Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Sejuta Cinta Mama Muda: Messenger Tengah Malam

Event Menulis Cerpen, Sejuta Cerita Cinta Mama Muda 



Cerpen Mama Muda-  Tak bisa tidur. Tiada kantuk menyerang padahal nyaris tengah malam. Entah apa yang membuatku tak mengantuk. Biasanya lewat pukul delapan telah didera kantuk, tapi malam ini….

Messenger Tengah Malam   


Tubuhku menghadap dinding, memunggungi suami yang tengah mendengkur. Pikiran berkelana tak karuan. Kuhela napas pelan. Tangan sebelah mencari-cari benda di sekitar bantal. Gawai. Iseng kubuka media sosial facebook. Sesekali kening berkerut, sesekali mengulum senyum, dan sesekali ingin terbahak-bahak. 

Macam-macam ulah manusia dumay. Yang keranjingan menulis status. Apa-apa diceritakan. Sedikit-sedikit dikritisi, sedikit-sedikit dipermasalahkan. Soal politik, ekonomi, harta kekayaan, keluarga, sahabat, uang, baju, tas, sepatu, terkecuali tidak untuk soal isi celana dalam. Yang tak penting, dibuat status. Eh, barangkali tak penting buatku namun buat mereka mungkin maha penting. Rajin amat nulis status, ya? Banyak waktu luang, ya? Penasaran. Apakah orang-orang itu tak memiliki pekerjaan lain hingga kerap menggulung gawai hingga lupa waktu? Hm, aku ko nyinyir.

Kubalikan tubuh lalu telentang. Menatap langit kamar yang gelap. Membayangkan yang tengah bergembia-ria di dumay. Sementara aku, bukannya anti. Namun tak pernah lama, sekitar beberapa menit dan hanya menjadi pengamat. Itu pun jarang kulakukan. Seperti malam ini, gawai lantas kumatikan. Lalu kutaruh di tempat semula. Tak menulis status, tak memberi jempol apalagi ikut komentar. Ada yang mengirim pesan di messenger, jika sekira tak penting, tak kubalas. Ada yang menyapa, aku cuek. Makanya terkadang dianggap sombong.



Mata kupejamkan, namun kantuk tak jua menyerang. Bukankah dulu aku pun tenggelam di dumay? Nyaris tak bisa lepas. Siang pun malam. Melempar status, jempol, komen, inbokan dan semua kegiatan di dumay tak ketinggalan. Saat itu aku menjadi ratunya pengarang medsos. Terkenal di jagat maya. Tiap malam berduyun-duyun yang ingin kenal, tiap siang mengantri yang mengajak chatingan. Suami pernah waswas tahu aku nyaris lupa pada yang ada di dunia nyata. Suami, anak-anak, keluarga, teman-teman yang wujudnya sering kulihat.

“Kenapa sekarang jarang kulihat pegang gawai?” tanya suami, tiga tahun lalu.

“Malas,” jawabku lalu berlalu.

“Apa kabar Mas Ferry?” suami mengikutiku ke dapur. “Ada lagi yang nama akunnya mirip penemu telepon.”

Tak kusahuti.

“Lalu bagaimana… lama tak kudengar kabar militer yang menurutmu… bikin seger mata ketimbang mikirin misua otoriter.”

Aku mendengus. Malas kutanggapi. Dia ungkit-ungkit lagi. Lalu aku menyeduh kopi.

“Sepertinya pernah membaca chat dari… Bang siapa ya yang doyan manggil Adinda padamu, budayawan terkenal dari pulau Sumatera, begitu yang pernah kau bilang,” suami terus mencandaiku. bibirku manyun. Kuaduk kopi dalam cangkir.

“Satu lagi… orang Padalarang yang konon mau memberi tas merah tapi tak jadi karena keburu…”

“Diam!” suaraku agak meninggi. Kesal. Aku berlalu ke luar rumah. Di teras. Dengan secangkir kopi mengepul di tangan. Lalu duduk di kursi rotan. Tak berminat sekali membahas yang tak penting. Terutama tak penting untuk rumah tanggaku. Buntutnya mengundang pertengkaran.

Dalam lima tahun, entah bagaimana awalnya, tetiba aku lupa pada dumay. Tak pernah membukanya. Yang sempat kuingat, semenjak aku benar-benar sibuk dengan pekerjaan. Selain kerja kantoran, aku mengelola beberapa bisnis perempuan. Bisnis di duta bukan dumay dan benar-benar bersua dengan wujud manusia bukan halusinasi. Semenjak itu pula aku berhenti total menulis cerpen.

Beberapa waktu lalu, teman-teman kuliah semasa muda mengunjungiku. Katanya, aku sulit dihubungi. Aku memang tak punya akses komunikasi lain selain telepon dan SMS. Tak punya akses media sosial apapun, facebook saja kunonaktifkan. Lebih baik tidak punya ketimbang jadi ruwet suami. 

Sesekali ada yang mengajak chating, sama saja mengawali pertikaian dengan suami. Malas, aku letih. Terlebih kini aku tenggelam dengan pekerjaan, sudah menjadi manajer di perusahaan asing. Punya bisnis, punya rumah baru, mobil dua keluaran terbaru lunas, deposito banyak di Bank. Suami tak pernah telat setor setiap tanggal muda. 

Ya, perekonomianku sudah berubah seratus delapan puluh derajat. Aku tak perlu lagi mereka-reka bisa banyak uang dari menulis cerpen. Aku tak perlu terkenal di media sosial.Yang penting kini yang terasa tak sulit mencari uang. Jadi untuk apa berhaha-hihi di media sosial. Eksis tapi tak punya uang, untuk apa? Dalam kehidupan nyata, yang paling penting itu uang, benar tidak? Kendati uang bukan segala-galanya, alaaah…namun uang punya pengaruh terbesar dalam kehidupan. Aku tak mau munafik.

Tiktak jarum jam di dinding kamar mengusik lamunku. Terperanjat. Jarum pendek menunjuk angka dua. Ya Tuhan, ini sudah sangat larut. Hemmm, beginilah kalau sulit tidur, pikiran ngawur tak tentu arah.

Tanganku meraba-raba sekitar kepala, alhasil dapat. Gawai. Jemari mengusap-usap layar. Mengintip media sosial facebook. Iseng saja, suami pun paham dan percaya aku sekarang bukan aku lima tahun lalu. Bukan penghianat. Bukan. Bukan banget. Ah, tak ada kerjaan. Tak akan terbawa-bawa. Tak ada waktu.Tak ada guna. Tak ada manfaat. Yang ada hanya madharat. Aku tobat. Takut keburu kiamat. Dan terkena laknat.

Kemana saja? Apa kabar?

Dua alisku bertaut. Nama akunnya asing, Sangkuriang Kesiangan. Kusingkap profilnya, sedikit penasaran. Hm, ternyata dia. Tak kubalas. Takut merasa diberi hati.

Sombong sekarang.

Balas jangan, balas jangan, balas.

Baik. Kabarmu sendiri?

Benar, merasa mendapat peluang, lalu mengalir isi chatingannya. Katanya, aku lupa janji. Janji? Janji apa?

Kenapa sulit kuhubungi? Pin BB, WA, telegram dan nomer HP-mu lama tak aktif.

SMS selalu aktif.

Hari ginih masih pake SMS?

Dia melempar emoji. Intinya, meledek. Mungkin, merasa menjadi manusia paling gaul di muka bumi ini.

WhatsApp ada, kataku.

Sekarang aku minta kontak WA, nomer HP, semua aku minta. Lalu dia memaksa minta. Beri jangan, beri jangan. Akhirnya semua kuberikan. WhatsApp baru buatan suamiku dua hari lalu. Juga nomer gawai. Setelah itu rasa kantuk tak bisa dihindari. Aku tak ingat apa-apa lagi. Pulas. Terbangun karena suara mesin mobil di garasi. Kukucek mata. Lalu terkuak. Kulirik suami sudah rapi dengan pakaian kantornya.

“Pulas tidurmu?” suami melirikku sembari membetulkan dasinya. Kuputar tubuh kiri-kanan lalu beranjak. Tak kusahuti. Lalu kuturuni pembaringan. Berdiri hendak menuju kamar mandi namun ucapan suami seketika menghentikan langkahku.

“Jawab dulu itu chatingan di WhatsApp, entah dari kontak siapa sebab tak bernama. Malah aku sejak pukul tiga tak bisa tidur lagi, terusik oleh yang ngeyel ingin meneleponmu.”

Kaget, aku baru teringat gawai. Entah dimana, rupanya sudah berada di tangan suami. Dia menyerahkan ke depanku. Benar, ada satu kontak yang menelepon beberapa kali seolah memaksa, seperti tujuan dinas saja. Mending jika mau memberiku uang satu miliar. Tak tahu waktu. Dasar! Aku berubah kesal.

“Siapa?” suami menatapku saksama. Dengan tatapan sedikit curiga.

“Aku tak tahu,” aku mendadak resah. Seperti maling yang terpergoki warga. Ya Tuhan, padahal hanya begitu. Namun seperti sudah melakukan kesalahan yang maha besar. Dadaku bergemuruh, menahan marah pada orang yang memaksa menelepon tak tepat waktu. Terlebih dalam isi messenger bertubi-tubi kalimat yang tak biasa. Neng Cantik, Aa kangen sekali, ingin ketemu. Kapan kita ketemu, gagal terus, dulu gak jadi-jadi. Atau… Aa ke rumahmu saja, ya? Angkat dong teleponnya, Say….

Ingin kubanting gawaiku apalagi ketika kuamati raut muka suami berubah keruh, seperti menahan marah yang sangat. Baru kusadari, manusia yang ngeyel ingin bersua lima tahun lalu itu, usianya tujuh tahun lebih muda dariku. Seorang perjaka yang belum mendapat jodoh serta mendamba mempersuntingku. Beberapa jam ke depan, ada kemungkinan dia menghubungiku lagi sebab dalam rekam jejaknya, makhluk menyebalkan itu tak mempan kukasari. 

Bisa-bisa jadi berabe. Mengundang penyakit saja. Apalagi kalau nekat datang ke rumah ini. Celaka 12! Alamat perang dunia empat akan meledak dalam waktu dekat. Blokir jangan, blokir jangan, blokir, jangan.

Daftar Isi Cerpen 




***

Bandung, 31 Januari 2021






Komala Sutha yang lahir di Bandung, 12 Juli, menulis dalam bahasa Sunda, Jawa dan Indonesia. Tulisannya dimuat dalam koran dan majalah di antaranya Pikiran Rakyat, Tribun Jabar, Jawa Pos, Kompas.id, Republika, Kedaulatan Rakyat, Solopos, MingguPagi, Harian Rakyat Sultra, Harian Fajar, Merapi, Denpasar Post, Lampung Post, Padang Ekspres, Harian Fajar, Malang Post, Bangka Post, Analisa, Medan Post, Kabar Cirebon, Tanjungpinang Post, Radar Bromo, Diksi Jombang, Radar Jombang.

Karebaindonesia, Ayobandung. Com, Veasna, Tribun Kaltim, Radar Tasik, Kabar Priangan, Galura, Target, Femina, Hadila, Potret, Veasna, majalahAnak Cerdas, Mayara, SundaUrang, WartaSunda, Beat Chord Music, Manglé, SundaMidang, Djaka Lodang, Mutiara Banten, Kandaga, Cakra Bangsa, Metrans, Buletin Selasa, 


Redaksi Jabar Publisher, Utusan Borneo dan New Sabah Times. Buku tunggalnya, novel “Separuh Sukmaku Tertinggal di Halmahera” (MujahidPress, 2018) dan kumpulan cerpen “Cinta yang Terbelah” (Mecca Publishing, 2018).


Akun fb. Sariak Layung (Komala Sutha)
IG. komala_sutha



3 comments for "Sejuta Cinta Mama Muda: Messenger Tengah Malam "