Jelaga , Sejuta Cinta Mama Muda
Event Menulis Cerpen Sejuta Cerita Cinta Mama Muda
Cerpen Mama Muda- Angin pagi menyapa lembut, menjatuhkan daun-daun yang mulai meranggas. Di teras rumah yang kian sepi itu seorang perempuan bertubuh subur menatap kosong ke arah jalanan di depan rumahnya.
Rumah bertingkat dua itu tampak lengang, rumah yang dulu begitu ramai dengan gelak tawa anak-anak. Rumah yang begitu dipenuhi kehangatan cinta sang suami, Imran.
Pagi itu Hasna menghela napas dengan berat, beban hidup ini membuatnya kian rajin melamun, menelusuri kenangan di tiap sudut waktu yang terasa kian menusuknya. Betapa tidak, hidupnya berubah drastis. Anak-anak yang sudah beranjak dewasa kini pergi untuk menafkahinya. Aisya, Hasbi, Ganiem, Rusdi dan Radit semuanya rela membanting tulang di usia belia demi sang ibu.
"Teganya kamu, Mas?" cecar Hasna sore itu. "Kamu tega menikahi Ratna diam-diam?"
"Aku kasian, Ma. Suaminya meninggal. Anaknya juga masih kecil-kecil," jawab Imran.
"Aku tahu, Mas. Dia sahabatku sejak kecil, bahkan suaminya adalah sahabatmu. Kita bisa menolong dengan cara lain, kan?"
"Semuanya terlanjur, Ma." Imran menunduk.
Dia memang bersalah karena tak meminta izin Hasna, mungkin pesona janda sahabatnya itu terlalu kuat mengalahkan kesetiaannya kepada Hasna.
"Maafkan aku, Na." Ratna terisak menghadapi sahabatnya yang kini bermuram durja.
"Belum kering lidahku menguatkanmu, Rat. Kau ingat! Aku berpesan kepadamu , jika suatu saat kamu menikah lagi, pilihlah pria yang lajang bukan merebut suami orang." Hasna memandang tajam sahabatnya.
"I-iya, Na." Pelan Ratna mengangguk.
"Iya apa, Rat? Iya, karena kamu tidak merebut suami orang, tapi kamu merebut suamiku, begitu?" Hasna makin berang.
Tiba-tiba Ratna bersujud di kaki Hasna, pilu tangisnya membuat Hasna termenung. Bukankah dia yang selama ini membantu ekonomi keluarga Ratna. Tapi inikah balasannya?
***
Takdir memang terkadang sepahit empedu. Hasna yang sedang menikmati rumah tangga dengan tentram, tiba-tiba harus merasakan sapuan badai. Biduknya mulai goyah ....
Sejak menikahi sahabatnya, Imran jarang pulang. Alasannya dia sibuk berbisnis furniture yang sudah sejak lama digelutinya. Beberapa kali dia meminta izin Hasna menggadaikan sertifikat tanah milik Hasna yang diwariskan mertuanya. Hasna adalah anak pemilik tuan tanah yang terkenal di kampung itu.
Usaha yang dijalani Imran sepertinya hanya menjadi sumber penghidupan bagi istri keduanya. Belum lagi, Ratna sekarang hamil. Makin kuatlah posisi Ratna untuk memonopoli Imran.
Bulan demi bulan berlalu, Hasna makin terjerembap dalam kepahitan. Hidupnya terombang-ambing dalam pergulatan, Imran sudah jarang memberi nafkah dan berbulan-bulan tidak pulang.
"Ceraikan saja aku, Mas ...," isak Hasna.
Dengan berat dia menemui suaminya di rumah sahabat yang sudah mempersembahkan neraka di hidupnya.
"Baiklah Hasna, jika itu maumu. Akan kukabulkan sekarang juga."
Sungguh tak disangka. Suami yang dulu Hasna banggakan, yang selalu menemani pahit dan manis kehidupan dalam kemiskinan. Kini dengan mudah menjatuhkan pilihan untuk membuangnya.
"Ayah, Ibu ... jika kalian ingin bercerai bunuh saja aku!"
Tanpa diduga si sulung Aisya muncul, gadis itu merasakan betapa hancurnya perasaan sang ibu.
"Aisya diam! Ini urusan orang tua," bentak Imran.
"Ayah yang harusnya sadar. Ayah memilih poligami tanpa menyakiti salah seorang istri."
Gadis itu terlampau kecewa, tapi dirinya tak ingin melihat keluarganya hancur seketika.
"Pulanglah, Ma."
Aisya memeluk ibunya erat.
"Tinggalkan Ibu. Ibu ingin sendiri, Aisya."
Hasna pergi, Ratna hanya tersenyum licik, selangkah lagi keinginannya akan tercapai. Menjadi istri Imran satu-satunya.
Hasna menangis di atas pusara ayahnya. Hanya di pusara itu dia bisa menumpahkan deritanya melalui isak tangis. Semua hartanya kini habis digadaikan Imran.
***
Hasna terbaring lemah, napasnya naik-turun. Suara monitor terdengar bagai musik horor menemani kesedihan yang terlihat di mata anak-anaknya. Imran belum kunjung datang, padahal sejak pingsannya Hasna sepulang dari pusara dia sudah dikabari. Hasna didiagnosa dokter terkena stroke. Pembuluh darah di otaknya telah pecah sehingga kini dia terbaring mati suri.
Hasna sebelumnya tak pernah mengeluh sejak Imran menasehatinya mengenai niat menikahi Ratna sebeagai upaya menolong sahabatnya.
Sebenarnya Hasna bukan seorang penuntut akan keadilan dalam tanggung jawab suaminya, tetapi nuraninya tak dapat dibohongi. Luka yang ditorehkan Ratna dengan diam-diam merebut Imran itulah yang menggerogoti pikirannya lebih dalam.
Sejak Imran makin gila dengan menghabiskan harta dan tanpa menengoknya sedikit pun, penyakit Hasna sudah terbentuk. Penyakit batin yang tiba-tiba bisa meledak bagai bom waktu.
***
"Pak, kami mohon maaf. Istri bapak mengalami gagal jantung, dan juga pendarahan parah di otaknya. Kami tak dapat menolongnya lagi."
Suara dokter tua itu bak halilintar yang menyambar di telinga anak-anak Hasna. Jeritan pilu tak dapat tergambarkan menghadapi kenyataan sang ibu pergi setelah tersiksa batinnya.
Imran tertegun, memegang tubuh kaku yang dulu dia cintai sebagai istri satu-satunya.
"Ayah jahat!" Teriakan penuh benci kini memenuhi pendengaran Imran.
Anak-anaknya memandang dengan penuh kebencian, kini dia kehilangan anak-anak yang dulu sangat mencintainya.
Sejak dulu Ratna cemburu dengan nasib Hasna, selain mendapatkan suami yang tampan dan harta melimpah. Seakan-akan kesempurnaan hidup sahabatnya itu menjadi sembilu dalam hatinya.
Sering dia merasa dikasihani oleh keluarga Hasna, walaupun dalam faktanya Hasna seorang dermawan. Fadli suaminya diberi pekerjaan sebagai pengurus utama ladang dan hektaran sawah keluarga kaya raya itu.
Hasna tak sedikit pun membedakan kedudukan dirinya dengan Ratna, baginya dia sahabat yang sudah dianggap saudara. Tapi, hati yang picik tetap bergejolak.
Ratna diam-diam menyimpan rasa kepada Imran. Pemuda yang dulu dia puja dalam hati, tetapi orang tua Imran justru melamar Hasna. Apalah daya Ratna yang hanya seorang gadis miskin. Tak sepadan dengan Hasna yang kaya raya.
Niat dalam hatinya makin bulat saat kematian menjemput suaminya, perempuan itu memang lebih menarik dan cantik walaupun seorang wanita miskin.
Ratna berhasil menaklukkan hati Imran yang lemah, pria paruh baya itu kini bertekuk lutut dan lebih memilih tinggal dengan Ratna. Semuanya berkat tangan dingin seorang dukun di kampung nun jauh di sana.
Sukma Imran kini terikat hanya kepada Ratna, semua permintaannya akan dikabulkan tanpa berpikir sedikit pun, Hati Ratna memang tersulut dengki, hingga dia nekad melakukan praktik ilmu hitam yang dia pesan dari dukun tua itu, tinggal menunggu saatnya tiba. Harapannya akan tercapai sempurna. Kini di atas tanah merah yang masih basah, seorang perempuan tersenyum penuh arti. Merayakan kemenangan yang baru saja didapatkan.
"Selamat tinggal, Sahabatku. Terima kasih untuk kebahagiaan yang kau berikan kepadaku," gumamnya sambil menabur bunga.
Awan perlahan kelam menyambut dukacita mendalam dari kepergian seorang bidadari. Rintik hujan membasahi tanah, mendinginkan sanubari yang terkoyak. Seseorang yang harus terenggut kebahagiaannya oleh angkara murka nafsu seorang hawa.
Tamat
Rumah bertingkat dua itu tampak lengang, rumah yang dulu begitu ramai dengan gelak tawa anak-anak. Rumah yang begitu dipenuhi kehangatan cinta sang suami, Imran.
Pagi itu Hasna menghela napas dengan berat, beban hidup ini membuatnya kian rajin melamun, menelusuri kenangan di tiap sudut waktu yang terasa kian menusuknya. Betapa tidak, hidupnya berubah drastis. Anak-anak yang sudah beranjak dewasa kini pergi untuk menafkahinya. Aisya, Hasbi, Ganiem, Rusdi dan Radit semuanya rela membanting tulang di usia belia demi sang ibu.
"Teganya kamu, Mas?" cecar Hasna sore itu. "Kamu tega menikahi Ratna diam-diam?"
"Aku kasian, Ma. Suaminya meninggal. Anaknya juga masih kecil-kecil," jawab Imran.
"Aku tahu, Mas. Dia sahabatku sejak kecil, bahkan suaminya adalah sahabatmu. Kita bisa menolong dengan cara lain, kan?"
"Semuanya terlanjur, Ma." Imran menunduk.
Dia memang bersalah karena tak meminta izin Hasna, mungkin pesona janda sahabatnya itu terlalu kuat mengalahkan kesetiaannya kepada Hasna.
"Maafkan aku, Na." Ratna terisak menghadapi sahabatnya yang kini bermuram durja.
"Belum kering lidahku menguatkanmu, Rat. Kau ingat! Aku berpesan kepadamu , jika suatu saat kamu menikah lagi, pilihlah pria yang lajang bukan merebut suami orang." Hasna memandang tajam sahabatnya.
"I-iya, Na." Pelan Ratna mengangguk.
"Iya apa, Rat? Iya, karena kamu tidak merebut suami orang, tapi kamu merebut suamiku, begitu?" Hasna makin berang.
Tiba-tiba Ratna bersujud di kaki Hasna, pilu tangisnya membuat Hasna termenung. Bukankah dia yang selama ini membantu ekonomi keluarga Ratna. Tapi inikah balasannya?
***
Takdir memang terkadang sepahit empedu. Hasna yang sedang menikmati rumah tangga dengan tentram, tiba-tiba harus merasakan sapuan badai. Biduknya mulai goyah ....
Sejak menikahi sahabatnya, Imran jarang pulang. Alasannya dia sibuk berbisnis furniture yang sudah sejak lama digelutinya. Beberapa kali dia meminta izin Hasna menggadaikan sertifikat tanah milik Hasna yang diwariskan mertuanya. Hasna adalah anak pemilik tuan tanah yang terkenal di kampung itu.
Usaha yang dijalani Imran sepertinya hanya menjadi sumber penghidupan bagi istri keduanya. Belum lagi, Ratna sekarang hamil. Makin kuatlah posisi Ratna untuk memonopoli Imran.
Bulan demi bulan berlalu, Hasna makin terjerembap dalam kepahitan. Hidupnya terombang-ambing dalam pergulatan, Imran sudah jarang memberi nafkah dan berbulan-bulan tidak pulang.
"Ceraikan saja aku, Mas ...," isak Hasna.
Dengan berat dia menemui suaminya di rumah sahabat yang sudah mempersembahkan neraka di hidupnya.
"Baiklah Hasna, jika itu maumu. Akan kukabulkan sekarang juga."
Sungguh tak disangka. Suami yang dulu Hasna banggakan, yang selalu menemani pahit dan manis kehidupan dalam kemiskinan. Kini dengan mudah menjatuhkan pilihan untuk membuangnya.
"Ayah, Ibu ... jika kalian ingin bercerai bunuh saja aku!"
Tanpa diduga si sulung Aisya muncul, gadis itu merasakan betapa hancurnya perasaan sang ibu.
"Aisya diam! Ini urusan orang tua," bentak Imran.
"Ayah yang harusnya sadar. Ayah memilih poligami tanpa menyakiti salah seorang istri."
Gadis itu terlampau kecewa, tapi dirinya tak ingin melihat keluarganya hancur seketika.
"Pulanglah, Ma."
Aisya memeluk ibunya erat.
"Tinggalkan Ibu. Ibu ingin sendiri, Aisya."
Hasna pergi, Ratna hanya tersenyum licik, selangkah lagi keinginannya akan tercapai. Menjadi istri Imran satu-satunya.
Hasna menangis di atas pusara ayahnya. Hanya di pusara itu dia bisa menumpahkan deritanya melalui isak tangis. Semua hartanya kini habis digadaikan Imran.
***
Hasna terbaring lemah, napasnya naik-turun. Suara monitor terdengar bagai musik horor menemani kesedihan yang terlihat di mata anak-anaknya. Imran belum kunjung datang, padahal sejak pingsannya Hasna sepulang dari pusara dia sudah dikabari. Hasna didiagnosa dokter terkena stroke. Pembuluh darah di otaknya telah pecah sehingga kini dia terbaring mati suri.
Hasna sebelumnya tak pernah mengeluh sejak Imran menasehatinya mengenai niat menikahi Ratna sebeagai upaya menolong sahabatnya.
Sebenarnya Hasna bukan seorang penuntut akan keadilan dalam tanggung jawab suaminya, tetapi nuraninya tak dapat dibohongi. Luka yang ditorehkan Ratna dengan diam-diam merebut Imran itulah yang menggerogoti pikirannya lebih dalam.
Sejak Imran makin gila dengan menghabiskan harta dan tanpa menengoknya sedikit pun, penyakit Hasna sudah terbentuk. Penyakit batin yang tiba-tiba bisa meledak bagai bom waktu.
***
"Pak, kami mohon maaf. Istri bapak mengalami gagal jantung, dan juga pendarahan parah di otaknya. Kami tak dapat menolongnya lagi."
Suara dokter tua itu bak halilintar yang menyambar di telinga anak-anak Hasna. Jeritan pilu tak dapat tergambarkan menghadapi kenyataan sang ibu pergi setelah tersiksa batinnya.
Imran tertegun, memegang tubuh kaku yang dulu dia cintai sebagai istri satu-satunya.
"Ayah jahat!" Teriakan penuh benci kini memenuhi pendengaran Imran.
Anak-anaknya memandang dengan penuh kebencian, kini dia kehilangan anak-anak yang dulu sangat mencintainya.
Sejak dulu Ratna cemburu dengan nasib Hasna, selain mendapatkan suami yang tampan dan harta melimpah. Seakan-akan kesempurnaan hidup sahabatnya itu menjadi sembilu dalam hatinya.
Sering dia merasa dikasihani oleh keluarga Hasna, walaupun dalam faktanya Hasna seorang dermawan. Fadli suaminya diberi pekerjaan sebagai pengurus utama ladang dan hektaran sawah keluarga kaya raya itu.
Hasna tak sedikit pun membedakan kedudukan dirinya dengan Ratna, baginya dia sahabat yang sudah dianggap saudara. Tapi, hati yang picik tetap bergejolak.
Ratna diam-diam menyimpan rasa kepada Imran. Pemuda yang dulu dia puja dalam hati, tetapi orang tua Imran justru melamar Hasna. Apalah daya Ratna yang hanya seorang gadis miskin. Tak sepadan dengan Hasna yang kaya raya.
Niat dalam hatinya makin bulat saat kematian menjemput suaminya, perempuan itu memang lebih menarik dan cantik walaupun seorang wanita miskin.
Ratna berhasil menaklukkan hati Imran yang lemah, pria paruh baya itu kini bertekuk lutut dan lebih memilih tinggal dengan Ratna. Semuanya berkat tangan dingin seorang dukun di kampung nun jauh di sana.
Sukma Imran kini terikat hanya kepada Ratna, semua permintaannya akan dikabulkan tanpa berpikir sedikit pun, Hati Ratna memang tersulut dengki, hingga dia nekad melakukan praktik ilmu hitam yang dia pesan dari dukun tua itu, tinggal menunggu saatnya tiba. Harapannya akan tercapai sempurna. Kini di atas tanah merah yang masih basah, seorang perempuan tersenyum penuh arti. Merayakan kemenangan yang baru saja didapatkan.
"Selamat tinggal, Sahabatku. Terima kasih untuk kebahagiaan yang kau berikan kepadaku," gumamnya sambil menabur bunga.
Awan perlahan kelam menyambut dukacita mendalam dari kepergian seorang bidadari. Rintik hujan membasahi tanah, mendinginkan sanubari yang terkoyak. Seseorang yang harus terenggut kebahagiaannya oleh angkara murka nafsu seorang hawa.
Tamat
Daftar Isi Cerpen Mama Muda
Zatil Mutie, penulis yang masih terus mencari jati diri di dunia literasi. Ibu dari dua orang anak yang sedang menimba ilmu dunia artikel. FB: Mona Zalfa Haziq Musyaffa. Ig: Moms Adeeva
Wihh sudah buat
ReplyDeleteKasihan Hasna,Ratna sungguh tega
ReplyDelete