Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Tentang Semestaku, Love Story Young Adult Romance

Event Menulis Cerpen Love Story Young Adult Romance 


Cerita Cinta Pertama yang bikin Baper, Tentang Semestaku, Warna Senja

Satu kata bertulis cinta
Telah merasuki ku
Tak berwujud tak tersentuh hanya kurasa
Dan jika wujudnya menjelma
Pada sebentuk hati
Bukankah itu amanah dari Yang Kuasa
Menjaganya ... menjaganya ...

Entah mengapa aku sangat menyukai lagu ini. Sebuah lagu yang pernah hits kala aku SMA. Sebuah lagu yang begitu membuatku tergila-gila dan menyematkan sebutan pada lelaki yang telah mencuri hatiku dengan nama "semestaku".


Dia adalah seorang anak kelas 3 SMA yang baru kutahu namanya saat perkenalan kakak OSIS. Aku dan murid baru yang lain mengikuti acara MOS sebagai perkenalan antara siswa baru pada kakak kelas dan lingkungan sekolah yang bernuansa oranye itu.


Namanya adalah Adrian. seeorang laki-laki jangkung dan kurus yang berhasil menutup hatiku untuk yang lain. Sementara saat menulis ini, seperti itulah kira-kira gambaran tentang cinta pertamaku. "Kak Rian" begitulah aku selalu memanggilnya, karena hanya aku dan Tuhan yang tahu kenapa hati ini berdegup kencang setiap mengingat tingkah lakunya.




Aku tak ingin orang lain tahu tentang rasaku untuknya. Jadi saat aku berimajinasi tentangnya, atau ingin menuliskan sesuatu tentang dirinya, aku selalu menyamarkan namanya pada kertas dengan sebutan "semestaku". Hal ini bukan karena dia berada di dunia, tapi karena saat itu aku benar-benar tergila-gila pada lagu yang dinyanyikan oleh Randy Pangalila tersebut.



Semestaku itu persis seperti kebanyakan tokoh laki-laki dalam komik Jepang. Dia punya kepribadian yang cuek, dingin, terkesan sombong, dan menyebalkan pada awalnya. Tapi dibalik semua sikapnya itu, ternyata dia punya kelembutan dan perhatian yang luar biasa, terutama kepadaku. Entah aku yang merasa ge-er atau memang ini adalah sinyal cinta dari kak Rian atau semestaku itu.


Entah mengapa sikap semestaku, seperti menghadirkan kehangatan di relung hatiku paling dalam. Sebuah perasaan yang sebelumnya tak pernah aku rasakan. Aneh memang, meski sebelum aku mengenalnya aku sudah pernah mengalami pendekatan dengan laki-laki lain yang terus saja memberi perhatian padaku, namun hatiku sekeras batu. Tak mau bergerak sedikit pun. Aku tidak merasakan debar seperti yang kurasakan saat memandang kak Rian, saat memandang semestaku.


Semestaku adalah laki-laki yang berbeda. Bukan hanya tentang tampang dan penampilannya. Hal ini tentang ketertarikan hatiku. Rasanya begitu banyak ; ada bahagia, malu, gugup, juga gempita. Rasa yang terus menyalakan kembang api di dalam hatiku. Aku benar-benar terpikat pada pesonanya.


Hari pertama masuk sekolah Senin, 9 Juli 2007


Semua rasa kekhawatiran yang berlebihan menguap. Aku mengira akan sangat buruk, ketika melihat keramahan kakak-kakak OSIS-ku di SMA Garuda Surabaya.


Astaga, mereka ternyata sangat asyik dan peduli pada adik kelasnya. Bahkan mereka tidak membiarkan ku sendirian, hingga menawarkan kepada teman-teman baruku untuk mengajakku berkenalan.


Ssst ... ada satu di antaranya begitu mencolok yaitu; lelaki tinggi dan jangkung berjaket merah, wajahnya berdagu segitiga. Aku pernah membayangkannya mirip dengan Vickhy Zhu dari F4.


Semestaku selalu mengajakku ke kantin. Kadang kami mencari buku di perpustakaan, atau sekedar jalan-jalan di seputaran sekolah sambil menunjukkan tiap sudut gedung sekolah, agar aku tidak tersesat jika berjalan sendirian.



Dia ramah, baik, pintar, serta sangat menghargai ku. Aku belum pernah merasa begitu terpesona pada laki-laki. Dalam pandanganku, semestaku itu jauh dari kata Alim atau tampang saleh, malah dia terkesan urakan, tapi aku benar-benar menyukainya! Mungkin kamu bisa menyebut rasa sukaku ini sebagai cinta monyet, tapi aku tidak peduli. Aku hanya ingin menuliskannya di sini, untuk mengenang semestaku.


"Eh, kamu naksir anak baru itu ya, Rian?" tanya Erik pada Kak Rian atau semestaku itu.




Aku benar-benar terkejut atas pertanyaan frontal dari kakak kelasku yang tubuhnya lebih pendek dari kak Rian itu. Hingga aku mencuri dengar, seperti apa kak Rian akan menjawabnya.



Jauh dari yang kuduga, ternyata kak Rian hanya mengangguk dan tersenyum samar. Aku bisa melihat senyum itu dan meleleh karenanya!


"Alah, Rian! Anak baru, paling-paling awalnya saja sok kalem. Kamu lihat saja beberapa hari lagi, pasti kelihatan aslinya, pecicilan! Apalagi wajahnya ndeso begitu. Banyak cewek cantik di sekolah ini, Rian! Banyak yang lebih modern dan stylish juga. Kenapa kamu memilih Dian?" cecar Erik yang membuat jantungku memompa lebih keras.

Aku mengepalkan tanganku. ingin rasanya aku menonjok kak Erik, tapi apa boleh buat, itu tak akan terjadi. Dia adalah ketua OSIS dan aku tidak mau mencari masalah di hari pertama masuk sekolah.


Saat di dalam kelas, aku duduk di samping seorang teman, bernama Eka. Rambutnya keriting dan sangat panjang, hanya dikucir dengan pengikat rambut secara asal. Matanya bulat dengan bulu mata pendek yang lentik. Sikapnya sangat baik padaku. Hingga aku merasa kerasan dan memiliki teman di hari pertama masuk sekolah putih abu-abu.


Oh, Tuhan terima kasih karena Engkau telah memberikanku teman di hari pertama sekolah!


*Hari kedua, Selasa 10 Juli 2007*



Hari ini langit sangat cerah, matahari bersinar dengan serakahnya. Seperti hatiku yang begitu ceria, tidak ada lagi keringat yang terlalu banyak akibat kegugupanku. Aku mendesah, menyadari hari ini aku harus berlari-lari.


Aku tadi melihat pada catatan. Jadwal MOS hari ini adalah olah raga. Mengingat Surabaya memang begitu sangat panas. Hingga aku bisa membayangkan betapa tubuhku akan kelelahan mengikuti jadwal hari ini.


Aku berangkat terlalu pagi, mataku mengedar dan menyadari suasana yang masih sepi di kelas. Hanya ada beberapa orang saja. Aku meletakkan tas di meja, kemudian duduk sambil membuka-buka catatan.


Aku terkejut saat menyadari ada bukuku yang tertinggal di laci meja. Di sana terdapat bunga ilalang. Hal ini membuatku tersenyum lebar dan jantungku berdegup dengan keras. Aku mengingat laki-laki itu yaitu semestaku. Kemarin, aku melihatnya memainkan bunga ilalang di mulutnya. Apa dia yang yang meletakkannya di bukuku? Oh, Tuhan ... aku ingin sekali menanyakan hal ini padanya, tapi aku rasa, aku tidak akan pernah menanyakannya. Aku tidak punya cukup keberanian untuk bertanya pada kak Rian.



Kakak-kakak OSIS termasuk kak Rian memberi aba-aba pada kami untuk berbaris di luar. Sejurus kemudian, kami semua berlari kecil mengelilingi kompleks sekolahan. Hingga berakhir di lapangan sekolah lagi.


Awal mulanya aku sangat bersemangat, tapi ternyata jarak yang harus kami tempuh, lebih jauh dari pada perkiraanku. Cuacan yang begitu panas membuatku merasa kepalaku begitu berat dan berdenyut, tetapi kupaksakan kakiku untuk tetap berlari. Aku tidak ingin tampak bodoh dan lemah dihadapan semestaku.


Aku merasa sangat pusing dan mataku berkunang-kunang. Kalau tidak salah, seorang temanku bernama Jihan menginstruksi dengan mengangkat tangan pada kakak OSIS. Kemudian mengizinkan dia membawaku ke UKS.



Kala itu UKS sedang kosong. Petugasnya mungkin sedang pergi sebentar. Setelah membawaku untuk berbaring di UKS, Jihan membaluri tubuhku dengan minyak kayu putih yang tersedia di kotak obat. Hingga setelah itu dia pamit pergi kepadaku, untuk mengikuti acara MOS selanjutnya.


Apa yang kusangka pada hari itu benar-benar tak akan ku lupakan. Saat mataku menatap kosong ke depan dengan sorot memanjang, dan perasaanku mulai tak karuan. Waktu yang terasa sangat lambat berjalan. Aku ingin pulang! Kemudian terdengar suara laki-laki yang membuat jantungku mencelos.

"Hai, Dian!" panggilnya.

Suara itu benar-benar mengagetkan dan membuyarkan semua lamunanku.

"Iya, Kak Rian," jawabku terbata-bata.

Dia memeriksa keadaanku dan meletakkan tangannya di dahiku. Setelahnya dia berkata yang mendamaikan hatiku.

"Istirahatlah! Kelihatannya kamu cukup lelah, Dian. Kamu jangan berpikir yang banyak-banyak. Nikmati saja MOS kamu. Dulu kakak juga pernah mengalaminya saat kelas awal masuk sekolah!" kata kak Rian yang wajahnya tampak lebih bersinar dari waktu-waktu yang lain, mungkin karena aku dapat memandangnya sedekat ini.


*Hari ketiga, Rabu 11 Juli 2007*



Hari itu ternyata ada pertunjukan seni dari kakak OSIS dan kami anak-anak baru. Aku sudah mengenakan topi berbentuk kerucut di kepalaku, dengan hiasan kertas warna-warni yang digunting dan direkatkan dengan lem di tepiannya. Sebenarnya aku merasa malu berdandan seperti ini, tapi aku berusaha tak peduli, karena melihat teman-teman yang lain juga demikian penampilannya.

Sejak kejadian, aku merasa malu dan wajahku bersemu merah saat diam-diam aku merasa tatapanku dengan semestaku saling bersirobok. Ya, walaupun kami hampir memang tidak mengobrol. Hanya percakapan sedikit di UKS itu.



Namun saat aku melihatnya dan dia balas melihatku, pandangan kami yang bertemu. Hal itu membuat perasaanku jadi hangat dan tak bisa ku ungkapkan. Hatiku merasa berdenyut. Aku ingin berteriak keras dan menjerit-jerit, tapi aku berusaha mengendalikan diriku. Debaran ini sungguh sangat aneh, debaran yang pertama kali ku rasakan hingga membuat dadaku terasa sesak. Aku lalu memegang dadaku, di sana jantungku memompa cepat. Aku berharap Tuhan tidak melepaskan jantungku. Ya, Tuhan perasaan apa ini?




Aku tidak bisa menampilkan apa-apa. Terlebih untuk menyanyikan lagu. Aku sangat gugup. Beruntung ada Wulan. Yaitu salah satu kelompok ku, dia mau mewakili kelompok untuk bernyanyi di depan. Dia kelihatan sangat tomboy. Dia menyanyikan lagu dari Ungu dan kami semua bertepuk tangan.



Hal yang paling tidak bisa aku lupakan adalah saat kak Rian bernyanyi di depan podium sederhana. Dia menyanyikan sebuah lagu dari Kangen Band yang berjudul *Cinta yang Sempurna*.


*Hari Keempat, Kamis 12 Juli 2007*


Anggota kelompokku sedang sibuk membicarakan tentang dana sosial, yang rencananya akan kita sumbangkan untuk beberapa warga kurang mampu di sekitar komplek sekolahan. Aku sama sekali tidak berminat untuk *urun rembug* karena aku tipe orang yang hanya *manut* saja atau mengikuti apa-apa yang telah menjadi keputusan suara terbanyak.


Wulan yang mengetuai kelompok kami, mulai mendata nama-nama siswa dan menarik uang seikhlasnya dari kami. Wulan kemudian memberi tanda centang pada catatannya, bagi mereka yang sudah menyetorkan sejumlah nominal uang.


"Dian kenapa kamu tidak mau berdiskusi?" komentar Wulan saat aku memberikan lembaran yang menurutku sangat sedikit.


"Hmmm, Wulan! Maaf, aku ... aku ngikut saja!" kataku dengan suara yang lemah dengan menatapnya penuh kepasrahan, berharap Wulan tidak menanyaiku lagi.


"Ah payah kamu, Dian! Nggak seru kamu!" balas Wulan lalu beranjak meninggalkan aku yang tercenung.

"Nggak perlu kamu dengarkan dia! Jangam diambil hati, Dian!"


Suara di sampingku adalah suara Eka. Dia tahu sifat Wulan yang seperti itu, karena mereka satu sekolah saat SMP.


"Iya, terima kasih, Eka!"


Setelah mengucapkan kalimat itu, aku membuang pandangan pada jendela. Di sana aku melihat semestaku sedang men-dribble bola basket berwarna oranye. Aku benar-benar dibuat dag-dig-dug atas pantulan bola itu. Hingga berharap aku yang menjadi bolanya. Terbayang rasanya dipantul-pantulkan seperti itu. Astaga, aku benar-benar merasa sudah gila!


Hari kelima, Jumat 13 Juli 2007


Hari Jumat ini ada jumatan bersama di masjid sekolah. Beberapa temanku yang laki-laki sudah membawa baju koko dan sarung. Eh tidak semuanya *nding*, hanya beberapa yang menggunakan sarung, sedang yang lainnya sudah merasa pantas dengan celana panjang yang mereka kenakan.


Sementara aku membawa mukena tipis seperti plastik berwarna coklat tua. Kemudian aku mengambil wudhu di samping masjid yang biasa digunakan untuk salat berjamaah. Aku benar-benar tak percaya, sesaat aku setelah selesai berdoa doa setelah wudhu, pandanganku benar-benar terpaku pada semestaku. Aku merasa membeku di tempatku berdiri. Air wudhu yang perlahan-lahan menelusuri wajahnya, begitu membuatnya sangat istimewa. Indah dan sekali lagi aku terpikat.


Hari keenam, Sabtu 14 Juli 2007


Sabtu ini adalah hari terakhir MOS. Aku benar-benar merasa akan berpisah dengan kak Rian setelah ini. Mengingat mungkin dia tidak akan bermain ke kelasku lagi, tidak akan memperhatikanku sebanyak saat MOS lagi. Aku tak mengerti kenapa waktu begitu berjalan secepat ini. Rasanya baru kemarin aku menjejakkan kaki di sekolah yang memiliki empat Lembaga ini, yaitu ;SMP, SMA, SMK Akuntansi, dan SMK Pelayaran.


Memang aku akui, aku terlalu bahagia. Karena selalu merasa berdebar memperhatikan kak Rian. Semestaku yang seumpama dia adalah superhero, maka aku adalah orang yang ditolongnya saat pertama. Eh!


Sepulang sekolah, aku seperti menyeret-nyeret kakiku. Rasanya malas sekali. Ingin aku bisa melihat kak Rian lebih banyak lagi. Hingga tiba-tiba terdengar suara yang begitu membuat ku merasa bertahan di tempat.

"Dian!" Semestaku memanggil setengah berteriak dan berlari.

Hingga dalam beberapa detik kemudian, wajahnya terasa dekat sekali dan berada di depanku. Kami saling menatap. Aku menutupi wajahku dengan kerudung cokelat yang menjuntai. Kebetulan kerudungku adalah kerudung segi empat, jadi aku melipatnya miring menjadi segitiga dan menyematkan jarum pentul agar tidak lepas pada bawah dagugu. Dua sisi bawah yang menjuntai ku biarkan begitu saja. Hingga saat ini aku benar-benar merasa beruntung, yaitu bisa menutupi pipiku yang merona.


"Ke-kenapa? Ada apa?" tanyaku gugup sambil menunduk.


Kak Rian mengamatiku dari atas sampai bawah. Kakiku bergerak-gerak tak jelas, menahan gegap gempita dan tekanan yang begitu mengguncang-guncangkan diriku. Aku sangat tak menyangka, orang yang kukagumi datang menghampiri.


Dia tersenyum. Hingga aku terperangah. Baru kali ini aku dapat melihat dengan jelas senyumnya yang terhampar indah itu.

Kak Rian tersenyum padaku. Aku yakin kalau aku kikuk, kemudian dia berkomentar, "Nggak terasa, cepet banget ya, Dian acara MOS ini? Padahal aku belum banyak mengenalmu."


Apa katanya? Apa kamu mendengar kata-kata kak Rian? Astaga, bahkan kupingku masih mampu mendengar suaranya begitu lembut saat ini!


"Hmm, iya, Kak!" Aku menjawab gugup.
"Ah, Dian waktu rasanya cepet banget!"
"Hehe, terima kasih ya, Kak Rian sudah membantuku selama ini!" ucapku lembut.
"Sama-sama, Dian!" balasnya mengusap-ngusap kepalaku yang dilapisi dengan kerudung.


"Oh ya, aku minta maaf, ya? Jika selama ini, aku atau teman temanku membuat kesalahan kepada kamu. Kami hanya ingin adik-adik kelas kami, menjadi lebih baik dari pada kami!" kata kak Rian menjelaskan.


Astaga, baik sekali semestaku ini. Kenapa juga dia harus minta maaf untuk kesalahan teman-temannya itu? Hingga berakhirlah benar-benar masa MOS SMA-ku.


Hari Ketujuh, Minggu 15 Juli 2007



Esoknya pada hari Minggu, aku pergi ke pasar tumpah yang berada dari sekitaran Manukan. Hari itu benar-benar di luar perkiraanku, karena aku bertemu dengan semestaku kembali.


Aku tidak mengerti kenapa takdir bisa sebaik itu padaku. Aku pergi bersama dengan Rahayu. Kami bergandengan dan tiba-tiba kak Rian datang dan mengajakku untuk mengambil sudut kosong di pasar tumpah. Kami berbicara empat mata.



Hingga dia menyatakan perasaannya kepadaku. Aku masih ingat, lidahku kelu. Aku merasa membeku. Kemudian kak Rian mengambil inisiatif. Yaitu mengambil kedua tanganku dan berkata, "Tidak apa-apa, Dian! Aku hanya ingin menyampaikan perasaanku saja. Kita tidak harus pacaran. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa rasa sebentuk hati ini, yang mungkin orang akan menyebutnya dengan cinta, telah merasukiku. Dari awal aku melihatmu ... Sekali lagi, aku tidak mengajakmu berpacaran. Aku hanya menyampaikan perasaanku saja, karena perasaan ini begitu menyesakkan ku. Hmm," kak Rian membasahi bibirnya.


"Setelah ini mungkin aku akan berpindah sekolah. Aku harus mengikuti keluargaku tinggal. Ayahku dipindah tugaskan ke kota Bogor. Aku harap suatu saat kita dapat bertemu lagi, Dian!" kata kak Rian yang membuat mataku berkaca-kaca.


Aku ingin sekali menjerit dan menangis sekeras-kerasnya, namun aku berusaha menahannya. Aku berkedip-kedip sangat banyak, untuk menahan air mata ini, mengerutkan wajahku sebisa mungkin, kemudian menari seulas senyum yang sangat lebar.


"Iya, Kak! Tidak apa-apa. Aku bersyukur bisa mengenal, Kak Rian. Kalau Tuhan mengizinkan kita, InsyaAllah suatu saat kita akan bertemu lagi!" kataku kepada kak Rian.


Mungkin kisahku ini tidak seindah kisah-kisah cinta pertama yang dialami oleh orang lain. Karena tidak banyak waktu yang bisa ku habiskan bersama semestaku, bahkan mungkin percakapan kami sangat sedikit. Mungkin jika ditulis dalam selembar kertas kosong, tidak akan dapat memenuhinya. Hanya saja, aku masih menyimpan perasaan itu. Perasaan cinta yang tersimpan rapi pada sebentuk hati yang basah, yang kumiliki, dan yang pernah kukunci dengan rapat. Dengan gembok yang aku tidak tahu akan kubuka sampai kapan.


Aku benar-benar menjaga perasaanku itu. Menjaganya ... menjaganya .... Seperti lirik lagu Lewat Semesta aku menjaganya dengan baik dan jika kelak aku bertemu dengan kak Rian.



Hingga akhirnya pasca SMA, aku memutuskan untuk mengambil pendidikan di sebuah universitas swasta. Aku tidak pernah lagi mendengar kabar tentang Kak Rian. Tentang semestaku. Begitu juga teman-teman atau pun kakak kelasku. Mereka semua berkilah, tidak ada yang mengetahui nomor ponsel atau bahkan di mana kak Rian tinggal.




Singkatnya, semestaku itu seperti raib ditelan oleh bumi. Aku hanya percaya pada takdir Tuhan. Jika Dia menghendaki kami berjodoh, pasti kami akan bertemu hingga suatu saat yang tepat, yang Dia mau.


Hingga suatu saat harapanku tentang semestaku itu sirna. Aku melihat pada jejaring sosial. Ketika itu aku iseng mengetikkan namanya *Andrian Hastaria* kulihat statusnya sudah bertunangan. Tanpa sadar dadaku terasa perih, kemudian aku menekannya–memegangnya dengan kedua tanganku dan menahan tangisku sendiri. Aku menyadari kebodohanku, bertahun-tahun telah kugembok hatiku untuk semestaku.


Saat menuliskan kisah ini, aku sudah memiliki suami yang sangat aku cintai. Suami yang InsyaAllah menjadi imamku di dunia dan di akhirat. Aku tetap bersyukur kepada illahi Robbi, karena pernah memiliki rasa cinta kepada semestaku. Hingga selama bertahun-tahun, aku dapat menjaga hatiku dan menjaga diriku dengan baik, agar tak tersentuh laki-laki mana pun. Mungkin inilah cara Tuhan untuk melindungiku.


Terima kasih Tuhan. Engkau Maha Asyik atas perasaan pada tiap hamba-Mu dan aku beruntung atas perasaan pada semestaku.

The End   

Ngawi, 24 Marer 2021




Author,  Warna Senja 

7 comments for "Tentang Semestaku, Love Story Young Adult Romance "

  1. Waaah ini cerita mengenang mantan yang tak sampai ya ???


    Hehehheee


    ReplyDelete
  2. Sedih dan terluka rasanya mengalami kasih tak sampai

    ReplyDelete
  3. Uuwaaaa bikin baper..
    Sakit tapi tak berdarah mba qoni' tapi ada saja hal yang pasti bisa diambil hikmahnya

    ReplyDelete