipikir! Emang Dina itu levelnya apa, sih? Terus saya ... apa terlihat remeh karena saya gak punya suami? Apa begitu penilaian Mbak Sasa?"


Tak henti-henti aku mencerocos bak kereta api saking geramnya. Jujur, aku sangat tersinggung. Apa sebegitu hinanya menjadi janda?


"Aduh, Mbakyu, bukan itu lho, maksud saya ...," ujar Mbak Sasa seperti enggak enak hati, seakan-akan ingin membela diri. Akan tetapi, saya sudah kadung marah, tak terima merasa diremehkan.

"Eh, Mbak Sasa! Saya mah, kalau niat nikah lagi, ya, gak bakalan maulah kalau hanya akan hidup susah! Apalagi kalau harus membiayai anak orang. Cukup saya menghidupi tiga anak! Gak usah ditambah lagi! Kalau pun mau, saya bakal nyari sendiri yang lebih segala-galanya dari Mas Pram.

Saya gak mau dong, kalau harus turun pangkat, apalagi turun tahta, menikah ama brondong yang belum jelas juntrungannya, yang belum ketahuan masa depannya! Kalau hanya bakalan hidup susah, ngapain saya nikah lagi. Mending ngurus anak-anak. Nikah lagi itu mah, harusnya bisa hidup senang, lebih dari yang sekarang," jelasku berapi-api.


Masih belum puas, kulanjutkan lagi ocehan dongkolku, "Bagus lagi saya membahagiakan diri sendiri. Happy-happy ama anak-anak. Udah, deh, Mbak Sasa, gak perlu berbaik hati segala, nyariin saya jodoh! Apalagi yang muda. Gak usah, deh, Mbak, kalau Mbak ada rawit dalam risoles!"


Aku masih saja mengomel panjang pendek tak menentu. Emang apa, sih, level dia, anaknya, keluarganya? Merendahkan banget!

"Eh, tapi maaf, Mbakyu, aku 'ni tulus, lho. Gak ada maksud apa-apa, hanya ...."


"Hanya apa?" sambarku cepat, melotot langsung ke manik mata Mbak Sasa. Biar dia tahu, kalau aku benar-benar sedang murka.

"Gak, deh, gak jadi!" jawab Mbak Sasa tampak semakin enggak enak hati.

Melihat gelagat Mbak Sasa, tiba-tiba saja terlintas kalau dia seperti mencoba menutupi sesuatu. Benar, aku baru ngeh, kalau Mbak Sasa sering terlihat gelisah dan acapkali tertangkap mata mencuri pandang ke arahku meski dia tetap bisa menjawab dan bersikap tenang ketika kutanya.




Aku pikir, aku tahu alasannya. Apa jangan-jangan Mbak Sasa mendengar selentingan kalau Pak Bayu--suaminya--pernah meneleponku, bertanya kabar untuk menunjukkan rasa peduli sebagai kawan mendiang Mas Pram? Terus-terang, hanya sebatas itu, kok, pembicaraanku dengan Pak Bayu.

 Tak lebih. Sialnya, aku pernah menceritakan soal telepon Pak Bayu tersebut dengan salah seorang anggota arisan yang juga kuanggap teman. Apa mungkin dari situ semua ini bermula? Lebih baik kupancing saja Mbak Sasa untuk melihat reaksinya.


"Saya tau, kok, Mbak Sasa takut 'kan, kalau saya kelamaan hidup sendiri? Takut kalau-kalau nanti suami Mbak bakal kepincut ama saya? Iya, 'kan, begitu?" Sungguh, saat bicara julid seperti itu, wajahku pasti terlihat sangat menjengkelkan. Bodoh, ah! Biarin aja!

Ekspresi Mbak Sasa tampak sangat terkejut mendengar ucapanku barusan.


"Nah, benar, 'kan, ternyata .... Kalau dengan yang seperti ini, kalau orangnya seperti Pak Bayu yang meminta saya jadi istri, itu baru pas, Mbak. Udah kaya, gagah, hebat, dan terkenal pula. Siapa coba yang bisa nolak? Anak gadis pun mungkin akan berpikir dua kali buat nolak beliau!"


Mendengar perkataanku, muka Mbak Sasa langsung terlihat bagai kepiting rebus, memerah seperti menahan marah. Peduli amir, ah! Siapa suruh dia sibuk menjodohkan aku. Mana asal-asalan lagi mencarikan orang. Udah gitu, terkesan merendahkan aku pula.

Asli, saat mengungkapkan kemangkelanku itu, sedikitpun aku enggak ada maksud untuk menyakiti atau menakut-nakutinya. Aku hanya ingin membuat Mbak Sasa kesal. 

Sungguh, aku benar-benar enggak ada niat sama sekali ingin mengambil suaminya. Kalaupun misalnya benar Pak Bayu meminta, aku juga enggak bakalan mau, kok, menjadi istri keduanya, apalagi menjadi madunya Mbak Sasa. Big no!


Yang aku khawatirkan itu malah kalau seandainya memang benar ada laki-laki muda, tampan pula, yang mau dan sengaja ingin menjadikanku sebagai istri pertamanya. Wajar 'kan, kalau aku jadi curiga dan menduga-duga kalau dia punya maksud tertentu?


Biasanya sih, sepengetahuanku selama ini, itu adalah salah satu taktik agar si laki-laki punya alasan untuk menikah lagi nantinya dengan yang lebih muda dan yang masih gadis tentunya karena menganggap si istri pertama sudah enggak bisa punya anak. Banyak 'kan, kejadian seperti itu?

 Menikahi janda atau perempuan berumur, kemudian ditinggal menikah lagi? Emang, sih, enggak dilupakan, tetapi ya, diduakan ....


"Jadi, jangan sok pahlawan deh, Mbak Sasa, berusaha mencarikan saya pasangan. Kalau takut suami sendiri berpaling, jaga aja suami masing-masing baik-baik. Jangan jandanya yang malah jadi sasaran tembak," kataku lagi masih sambil menggerutu ke Mbak Sasa.




Mulai besok, aku janji akan berhenti dari kegiatan kumpul-kumpul seperti ini kalau hanya akan menyebabkan semua ibu-ibu yang ada jadi ketakutan karena statusku yang janda. Emang siapa sih, yang mau dan minta jadi janda? Enggak ada, kan? Takdirlah yang membuat semuanya menjadi demikian.


Mbak Sasa sendiri tampaknya juga keberatan, kok--jika dilihat dari responnya tadi--kalau suaminya menikah lagi menambah istri kedua, ketiga, keempat, padahal secara finansial mereka mampu. Eh, tapi, kan, bukan hanya siap finansial saja, ya. Banyak hal yang harus dipertimbangkan. Lalu, kenapa pula Mbak Sasa malah menyuruh orang lain, anak muda itu, atau aku yang harus menikah? Hah! Biar sajalah nasib yang akan membawaku berakhir ke mana.


Suatu yang jelas, hingga detik ini aku masih mencintai Mas Pram meskipun dirinya sudah tiada. Takkan pernah terganti rasa cinta itu. Takkan berubah sedikit pun karena aku ingin bertemu lagi dengannya sebagai suami istri kelak di surga. 

Kalau pilihanku seperti ini, tentu saja aku enggak boleh menikah lagi dengan laki-laki lain. Syariat mengajarkan seperti itu.


Duh, menyesal aku. Kenapa tadi aku emosi banget, ya, hanya gara-gara dicarikan jodoh ama Mbak Sasa? Astaghfirullah ....


"Jadi, tolong, ya, Mbak Sasa, gak usah lagi sibuk-sibuk mencarikan saya pasangan. Mbak Sasa paham, kan?" kataku mulai sedikit melunak. Eh, tetapi ternyata, Mbak Sasa udah pergi diam-diam saat aku melamunkan Mas Pram tadi.


Besok, aku akan ke rumah Mbak Sasa untuk minta maaf. Duh, begitu mudahnya hatiku ini terpancing marah. Harusnya aku melihat niat baik Mbak Sasa. Enggak usah mikir jauh-jauh meski Mbak Sasa duluan yang memulai dengan ucapan yang berkesan merendahkan. Eh, kok, aku mulai lagi. Duuuh, dasar manusia!


~Tamat~

Daftar Isi Cerpen 






Penulis: Enya Hernawati ZainalIndonesiana, Tidore Kepulauan, 11 Februari 2021

Bionarasi:

Enya Hernawati Zainal, perempuan kelahiran Kota Padang, 18 Februari ini adalah seorang ibu rumah tangga dari dua anak laki-laki manis, Ghazy dan Qassam.

Mengawali menulis sebagai apresiasi terhadap nilai seni dan budaya meski akhirnya harus mengakui jatuh cinta dengan hobi barunya itu. Penyuka travelling ke daerah pedalaman nan eksotik ini--alhamdulillah--telah menghasilkan karya lebih dari 30 antologi.

Perempuan yang juga hobi memasak dan membaca ini sedang fokus menyelesaikan--insyaallah--buku solo kumpulan kisah perjalanan backpacker mereka saat berhaji, menjelajahi negara-negara serumpun, serta mengeksplor hampir 2/3 negeri cantik di Asia Selatan, Pakistan Zindabad. Doakan segera terwujud ya, Sahabat ....


Bisa bertegur-sapa dengan Enya via FB dengan nama Enya Hernawati Zainal

3 comments for "Single Mom Juga Manusia, Sejuta Cinta Mama Muda "

  1. Replies
    1. Duh, makasih ya, Teh Icus atas apresiasinya. Makasih juga udah mampir.👍👍👍

      Delete
  2. Mantap la Celotehy emak2 emg dasyat...klo wanita lg Marah apa lg Sampai menyentuh Hati kecily...busyeeeet daa sprt rasay DUNIA ni Hampir KIAMAT kwkwkkw

    ReplyDelete