Mertua Rewel Mertua Bawel, Sejuta Cinta Mama Muda
Event Menulis Cerpen Sejuta Cerita Cinta Mama Muda
Cerpen Mama Muda - Event Menulis Cerita Sejuta Cinta Mama Muda
I want to die lying in your arms
I want to grow old with you
I want to be looking in your eyes
I want to be there for you, sharing everything you do
I want to grow old with you
Mertua Rewel, Mertua Bawel
Kudendangkan lagu I Want to Grow Old With You yang disetel melalui ponsel. Gagang pel kini beralih fungsi menjadi mic. Sesekali mic diturunkan untuk membersihkan kolong sofa, tempat para kecoa mengintip. Menurut Mas Rama, suamiku, suara ini enggak jelek-jelek amat. Kemungkinan bisa membuat Mas Anang berkata, "Aku sih, yes."
Lagu Westlife yang satu ini adalah salah satu lagu favoritku. Lagu yang paling menggambarkan perasaanku kepada Mas Rama, yang gantengnya mirip Shane Fillan, salah satu personil boyband asal Irlandia yang sangat aku idolakan. Satu tahun pernikahan telah aku lalui dengan bahagia.
Hidupku terasa cerah ceria, mengarungi biduk rumah tangga bersama Shane Fillan kw lima ini. Mas Rama pun terlihat senang luar biasa beristrikan diriku yang katanya mirip Raisa tanpa make up. Semua sangat sempurna, kecuali ....
"Laras!"
Suara cempreng yang sudah sangat tak asing lagi itu menyentakku dari lamunan.
"Eh, Emak. Sudah lama di situ?" Setelah mematikan ponsel, kuhampiri, Ibu mertua yang berdiri di tengah pintu, hendak mencium tangannya. Namun, karena gugup, bukan tangan yang diulurkan, melainkan gagang pel. Ibu mertua mencerocos tidak jelas ketika lap pel membasahi gamis ungu yang kemarin baru saja dibelinya di Pasar Baru Trade Center.
"Duh, Mak. Maaf." Kuraih kanebo yang ada di atas meja dan mulai mengelap gamisnya.
Ya Allah, lagi-lagi aku membuat kesalahan. Gamis Emak Otih malah semakin kotor. Aku baru ingat, itu kanebo kan baru saja dipakai mengelap kaca jendela yang sudah dua minggu belum kubersihkan. Panik, aku benar-benar panik. Apalagi beliau kini sudah membuka mulutnya lebar-lebar, hendak berteriak.
"Mak, sabar Mak. Ini makan dulu kalua jeruk khas Ciwidey. Biar hati Emak manis dan adem."
Alhamdulillah, strategiku menyodorkan setoples cemilan kesukaan Emak mertua sebagai sogokan ternyata berhasil membuatnya tak lagi mencerocos. Kini, si Ibu mertua sudah duduk manis sambil mengunyah kalua jeruknya perlahan-lahan.
"Eh, Laras. Mana si Rama? Emak mau ngomong hal penting sama kalian berdua."
"Sebentar, Mak. Laras panggil dulu." Aku beranjak menuju kamar memanggil suami. Tak berapa lama, kami berdua sudah duduk di depan sang Emak, seperti pengawal yang menghadap rajanya.
"Rama, Laras. Kapan kalian teh kasih cucu ke Emak? Laras, kamu enggak mandul kan?" Sang Ibu mertua menatap tajam ke arahku.
"Hallo, baby boy. Yuk, gendong sama Panda."
Aku tersentak, saat mendengar dia mengigau seperti itu. Rasa sesak, terasa menghimpit dalam dada. Ternyata, Mas Rama juga sangat mendambakan hadirnya seorang anak dalam hidupnya.
Bulir bening terjun bebas di kedua pipi. Bibirku tak henti-henti berucap syukur pada-Nya yang telah mengabulkan satu hal yang paling aku harapkan, kini benar-benar telah hadir di kehidupan rumah tangga kami.
"Laras!"
Suara cempreng yang sudah sangat tak asing lagi itu menyentakku dari lamunan.
"Eh, Emak. Sudah lama di situ?" Setelah mematikan ponsel, kuhampiri, Ibu mertua yang berdiri di tengah pintu, hendak mencium tangannya. Namun, karena gugup, bukan tangan yang diulurkan, melainkan gagang pel. Ibu mertua mencerocos tidak jelas ketika lap pel membasahi gamis ungu yang kemarin baru saja dibelinya di Pasar Baru Trade Center.
"Duh, Mak. Maaf." Kuraih kanebo yang ada di atas meja dan mulai mengelap gamisnya.
Ya Allah, lagi-lagi aku membuat kesalahan. Gamis Emak Otih malah semakin kotor. Aku baru ingat, itu kanebo kan baru saja dipakai mengelap kaca jendela yang sudah dua minggu belum kubersihkan. Panik, aku benar-benar panik. Apalagi beliau kini sudah membuka mulutnya lebar-lebar, hendak berteriak.
"Mak, sabar Mak. Ini makan dulu kalua jeruk khas Ciwidey. Biar hati Emak manis dan adem."
Alhamdulillah, strategiku menyodorkan setoples cemilan kesukaan Emak mertua sebagai sogokan ternyata berhasil membuatnya tak lagi mencerocos. Kini, si Ibu mertua sudah duduk manis sambil mengunyah kalua jeruknya perlahan-lahan.
"Eh, Laras. Mana si Rama? Emak mau ngomong hal penting sama kalian berdua."
"Sebentar, Mak. Laras panggil dulu." Aku beranjak menuju kamar memanggil suami. Tak berapa lama, kami berdua sudah duduk di depan sang Emak, seperti pengawal yang menghadap rajanya.
"Rama, Laras. Kapan kalian teh kasih cucu ke Emak? Laras, kamu enggak mandul kan?" Sang Ibu mertua menatap tajam ke arahku.
Jari telunjuknya menuding tepat di wajah. Aku menelan saliva. Ingin rasanya kusuruh beliau mencicipi air bekas pel agar mulutnya yang tengah mengunyah kalua itu tidak sembarangan bicara. Namun, tentu saja hal itu tak mungkin kulakukan. Mas Rama bisa-bisa mendiamkan aku selama tujuh prunama.
"Enggak, Mak. Kan waktu itu Laras sama Mas Rama periksa ke dokter. Alhamdulillah, hasilnya semua sehat. Hanya Allah belum ngasih aja."
"Enggak, Mak. Kan waktu itu Laras sama Mas Rama periksa ke dokter. Alhamdulillah, hasilnya semua sehat. Hanya Allah belum ngasih aja."
Aku menjelaskan dengan kalimat yang sebenarnya sudah bosan kudengar, sebab setiap bulan aku selalu mengucapkan kata-kata yang sama. Terlintas ide untuk merekam kalimat tersebut. Jadi kalau Ibu mertua menanyakan hal yang sama, aku tinggal menyetelnya.
"Emak enggak mau tahu. Kalau bulan depan si Laras enggak bisa hamil juga. Terpaksa, Emak jodohkan kamu dengan Sinta. Dia udah suka sama kamu sejak SD, Rama. Sinta itu, udah cantik, pinter masak lagi, terutama semur jengkol kesukaan Emak. Ini, punya menantu bukannya menyenangkan mertua, malah anti sama jengkol.
"Emak enggak mau tahu. Kalau bulan depan si Laras enggak bisa hamil juga. Terpaksa, Emak jodohkan kamu dengan Sinta. Dia udah suka sama kamu sejak SD, Rama. Sinta itu, udah cantik, pinter masak lagi, terutama semur jengkol kesukaan Emak. Ini, punya menantu bukannya menyenangkan mertua, malah anti sama jengkol.
Gimana bisa ngurus pabrik kita? Denger, Rama, dalam cerita juga disebutkan kalau Rama itu jodohnya Sinta, bukan Laras, salah pilih istri kamu, tuh.
Kalau kamu nggak juga punya keturunan dan saat kamu kelak bakal menua dan nggak sanggup ngurus pabrik kerupuk jengkol peninggalan almarhum Abahmu, siapa yang mau meneruskan mengurusnya? Renungkan baik-baik, Rama."
Suara Ibu mertua bergetar. Keinginannya untuk menimang cucu sangatlah besar. Ia berlalu meninggalkan kami berdua yang diam terpaku, dengan jalan pikiran masing-masing.
"Mas, kalau memang itu maunya Ibumu biar aku yang mengalah." Aku mulai terisak dalam dekapannya. Perlahan aku mulai menyanyikan lagu I Want to Grow Old With You dengan lirih. Rinai membanjiri pipi. Ada rasa nyeri menghunjam hati.
"Sudah, jangan nangis. Nanti aku bicarakan lagi dengan Emak."
Tiba-tiba Mas Rama berlutut di hadapanku. Ia menggenggam kedua jemariku. "Hari Selasa pergi ke pasar Rabu, aku bahagia, hanya bila bersamamu."
Mas Rama .... Dia memang selalu bisa mengubah tangisku menjadi tawa. Pelukan kami semakin erat, berusaha saling menguatkan dan tak ingin terpisahkan.
Cahaya mentari menerobos masuk ke ruangan mewah bernuansa cat serba putih melalui jendela ruang tengah yang masih tertutup tirai.
"Mas, kalau memang itu maunya Ibumu biar aku yang mengalah." Aku mulai terisak dalam dekapannya. Perlahan aku mulai menyanyikan lagu I Want to Grow Old With You dengan lirih. Rinai membanjiri pipi. Ada rasa nyeri menghunjam hati.
"Sudah, jangan nangis. Nanti aku bicarakan lagi dengan Emak."
Tiba-tiba Mas Rama berlutut di hadapanku. Ia menggenggam kedua jemariku. "Hari Selasa pergi ke pasar Rabu, aku bahagia, hanya bila bersamamu."
Mas Rama .... Dia memang selalu bisa mengubah tangisku menjadi tawa. Pelukan kami semakin erat, berusaha saling menguatkan dan tak ingin terpisahkan.
Cahaya mentari menerobos masuk ke ruangan mewah bernuansa cat serba putih melalui jendela ruang tengah yang masih tertutup tirai.
Aroma pengharum ruangan lavender menguar menenangkan siapa saja yang menghirupnya. Aku menutup kedua matanya dengan tangan menghindari silaunya cahaya.
Aku menatap wajah Mas Rama yang masih terlelap di pembaringan. Wajahnya begitu damai. Sesekali bibirnya tampak tersenyum. Apa yang tengah dia, ya?
"Hallo, baby boy. Yuk, gendong sama Panda."
Aku tersentak, saat mendengar dia mengigau seperti itu. Rasa sesak, terasa menghimpit dalam dada. Ternyata, Mas Rama juga sangat mendambakan hadirnya seorang anak dalam hidupnya.
Sama seperti Mak Otih. Panda, Manda, Mas Rama mengharapkan kalau nanti punya anak, dia akan memanggil kami demikian.
Aku menyeka bulir bening yang mulai menggenang, lalu beringsut dari pembaringan menuju kamar mandi. Kuraih test pack dari atas nakas yang iseng-iseng aku beli kemarin dari apotik. Penasaran aja, sih, sebab sudah tiga minggu lamanya aku telat datang bulan.
Berharap, semoga saja aku bisa memberi kabar bahagia agar mimpi Mas Rama menjadi kenyataan.
Kalau memang Allah mentakdirkan dalam janin ini ada buah hati, mungkin Mak Otih juga tak akan terlalu membenciku.
"Mas!" Aku berlari tergesa-gesa menuju kamar, ketika melihat sesuatu di testpack itu.
"Mas, bangun, Mas. Lihat ini." Perlahan-lahan, aku mengguncang badan suamiku berkali-kali.
Mas Rama mengucek matanya berkali-kali, sembari sesekali menguap. Tangannya mengambil testpack yang kusodorkan padanya.
"Dua garis merah? Berarti ... kamu ... positif? Hamil?" tanya Mas Rama tak percaya. Dia melebarkan pandangannya.
Aku mengangguk pelan.
Testpack di genggamannya bergetar. Matanya berkaca-kaca. Ada kebahagiaan terpancar di kedua netranya.
Kuusap lembut kedua pipinya sambil bersenandung. "I want to grow old witu you ...."
"Emak ... Emak mau punya cucu!" teriak Mas Rama sambil menghambur ke luar. Baru sampai teras, ia kembali masuk ke kamar, menghampiriku.
"Mas!" Aku berlari tergesa-gesa menuju kamar, ketika melihat sesuatu di testpack itu.
"Mas, bangun, Mas. Lihat ini." Perlahan-lahan, aku mengguncang badan suamiku berkali-kali.
Mas Rama mengucek matanya berkali-kali, sembari sesekali menguap. Tangannya mengambil testpack yang kusodorkan padanya.
"Dua garis merah? Berarti ... kamu ... positif? Hamil?" tanya Mas Rama tak percaya. Dia melebarkan pandangannya.
Aku mengangguk pelan.
Testpack di genggamannya bergetar. Matanya berkaca-kaca. Ada kebahagiaan terpancar di kedua netranya.
Kuusap lembut kedua pipinya sambil bersenandung. "I want to grow old witu you ...."
"Emak ... Emak mau punya cucu!" teriak Mas Rama sambil menghambur ke luar. Baru sampai teras, ia kembali masuk ke kamar, menghampiriku.
"Tadi itu apa artinya?"
"Aku ingin menua bersamamu."
Mas Rama mengusap lembut pipiku seraya tersenyum manis. Dia lalu kembali menghambur ke luar, berlari menuju rumah Mak Otih yang letaknya tak terlalu jauh dari tempat kami mengontrak.
"Aku ingin menua bersamamu."
Mas Rama mengusap lembut pipiku seraya tersenyum manis. Dia lalu kembali menghambur ke luar, berlari menuju rumah Mak Otih yang letaknya tak terlalu jauh dari tempat kami mengontrak.
Bulir bening terjun bebas di kedua pipi. Bibirku tak henti-henti berucap syukur pada-Nya yang telah mengabulkan satu hal yang paling aku harapkan, kini benar-benar telah hadir di kehidupan rumah tangga kami.
Daftar Isi Cerpen
Author, Teh Icus. Penulis Novel dan Fiksi
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteMakasih, Kak
ReplyDelete🌹🌹🌹🌹suka sama cerpennya
ReplyDeleteTerima kasih, Mbak 🙏
Deleteklo aq nyanyinya rock teh Bkn westlife hahaha judulnya Ibwant to break free queen wkwkwkw alias ga mau nyapu
ReplyDelete😂🤭
DeleteBerakhir bahagia. Berasa kurang panjang lho. Bagus Mbak, aki suka
ReplyDeleteTerima kasih, Mbak
DeleteMantap, kunjungi juga artikelartikelterbaru.blogspot.com
ReplyDeleteKita saling support.