Cinta Bisa Berdusta, Love Story Young Adult Romance
Event Menulis Cerpen Young Adult Romance, Cinta Bisa Berdusta
NAYLA termangu di ambang jendela kamar. Membiarkan pikiran mengembara. Kalau cinta yang indah diangankan, tentunya sedap. Tapi kalau cinta bertepuk sebelah tangan, apanya yang sedap? Rasanya tidak saja tawar, tapi pahit.
Sejak mengetahui Pasha tak mencintainya, Nayla menganggap kecantikan yang dimiliknya, tak ada gunanya. Ia mengeluh pendek. Disibakkan rambut shaggy-nya, yang menutup sebagian dahi dan pipinya yang mulus dan putih. Yang membuat kecewa, Pasha mendekatinya bukan untuknya. Juga semua perhatian yang dicurahkannya. Ternyata Nayla salah duga. Pasha melakukan semua itu bukan untuknya. Tapi untuk Indah, sahabatnya.
“Nay, aku makasih ama kamu,” ucap Pasha, tiga hari yang lalu. Mereka tengah minum di sebuah café di sudut kota Jakarta.
“Buat apa?” dahi Nayla mengernyit. Ia tidak merasa sudah memberi bantuan apa sama Pasha, selain menikmati kebersamaannya sebulan penuh. Hampir tiap hari mereka bersama. Di sekolah, di luar sekolah, di mana saja, mereka berdua tampak bersama.
“Karena kamu… Indah sekarang mau nerima aku.”
“What?” Nayla masih heran. Ia tidak mengerti apa maksud perkataan Pasha.
“Nayla, denger aku ya?” ucap Pasha lembut. “Udah lama aku suka ama Indah. Tapi dia cuek aja, sok jual mahal. Tapi makin dia ngejauh, koq aku makin suka. Dia tidak mempan, Nay. Udah berbagai cara aku pedekate. Kirim bunga, ngajak nonton, telpon, sms apalagi… nggak pernah digubris. Sampe aku punya ide…”
“Pura-pura jadi cowok aku?” Nayla memotong kalimat Pasha yang belum selesai. “Kayaknya, kamu nggak usah ngejelasin lebih banyak Aku udah ngerti, Tuan! Selama ini, kamu deketin aku cuma buat Indah!”
“Nayla… Nayla!” Pasha mendadak gugup. “Maksudku…”
“Kamu jahat, Pasha!” Nayla terisak. Ia merasa tidak dihargai. Ia merasa dipermainkan.
Pasha mendesah. Ia mulai kehabisan kata-kata.
“Mulai sekarang, kamu nggak usah muncul lagi di hadapanku!” Nayla berdiri dan mengangkat telunjuk di depan jidat Pasha. “Aku benci kamu!”
Nayla menggigit bibir, getir. Ingat semua yang telah dilakukan Pasha. Semuanya sangat menyakitkan. Untuk apa sikap baik yang ditunjukkan? Untuk apa semua perhatian yang selalu dicurahkan? Nayla benar-benar merasa dibodohi. Menganggap Pasha mencintainya.
Pasha melakukannya demi mendapatkan cinta Indah. Ah, Indah. Nayla mendesah. Ia sendiri tidak pernah tahu Pasha mencintai Indah. Sahabatnya itu, tak pernah cerita mengenai Pasha walaupun untuk hal kecil. Lalu ketika antara Pasha dan Nayla terjalin kebersamaan, Indah tak menampakkan sikap apa-apa. Biasa saja, seolah tidak ada apa-apa. Sampai suatu sore di sebuah café, tercetus penjelasan Pasha kalau sebenarnya…
Hati Nayla merintih perih. Mengapa harus dirinya yang menjadi korban cowok itu? Bukannya yang lain. Masih banyak cewek di sekolahnya yang kebal dengan penghianatan. Rheina, Dilla, Indri dan banyak lagi. Mereka sudah biasa menghadapi perselingkuhan para cowok. Tapi Nayla… Nayla beda. Sekalipun, ia tidak pernah punya cowok.
Memang, Pasha tak pernah mengatakan I love U. Tapi bagi Nayla, itu tidak penting. Sikap Pasha yang baik dan perhatiannya, sudah mewakili perasaannya. Bukankah cinta tak harus diungkapkan? Bukankah dari sikap dan tingkah laku juga itu cukup?
Tapi akhirnya Nayla harus menelan pahit kenyataan. Cinta Pasha bukan untuknya. Nayla cuma dijadikan pajangan untuk memenuhi tujuan utama Pasha yaitu membuat Indah cemburu. Karena tujuan akhir Pasha adalah mendapatkan Indah.
Sayang, Nayla yang harus menanggung kekecewannya sendiri…
Dua bening bergulir dari sudut matanya. Ia menangis. Bagaimanapun, ia sangat mencintai Pasha.
Dua kali bel berbunyi, tapi Nayla masih diam saja. Telinganya mendadak tak berfungsi, karena angannya dipenuhi dendam yang sedang membara. Setelah tiga bulan berpisah dari Pasha, kini hatinya semakin sakit. Dan sulit sekali melupakan luka yang telah ditorehkan di hatinya.
Dengan rada ogah-ogahan, Nayla beranjak dari jendela kamar. Ini hari Minggu. Ia tak merasa punya janji dengan siapapun. Setelah hubungannya berantakan dengan Pasha, ia mengisolir diri dari manusia lain. Dan merasa malas komunikasi dengan siapapun.
Nayla tersentak begitu membuka daun pintu. Pasha berdiri di sana. Cowok itu mengulas sebuah senyum. Ragu. Sebenarnya, ia ingin mengusir cowok itu. Tapi mendadak muncul rasa keingintahuan Nayla dengan kedatangan Pasha, membuat mengurungkan niatnya.
“Ada apa?” tanya Nayla dingin setelah membiarkan Pasha masuk dan duduk.
“Kami baru aja putus,” ucapnya pelan. “Maksudku, aku dan Indah.”
Nayla tersenyum sinis.
“Dulu, mungkin aku tergila-gila ama Indah,” kenangnya. “Segala cara lakukan agar bisa dapetin dia tapi nggak pernah berhasil. Lalu…”
“Lalu mendekati sahabatnya dan pura-pura mencintainya,” sambung Nayla cepat. “Itu semua dilakukannya agar cewek yang dicintainya merasa cemburu. Trus, membalas mencintainya. Si cowok meninggalkan cewek yang telah menemani hari-harinya. Nggak peduli dengan perasaannya… nggak peduli dengan cintanya yang tulus…”
Nayla bicara berapi-api. Dadanya berkobar penuh dendam. Amarah, sakit hati dan kecewa berbaur menjadi satu.
Pasha ternganga. Kalau menghadapi gaya bicara Nayla yang seperti itu, ia nyaris kehilangan kata-kata. Beberapa saat terdiam dan hanya memandangi wajah Nayla yang tak bersahabat sedikit pun.
“Kayaknya, kamu nggak usah banyak basa-basi!” putus Nayla. “Apa maksud kamu datang kemari? Cuma mau ngabarin kamu dan Indah putus? Itu kan?”
“Aku…”
“Kenapa putus? Kalian nggak cocok? Atau Indah ternyata, nggak mencintai kamu? Atau sebaliknya, kamu menduakannya?”
Pasha menghela napas dalam-dalam. Kemudian, ia tercenung sejenak. Ia mulai kesulitan untuk memulai bicara. Nayla selalu memotong kata-katanya. Pandangannya menerawang kosong, jauh ke lukisan karya pelukis ternama tanah air, yang terbentang di dinding ruangan.
“Nay…” ucap Pasha pelan, hampir menyerupai bisikan. “Aku… mencintai kamu.”
“Apaaa?” dahi Nayla mengernyit. Ia pun kaget setengah hidup. Apa ini sebuah lelucon?
“Aku cinta kamu, Nay,” ulang Pasha sekali lagi.
“Cinta?” cetus Nayla. “Nggak salah pendengaranku?”
“Nggak, Nay,” tegas Pasha. “Sejak kita pisah dan sejak kujalani pacaran ama Indah, tiba-tiba saja aku sering ingat kamu. Aku merasa bersalah udah manfaatin kamu. Aku udah mainin perasaan kamu. Aku menyesal, Nay.”
Nayla mencibir. Ia pikir, tampaknya Pasha calon pemain film yang berbakat. Buktinya, ia mampu membawakan tokoh dengan karakter yang berbeda-beda. Kemarin pura-pura mencintai, besok meninggalkan, besoknya lagi menyatakan cinta. Dan itu dilakukan pada cewek yang sama dalam kurun waktu nggak sampe setengah tahun. Menyebalkan.
“Untuk itu, aku mohon maaf. Aku bukan hanya meminta, tapi aku memohon, Nay. Kamu, maafin aku kan?” pinta Pasha dengan memelas.
“Terus terang, aku berat buat maafin kamu,” kata Nayla datar.
Nayla menghela napas sesaat. Haruskah ia menerima maaf dari Pasha? Tapi hatinya terlampau sakit.
“Oke… aku, maafin kamu!” kata Nayla akhirnya setelah terjadi dulu pertentangan dalam batinnya.
“Alhamdulillah!” Pasha mengulas senyum.
“Kamu boleh pergi!” usir Nayla.
“Nggak, Nay! Aku nggak akan pergi sebelum kamu jawab pertanyaanku.”
Nayla meliriknya sepintas.
“Mau kan kamu kembali ke aku?”
“Untuk apa?” suara Nayla agak meninggi.
“Nay, masa sih kamu nggak ngerti? Aku mau kita kayak dulu lagi. Bersama lagi.”
Plaaaaakk!!!
Tiba-tiba saja tangan Nayla melayang dan mendarat di pipi Pasha. Cowok itu kaget. Ia ternganga. Tak menyangka Nayla akan menamparnya.
“Pasha, aku maafin kamu dan semua kesalahanmu. Tapi aku nggak akan pernah mau kembali. Nggak akan. Apapun yang terjadi…”
Lalu, Nayla pun terisak. Ia sendiri tak menyangka akan berbuat sekasar itu pada Pasha. Walau tak bisa dipungkiri, sampai saat ini dirinya masih teramat mencintai Pasha.
“Pergilah Pasha! Aku nggak mau liat kamu lagi!” Nayla kembali terisak.
Pasha tak bicara. Ia meraba pipinya yang merah dan masih terasa sakit. Hatinya dirayapi penyesalan. Ah, andai waktu dapat diulang, tak akan kusia-siakn Nayla, bisiknya sendu.
Ia melangkah dengan gontai, meninggalkan Nayla yang masih tergugu.
NAYLA termangu di ambang jendela kamar. Membiarkan pikiran mengembara. Kalau cinta yang indah diangankan, tentunya sedap. Tapi kalau cinta bertepuk sebelah tangan, apanya yang sedap? Rasanya tidak saja tawar, tapi pahit.
Sejak mengetahui Pasha tak mencintainya, Nayla menganggap kecantikan yang dimiliknya, tak ada gunanya. Ia mengeluh pendek. Disibakkan rambut shaggy-nya, yang menutup sebagian dahi dan pipinya yang mulus dan putih. Yang membuat kecewa, Pasha mendekatinya bukan untuknya. Juga semua perhatian yang dicurahkannya. Ternyata Nayla salah duga. Pasha melakukan semua itu bukan untuknya. Tapi untuk Indah, sahabatnya.
“Nay, aku makasih ama kamu,” ucap Pasha, tiga hari yang lalu. Mereka tengah minum di sebuah café di sudut kota Jakarta.
“Buat apa?” dahi Nayla mengernyit. Ia tidak merasa sudah memberi bantuan apa sama Pasha, selain menikmati kebersamaannya sebulan penuh. Hampir tiap hari mereka bersama. Di sekolah, di luar sekolah, di mana saja, mereka berdua tampak bersama.
“Karena kamu… Indah sekarang mau nerima aku.”
“What?” Nayla masih heran. Ia tidak mengerti apa maksud perkataan Pasha.
“Nayla, denger aku ya?” ucap Pasha lembut. “Udah lama aku suka ama Indah. Tapi dia cuek aja, sok jual mahal. Tapi makin dia ngejauh, koq aku makin suka. Dia tidak mempan, Nay. Udah berbagai cara aku pedekate. Kirim bunga, ngajak nonton, telpon, sms apalagi… nggak pernah digubris. Sampe aku punya ide…”
“Pura-pura jadi cowok aku?” Nayla memotong kalimat Pasha yang belum selesai. “Kayaknya, kamu nggak usah ngejelasin lebih banyak Aku udah ngerti, Tuan! Selama ini, kamu deketin aku cuma buat Indah!”
“Nayla… Nayla!” Pasha mendadak gugup. “Maksudku…”
“Kamu jahat, Pasha!” Nayla terisak. Ia merasa tidak dihargai. Ia merasa dipermainkan.
Pasha mendesah. Ia mulai kehabisan kata-kata.
“Mulai sekarang, kamu nggak usah muncul lagi di hadapanku!” Nayla berdiri dan mengangkat telunjuk di depan jidat Pasha. “Aku benci kamu!”
Nayla menggigit bibir, getir. Ingat semua yang telah dilakukan Pasha. Semuanya sangat menyakitkan. Untuk apa sikap baik yang ditunjukkan? Untuk apa semua perhatian yang selalu dicurahkan? Nayla benar-benar merasa dibodohi. Menganggap Pasha mencintainya.
Pasha melakukannya demi mendapatkan cinta Indah. Ah, Indah. Nayla mendesah. Ia sendiri tidak pernah tahu Pasha mencintai Indah. Sahabatnya itu, tak pernah cerita mengenai Pasha walaupun untuk hal kecil. Lalu ketika antara Pasha dan Nayla terjalin kebersamaan, Indah tak menampakkan sikap apa-apa. Biasa saja, seolah tidak ada apa-apa. Sampai suatu sore di sebuah café, tercetus penjelasan Pasha kalau sebenarnya…
Hati Nayla merintih perih. Mengapa harus dirinya yang menjadi korban cowok itu? Bukannya yang lain. Masih banyak cewek di sekolahnya yang kebal dengan penghianatan. Rheina, Dilla, Indri dan banyak lagi. Mereka sudah biasa menghadapi perselingkuhan para cowok. Tapi Nayla… Nayla beda. Sekalipun, ia tidak pernah punya cowok.
Memang, Pasha tak pernah mengatakan I love U. Tapi bagi Nayla, itu tidak penting. Sikap Pasha yang baik dan perhatiannya, sudah mewakili perasaannya. Bukankah cinta tak harus diungkapkan? Bukankah dari sikap dan tingkah laku juga itu cukup?
Tapi akhirnya Nayla harus menelan pahit kenyataan. Cinta Pasha bukan untuknya. Nayla cuma dijadikan pajangan untuk memenuhi tujuan utama Pasha yaitu membuat Indah cemburu. Karena tujuan akhir Pasha adalah mendapatkan Indah.
Sayang, Nayla yang harus menanggung kekecewannya sendiri…
Dua bening bergulir dari sudut matanya. Ia menangis. Bagaimanapun, ia sangat mencintai Pasha.
Dua kali bel berbunyi, tapi Nayla masih diam saja. Telinganya mendadak tak berfungsi, karena angannya dipenuhi dendam yang sedang membara. Setelah tiga bulan berpisah dari Pasha, kini hatinya semakin sakit. Dan sulit sekali melupakan luka yang telah ditorehkan di hatinya.
Dengan rada ogah-ogahan, Nayla beranjak dari jendela kamar. Ini hari Minggu. Ia tak merasa punya janji dengan siapapun. Setelah hubungannya berantakan dengan Pasha, ia mengisolir diri dari manusia lain. Dan merasa malas komunikasi dengan siapapun.
Nayla tersentak begitu membuka daun pintu. Pasha berdiri di sana. Cowok itu mengulas sebuah senyum. Ragu. Sebenarnya, ia ingin mengusir cowok itu. Tapi mendadak muncul rasa keingintahuan Nayla dengan kedatangan Pasha, membuat mengurungkan niatnya.
“Ada apa?” tanya Nayla dingin setelah membiarkan Pasha masuk dan duduk.
“Kami baru aja putus,” ucapnya pelan. “Maksudku, aku dan Indah.”
Nayla tersenyum sinis.
“Dulu, mungkin aku tergila-gila ama Indah,” kenangnya. “Segala cara lakukan agar bisa dapetin dia tapi nggak pernah berhasil. Lalu…”
“Lalu mendekati sahabatnya dan pura-pura mencintainya,” sambung Nayla cepat. “Itu semua dilakukannya agar cewek yang dicintainya merasa cemburu. Trus, membalas mencintainya. Si cowok meninggalkan cewek yang telah menemani hari-harinya. Nggak peduli dengan perasaannya… nggak peduli dengan cintanya yang tulus…”
Nayla bicara berapi-api. Dadanya berkobar penuh dendam. Amarah, sakit hati dan kecewa berbaur menjadi satu.
Pasha ternganga. Kalau menghadapi gaya bicara Nayla yang seperti itu, ia nyaris kehilangan kata-kata. Beberapa saat terdiam dan hanya memandangi wajah Nayla yang tak bersahabat sedikit pun.
“Kayaknya, kamu nggak usah banyak basa-basi!” putus Nayla. “Apa maksud kamu datang kemari? Cuma mau ngabarin kamu dan Indah putus? Itu kan?”
“Aku…”
“Kenapa putus? Kalian nggak cocok? Atau Indah ternyata, nggak mencintai kamu? Atau sebaliknya, kamu menduakannya?”
Pasha menghela napas dalam-dalam. Kemudian, ia tercenung sejenak. Ia mulai kesulitan untuk memulai bicara. Nayla selalu memotong kata-katanya. Pandangannya menerawang kosong, jauh ke lukisan karya pelukis ternama tanah air, yang terbentang di dinding ruangan.
“Nay…” ucap Pasha pelan, hampir menyerupai bisikan. “Aku… mencintai kamu.”
“Apaaa?” dahi Nayla mengernyit. Ia pun kaget setengah hidup. Apa ini sebuah lelucon?
“Aku cinta kamu, Nay,” ulang Pasha sekali lagi.
“Cinta?” cetus Nayla. “Nggak salah pendengaranku?”
“Nggak, Nay,” tegas Pasha. “Sejak kita pisah dan sejak kujalani pacaran ama Indah, tiba-tiba saja aku sering ingat kamu. Aku merasa bersalah udah manfaatin kamu. Aku udah mainin perasaan kamu. Aku menyesal, Nay.”
Nayla mencibir. Ia pikir, tampaknya Pasha calon pemain film yang berbakat. Buktinya, ia mampu membawakan tokoh dengan karakter yang berbeda-beda. Kemarin pura-pura mencintai, besok meninggalkan, besoknya lagi menyatakan cinta. Dan itu dilakukan pada cewek yang sama dalam kurun waktu nggak sampe setengah tahun. Menyebalkan.
“Untuk itu, aku mohon maaf. Aku bukan hanya meminta, tapi aku memohon, Nay. Kamu, maafin aku kan?” pinta Pasha dengan memelas.
“Terus terang, aku berat buat maafin kamu,” kata Nayla datar.
Nayla menghela napas sesaat. Haruskah ia menerima maaf dari Pasha? Tapi hatinya terlampau sakit.
“Oke… aku, maafin kamu!” kata Nayla akhirnya setelah terjadi dulu pertentangan dalam batinnya.
“Alhamdulillah!” Pasha mengulas senyum.
“Kamu boleh pergi!” usir Nayla.
“Nggak, Nay! Aku nggak akan pergi sebelum kamu jawab pertanyaanku.”
Nayla meliriknya sepintas.
“Mau kan kamu kembali ke aku?”
“Untuk apa?” suara Nayla agak meninggi.
“Nay, masa sih kamu nggak ngerti? Aku mau kita kayak dulu lagi. Bersama lagi.”
Plaaaaakk!!!
Tiba-tiba saja tangan Nayla melayang dan mendarat di pipi Pasha. Cowok itu kaget. Ia ternganga. Tak menyangka Nayla akan menamparnya.
“Pasha, aku maafin kamu dan semua kesalahanmu. Tapi aku nggak akan pernah mau kembali. Nggak akan. Apapun yang terjadi…”
Lalu, Nayla pun terisak. Ia sendiri tak menyangka akan berbuat sekasar itu pada Pasha. Walau tak bisa dipungkiri, sampai saat ini dirinya masih teramat mencintai Pasha.
“Pergilah Pasha! Aku nggak mau liat kamu lagi!” Nayla kembali terisak.
Pasha tak bicara. Ia meraba pipinya yang merah dan masih terasa sakit. Hatinya dirayapi penyesalan. Ah, andai waktu dapat diulang, tak akan kusia-siakn Nayla, bisiknya sendu.
Ia melangkah dengan gontai, meninggalkan Nayla yang masih tergugu.
Author, Komala Suta, Bandung, Indonesia
Keren 🤩
ReplyDeletekok, bandung september 2021 ????
ReplyDeletebagus ceritanya
Bye bye, Pasha🤭
ReplyDelete