Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Love Between Us, Sejuta Cinta Mama Muda

Cerpen Sejuta Cerita Cinta Mama Muda 


Love Between Us, Story Young Mom

Aku berjumpa dengannya sekitar tahun 2002, saat duduk di bangku kuliah semester 1, sedangkan dia semester 3. Usia kami terpaut dua tahun, jurusan pun berbeda, aku pendidikan bahasa Inggris dan dia pendidikan olahraga. 20 November 2002,  tepatnya di bulan Ramadhan itulah awal pertemuan kami.


Salah satu sahabatku di kampus memberi tahu bahwa ada kakak tingkat yang ingin berkenalan denganku, didera rasa penasaran, dengan malu-malu juga, akhirnya aku menemui dia di tempat yang telah dijanjikan. Sebuah lagu milik Reza Arthamevia yang berjudul Dia, mengalun indah di tempat bersua, menjadi saksi bahwa pertemuan ini tak mampu mencairkan kekakuan di antara kami.




27 Mei 2015, kami memutuskan untuk menikah, mengarungi biduk rumah tangga, berlayar,  mendayung perahu kehidupan berdua, berjanji sehidup semati, seia sekata, dan saling menguatkan. Betapa bahagianya saat Allah menghadirkan buah cinta kami pada 12 Oktober 2016, lahirlah seorang putra yang sangat mirip dengannya.

Sudah hampir empat tahun kami menjalani bahtera rumah tangga, namun ternyata praktiknya tak seindah dan tak semudah teori yang diucapkan ....

Kebiasaan yang Menyebalkan 

“Mi, kemeja batik Abi yang warna coklat dimana?” Celana panjang hitamnya udah disetrika belum?”

Beginilah setiap pagi sebelum dia berangkat ngajar, adegannya berulang, seperti syuting film yang dialognya masih salah, selalu saja ia menanyakan benda yang akan ia gunakan. Aku tengah memakaikan baju pada si kecil yang baru saja kumandikan.

“Ada di lemari, Bi, disimpan di tempat biasa kok. Kemeja carinya di tumpukan kemeja, celana juga sama di tumpukan celana.” 


Kuhampiri dia yang masih kebingungan di depan lemari.  Subhanallah, betapa berantakannya hasil dia mengubek seluruh isi lemari.

“Yang ini bukan?” Aku menyodorkan kemeja batik dan celana panjang yang tadi dicarinya.

“Hehehe, iya.”



Tak berapa lama, setelah sarapan, ia pun pamit. Kucium tangannya dengan takzim, seraya berdoa dalam hati. Semoga imamku ini selalu dimudahkan jalannya dimudahkan dalam mengais rezeki. Lima belas menit kemudian, terdengar suara deru motornya, kok dia balik lagi? Mungkin mau ngasih kejutan pikirku.


“Mi, lihat hape Abi, nggak?” tanyanya setelah ia turun dari motornya dengan menunjukkan raut yang kebingungan. 

“Memang semalam disimpan di mana?”

“Di atas nakas, Umi. Di sini.” Telunjuknya menuding tepat ke atas nakas di dalam kamar. Dia juga mulai membuat berantakan barang-barang di rumah.

Aku pun ikut mencari. Untung saja si kecil masih terlelap.

“Ini hape-nya ada di bawah bantal.” 

Aku memberikan benda yang ia cari.

Alih-alih ngasih sun sayang, dia langsung bergegas pergi, meninggalkan benda-benda yang letaknya sudah tak beraturan. Duh, kalau sudah begini, rasanya ingin makan nasi sebakul plus ramen pedas level maksimal.

***

“Palu di mana, Umi?” 

“Ada, tuh, di bawah meja dispenser.”

Sejurus kemudian dia berjalan ke arah dapur, kebetulan ibu mertua tengah berkunjung ke rumah. Aku, anakku Azril, dan mertuaku duduk di depan sambil menonton tv. Lima menit berlalu, ia menghampiri dengan raut wajah bak anak kecil yang minta dibelikan mainan.

“Nggak ada.”

Keningku berkerut. Rasanya ingin ngomel, tapi tetap kutahan karena jaim sama mertua. 

“Coba cari sekali lagi. Lagian, Azril nggak mungkin berani mainin benda milik Abi.” Aku berusaha santai. Kulirik ibu mertua yang juga tengah melirik ke arahku.

 Akhirnya ia balik lagi ke dapur. Tidak lama kemudian, ia kembali lagi dengan keluhan yang sama. Stok sabarku sudah menipis, jadi tak peduli lagi dengan kehadiran mertua.

“Kalau palunya ketemu di sana, sekalian aja suruh mainin sama Azril!” Sambil berjalan aku sempat melirik ke arah mertua, penasaran dengan ekspresinya saat aku perlakukan anaknya seperti itu. Ternyata palunya memang berada di tempat yang aku beri tahu. 


“Kita ini wonder woman, serba tahu dan selalu menemukan apa yang dibutuhkan suami. Ayahnya juga sama, tuh, begitu,” cerita mertuaku sambil tertawa. Alhamdulillah, ternyata beliau nggak marah saat aku ketus pada anaknya.

“Iya maaf, Umi. Sepertinya Umi lelah, ya? Biar nggak jenuh dan efeknya ngomel-ngomel melulu, besok kita shopping.”


Aku sebenarnya nggak mempan dengan rayuan gombal, tapi kalau diajak jalan-jalan, rasanya susah untuk menolak, walaupun hanya sekedar window shopping. Lumayan, buat [refreshing

***

Esoknya, sebagai permintaan maaf, dia menepati janji, membawa jalan-jalan ke sebuah mall di kota Bandung. Sesampainya disana, pandangan mataku langsung tertuju pada baju-baju anak.


“Bi, setelannya bagus, ya, buat Azril?”

“Eh iya bagus, warnanya juga biru, cerah, Azril pakai ukuran nomor enam, 'kan?”

“Delapan, Bi, enam kekecilan.”“Enam, Mi, delapan kayaknya kebesaran buat dia.”

Setelah sekian lama memperdebatkan ukuran setelan yang akan dibeli, akhirnya aku menyerah, dia merasa yakin pilihannya pas di badan Azril.


 Sesampainya di rumah, aku benar-benar kecewa. Ternyata ukuran yang dia pilih kekecilan buat Azril, celananya pun kependekan, alias ngatung. Nah, kan, apa kubilang, wanita memang nggak pernah salah.

“Coba kalau pilih ukuran delapan, biar pun kebesaran kan bisa dirombak. Kalau kekecilan, dirombaknya dengan cara apa?!”


Dia tak mampu berkata-kata mendengarkan omelanku, lantas berjalan ke teras rumah.

***

“Tumben jam segini baru pulang, hujan lagi,” ucapnya,  memberikan handuk.


“Makasih, Bi. Biasa, lembur mengerjakan rapor,” jawabku, beranjak menuju kamar mandi.


Betapa terharunya, melihat piring kotor yang tadi pagi tak sempat kukerjakan, kini sudah tersusun rapi di rak. Timbul rasa bersalah, seharian ini ia telah mengerjakan semua pekerjaan rumah dan menjaga Azril.


“Sudah, Mi. Jangan langsung buka laptop, lihat mata pandamu, tandanya perlu istirahat.” Dia memberikan mug  berisi hot chocolate  padaku.

"Makasih, Bi." Aku meraih mug  di tangan suami dan mulai meneguknya sedikit. Namun, alih-alih menuruti perintahnya yang menyuruhku beristirahat, aku kembali berkutat dengan pekerjaan sekolah yang belum rampung.

“Ini, Bi, aplikasi rapornya error.” Mataku mulai terpaku lagi pada layar laptop.

“Ya, sudah, nanti Abi coba perbaiki. Sekarang Umi tidur.” Dia menuntunku ke kamar. Bagai kerbau dicocok hidung, kuturuti permintaannya, berbaring di samping si kecil. Kemudian ia menyelimutiku.

Esoknya, kusaksikan ia tidur di lantai ruang tengah, hanya beralaskan karpet. Laptop masih dalam keadaan menyala. Ketika kuperiksa, rapornya sudah terisi nilai anak-anak, berarti semalaman ia begadang untuk menyelesaikan pekerjaan sekolahku.

Tangisku pecah, kupeluk ia erat. “Maafkan Umi, ya, Bi, sering kesal sama Abi, sering ngomel-ngomel nggak jelas, maaf ....” Hanya itu yang mampu terucap di sela isak tangisku.

Ia terlonjak kaget dan terbangun dari tidurnya. “Umi kenapa? Jangan nangis, ini sudah kewajiban seorang suami membantu pekerjaan istrinya.” 

Aky trenyuh dan terharu mendengar penuturannya. Perlahan-lahan, jemarinya menyeka bulir bening yang mulai membanjiri pipi. Kuraih jemari dia dan kukecup lembut. 


"Umi, Abi ...." 



Kami serempak menoleh ke arah pintu kamar. Lalu, bersamaan memeluk si kecil yang baru saja bangun dan tengah berdiri memandangi kami dari ambang pintu. 


Begitulah kisah kami, dialah imamku. Walau pun seperti itu, namun banyak hal manis yang dia lakukan, selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk keluarga kecilnya. Semoga rumah tangga kami sakinah mawaddah warahmah ‘till Jannah. Aamiin.


Teruntuk duo jagoanku, my lovely Hubby, Dhany Baskara Soebrata and my dearest son, Azril Baasith Ahkam, anugerah terindah yang hadir mewarnai hidupku, beruntungnya memiliki kalian ....


The End 

Kumpulan Cerpen Mama Muda


INDEKS PESERTA EVENT MENULIS CERPEN SEJUTA CINTA MAMA MUDA 


Author, Teh Icus 

Post a Comment for "Love Between Us, Sejuta Cinta Mama Muda "