Cerpen : Bukan Gadis Pilihan, Young Adult Romance
Event Menulis Cerpen Young Adult Romance
Cerita Singkat Remaja - “LUN, mana Sarah?” Erik celingukan di kelas sepuluh-tiga. Tapi, yang dicarinya tidak kelihatan batang hidungnya.
“Emang aku inang pengasuhnya?” kata Luna ketus, sembari mendelik. “Cari aja sendiri!”
“Aku nggak nyuruh kamu cari Sarah! Aku cuma tanya dia dimana?” Erik agak sewot. Habis, ditanya baik-baik, Luna selalu saja bersikap antipati dengan Sarah. Padahal, Sarah tidak punya masalah dengan Luna.
“Cari siapa, Rik?” Meli dengan genit menghampiri Erik. Suasana kelas tidak terlalu ribut. Duapertiga penghuninya berada di luar kelas kalau istirahat. Hanya beberapa gelintir saja yang tinggal. Luna dengan pengikutnya yang hobi bergosip dan tiga cowok yang sok rajin, sedang memecahkan soal Fisika yang maha sulit.
‘’Sarah,” sahut Erik pendek.
“Kalo istirahat, biasanya dia di…” Meli tidak melanjutkan ucapannya, malah melempar senyum ke arah Ririn. Yang dilempari senyum, balas tersenyum. Luna dan Ria ikut senyum. Persis parade senyum!
“Dimana?” desak Erik.
“Masa kamu nggak tau, belakangan ini, tiap istirahat, Sarah lagi…” Ririn melirik Luna.
“Baso baso tahu tahu… baso tahunya satu, Bang!” cibir Luna yang dibalas tawa oleh Meli. Begitu juga Ria dan Ririn.
Erik mendengus kesal. Mengapa teman-teman Sarah termasuk adiknya Luna, selalu mencemooh Sarah? Padahal, Sarah cewek yang baik dan pintar. Apa karena penampilannya yang kelewat sederhana sampai cewek-cewek rese itu suka sekali menghina, meledek alias mencemooh? Setiap hari, mereka bicara keki dan sentimen dengan Sarah sepertinya Sarah itu orang yang tak pantas dihargai.
Segera Erik angkat kaki dari kelas itu. Lama-lama berhadapan dengan cewek-cewek lebay itu bisa-bisa kurapan, pikirnya.
Sampai di ujung kelas duabelas, tepat di samping kelas duabelas IPS tiga, didapatinya Sarah sedang sibuk membantu Bang Udin melayani pembeli. Erik menatapnya dengan haru. Sarah tampak antusias membantu ayahnya mencari nafkah. Sikap bersahaja Sarah yang membuatnya jatuh hati pada cewek itu. Erik jadi ingat waktu baru kenal Sarah, dua bulan yang lalu.
“Murid baru, ya?” sapa Erik ramah waktu dilihatnya Sarah bengong sendiri di dekat gerbang sekolahan.
Sarah mengangguk. Erik memandanginya. Penampilan cewek ini sederhana sekali. Rambut panjang sampai pinggang, dibiarkan terurai, seperti rambut cewek-cewek tahun delapan puluhan. Tak seperti model rambut yang dimiliki kebanyakan cewek di sekolah ini. Rata-rata, model rambut seleb muda dan tiap sebulan sekali tidak pernah telat ke salon untuk creambath atau ganti model dengan yang sedang musim.
“Emang aku inang pengasuhnya?” kata Luna ketus, sembari mendelik. “Cari aja sendiri!”
“Aku nggak nyuruh kamu cari Sarah! Aku cuma tanya dia dimana?” Erik agak sewot. Habis, ditanya baik-baik, Luna selalu saja bersikap antipati dengan Sarah. Padahal, Sarah tidak punya masalah dengan Luna.
“Cari siapa, Rik?” Meli dengan genit menghampiri Erik. Suasana kelas tidak terlalu ribut. Duapertiga penghuninya berada di luar kelas kalau istirahat. Hanya beberapa gelintir saja yang tinggal. Luna dengan pengikutnya yang hobi bergosip dan tiga cowok yang sok rajin, sedang memecahkan soal Fisika yang maha sulit.
‘’Sarah,” sahut Erik pendek.
“Kalo istirahat, biasanya dia di…” Meli tidak melanjutkan ucapannya, malah melempar senyum ke arah Ririn. Yang dilempari senyum, balas tersenyum. Luna dan Ria ikut senyum. Persis parade senyum!
“Dimana?” desak Erik.
“Masa kamu nggak tau, belakangan ini, tiap istirahat, Sarah lagi…” Ririn melirik Luna.
“Baso baso tahu tahu… baso tahunya satu, Bang!” cibir Luna yang dibalas tawa oleh Meli. Begitu juga Ria dan Ririn.
Erik mendengus kesal. Mengapa teman-teman Sarah termasuk adiknya Luna, selalu mencemooh Sarah? Padahal, Sarah cewek yang baik dan pintar. Apa karena penampilannya yang kelewat sederhana sampai cewek-cewek rese itu suka sekali menghina, meledek alias mencemooh? Setiap hari, mereka bicara keki dan sentimen dengan Sarah sepertinya Sarah itu orang yang tak pantas dihargai.
Segera Erik angkat kaki dari kelas itu. Lama-lama berhadapan dengan cewek-cewek lebay itu bisa-bisa kurapan, pikirnya.
Sampai di ujung kelas duabelas, tepat di samping kelas duabelas IPS tiga, didapatinya Sarah sedang sibuk membantu Bang Udin melayani pembeli. Erik menatapnya dengan haru. Sarah tampak antusias membantu ayahnya mencari nafkah. Sikap bersahaja Sarah yang membuatnya jatuh hati pada cewek itu. Erik jadi ingat waktu baru kenal Sarah, dua bulan yang lalu.
“Murid baru, ya?” sapa Erik ramah waktu dilihatnya Sarah bengong sendiri di dekat gerbang sekolahan.
Sarah mengangguk. Erik memandanginya. Penampilan cewek ini sederhana sekali. Rambut panjang sampai pinggang, dibiarkan terurai, seperti rambut cewek-cewek tahun delapan puluhan. Tak seperti model rambut yang dimiliki kebanyakan cewek di sekolah ini. Rata-rata, model rambut seleb muda dan tiap sebulan sekali tidak pernah telat ke salon untuk creambath atau ganti model dengan yang sedang musim.
Poni dan kacamata minus, membuat cewek itu terlihat culun. Seragam sekolah yang mencerminkan produk anak sekolah era pra 2000. Kemeja putih gombrang dengan bawahan rok abu-abu rempel yang panjang melewati lutut.
Erik masih memandangnya. Cewek ini norak, udik alias kampungan. Cewek ini ketinggalan jaman. Cewek ini tak bercermin dari cewek-cewek di sekelilingnya, yang selalu menomorsatukan penampilan prima sesuai situasi dan kondisi jaman.
Tapi Erik tidak akan mencemooh cewek ini. Karena baginya, penampilan bukan segala-galanya. Ia pun kerap mengenakan pakaian yang sederhana..
“Rik, koq bengong?” Sarah menyentuh lengan Erik.
“Oh… mmm, nggak Sar. Aku merhatiin kamu,” Erik duduk di sebelah Sarah, di bangku yang tak jauh dari gerobak baso tahu. “Kamu cekatan sekali bantu ayahmu!”
Sarah mengulas senyum. “Kamu mau aku bikinin baso tahu, ya?”
“Nggak usah!”
“Ayolah!” Sarah berdiri, lalu membuat dua piring baso tahu. “Kamu pasti belom jajan, ya?”
“Koq tau?” Erik menerima sepiring baso tahu ikan panas yang berbumbu kacang dan aromanya… waw, bikin lidah ketagihan.
“Keliatan dari wajah kamu!’ sahut Sarah. “Kayak yang kehilangan darah!”
Erik tertawa. Di balik kesederhanaan Sarah, cewek itu suka juga bercanda.
“Sar…’ntar sore aku jemput kamu ke rumahmu ya?” kata Erik setelah kenyang makan baso tahu.
“Jangan!” sergah Sarah cepat.
“Kenapa? Koq aku belom boleh ke rumahmu juga?” Erik mengerutkan kening. “Aku udah kenal baik ayahmu, dan sepertinya beliau suka aku.”
“Ayahku memang suka kamu, Rik. Tapi, nggak berarti kamu udah dikasih ijin dateng ke rumah.”
Erik diam sejenak. Ia tak bisa memaksa. Mungkin saja, Sarah masih malu dengan keadaan rumahnya yang pastinya sangat sederhana, pikirnya. Padahal bagi Erik, seburuk apapun tempat tinggal Sarah, ia sangat ingin berkunjung ke sana dan berkenalan dengan ibunya. Tapi Sarah belum memperbolehkannya. Apa boleh buat, Erik harus menunggu.
***
Sarah tidak bisa protes, ketika sore hari Erik memaksanya ke rumah cowok itu. Katanya, Erik ingin memperkenalkan Sarah dengan keluarganya. Sarah bukannya tidak mau bertemu ortu Erik, tapi malas ketemu Luna. Luna itu menganggap Sarah musuh bebuyutan. Pasti, Luna tak akan suka Sarah menginjakkan kaki di rumahnya.
“Rik… aku malu!” Sarah menghentikan langkah ketika sampai di depan pintu rumah Erik.
“Adu Sar, malu kenapa sih? Kamu kan manusia, bukan hantu.”
Sarah mendesah. Ia tidak siap bertemu Luna di rumah ini.
Seraut wajah dingin menyambut kedatangan Erik dan Sarah. Luna mendelik. Tanpa mempersilakan, ia langsung membalikkan badannya dan kembali duduk di sofa. Sarah gemetaran. Kakinya seperti tidak bisa menginjak di atas lantai. Tatapan penuh kebencian dari Luna yang membuatnya seperti itu. Dengan hati-hati, ia duduk tak jauh dari Luna.
Tak lama, seorang wanita berusia empat puluhan, menghampiri mereka.
“Ada siapa, Lun?”
“Kenalin, Ma. Ini Sarah,” kata Erik tersenyum sambil menunjuk Sarah. “Sarah, ini mamaku, yang sering aku ceritain.”
“Halo Tante?” sapa Sarah seramah mungkin, lalu ia mengulurkan tangannya. Mama Erik tak membalas sapaan Sarah, juga tak menghiraukan Sarah yang mengulurkan tangan mengajak salaman. Wanita itu menatap lama sekali gadis yang dibawa anak laki-lakinya. Beliau mengira, Erik akan memperkenalkan gadis cantik, menarik dan kaya. Nyatanya…
Dipandanginya Sarah dari atas kepala hingga bawah kaki. Rambut yang dikepang dua, kayak gadis jaman penjajahan Jepang. Kampungan sekali, pikir Mama Erik. Pakaian yang dikenakan, bukan hanya sederhana. Tapi mencerminkan kalau Sarah itu berasal dari keluarga miskin. Baju yang kuno dan tidak bermode lagi, cibir Mama Erik dalam hatinya. Walaupun dirinya sudah tua, tak akan sudi disuruh pakai baju itu. Apalagi Luna.
“Lho… koq pada bengong sih?” Erik coba menetralisir keadaan. Disuruhnya Sarah duduk kembali. Sementara Luna dengan cuek bebek serta sikap sedingin es balok, mengangkat kaki kanan dan ditumpangkan ke kaki kirinya. Tangannya sibuk membolak-balik majalah mode. Ia lagi mencari model baju buat dipakai ke pesta teman mamanya yang kaya raya. Sesekali, melirik sinis pada Sarah, cewek yang sangat dibencinya. Rasanya, ia ingin melumat habis teman sekelasnya itu. Soalnya, sudah kampungan, merebut hati Erik, sekarang datang ke rumahnya lagi. Luna ingin segera besok, biar di sekolah jadi bahan gosip, kalau rumahnya diinjak cewek miskin itu. Dan ia dan pengikutnya, bakal mencemooh habis-habisan anak penjual baso tahu itu.
“Ma’afin sikap Luna dan Mama ya, Sar?” kata Erik lembut setelah Luna dan mamanya tidak ada di ruang tamu. Ditatapnya Sarah dengan penuh kasih. Betapa, ia sangat menyayangi cewek ini. Sarah cewek yang berhati tulus, penyabar dan pengertian. Sikapnya yang bersahaja yang membuat Erik tak bisa berpaling dengan yang lain.
Sarah tersenyum tipis. “Aku nggak apa-apa, Rik. Tenang aja.”
Erik mengelus rambut Sarah. “Kayaknya, nggak ada cewek sebaik kamu, Sar.”
“Nggak usah berlebihan, Rik. Aku nggak ada apa-apanya. Semua orang tau, aku cuma anak tukang baso tahu yang miskin. Penampilanku juga kampungan sekali. Abis gimana ya, Rik. Bukannya aku nggak mau pake baju yang bagus, tapi kemampuanku cuma sampe segini,” jelas Sarah panjang lebar.
“Kamu nggak usah merobah penampilan kamu, kalo emang nggak mau. Seperti ini aja. Apa yang kamu kenakan, aku tetap suka. Tapi, kenapa kamu nggak pernah membalas cemoohan Luna atau yang lainnya?”
Sarah menggeleng. “Untuk apa, Rik? Bagi aku, itu nggak ada gunanya. Kita kan di sekolah buat belajar, bukan bikin ribut. Apalagi cuma gara-gara apa yang aku pake…”
Erik tambah kagum dengan cara pikir Sarah. Tidak salah ia memilihnya.
Setelah mengantar Sarah pulang, Erik menemui Luna dan mamanya.
“Kenapa sih sikap kalian seperti itu?” Erik menatap Luna, terus mamanya. “Apa salah Sarah?”
“Salahnya, dia anak tukang baso tahu di sekolah kita. Miskin, malu-maluin aja. Selain itu, dia norak banget, kampungan alias udik,” kata Luna berparadoks.
“Walau Sarah kampungan, nggak berarti kalian bebas bersikap seenaknya kan?” Erik mulai naik darah.
“Kamu ngebela orang udik itu?” mamanya melotot.
“Namanya Sarah, Ma!” tegas Erik. “Dan jangan sebut dia orang udik!”
“Emang orang udik!” cibir Luna. “Sekali udik tetap udik!”
“Erik… apa mata kamu juling?” Mamanya menatap tajam anak sulungnya. “Apa di sekolahmu nggak ada gadis cantik? Sampe kamu pacaran ama gadis dusun itu! Udah jelas-jelas dia itu gadis kampungan, anak penjual baso tahu, miskin lagi!”
Dada Erik bergemuruh. “Kenapa sih Mama tega nyebut Sarah miskin?”
“Terus Mama musti bilang apa? Orang kaya, gitu?”
“Ma, Erik nggak nyangka, Mama bicara setega itu mengenai Sarah!”
“Pokonya, kamu harus putusin dia!”
“Rik, kamu lupa, kamu kan udah dijodohin ama Lia!” timpal Luna.
Erik mendengus. Dijodohin, rutuknya dalam hati. Emang jaman Siti Nurbaya!
“Pokonya…”
“Udah, ah! Aku nggak mau denger apa-apa lagi!” Erik menghentakkan kaki. Membalikkan tubuh, lalu segera berlalu dari hadapan Luna dan mamanya yang masih nyerocos sambil terus mencemooh Sarah.
Sampai di kamar, Erik membanting pintu. Lalu dijatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur. Matanya menerawang. Ia ingat Sarah, mengapa cewek yang dikasihinya itu harus mendapat perlakuan kasar dari adik dan mamanya? Hanya karena Sarah berpenampilan tempo dulu, juga karena Sarah miskin.
Ya Tuhan! jerit hati Erik. Begitu sombongnya adik dan mamanya. Mengatakan Sarah miskin, emang keluarga ini bagaimana? Keluarga ini juga bukan orang kaya, meski tidak bisa dibilang miskin. Rumah yang tak begitu besar, yang kini ditempati Erik sekeluarga, hanya rumah warisan yang masih sengketa. Erik merasa, keluarganya tidak punya apa-apa, kecuali perabotan rumah tangga peninggalan neneknya. Tidak ada mobil, yang ada hanya sebuah motor cicilan yang biasa dipakai papanya kerja, dan bayarnya mengandalkan gaji bulanan papanya yang tidak besar-besar amat. Papanya juga hanya seorang pegawai biasa di perusahaan swasta. Tapi yang Erik tak habis pikir, sikap Luna dan Mama yang selalu saja sombong, merasa lebih dari orang lain. Malah tak jarang mencemooh orang yang mereka anggap berada di bawahnya, baik itu dari status sosial maupun pendidikan.
Erik geleng-geleng kepala. Mengapa sikap keluarganya ada yang seperti itu?
“Rik!” Luna dengan kasar masuk kamar kakaknya. “Dipanggil Mama tuh!”
Erik mendengus.
“Kenapa sih bete banget?”
“Aku bete liat wajah kamu!” sentak Erik.
“Koq kamu gitu sih?” Luna bertolak pinggang.
“Aku nggak suka sikap kamu ama Sarah!” Erik mengacungkan telunjuknya tanpa bangkit dari rebahannya. “Kamu nyebelin, tau?”
“Aku cuma mau kamu dapet cewek yang selevel ama keluarga kita!”
Erik tersenyum mengejek. “Emang kita keluarga dengan level apa?”
“Setidaknya, kondisi keluarga kita nggak seburuk keluarga Sarah!” Luna mendelik. Ia tidak lagi bertolak pinggang. Ditatapnya Erik. “Aku mau kamu bahagia. Rik, inget… Sarah cuma anak tukang baso tahu. Mereka, jauh di bawah kita, Rik.”
“Sombong sekali kamu, Luna! Kalo aku mau jujur, kamu itu nggak ada apa-apanya dibanding Sarah!”
Luna melotot.
“Apa-apan sih?” Tahu-tahu papanya yang baru pulang dari kantor, ada di antara mereka. “Ribut melulu. Ini udah mau maghrib! Teriak-teriak sampe kedengaran ke luar. Malu-maluin!”
“Ini Pa… Erik punya cewek.”
“Hm… punya gadis aja diributin! Hei Luna, kalo Erik pacara ama laki-laki lagi, baru tuh kamu ributin!”
“Tapi cewek yang ini kampungan banget, Pa. Anak tukang baso tahu, miskin lagi!”
Papanya geleng-geleng kepala. “Papa nggak suka kamu mencela orang seperti itu, Luna. Nggak baik. Apalagi bilang orang lain miskin segala. Emangnya, kita kaya?”
“Jadi Papa setuju Erik pacaran ama cewek seperti itu?”
“Asalkan gadis itu berhati baik dan setia, kenapa nggak?”
Luna menahan geram, sementara Erik mengacungkan jempol atas ucapan papanya.
“Kata Papa… Erik mau dijodohin ama Lia?”
“Yang mau ngejodohin kan Mama kamu itu!”
***
Sarah berdiri di depan pintu depan. Di tangannya, sekantong plastik buah pir yang masih segar.
Erik tersenyum. “Aku senang kamu kemari, Sar. Dateng aja, kapan kamu mau. Walaupun Luna dan Mama lagi ada juga, nggak usah takut. Aku pasti belain kamu, koq.”
“Ada yang mau aku omongin, Rik,” Sarah menyimpan tas plastik di atas meja tamu. Lalu, dihelanya napas sesaat. “Papamu kemana?”
“Belom pulang. Katanya sehabis maghrib, mau ke rumah atasannya dulu.”
“Pasti mau bicarakan pertunangan kalian!”
Erik tersenyum pahit. “Bukan pertunangan, Sar. Yang lebih tepat, perjodohan.”
“Kamu sangat beruntung, dijodohin ama cewek yang pastinya sangat cantik, berpendidikan, dan tentunya kaya,” kata Sarah lirih. Perih hati Erik, mendengar suara Sarah yang terdengar sedih. Memang Luna brengsek, dia yang cerita semuanya dengan Sarah. Tentang cewek anak atasan papanya, yang akan dijodohin dengan Erik. Sebenarnya Erik berontak, dia sama sekali tidak mau dijodohkan dengan Lia, cewek yang tak pernah dilihatnya. Erik tidak mengerti, apa yang ada dalam pikiran Pak Hendrawan, atasan papanya, sampai mau menjodohkan anak perempuan semata wayangnya dengan Erik, yang hanya anak bawahannya. Padahal, ia tahu dari papanya, kalau cewek itu cukup cantik dan pintar. Sebenarnya, papanya juga tak menginginkan perjodohan itu. Luna dan mamanya yang berambisi. Mamanya ingin punya calon mantu dari keluarga kaya. Sedangkan papanya kalau boleh memilih, ingin Erik punya pilihan sendiri. Selain itu, seharusnya tidak perlu ada perjodohan sedini ini, karena Erik masih SMU.
“Pasti kamu mau ngomongin semua ucapan Luna tadi di sekolah kan?”
Sarah menghela napas, lalu mengangguk.
“Jangan ladeni Luna, Sar! Aku nggak akan mau dijodohin!” tegas Erik. “SMU aja belom tamat, masa orang tua udah ribut mikirin jodoh anaknya!”
“Mungkin maksud Papa mamamu baik, Rik!” kata Sarah halus. “Lagian, dijodohin, nggak berarti kamu mesti nikah besok kan? Cuma penjajakan aja. Kamu ngerti?”
“Mama!” geram Erik. “Mama yang berambisi, Sar. Kalo Papa, beliau lebih setuju aku ama kamu!”
“Walau aku cewek kampungan?” Sarah tersenyum pahit.
“Koq kamu bicara gitu sih?” kata Erik serak. Ditatapnya mata Sarah yang seperti mulai menyimpan luka. “Berarti, kamu nggak sayang aku!”
“Aku sayang kamu. Tapi buat apa hubungan kita diteruskan? Percuma, malah akan membuat hati kita sakit.”
“Tapi…”
“Biar saja, aku pendam sendiri rasa sayang ini…”
“Kamu jangan bicara…”
“Aku mau hubungan kita sampe di sini!” kata Sarah, kembali lirih.
“Sarah, dengerin aku!”
“Selamat tinggal, Erik!” Sarah berdiri. Erik mau meraih lengan Sarah, tapi terlambat. Dengan sigap, cewek itu segera meninggalkan Erik yang masih dibalut keraguan.
***
Sudah dua minggu, Sarah tidak datang ke sekolah. Bang Udin juga ikut raib. Erik seperti yang kehilangan arah. Ia mondar-mandir sendiri, tak tentu arah tujuan di sekolah. Dilihatnya Luna beserta pengikutnya yang nyinyir dan rese, mencibir.
“Kenapa Sarah nggak masuk-masuk?”
“Emang aku inang pengasuhnya?” Luna mengangkat dagu. Kedua tangannya dilipatkan di atas dada. Ririn dan Ria cuma angkat bahu. Dan yang lain, memonyongkan bibirnya.
“Rin, kamu tau rumah Sarah?” tanya Erik pada Ririn, yang sudah lama naksir Erik.
“Nggak tuh!” sahut cewek yang hobinya mengedipkan mata tiap ada cowok cakep lewat.
“Allaah… kalo cuma mau tanya alamat si udik itu, gampang aja!” seru Luna. “Kalo nggak di kolong jembatan, pasti ya… paling di pinggiran rel kereta api! Coba aja cari sono!”
Darah Erik mendidih. Ditinggalkannya cewek-cewek yang berhati kotor itu. Ia mencari tahu nomor HP Sarah, tapi seorang pun tak ada yang tahu.
Rumah sangat sederhana menyambutnya. Seorang wanita berusia tiga puluh lima tahunan, yang membuka pintu. Erik pikir, ini ibunya Sarah.
“Sepertinya suami saya nggak bakalan jualan lagi, Nak…”
“Erik,” sela Erik.
“Iya Nak Erik. Sekarang, Bang Udin punya kerjaan baru. Yah, lumayan. Jadi sopir di rumah orang kaya,” kata ibunya Sarah dengan nada bangga waktu menyebut kata ‘sopir’ dan ‘orang kaya’. Erik ikut bersyukur, walau dalam hati. Dengan begitu, kehidupan keluarga Sarah bisa sedikit berubah.
“Mmm… kalo Sarah?” tanya Erik agak malu-malu.
“Sarah?” ibunya Sarah mengerutkan kening. “Kan Sarah yang udah kasih pekerjaan Bang Udin. Malah, dia yang udah ngasih duit Bang Udin buat bikin SIM.”
Erik ikut mengerutkan kening. “Sarah… kan anak ibu?”
“Anak saya?” wanita itu kembali mengerutkan kening. Tapi kemudian, wajahnya berubah. Ia lalu tersenyum simpul. “Ooh… baru inget. Bang Udin cerita, kalo di sekolahan… semua orang mengira kalo Sarah itu anak Bang Udin.”
“Jadi…” mulut Erik ternganga.
“Anak itu baik, sering nolongin kami. Katanya, di sekolah rajin membantu Bang Udin kalo lagi sibuk jualan pas istirahat. Hmm… bagi kami, dia anak yang sangat berharga. Kami sangat menyayanginya.”
Erik permisi. Pikirannya diliputi seribu pertanyaan. Siapa sebenarnya Sarah itu?
Minggu siang.
“Erik mau pergi ke rumah Pak Hendrawan dengan satu syarat…”
“Apa?” teriak mamanya dengan suara sopran-nya. Papanya cuma mengelus dada melihat sikap istrinya yang grabag-grubug ingin segera mempertemukan Erik dengan Lia.
“Nggak mau dijodohin, ngerti?” jelas Erik.
“Kamu ini…” mamanya geram.
“Aduh Mama, udah deh! Anak kita kan bukan anak kecil lagi!” bela Papa. “Kalo nggak mau ya udah, nggak usah dipaksa!”
“Dasar!” Luna nimbrung. “Kalo ama cewek norak, mau! Giliran dikasih cewek berkelas, nolak! Nggak tau terima kasih! Anak nggak tau diuntung!”
“Diem! Nggak usah ikut campur!” bentak Erik. “Lagian, koq aku musti dijodohin! Emang aku cowok nggak laku apa?”
“Kamu cowok…”
“Kamu, Luna! Mama juga, sama saja. Kalian kan nggak pernah ketemu cewek itu?”
“Walaupun Mama dan Luna nggak pernah liat Lia, tapi percaya… Lia pasti cantik. Nggak seperti cewek yang tempo hari kamu bawa kemari!” suara Mama masih sopran, tapi udah turun satu setengah oktaf. “Produk lama, udah kadaluarsa! Malu-maluin!”
Luna melendot manja di lengan mamanya. “Apalagi sebentar lagi kita pindah ke perumahan mewah itu, Ma…”
Erik mencibir.
“Rik,” kata papanya lembut. “Papa mau ucapin terimakasih sama keluarga Pak Hendrawan. Karena jasa beliau, kita mau dibantu… dikasih rumah cicilan di perumahan yang cukuplah… buat kita. Mulai minggu depan, kita sekeluarga bisa menempati rumah baru itu. Masa kamu nggak seneng?”
“Tapi nggak berarti Erik yang dijadiin jaminan!” protes Erik kesal.
“Ya… iya, Rik. Emang kamu barang, apa?” Papanya memegang pundak Erik. “Kalo Pak Hendrawan pingin ngejodohhin Lia ama kamu, bukan berarti minta balas jasa atas kebaikannya selama ini. Beliau simpati ama keluarga kita. Juga, sangat menyukai kamu. Katanya, kamu anak yang baik.”
Erik hanya mesem. Ia pernah dua kali ketemu Pak Hendrawan, waktu mencari papanya ke perusahaan itu. Kebetulan, sempat bicara dengan beliau. Ia mengakui, lelaki kaya itu orangnya baik dan menyenangkan, dan tidak memandang sebelah mata pada orang. Tapi saat ini, hati Erik tidak bisa berhenti memikirkan Sarah. Ah, kemana cewek itu, desah hati Erik resah. Setelah tempo hari datang ke rumahnya dan memutuskan hubungan mereka, tiba-tiba saja cewek itu hilang bagai ditelan bumi. Erik tak pernah melihatnya lagi.
“Baik, Pa. Tapi jangan lama-lama, Erik soalnya mau ke rumah Bang Udin.”
Luna memajukan bibir bawahnya sampai lima senti.
“Pokonya sore ini; Erik harus ketemu Lia!” kata mamanya sambil melirik Erik yang cuek-cuek saja.
Selepas ashar, Erik sekeluarga pergi ke perumahan mewah, pakai mobil rentalan. Biasa, Luna dan mamanya itu hobi pamer. Biar dibilang orang yang melihat, mobil sendiri.
Tak henti-hentinya Luna mendecak kagum melihat perabotan di rumah Pak Hendrawan. Semuanya serba lux. Tak seperti perabotan yang ada di rumahnya. Sudah warisan, kuno lagi. Mending kalau antik.
Pak Hendrawan dan istrinya meskipun orang kaya, tapi sikapnya sangat terpuji. Disambutnya Erik sekeluarga dengan ramah dan tangan terbuka. Ah, andai saja sikap Mama dan Luna yang seperti itu, kata Erik dalam hati.
“Mmm… dari tadi, koq saya nggak liat Lia?” tanya Mama Erik setelah beberapa saat, sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan yang sangat besar. Ada lima kali rumahnya.
“Sejak pagi… Lia belom pulang,” Bu Hendrawan yang menjawab. “O ya Bu Anggraeni, belom pernah ketemu Lia ya?”
“Anak saya itu aneh!” cetus Pak Hendrawan tiba-tiba.
Papa dan Mama Erik juga Luna mengerutkan kening. Sementara Erik cuek-cuek saja, pura-pura sibuk membolak-balik brosur mobil yang tadi tergeletak di kolong meja.
“Saya sekolahin dia di tempat elit, bukannya sok-sokan. Maksudnya, biar dia dapet pendidikan yang terbaik. Tapi anak itu malah minta pindah ke sekolah biasa. Sekarang udah dua minggu, nggak mau pergi sekolah. Unjuk rasa, pingin pindah sekolah lagi. Nggak tanggung-tanggung, pingin sekolah di Surabaya. Di sana memang ada tantenya,” Pak Hendrawam mulai bercerita.
“Tapi Lia bukan anak manja,” sela Bu Hendrawan. “Kalo Bu Anggraeni tau, Lia itu penampilannya sederhana sekali. Susah diatur. Dikasih duit banyak sama saya, bukannya belanja di mall atau ke butik, malah pergi ke pasar baru. Saya beliin laptop terbaru, dia hobi nongkrong di warnet. Terus sebulan yang lalu, papanya beliin HP model baru, malah nggak pernah dipake. Yang dibawa ke sekolah, HP murahan…”
“Berarti, putri anda itu, nggak sombong. Walaupun anak orang kaya, tapi nggak manfa’atin kekayaan orang tuanya. Justru, saya suka gadis seperti itu!” komentar Pak Anton.
Hm, coba yang jadi Lia itu… Luna! pikir Erik, sambil melirik adiknya yang begitu antusias memperhatikan obrolan orang tua mereka. Pasti Luna dengan rakusnya menghabiskan harta. Erik bersyukur dalam hati. Jadi, Luna belum salah jalan.
“Ma’af Pak… Bu…” tiba-tiba seseorang tergopoh-gopoh menghampiri Pak Hendrawan dan istrinya.
“Ada apa?” Pak Hendrawan mengerutkan kening. Begitu juga dengan istrinya. Sopir barunya seperti mau mengatakan sesuatu yang penting.
“Barusan, Non Lia sms ke HP saya … buat Bapak dan Ibu, juga buat…”
Erik terkejut. Sepertinya, ia kenal suara itu. Ia mengangkat muka, tapi orang itu keburu pergi. Luna menyikut lengan kakaknya. “Ayahnya cewek norak itu ada di sini, Rik.”
“Benarkah?” bisik Erik pelan sekali, setengah tak percaya. Ia ingat janjinya untuk datang ke rumah Bang Udin sore ini.
“Iya, aku liat barusan,” sahut Luna sambil berbisik pula. “Pantes aja di sekolah nggak jualan lagi. Rupanya, dapet kerjaan baru. Allaaah… paling juga jadi kacung. Kalo nggak pembantu, ya… tukang kebun!”
Erik mendelik. Buntutnya, Luna masih mencemooh Bang Udin.
“Erik… coba kamu baca sms dari Lia!” Bu Hendrawan memberikan HP Bang Udin. Tidak sopan sekali pengirim sms, mengapa harus lewat HP orang lain, pikir Erik. Tapi segera diterima jadul itu. Lalu, pelan-pelan dibacanya pesan yang lumayan panjang dari Lia.
Buat cowok yang namanya aja belum sempat ku tau.
Sori… ini bukan jaman Siti Nurbaya. Aku nggak mau dijodohin ama kamu.
Aku punya pilihan sendiri. Semua itu hanya keinginan ortu kita aja.
Kalo kamu cowok yang cakep dan pinter, sebaiknya kamu tolak perjodohan
Kita nggak bakalan bahagia. Lagipula, saat ini aku udah nggak ada di Jakarta
lagi. Aku udah di Surabaya dan berencana tinggal dan sekolah di sana. Aku, Sarah Amelia.
Erik tercengang, lalu ditatapnya wajah Bu Hendrawan.
“Sebenarnya, Lia itu siapa?”
“Ya anak kami,” Bu Hendrawan melirik suaminya. “Emangnya kenapa?”
Erik semakin tercengang. Jantungnya berdetak lebih cepat dari sebelumnya ketika mengamati foto yang ada di tangannya. Rasanya, ia tidak percaya cewek yang ada dalam foto itu ternyata… Sarah Amelia, cewek yang hingga detik ini masih tetap bersemayam di dalam lubuk hatinya.***
Bandung Barat, 2012
Erik masih memandangnya. Cewek ini norak, udik alias kampungan. Cewek ini ketinggalan jaman. Cewek ini tak bercermin dari cewek-cewek di sekelilingnya, yang selalu menomorsatukan penampilan prima sesuai situasi dan kondisi jaman.
Tapi Erik tidak akan mencemooh cewek ini. Karena baginya, penampilan bukan segala-galanya. Ia pun kerap mengenakan pakaian yang sederhana..
“Rik, koq bengong?” Sarah menyentuh lengan Erik.
“Oh… mmm, nggak Sar. Aku merhatiin kamu,” Erik duduk di sebelah Sarah, di bangku yang tak jauh dari gerobak baso tahu. “Kamu cekatan sekali bantu ayahmu!”
Sarah mengulas senyum. “Kamu mau aku bikinin baso tahu, ya?”
“Nggak usah!”
“Ayolah!” Sarah berdiri, lalu membuat dua piring baso tahu. “Kamu pasti belom jajan, ya?”
“Koq tau?” Erik menerima sepiring baso tahu ikan panas yang berbumbu kacang dan aromanya… waw, bikin lidah ketagihan.
“Keliatan dari wajah kamu!’ sahut Sarah. “Kayak yang kehilangan darah!”
Erik tertawa. Di balik kesederhanaan Sarah, cewek itu suka juga bercanda.
“Sar…’ntar sore aku jemput kamu ke rumahmu ya?” kata Erik setelah kenyang makan baso tahu.
“Jangan!” sergah Sarah cepat.
“Kenapa? Koq aku belom boleh ke rumahmu juga?” Erik mengerutkan kening. “Aku udah kenal baik ayahmu, dan sepertinya beliau suka aku.”
“Ayahku memang suka kamu, Rik. Tapi, nggak berarti kamu udah dikasih ijin dateng ke rumah.”
Erik diam sejenak. Ia tak bisa memaksa. Mungkin saja, Sarah masih malu dengan keadaan rumahnya yang pastinya sangat sederhana, pikirnya. Padahal bagi Erik, seburuk apapun tempat tinggal Sarah, ia sangat ingin berkunjung ke sana dan berkenalan dengan ibunya. Tapi Sarah belum memperbolehkannya. Apa boleh buat, Erik harus menunggu.
***
Sarah tidak bisa protes, ketika sore hari Erik memaksanya ke rumah cowok itu. Katanya, Erik ingin memperkenalkan Sarah dengan keluarganya. Sarah bukannya tidak mau bertemu ortu Erik, tapi malas ketemu Luna. Luna itu menganggap Sarah musuh bebuyutan. Pasti, Luna tak akan suka Sarah menginjakkan kaki di rumahnya.
“Rik… aku malu!” Sarah menghentikan langkah ketika sampai di depan pintu rumah Erik.
“Adu Sar, malu kenapa sih? Kamu kan manusia, bukan hantu.”
Sarah mendesah. Ia tidak siap bertemu Luna di rumah ini.
Seraut wajah dingin menyambut kedatangan Erik dan Sarah. Luna mendelik. Tanpa mempersilakan, ia langsung membalikkan badannya dan kembali duduk di sofa. Sarah gemetaran. Kakinya seperti tidak bisa menginjak di atas lantai. Tatapan penuh kebencian dari Luna yang membuatnya seperti itu. Dengan hati-hati, ia duduk tak jauh dari Luna.
Tak lama, seorang wanita berusia empat puluhan, menghampiri mereka.
“Ada siapa, Lun?”
“Kenalin, Ma. Ini Sarah,” kata Erik tersenyum sambil menunjuk Sarah. “Sarah, ini mamaku, yang sering aku ceritain.”
“Halo Tante?” sapa Sarah seramah mungkin, lalu ia mengulurkan tangannya. Mama Erik tak membalas sapaan Sarah, juga tak menghiraukan Sarah yang mengulurkan tangan mengajak salaman. Wanita itu menatap lama sekali gadis yang dibawa anak laki-lakinya. Beliau mengira, Erik akan memperkenalkan gadis cantik, menarik dan kaya. Nyatanya…
Dipandanginya Sarah dari atas kepala hingga bawah kaki. Rambut yang dikepang dua, kayak gadis jaman penjajahan Jepang. Kampungan sekali, pikir Mama Erik. Pakaian yang dikenakan, bukan hanya sederhana. Tapi mencerminkan kalau Sarah itu berasal dari keluarga miskin. Baju yang kuno dan tidak bermode lagi, cibir Mama Erik dalam hatinya. Walaupun dirinya sudah tua, tak akan sudi disuruh pakai baju itu. Apalagi Luna.
“Lho… koq pada bengong sih?” Erik coba menetralisir keadaan. Disuruhnya Sarah duduk kembali. Sementara Luna dengan cuek bebek serta sikap sedingin es balok, mengangkat kaki kanan dan ditumpangkan ke kaki kirinya. Tangannya sibuk membolak-balik majalah mode. Ia lagi mencari model baju buat dipakai ke pesta teman mamanya yang kaya raya. Sesekali, melirik sinis pada Sarah, cewek yang sangat dibencinya. Rasanya, ia ingin melumat habis teman sekelasnya itu. Soalnya, sudah kampungan, merebut hati Erik, sekarang datang ke rumahnya lagi. Luna ingin segera besok, biar di sekolah jadi bahan gosip, kalau rumahnya diinjak cewek miskin itu. Dan ia dan pengikutnya, bakal mencemooh habis-habisan anak penjual baso tahu itu.
“Ma’afin sikap Luna dan Mama ya, Sar?” kata Erik lembut setelah Luna dan mamanya tidak ada di ruang tamu. Ditatapnya Sarah dengan penuh kasih. Betapa, ia sangat menyayangi cewek ini. Sarah cewek yang berhati tulus, penyabar dan pengertian. Sikapnya yang bersahaja yang membuat Erik tak bisa berpaling dengan yang lain.
Sarah tersenyum tipis. “Aku nggak apa-apa, Rik. Tenang aja.”
Erik mengelus rambut Sarah. “Kayaknya, nggak ada cewek sebaik kamu, Sar.”
“Nggak usah berlebihan, Rik. Aku nggak ada apa-apanya. Semua orang tau, aku cuma anak tukang baso tahu yang miskin. Penampilanku juga kampungan sekali. Abis gimana ya, Rik. Bukannya aku nggak mau pake baju yang bagus, tapi kemampuanku cuma sampe segini,” jelas Sarah panjang lebar.
“Kamu nggak usah merobah penampilan kamu, kalo emang nggak mau. Seperti ini aja. Apa yang kamu kenakan, aku tetap suka. Tapi, kenapa kamu nggak pernah membalas cemoohan Luna atau yang lainnya?”
Sarah menggeleng. “Untuk apa, Rik? Bagi aku, itu nggak ada gunanya. Kita kan di sekolah buat belajar, bukan bikin ribut. Apalagi cuma gara-gara apa yang aku pake…”
Erik tambah kagum dengan cara pikir Sarah. Tidak salah ia memilihnya.
Setelah mengantar Sarah pulang, Erik menemui Luna dan mamanya.
“Kenapa sih sikap kalian seperti itu?” Erik menatap Luna, terus mamanya. “Apa salah Sarah?”
“Salahnya, dia anak tukang baso tahu di sekolah kita. Miskin, malu-maluin aja. Selain itu, dia norak banget, kampungan alias udik,” kata Luna berparadoks.
“Walau Sarah kampungan, nggak berarti kalian bebas bersikap seenaknya kan?” Erik mulai naik darah.
“Kamu ngebela orang udik itu?” mamanya melotot.
“Namanya Sarah, Ma!” tegas Erik. “Dan jangan sebut dia orang udik!”
“Emang orang udik!” cibir Luna. “Sekali udik tetap udik!”
“Erik… apa mata kamu juling?” Mamanya menatap tajam anak sulungnya. “Apa di sekolahmu nggak ada gadis cantik? Sampe kamu pacaran ama gadis dusun itu! Udah jelas-jelas dia itu gadis kampungan, anak penjual baso tahu, miskin lagi!”
Dada Erik bergemuruh. “Kenapa sih Mama tega nyebut Sarah miskin?”
“Terus Mama musti bilang apa? Orang kaya, gitu?”
“Ma, Erik nggak nyangka, Mama bicara setega itu mengenai Sarah!”
“Pokonya, kamu harus putusin dia!”
“Rik, kamu lupa, kamu kan udah dijodohin ama Lia!” timpal Luna.
Erik mendengus. Dijodohin, rutuknya dalam hati. Emang jaman Siti Nurbaya!
“Pokonya…”
“Udah, ah! Aku nggak mau denger apa-apa lagi!” Erik menghentakkan kaki. Membalikkan tubuh, lalu segera berlalu dari hadapan Luna dan mamanya yang masih nyerocos sambil terus mencemooh Sarah.
Sampai di kamar, Erik membanting pintu. Lalu dijatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur. Matanya menerawang. Ia ingat Sarah, mengapa cewek yang dikasihinya itu harus mendapat perlakuan kasar dari adik dan mamanya? Hanya karena Sarah berpenampilan tempo dulu, juga karena Sarah miskin.
Ya Tuhan! jerit hati Erik. Begitu sombongnya adik dan mamanya. Mengatakan Sarah miskin, emang keluarga ini bagaimana? Keluarga ini juga bukan orang kaya, meski tidak bisa dibilang miskin. Rumah yang tak begitu besar, yang kini ditempati Erik sekeluarga, hanya rumah warisan yang masih sengketa. Erik merasa, keluarganya tidak punya apa-apa, kecuali perabotan rumah tangga peninggalan neneknya. Tidak ada mobil, yang ada hanya sebuah motor cicilan yang biasa dipakai papanya kerja, dan bayarnya mengandalkan gaji bulanan papanya yang tidak besar-besar amat. Papanya juga hanya seorang pegawai biasa di perusahaan swasta. Tapi yang Erik tak habis pikir, sikap Luna dan Mama yang selalu saja sombong, merasa lebih dari orang lain. Malah tak jarang mencemooh orang yang mereka anggap berada di bawahnya, baik itu dari status sosial maupun pendidikan.
Erik geleng-geleng kepala. Mengapa sikap keluarganya ada yang seperti itu?
“Rik!” Luna dengan kasar masuk kamar kakaknya. “Dipanggil Mama tuh!”
Erik mendengus.
“Kenapa sih bete banget?”
“Aku bete liat wajah kamu!” sentak Erik.
“Koq kamu gitu sih?” Luna bertolak pinggang.
“Aku nggak suka sikap kamu ama Sarah!” Erik mengacungkan telunjuknya tanpa bangkit dari rebahannya. “Kamu nyebelin, tau?”
“Aku cuma mau kamu dapet cewek yang selevel ama keluarga kita!”
Erik tersenyum mengejek. “Emang kita keluarga dengan level apa?”
“Setidaknya, kondisi keluarga kita nggak seburuk keluarga Sarah!” Luna mendelik. Ia tidak lagi bertolak pinggang. Ditatapnya Erik. “Aku mau kamu bahagia. Rik, inget… Sarah cuma anak tukang baso tahu. Mereka, jauh di bawah kita, Rik.”
“Sombong sekali kamu, Luna! Kalo aku mau jujur, kamu itu nggak ada apa-apanya dibanding Sarah!”
Luna melotot.
“Apa-apan sih?” Tahu-tahu papanya yang baru pulang dari kantor, ada di antara mereka. “Ribut melulu. Ini udah mau maghrib! Teriak-teriak sampe kedengaran ke luar. Malu-maluin!”
“Ini Pa… Erik punya cewek.”
“Hm… punya gadis aja diributin! Hei Luna, kalo Erik pacara ama laki-laki lagi, baru tuh kamu ributin!”
“Tapi cewek yang ini kampungan banget, Pa. Anak tukang baso tahu, miskin lagi!”
Papanya geleng-geleng kepala. “Papa nggak suka kamu mencela orang seperti itu, Luna. Nggak baik. Apalagi bilang orang lain miskin segala. Emangnya, kita kaya?”
“Jadi Papa setuju Erik pacaran ama cewek seperti itu?”
“Asalkan gadis itu berhati baik dan setia, kenapa nggak?”
Luna menahan geram, sementara Erik mengacungkan jempol atas ucapan papanya.
“Kata Papa… Erik mau dijodohin ama Lia?”
“Yang mau ngejodohin kan Mama kamu itu!”
***
Sarah berdiri di depan pintu depan. Di tangannya, sekantong plastik buah pir yang masih segar.
Erik tersenyum. “Aku senang kamu kemari, Sar. Dateng aja, kapan kamu mau. Walaupun Luna dan Mama lagi ada juga, nggak usah takut. Aku pasti belain kamu, koq.”
“Ada yang mau aku omongin, Rik,” Sarah menyimpan tas plastik di atas meja tamu. Lalu, dihelanya napas sesaat. “Papamu kemana?”
“Belom pulang. Katanya sehabis maghrib, mau ke rumah atasannya dulu.”
“Pasti mau bicarakan pertunangan kalian!”
Erik tersenyum pahit. “Bukan pertunangan, Sar. Yang lebih tepat, perjodohan.”
“Kamu sangat beruntung, dijodohin ama cewek yang pastinya sangat cantik, berpendidikan, dan tentunya kaya,” kata Sarah lirih. Perih hati Erik, mendengar suara Sarah yang terdengar sedih. Memang Luna brengsek, dia yang cerita semuanya dengan Sarah. Tentang cewek anak atasan papanya, yang akan dijodohin dengan Erik. Sebenarnya Erik berontak, dia sama sekali tidak mau dijodohkan dengan Lia, cewek yang tak pernah dilihatnya. Erik tidak mengerti, apa yang ada dalam pikiran Pak Hendrawan, atasan papanya, sampai mau menjodohkan anak perempuan semata wayangnya dengan Erik, yang hanya anak bawahannya. Padahal, ia tahu dari papanya, kalau cewek itu cukup cantik dan pintar. Sebenarnya, papanya juga tak menginginkan perjodohan itu. Luna dan mamanya yang berambisi. Mamanya ingin punya calon mantu dari keluarga kaya. Sedangkan papanya kalau boleh memilih, ingin Erik punya pilihan sendiri. Selain itu, seharusnya tidak perlu ada perjodohan sedini ini, karena Erik masih SMU.
“Pasti kamu mau ngomongin semua ucapan Luna tadi di sekolah kan?”
Sarah menghela napas, lalu mengangguk.
“Jangan ladeni Luna, Sar! Aku nggak akan mau dijodohin!” tegas Erik. “SMU aja belom tamat, masa orang tua udah ribut mikirin jodoh anaknya!”
“Mungkin maksud Papa mamamu baik, Rik!” kata Sarah halus. “Lagian, dijodohin, nggak berarti kamu mesti nikah besok kan? Cuma penjajakan aja. Kamu ngerti?”
“Mama!” geram Erik. “Mama yang berambisi, Sar. Kalo Papa, beliau lebih setuju aku ama kamu!”
“Walau aku cewek kampungan?” Sarah tersenyum pahit.
“Koq kamu bicara gitu sih?” kata Erik serak. Ditatapnya mata Sarah yang seperti mulai menyimpan luka. “Berarti, kamu nggak sayang aku!”
“Aku sayang kamu. Tapi buat apa hubungan kita diteruskan? Percuma, malah akan membuat hati kita sakit.”
“Tapi…”
“Biar saja, aku pendam sendiri rasa sayang ini…”
“Kamu jangan bicara…”
“Aku mau hubungan kita sampe di sini!” kata Sarah, kembali lirih.
“Sarah, dengerin aku!”
“Selamat tinggal, Erik!” Sarah berdiri. Erik mau meraih lengan Sarah, tapi terlambat. Dengan sigap, cewek itu segera meninggalkan Erik yang masih dibalut keraguan.
***
Sudah dua minggu, Sarah tidak datang ke sekolah. Bang Udin juga ikut raib. Erik seperti yang kehilangan arah. Ia mondar-mandir sendiri, tak tentu arah tujuan di sekolah. Dilihatnya Luna beserta pengikutnya yang nyinyir dan rese, mencibir.
“Kenapa Sarah nggak masuk-masuk?”
“Emang aku inang pengasuhnya?” Luna mengangkat dagu. Kedua tangannya dilipatkan di atas dada. Ririn dan Ria cuma angkat bahu. Dan yang lain, memonyongkan bibirnya.
“Rin, kamu tau rumah Sarah?” tanya Erik pada Ririn, yang sudah lama naksir Erik.
“Nggak tuh!” sahut cewek yang hobinya mengedipkan mata tiap ada cowok cakep lewat.
“Allaah… kalo cuma mau tanya alamat si udik itu, gampang aja!” seru Luna. “Kalo nggak di kolong jembatan, pasti ya… paling di pinggiran rel kereta api! Coba aja cari sono!”
Darah Erik mendidih. Ditinggalkannya cewek-cewek yang berhati kotor itu. Ia mencari tahu nomor HP Sarah, tapi seorang pun tak ada yang tahu.
Rumah sangat sederhana menyambutnya. Seorang wanita berusia tiga puluh lima tahunan, yang membuka pintu. Erik pikir, ini ibunya Sarah.
“Sepertinya suami saya nggak bakalan jualan lagi, Nak…”
“Erik,” sela Erik.
“Iya Nak Erik. Sekarang, Bang Udin punya kerjaan baru. Yah, lumayan. Jadi sopir di rumah orang kaya,” kata ibunya Sarah dengan nada bangga waktu menyebut kata ‘sopir’ dan ‘orang kaya’. Erik ikut bersyukur, walau dalam hati. Dengan begitu, kehidupan keluarga Sarah bisa sedikit berubah.
“Mmm… kalo Sarah?” tanya Erik agak malu-malu.
“Sarah?” ibunya Sarah mengerutkan kening. “Kan Sarah yang udah kasih pekerjaan Bang Udin. Malah, dia yang udah ngasih duit Bang Udin buat bikin SIM.”
Erik ikut mengerutkan kening. “Sarah… kan anak ibu?”
“Anak saya?” wanita itu kembali mengerutkan kening. Tapi kemudian, wajahnya berubah. Ia lalu tersenyum simpul. “Ooh… baru inget. Bang Udin cerita, kalo di sekolahan… semua orang mengira kalo Sarah itu anak Bang Udin.”
“Jadi…” mulut Erik ternganga.
“Anak itu baik, sering nolongin kami. Katanya, di sekolah rajin membantu Bang Udin kalo lagi sibuk jualan pas istirahat. Hmm… bagi kami, dia anak yang sangat berharga. Kami sangat menyayanginya.”
Erik permisi. Pikirannya diliputi seribu pertanyaan. Siapa sebenarnya Sarah itu?
Minggu siang.
“Erik mau pergi ke rumah Pak Hendrawan dengan satu syarat…”
“Apa?” teriak mamanya dengan suara sopran-nya. Papanya cuma mengelus dada melihat sikap istrinya yang grabag-grubug ingin segera mempertemukan Erik dengan Lia.
“Nggak mau dijodohin, ngerti?” jelas Erik.
“Kamu ini…” mamanya geram.
“Aduh Mama, udah deh! Anak kita kan bukan anak kecil lagi!” bela Papa. “Kalo nggak mau ya udah, nggak usah dipaksa!”
“Dasar!” Luna nimbrung. “Kalo ama cewek norak, mau! Giliran dikasih cewek berkelas, nolak! Nggak tau terima kasih! Anak nggak tau diuntung!”
“Diem! Nggak usah ikut campur!” bentak Erik. “Lagian, koq aku musti dijodohin! Emang aku cowok nggak laku apa?”
“Kamu cowok…”
“Kamu, Luna! Mama juga, sama saja. Kalian kan nggak pernah ketemu cewek itu?”
“Walaupun Mama dan Luna nggak pernah liat Lia, tapi percaya… Lia pasti cantik. Nggak seperti cewek yang tempo hari kamu bawa kemari!” suara Mama masih sopran, tapi udah turun satu setengah oktaf. “Produk lama, udah kadaluarsa! Malu-maluin!”
Luna melendot manja di lengan mamanya. “Apalagi sebentar lagi kita pindah ke perumahan mewah itu, Ma…”
Erik mencibir.
“Rik,” kata papanya lembut. “Papa mau ucapin terimakasih sama keluarga Pak Hendrawan. Karena jasa beliau, kita mau dibantu… dikasih rumah cicilan di perumahan yang cukuplah… buat kita. Mulai minggu depan, kita sekeluarga bisa menempati rumah baru itu. Masa kamu nggak seneng?”
“Tapi nggak berarti Erik yang dijadiin jaminan!” protes Erik kesal.
“Ya… iya, Rik. Emang kamu barang, apa?” Papanya memegang pundak Erik. “Kalo Pak Hendrawan pingin ngejodohhin Lia ama kamu, bukan berarti minta balas jasa atas kebaikannya selama ini. Beliau simpati ama keluarga kita. Juga, sangat menyukai kamu. Katanya, kamu anak yang baik.”
Erik hanya mesem. Ia pernah dua kali ketemu Pak Hendrawan, waktu mencari papanya ke perusahaan itu. Kebetulan, sempat bicara dengan beliau. Ia mengakui, lelaki kaya itu orangnya baik dan menyenangkan, dan tidak memandang sebelah mata pada orang. Tapi saat ini, hati Erik tidak bisa berhenti memikirkan Sarah. Ah, kemana cewek itu, desah hati Erik resah. Setelah tempo hari datang ke rumahnya dan memutuskan hubungan mereka, tiba-tiba saja cewek itu hilang bagai ditelan bumi. Erik tak pernah melihatnya lagi.
“Baik, Pa. Tapi jangan lama-lama, Erik soalnya mau ke rumah Bang Udin.”
Luna memajukan bibir bawahnya sampai lima senti.
“Pokonya sore ini; Erik harus ketemu Lia!” kata mamanya sambil melirik Erik yang cuek-cuek saja.
Selepas ashar, Erik sekeluarga pergi ke perumahan mewah, pakai mobil rentalan. Biasa, Luna dan mamanya itu hobi pamer. Biar dibilang orang yang melihat, mobil sendiri.
Tak henti-hentinya Luna mendecak kagum melihat perabotan di rumah Pak Hendrawan. Semuanya serba lux. Tak seperti perabotan yang ada di rumahnya. Sudah warisan, kuno lagi. Mending kalau antik.
Pak Hendrawan dan istrinya meskipun orang kaya, tapi sikapnya sangat terpuji. Disambutnya Erik sekeluarga dengan ramah dan tangan terbuka. Ah, andai saja sikap Mama dan Luna yang seperti itu, kata Erik dalam hati.
“Mmm… dari tadi, koq saya nggak liat Lia?” tanya Mama Erik setelah beberapa saat, sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan yang sangat besar. Ada lima kali rumahnya.
“Sejak pagi… Lia belom pulang,” Bu Hendrawan yang menjawab. “O ya Bu Anggraeni, belom pernah ketemu Lia ya?”
“Anak saya itu aneh!” cetus Pak Hendrawan tiba-tiba.
Papa dan Mama Erik juga Luna mengerutkan kening. Sementara Erik cuek-cuek saja, pura-pura sibuk membolak-balik brosur mobil yang tadi tergeletak di kolong meja.
“Saya sekolahin dia di tempat elit, bukannya sok-sokan. Maksudnya, biar dia dapet pendidikan yang terbaik. Tapi anak itu malah minta pindah ke sekolah biasa. Sekarang udah dua minggu, nggak mau pergi sekolah. Unjuk rasa, pingin pindah sekolah lagi. Nggak tanggung-tanggung, pingin sekolah di Surabaya. Di sana memang ada tantenya,” Pak Hendrawam mulai bercerita.
“Tapi Lia bukan anak manja,” sela Bu Hendrawan. “Kalo Bu Anggraeni tau, Lia itu penampilannya sederhana sekali. Susah diatur. Dikasih duit banyak sama saya, bukannya belanja di mall atau ke butik, malah pergi ke pasar baru. Saya beliin laptop terbaru, dia hobi nongkrong di warnet. Terus sebulan yang lalu, papanya beliin HP model baru, malah nggak pernah dipake. Yang dibawa ke sekolah, HP murahan…”
“Berarti, putri anda itu, nggak sombong. Walaupun anak orang kaya, tapi nggak manfa’atin kekayaan orang tuanya. Justru, saya suka gadis seperti itu!” komentar Pak Anton.
Hm, coba yang jadi Lia itu… Luna! pikir Erik, sambil melirik adiknya yang begitu antusias memperhatikan obrolan orang tua mereka. Pasti Luna dengan rakusnya menghabiskan harta. Erik bersyukur dalam hati. Jadi, Luna belum salah jalan.
“Ma’af Pak… Bu…” tiba-tiba seseorang tergopoh-gopoh menghampiri Pak Hendrawan dan istrinya.
“Ada apa?” Pak Hendrawan mengerutkan kening. Begitu juga dengan istrinya. Sopir barunya seperti mau mengatakan sesuatu yang penting.
“Barusan, Non Lia sms ke HP saya … buat Bapak dan Ibu, juga buat…”
Erik terkejut. Sepertinya, ia kenal suara itu. Ia mengangkat muka, tapi orang itu keburu pergi. Luna menyikut lengan kakaknya. “Ayahnya cewek norak itu ada di sini, Rik.”
“Benarkah?” bisik Erik pelan sekali, setengah tak percaya. Ia ingat janjinya untuk datang ke rumah Bang Udin sore ini.
“Iya, aku liat barusan,” sahut Luna sambil berbisik pula. “Pantes aja di sekolah nggak jualan lagi. Rupanya, dapet kerjaan baru. Allaaah… paling juga jadi kacung. Kalo nggak pembantu, ya… tukang kebun!”
Erik mendelik. Buntutnya, Luna masih mencemooh Bang Udin.
“Erik… coba kamu baca sms dari Lia!” Bu Hendrawan memberikan HP Bang Udin. Tidak sopan sekali pengirim sms, mengapa harus lewat HP orang lain, pikir Erik. Tapi segera diterima jadul itu. Lalu, pelan-pelan dibacanya pesan yang lumayan panjang dari Lia.
Buat cowok yang namanya aja belum sempat ku tau.
Sori… ini bukan jaman Siti Nurbaya. Aku nggak mau dijodohin ama kamu.
Aku punya pilihan sendiri. Semua itu hanya keinginan ortu kita aja.
Kalo kamu cowok yang cakep dan pinter, sebaiknya kamu tolak perjodohan
Kita nggak bakalan bahagia. Lagipula, saat ini aku udah nggak ada di Jakarta
lagi. Aku udah di Surabaya dan berencana tinggal dan sekolah di sana. Aku, Sarah Amelia.
Erik tercengang, lalu ditatapnya wajah Bu Hendrawan.
“Sebenarnya, Lia itu siapa?”
“Ya anak kami,” Bu Hendrawan melirik suaminya. “Emangnya kenapa?”
Erik semakin tercengang. Jantungnya berdetak lebih cepat dari sebelumnya ketika mengamati foto yang ada di tangannya. Rasanya, ia tidak percaya cewek yang ada dalam foto itu ternyata… Sarah Amelia, cewek yang hingga detik ini masih tetap bersemayam di dalam lubuk hatinya.***
Bandung Barat, 2012
..
The End
The End
Daftar Isi Cerpen Remaja
Author, Komala Suta
Keren 🤩
ReplyDelete