Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Pendar Elegi, Love Story Young Adult Romance

Even Cerpen Young Adult Romance, Pendar Elegi



Cerpen Remaja Romantis- Love Story Young Adult Romance,  Pendar Elegi,  By Zatil Mutie 


Angin pagi berembus lembut, menebar semerbak wangi khas bunga lavender yang berhamburan di halaman aula sekolah berlantai tiga. Siswa-siswi yang berjejal di hari pemilihan ketua OSIS baru. Mereka tampak masih antusias bersorak-sorai menyambut ketua OSIS lama yang baru saja memasuki aula.


Setelah beberapa pengumuman dari pengurus OSIS untuk pengambilan sumpah ketua OSIS dan pengurus baru. Akhirnya, para siswa mulai memasuki kelas masing-masing untuk menerima jadwal pelajaran.


Kelasku adalah kelas terfavorit karena siswa yang masuk di sini merupakan hasil seleksi nilai UN dan tes akademik yang cukup ketat.


"Hai, assalamualaikum," sapa sebuah suara di belakangku. Suara siswa yang begitu merdu mengentak gendang telinga.


"Hai ... waalaikumsalam," jawabku pelan. Dia adalah Mirza Fahrezi Althaf, ketua kelas yang baru terpilih kemarin.




Entah mengapa, sorot mata berbulu lebat kecokelatan itu begitu membuatku kikuk, senyum manisnya selalu terukir ketika menyapaku.


"Hai, Mirza! Boleh, aku duduk di dekat kamu." Suara cempreng datang mengempas kebisuan kami. Entah mengapa dalam hatiku seketika ada percikan hangat yang makin memanas melihat Sherly--siswi yang terkenal paling centil di kelas 1.1--sebenarnya gadis itu tak punya sedikit pun modal merayu laki-laki, selain tubuhnya yang termasuk jumbo alias overweight. Sikap childish-nya juga sering membuat siswa lain muak.


Mirza masih tetap mengukir senyum, walaupun dia terlihat sedikit dongkol. Entahlah, Sherly ini selalu saja mengejar-ngejarnya sejak hari pertama masa orientasi siswa baru.


Aku mencoba mengalihkan perhatian dengan membuka novel Asma Nadia favoritku. Namun, semua konsentrasi ini buyar dengan suara cempreng khas Sherly. Yang menggoda Mirza


***

Suara seseorang mengetuk pintu kelas, ternyata wali kelasku baru saja datang.


"Selamat pagi!" sapanya dengan senyum semringah.


"Pagiiii ... Bu." Suara koor siswa-siswi menyambut dengan antusias.


Perkenalan dengan Bu Wuri guru fisika yang juga ditunjuk sebagai wali kelas sangat menarik. Berbagai pengalaman berharga yang beliau ceritakan cukup memotivasi semangat belajar kami.


***


Kegiatan belajar belum aktif sepenuhnya. Setelah jam istirahat tiba, aku memilih membenamkan diri di ruang favorit--perpustakaan. Setelah mengambil buku Ensiklopedia Islam, kuputuskan untuk membacanya di teras perpustakaan.


Bunga berguguran menerpa teras bangunan berkubah bundar. Ada musala di seberang ruang perpustakan yang dikelilingi pohon akasia. 

Tidak sengaja kulihat sesosok siswa yang baru keluar dan duduk memakai peci hitam, tangannya sibuk menepis bunga yang menerpa pecinya.


Ada rasa kagum yang terselip di lubuk hati ini. Ya, sosok yang pertama kukagumi sejak daftar di SMA ini memang idola para siswi. Beliau sekretaris OSIS yang merupakan siswa kelas 3 jurusan bahasa. Namanya Kak Ghazy Al-Taswif.


Wajahnya begitu bercahaya dengan pantulan air wudhu, seketika wajah ini tersipu, saat tatapannya berserobok.Walau jarak yang memisahkan lumayan jauh, tapi tetap saja malu jika ketahuan pipiku merah merona. akhirnya, aku berpura-pura membuka lembaran ensiklopedia Islam.

***

"Hai, rajin banget, pagi-pagi udah nongkrong di perpus. "Suaranya mengagetkanku, dan kini dia sudah berdiri tepat di bawah tangga perpustakaan.


"Ehm ... suntuk di kelas terus, Kak. Gak ada gurunya," jawabku bergetar. Entah mengapa, rasanya selalu salah tingkah berada di dekat orang ini.

"Kamu hobi baca buku, ya?"

"Ah, biasa, aja, sih! Cuma ngusir badmood," kilahku.

"Suka ngeles, deh. Liat buku yang kamu baca ini, super tebal, tau!" godanya membuatku tersipu.


"Eh, by the way. Selamat, ya. Kamu lulus tes seleksi masuk sekolah ini dengan nilai terbaik."


"Makasih, Kak. Semoga aku bisa aktif menjadi pengurus OSIS kaya Kakak,"timpalku. Kami berjabat tangan erat, ada getaran hangat yang mengalir dari tangannya.


"Jangan sungkan bertanya, ya, kalau nanti ada yang kurang dimengerti," sambungnya sambil tetap tersenyum. Senyum yang membuat hati setiap wanita terpesona seketika.



"By the way, aku suka sama orang yang hobi membaca, loh!" serunya sambil mengambil kamus bahasa Jepang.


Aku tersenyum kikuk. Namun, getar-getar bahagia pun selalu terasa bila berada di dekatnya.






Sebulan sudah, Mirza selalu bersamaku mengerjakan tugas kelompok. Sering juga kulihat dia menantikanku tiap pagi di gerbang sekolah sambil bernaung di bawah pohon beringin dengan senyum manisnya.


Namun, hari ini kabar yang kudengar Mirza sakit, kami satu kelas akhirnya berangkat menjenguk dia. Rumahnya cukup sederhana, dia tinggal dengan ibunya karena Mirza sudah yatim sejak SMP. Ibunya terharu melihat perhatian kami kepada anaknya. Beliau mengatakan jika Mirza akan berhenti sekolah karena terkendala biaya. Hatiku terenyuh, Mirza anak yang cerdas, tapi sayang, kondisi ekonomi keluarganya sangat memprihatinkan.Mirza harus bekerja paruh waktu sepulang sekolah di sebuah toko buku, demi membantu biaya bulanan sekolah.


Setelah kami pulang, aku menemui wali kelas dan menceritakan kondisi Mirza. Bu Wuri berjanji akan memberikan beasiswa prestasi kepada Mirza. Hatiku sangat bahagia mendengar keputusannya.


***

Sepanjang Mirza sakit pikiranku selalu terbelah. Antara memikirkan Kak Ghazy dan Mirza. Kak Ghazy memang pemuda yang sifatnya sangat kukagumi. Mungkin ini yang disebut orang dengan jatuh cinta. Sedangkan aku memikirkan Mirza karena dia juga baik dan perhatian. Bedanya Kak Ghazy adalah orang yang tak mungkin kumiliki. Kami tak banyak kesemley untuk bertemu selain di perpustakaan.


Apalagi sekarang dia fokus dengan persiapan ujian akhir. Dia jarang nongkrong di perpus. Atau setelah shalat duha pun dia pasti akan kembali ke kelas.


Sebulan berlalu pasca Mirza sakit. Senyumnya kembali menghiasi bibirnya. Aku sangat senang. Kebersamaan demi kebersamaan di kelas seolah mendekatkan kami dalam satu ikatan tak terpisahkan.



Suatu hari Mirza sempat bercerita kepada Rena--sahabatku--jika dia menyimpan perasaan. Namun, dia malu untuk mengatakan cinta, karena aku adalah rival terberatnya di kelas.







Di ujung aula sekolah langkah ini terhenti. Ada sesosok pria yang sangat kukagumi sedang memegang jemari seorang siswi yang juga sahabatku, perlahan tetesan hangat meluruh di pipiku diiringi gemuruh yang makin kuat menghantam dada.


"Kak Ghazy, Rena! Jadi, selama ini … kalian …." suaraku hampir tak terdengar.


Perlahan aku memundurkan langkah, menyeka air mata yang terlanjur menetes, tak layak rasanya jika harus menangisi seseorang yang tak pantas kudambakan.



***

Seminggu kemudian ....


"Ghaida … kamu kemana aja? Seminggu ini kamu gak masuk sekolah!" Suara Mirza terdengar khawatir. Kebetulan pagi itu dia orang pertama yang kutemui di kelas.


Aku hanya diam, sepertinya hati ini sudah mati rasa.


"Ada, kok. Cuma sakit doang" sambutku hambar.

"Please! Da, kamu kenapa, sih. Akhir-akhir ini kamu jadi pendiam dan menyendiri."

"Enggak apa-apa, Kok! Za."

"Udah lama kita gak diskusi bareng, gak kerja kelompok, gak pernah ke perpus bareng lagi," rengeknya dengan tatapan memelas.

"Udah, Za! Kenapa kamu begitu peduli sama aku, sih?" Pertanyaanku cukup membuat Mirza terperangah. Raut wajahnya berubah seketika.

"Kan kita sahabat, Da," timpalnya sambil tersenyum.


Argh! Mirza kenapa kamu selalu bersembunyi dibalik topeng sahabat. Bukankah kamu yang bilang sama Rena kalau kamu menyayangiku, Za.


Sejak kejadian itu, Mirza sering melamun dan memandangi penuh sendu dari ujung kelas, atau dari teras musala, jika aku memilih buku di perpustakaan.


Aku hanya ingin melebur kekecewaan dalam sepinya perpustakaan dan aroma buku yang makin membuatku tersihir. Mungkin cinta pertamaku tak seindah kisah lainnya.


***


Kedekatan Rena dan Kak Ghazy kian sering terlihat. Aku keluar kelas untuk mencari suasana segar. Sesak rasanya dadaku melihat dua makhluk itu berduaan. Di sudut taman sekolah, tepatnya di sebuah bangku yang dinaungi beringin tua, Mirza duduk. Wajah itu tampak begitu sedih. Walaupun terpaksa kaki ini akhirnya melangkah menghampirinya.


"Ghaida … aku mau bilang sesuatu sama kamu," ucapnya dengan tatapan penuh sesal.



"Aku akan pindah mengikuti orang tuaku, Da. Bukan karena keinginan sendiri." Matanya mulai memerah. Entah mengapa, rasanya begitu berat melihat wajah yang pernah mengisi hari-hariku dengan keceriaan itu.


"Kenapa kamu baru bilang sekarang, Za?" Aku terperangah.


"Please! Da ... dengarkan aku sebentar saja." Mirza mulai berlutut dan menatapku tajam.


"Maafin aku, jika selama ini aku banyak salah sama kamu. Aku tetap harus pergi," lirihnya tanpa berani menatapku. Luruhan cairan bening mulai menetesi jemariku.


Mirza meraih jemariku, tangannya bergetar, kurasakan tautan jemarinya begitu kuat seakan enggan melepasku.


"Mungkin aku telat, Ghaida. Aku memang pengecut! Tapi sungguh di lubuk hatiku, kamulah wanita pertama yang aku kagumi dan ... cintai," ujarnya terbata-bata. Aku sungguh terkejut mendengar kejujurannya.


"Kamu itu terlalu pintar, jadi aku minder jika harus mengatakan ini kepada seorang rival terberatku," ungkapnya dengan suara serak.


"Mirza ...," bisikku tertahan. Tak terasa air mata ini semakin deras mengalir. Telunjuk Mirza menahan tetesan di pipiku dan menghapusnya.


"Please! Jangan katakan apa pun Ghaida, walaupun mungkin ini terlambat. Setidaknya hatiku bisa lega, beban di jiwaku kini hilang."


"Aku tetap harus pergi, Da." Dia berdiri dengan berat.

"Iya, aku tahu itu, tapi aku janji. Suatu hari nanti, aku akan menjemputmu dan membahagiakan kamu. Kamulah wanita pertama yang mengisi mimpi-mimpiku, Ghaida Tsaniatur Rahma," pungkasnya membuat jantungku seakan berhenti berdetak untuk sesaat.


'Duhai Penguasa Alam, inikah rahasia terindah yang harus terungkap di saat perpisahan menyapa?'

Aku menatapnya tanpa henti. Lidahku kelu untuk membalas kejujurannya. Ungkapan cinta Mirza telah meruntuhkan dinding persahabatan, yang kurasa beberapa bulan ke belakang.


***

Tangannya melambai tepat di depan pintu gerbang sekolah. "Aku akan selalu nungguin kamuuu! Mirza Fahrezi Althaf!" seruku disambut angin yang bertiup lembut, menebar secercah asa yang harus kusimpan hingga waktunya kelak tiba.


Tamat, Cianjur, 21032021

Daftar Isi Cerpen Remaja Romantis 





INDEKS PESERTA EVENT MENULIS CERPEN YOUNG ADULT

Penulis, Zatil Mutie

3 comments for "Pendar Elegi, Love Story Young Adult Romance "

  1. Ghaida, nama yang cantik. Sama-sama menunggu.

    ReplyDelete
  2. Cerita cinta memang indah untuk dikenang 🤩

    ReplyDelete
  3. Kutunggu janjimu di pelaminan 🤭

    ReplyDelete