Kutukan Suami, Sejuta Cinta Mama Muda
Event Menulis Cerpen Sejuta Cerita Cinta Mama Muda
"Dari segala yang tumbuh, hampir semuanya bisa dimakan, istriku!" kata Panji suatu ketika merasa geram akibat melihat Rania tengah mengerucutkan bibirnya dengan tangan yang mengepal.
"Kalau begitu aku akan masak daun andong. Sapi kan doyan daun itu, aku akan memasak itu untukmu, suamiku!" sungut Rania memicingkan matanya pada Panji.
"Hahhhah ..." Tawa Panji meledak akibat perkataan Rania. Kalau sudah begini, biasanya lelaki berhidung mancung itu akan menghukum istri mungilnya tersebut dengan kutukan di atas tempat tidur.
Rania menyadari perubahan air muka suaminya. Panji tengah tersenyum menyeringai padanya, jantungnya berdegup keras, dia lalu berpikir cepat dan memutar tubuh untuk segera beranjak dari wahana pertarungan pagi itu.
"Kenapa kamu tergesa wahai istriku?" tanya Panji diselingi tawa yang terkesan mengejek.
"Aku akan memasak. Jangan menggangguku!" tukas Rania sengit sembari mengeluarkan bahan makanan dari dalam lemari pendingin.
"Lihatlah wajahmu yang mirip kepiting rebus itu, istriku! Aku merasa sangat bergairah karenanya!" seru Panji yang sudah berada di samping Rania.
Rania adalah perempuan berkulit putih, hingga kemarahan atau kegusaran yang ditimbulkan akibat perubahan gestur tubuhnya akan membuat serupa ruam di wajah cantiknya. Rambutnya kerap dicepol dengan asal, hal itu semakin mensyaratkan kebeliaan dan terkesan sensual bernuansa entah.
Panji menarik pinggang semut Rania, hingga wanitanya itu melotot dan mengacungkan pisau di depan wajahnya yang terlihat mesum. "Jangan menggangguku atau kamu akan menyesal!" sergah Rania murka. Dia merasa sangat takut, dapat dilihat dari tangannya yang gemetar kala memegang gagang pisau tersebut.
"Kamu belum mendengarkan penjelasanku yang lain mengenai makanan, istriku!" desah Panji yang satu tangannya makin merekatkan pinggang Rania dengan perutnya dan satu lainnya mengambil pisau dari tangan ringkih istrinya.
Panji tersenyum penuh kemenangan, kala gagang pisau stainless itu beralih pada tangan liatnya, untuk kemudian dia buang ke atas meja pasir serupa mini bar yang juga berfungsi sebagai meja makan keluarga kecilnya tersebut.
"Apa kamu sudah selesai dengan ceramahmu itu, suamiku?" tanya Rania tak sabar. Dia tak ingin membuang waktu lagi untuk segera memasak.
Rania lalu berbalik untuk kembali pada kutukan dapurnya.
"Istriku!" panggil Panji degan nada gusarnya. Matanya menatap nanar pada tubuh Rania yang memesona baginya.
"Hmmm," balas Rania tak acuh, sebab kedua tangannya tengah sibuk dengan memilah bahan makanan di hadapannya.
"Aku tak tahan untuk menahannya lagi," jelas Panji yang memandangi istrinya dengan tatapan lapar.
"Jangan ganggu aku dengan berceramah lagi, suamiku. Aku akan segera memasakkan makanan untukmu," tekad Rania tanpa mau repot-repot menoleh pada suaminya.
Panji membuka tabir yang menutup bongkahan padat milik Rania. Dia sedang ingin sekarang dan akan melakukannya saat ini, tak peduli meskipun istrinya merasa tak siap, bahkan meronta.
Penulis: Warna Senja
Warna Senja adalah nama pena dari Qoni Makhfudhoh. Perempuan beruntung yang lahir 29 tahun di bumi Ngawi, Jawa Timur. Kegemaran menulis mulai benar-benar dia perjuangkan dengan mengusahakan banyak membaca.
Kutukan Suami, Love Story Young Mom
Selain harus mendekam di dapur–kutukan, Rania bahkan dikutuk oleh suaminya sekali waktu di tempat tidur. Sebenarnya Rania tak pandai memasak, hingga merasa dikutuk oleh suaminya. Pasalnya dia harus mendekam di dapur tiga kali sehari untuk menyiapkan makanan yang akan tersaji di meja makan setiap kali jam makan tiba.
"Dari segala yang tumbuh, hampir semuanya bisa dimakan, istriku!" kata Panji suatu ketika merasa geram akibat melihat Rania tengah mengerucutkan bibirnya dengan tangan yang mengepal.
"Kalau begitu aku akan masak daun andong. Sapi kan doyan daun itu, aku akan memasak itu untukmu, suamiku!" sungut Rania memicingkan matanya pada Panji.
"Hahhhah ..." Tawa Panji meledak akibat perkataan Rania. Kalau sudah begini, biasanya lelaki berhidung mancung itu akan menghukum istri mungilnya tersebut dengan kutukan di atas tempat tidur.
Rania menyadari perubahan air muka suaminya. Panji tengah tersenyum menyeringai padanya, jantungnya berdegup keras, dia lalu berpikir cepat dan memutar tubuh untuk segera beranjak dari wahana pertarungan pagi itu.
"Kenapa kamu tergesa wahai istriku?" tanya Panji diselingi tawa yang terkesan mengejek.
"Aku akan memasak. Jangan menggangguku!" tukas Rania sengit sembari mengeluarkan bahan makanan dari dalam lemari pendingin.
"Lihatlah wajahmu yang mirip kepiting rebus itu, istriku! Aku merasa sangat bergairah karenanya!" seru Panji yang sudah berada di samping Rania.
Rania adalah perempuan berkulit putih, hingga kemarahan atau kegusaran yang ditimbulkan akibat perubahan gestur tubuhnya akan membuat serupa ruam di wajah cantiknya. Rambutnya kerap dicepol dengan asal, hal itu semakin mensyaratkan kebeliaan dan terkesan sensual bernuansa entah.
Panji menarik pinggang semut Rania, hingga wanitanya itu melotot dan mengacungkan pisau di depan wajahnya yang terlihat mesum. "Jangan menggangguku atau kamu akan menyesal!" sergah Rania murka. Dia merasa sangat takut, dapat dilihat dari tangannya yang gemetar kala memegang gagang pisau tersebut.
"Kamu belum mendengarkan penjelasanku yang lain mengenai makanan, istriku!" desah Panji yang satu tangannya makin merekatkan pinggang Rania dengan perutnya dan satu lainnya mengambil pisau dari tangan ringkih istrinya.
Panji tersenyum penuh kemenangan, kala gagang pisau stainless itu beralih pada tangan liatnya, untuk kemudian dia buang ke atas meja pasir serupa mini bar yang juga berfungsi sebagai meja makan keluarga kecilnya tersebut.
Kutukan Antara Musibah dan Berkah
Sementara itu Rania meringis, saat merasakan getaran bergelombang memenuhi perutnya dan suaminya terlihat begitu bersemangat untuk semakin menepiskan jarak di antara mereka.
"Kukatakan hampir, Rania!" kata Panji menyambung kalimatnya dari wahana pertarungan tadi. Mata perempuan yang rambutnya dicepol asal itu mengerjap, merasa tak percaya pada sinar mata suaminya yang menyiratkan kedahsyatan cinta.
Posisi terlalu lengket seperti ini mirip dengan perangko yang ditempel pada amplop, sekonyong-konyong membuat degup jantung Rania menjadi tak beraturan. Meskipun istri Panji tersebut sudah menjentikkan badannya ke belakang agar tak terlalu rapat pada tubuh suaminya.
"Hampir semua bisa dimakan. Kukatakan hampir, karena beberapa bisa membuat orang yang nekad memakannya akan sekarat dan ajaibnya malah akan membuat orang lainnya memanjangkan umurnya kala memakannya dalam keadaan sekarat. Ini semua adalah rahasia paling sulit. Butuh waktu berabad-abad untuk menyimpulkannya. Jadi para nenek moyang akan mewariskan aneka resep kepada generasi setelahnya."
"Kukatakan hampir, Rania!" kata Panji menyambung kalimatnya dari wahana pertarungan tadi. Mata perempuan yang rambutnya dicepol asal itu mengerjap, merasa tak percaya pada sinar mata suaminya yang menyiratkan kedahsyatan cinta.
Posisi terlalu lengket seperti ini mirip dengan perangko yang ditempel pada amplop, sekonyong-konyong membuat degup jantung Rania menjadi tak beraturan. Meskipun istri Panji tersebut sudah menjentikkan badannya ke belakang agar tak terlalu rapat pada tubuh suaminya.
"Hampir semua bisa dimakan. Kukatakan hampir, karena beberapa bisa membuat orang yang nekad memakannya akan sekarat dan ajaibnya malah akan membuat orang lainnya memanjangkan umurnya kala memakannya dalam keadaan sekarat. Ini semua adalah rahasia paling sulit. Butuh waktu berabad-abad untuk menyimpulkannya. Jadi para nenek moyang akan mewariskan aneka resep kepada generasi setelahnya."
Panji berkata dengan nada mendayu nan erotis. Rania sampai menggigit bibirnya, karena menahan gairah yang entah. Pasalnya perempuan berlesung pipit tersebut merasakan aliran dingin yang menjalar pada tulang belakangnya.
Panji tersenyum menyeringai, melihat Rania yang terkesima oleh penjelasannya. "Mati kelaparan adalah hal yang konyol di tempat ini. Di sini banyak terdapat hutan lebat–maksudku adalah rimba yang berada di belakang rumah kita. Di sana ada buah-buahan yang bisa kita makan.
Panji tersenyum menyeringai, melihat Rania yang terkesima oleh penjelasannya. "Mati kelaparan adalah hal yang konyol di tempat ini. Di sini banyak terdapat hutan lebat–maksudku adalah rimba yang berada di belakang rumah kita. Di sana ada buah-buahan yang bisa kita makan.
Terdapat juga daun, batang, bahkan getahnya. Di sekitar rumah kita juga ada ladang pertanian, istriku!" imbuh Panji menahan punggung Rania yang seakan hampir terjatuh ke belakang.
Panji menarik tubuh istrinya dan menegakkannya kembali. Dia mulai mengambil jarak lima belas sentimeter dari Rania. Hingga terlihat senyum tipis yang terpeta dari wajah berbentuk oval di depannya.
"Dan kalau kamu ingin makan ikan atau bersuka cita untuk membuat masakan yang kaya protein agar suamimu ini kian perkasa, di sini ada sungai, danau, dan telaga di mana ikan berbiak lebih cepat dari manusia, istriku!"
Panji menarik tubuh istrinya dan menegakkannya kembali. Dia mulai mengambil jarak lima belas sentimeter dari Rania. Hingga terlihat senyum tipis yang terpeta dari wajah berbentuk oval di depannya.
"Dan kalau kamu ingin makan ikan atau bersuka cita untuk membuat masakan yang kaya protein agar suamimu ini kian perkasa, di sini ada sungai, danau, dan telaga di mana ikan berbiak lebih cepat dari manusia, istriku!"
Seperti tak bosan, Panji ingin menyelesaikannya–menceramahi istrinya. Rania sendiri hanya menatap suaminya dengan tatapan nanar dan masih betah untuk membungkam mulutnya, bibirnya yang terlihat seperti belahan pada bagian bawahnya itu begitu menawarkan kecanduan bagi Panji.
"Kita tak perlu khawatir kekurangan makanan, istriku. Kamu tentu tak ingin bertanya luasnya laut di dunia, kan?" olok Panji tertawa kecil untuk memberi waktu sang istri agar bisa mencerna kalimat-kalimat yang dia lontarkan dari bibir tebalnya sedari tadi.
"Cccck ... kamu akan berkata kalau cintamu seluas lautan?" sergah Rania jumawa. Terlihat lesung pipitnya begitu menggoda saat istri Panji tersebut berkata demikian.
"Kamu salah paham. Aku tak mencintaimu, istriku!" elak Panji. "Cintaku padamu hanya sedikit. Aku sedang tak ingin merayumu dengan kata-kata. Tolong dengarkan penjelasanku mengenai makanan dulu!" pinta Panji serius.
Rania mengangguk paham. Rona merah di wajahnya membuat Panji gerah. Namun, sebisa mungkin pria berbadan tinggi dan tegap itu menahannya.
"Di sini, di sekitar kita, istriku. Kita dapat melihat banyak hewan-hewan liar yang tampak sejinak merpati. Dan akan aku katakan keajaiban tanah yang kita pijak, di mana saat kita melemparkan sesuatu, maka dia akan tumbuh!" seru Panji bersemangat.
"Biji?" tanya Rania memastikan. Panji membalasnya dengan anggukan.
"Di tanah yang kita pijak ini, orang seperti Alfred Russel Wallace tercengang-cengang kepada ribuan spesies yang hidup dan yang mati. Di tanah ini pula, orang seperti Eugene Dubois mengaduk-ngaduk yang pernah hidup. Tapi di antara itu semua, adalah hal paling mengiris dan memilukan hati. Yaitu kala para pedagang yang segera berhitung tentang keuntungan mereka dari negeri kita yang penuh dengan harta karun ini." Terdapat getaran pada nada suara Panji saat mengucapkannya.
"Kita tak perlu khawatir kekurangan makanan, istriku. Kamu tentu tak ingin bertanya luasnya laut di dunia, kan?" olok Panji tertawa kecil untuk memberi waktu sang istri agar bisa mencerna kalimat-kalimat yang dia lontarkan dari bibir tebalnya sedari tadi.
"Cccck ... kamu akan berkata kalau cintamu seluas lautan?" sergah Rania jumawa. Terlihat lesung pipitnya begitu menggoda saat istri Panji tersebut berkata demikian.
"Kamu salah paham. Aku tak mencintaimu, istriku!" elak Panji. "Cintaku padamu hanya sedikit. Aku sedang tak ingin merayumu dengan kata-kata. Tolong dengarkan penjelasanku mengenai makanan dulu!" pinta Panji serius.
Rania mengangguk paham. Rona merah di wajahnya membuat Panji gerah. Namun, sebisa mungkin pria berbadan tinggi dan tegap itu menahannya.
"Di sini, di sekitar kita, istriku. Kita dapat melihat banyak hewan-hewan liar yang tampak sejinak merpati. Dan akan aku katakan keajaiban tanah yang kita pijak, di mana saat kita melemparkan sesuatu, maka dia akan tumbuh!" seru Panji bersemangat.
"Biji?" tanya Rania memastikan. Panji membalasnya dengan anggukan.
"Di tanah yang kita pijak ini, orang seperti Alfred Russel Wallace tercengang-cengang kepada ribuan spesies yang hidup dan yang mati. Di tanah ini pula, orang seperti Eugene Dubois mengaduk-ngaduk yang pernah hidup. Tapi di antara itu semua, adalah hal paling mengiris dan memilukan hati. Yaitu kala para pedagang yang segera berhitung tentang keuntungan mereka dari negeri kita yang penuh dengan harta karun ini." Terdapat getaran pada nada suara Panji saat mengucapkannya.
"Apa kamu sudah selesai dengan ceramahmu itu, suamiku?" tanya Rania tak sabar. Dia tak ingin membuang waktu lagi untuk segera memasak.
Rania lalu berbalik untuk kembali pada kutukan dapurnya.
"Istriku!" panggil Panji degan nada gusarnya. Matanya menatap nanar pada tubuh Rania yang memesona baginya.
"Hmmm," balas Rania tak acuh, sebab kedua tangannya tengah sibuk dengan memilah bahan makanan di hadapannya.
"Aku tak tahan untuk menahannya lagi," jelas Panji yang memandangi istrinya dengan tatapan lapar.
"Jangan ganggu aku dengan berceramah lagi, suamiku. Aku akan segera memasakkan makanan untukmu," tekad Rania tanpa mau repot-repot menoleh pada suaminya.
Panji membuka tabir yang menutup bongkahan padat milik Rania. Dia sedang ingin sekarang dan akan melakukannya saat ini, tak peduli meskipun istrinya merasa tak siap, bahkan meronta.
Karena tubuh menggeliat perempuan bersurai hitam itu membuatnya tak bisa berpaling ke lain hati. Alasan itulah yang membuatnya betah untuk menghabiskan sisa umurnya, menua bersama orang terkasihnya.
'Ini kutukan lainnya!' seru Rania membatin di mana satu tangannya mencengkram pada tepian meja pasir di depannya.
'Ini kutukan lainnya!' seru Rania membatin di mana satu tangannya mencengkram pada tepian meja pasir di depannya.
The End
Kumpulan Cerpen Mama Muda
Warna Senja adalah nama pena dari Qoni Makhfudhoh. Perempuan beruntung yang lahir 29 tahun di bumi Ngawi, Jawa Timur. Kegemaran menulis mulai benar-benar dia perjuangkan dengan mengusahakan banyak membaca.
Bagi perempuan berdarah Jawa itu, menulis sangat mampu meredam amarahnya kepada kehidupan. Di mana dia mulai berani berjuang untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi.
Motto hidupnya adalah 'Berteman dengan sepi akan membuatmu mengerti'. Sebenarnya Warna Senja adalah nama rumah baca yang terdaftar di pustaka bergerak. Sahabat penulis sendiri Nun Unroto El Banbaruly-lah yang 'merongrong' kepada Warna Senja untuk menulis, membaca (baca: menjadi predator buku), dan mendirikan rumah baca. Akhirnya Warna Senja yang berarti 'pribadi yang mengeja' ini hadir untuk turut mewarnai dunia. Salam kenal dan salam santun. ^~^
Motto hidupnya adalah 'Berteman dengan sepi akan membuatmu mengerti'. Sebenarnya Warna Senja adalah nama rumah baca yang terdaftar di pustaka bergerak. Sahabat penulis sendiri Nun Unroto El Banbaruly-lah yang 'merongrong' kepada Warna Senja untuk menulis, membaca (baca: menjadi predator buku), dan mendirikan rumah baca. Akhirnya Warna Senja yang berarti 'pribadi yang mengeja' ini hadir untuk turut mewarnai dunia. Salam kenal dan salam santun. ^~^
Maturnwun kakak cantik
ReplyDeleteAlhamdulillah Maturnwun cerpenku dimuat di sini kakak bebeb Admin
ReplyDeletemantap jiwaaaaa....
ReplyDeletesukses selalu buat otor kece badai ini....
Maturnwun kakak cantik
DeleteMasyaaAllah.. Tabarakallah
ReplyDeleteKeren kakak
Tetap semangat
Alhamdulillah Maturnwun Adik Cantik
DeleteGood
ReplyDeleteAlhamdulillah Maturnwun kakak ganteng
DeleteBagus
ReplyDeleteAlhamdulillah Maturnwun kakak cantik
Delete