Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Gara-gara Cemburu, Young Adult Romance

Event Menulis Cerpen Young Adult Romance




Benarkah cemburu itu tanda cinta atau sebentuk keegoisan? Adalah rasa kerap hadir tidak tau diri, tidak terkendali. 

Seperti biasa, sebelum melanjutkan jangan lupa pantengin forum cerpen ya agar tidak ketinggalan cerita selanjutnya. Kamu juga bisa ikuti penulis fafirimu. Okey tanpa panjang kali lebar, langsung saja, cekidot! 

Gara-gara  Cemburu, Cerpen Cinta Pertama yang Bikin Baper 



Bobi membanting stik drum ke lantai dengan gusar. Seperti ingin membanting juga orang yang biasa memainkan stik itu. Sayang, orang itu tak berada di studio, gumamnya geram.

Ingin rasanya Bobi teriak. Teriak sekeras-kerasnya. Meneriakkan luapan emosinya. Ia kesal! Ia marah!

Berkali-kali meminta Andre untuk datang ke studio, tapi tak kunjung juga batang hidungnya. Padahal Andre sendiri yang sudah berjanji akan menepatinya. Satu dua kali bisa Bobi ma’afkan. Tapi kalau berkali-kali?

Dua tangan Bobi dikepalkan. Gigi-giginya yang rapi dan bersih beradu. Amarah memenuhi rongga dadanya. Andre sudah keterlaluan!

Bobi geram. Bukan hanya geram dengan perjalanan band-nya yang sudah hancur, tapi juga dengan Andre! Menurutnya, Andre sudah berubah. Andre yang dikenalnya sejak SMP, yang mengajaknya merintis sebuah band musik beraliran keras di kota kecil ini, yang sering main ke rumahnya, yang pernah beberapa kali mengantar Bobi apel ke rumah pacarnya ketika SMU, yang paling mengerti dirinya, kini sudah berubah!



Ponsel Bobi yang bersembunyi di saku celana jinsnya, bergetar. Dengan malas, dirogohnya, lalu ditempelkan di telinga kanannya. Nafasnya naik turun menahan amarah yang belum terluapkan. Dan suara yang berasal dari ponsel barunya, tak mampu menyejukkan hatinya yang membara.

“Kenapa lo gak balas sms gue?” Fani setengah teriak.

Bobi mendengus kesal. Ingin memuntahkan apa yang sedang berkecamuk dalam dadanya kalau ia cemburu. Tapi, bibirnya mendadak tak kuasa mengungkapkannya.

“Bobiiii… ngomong, dong!” Fani kesal. Ponsel Bobi tetap menempel di telinga, tapi ia belum mau menjawabnya. Ingin rasanya ia mengatakana kalau dirinya teramat sayang Fani dan ia sebenarnya cemburu denganAndre, tapi lagi-lagi bibirnya mendadak terkunci rapat untuk meluapkan dua kata maut yaitu sayang dan cemburu.

“Bob!” Fani pun mulai naik pitam. Ia merasa tak mendapat kepastian dari Bobi mengenai hubungan yang mereka jalani selama ini. “Pantes dia bilang.. lo tuh orang yang gak bisa dipegang janjinya!”

“Dia?” spontan bibir Bobi bergerak. “Dia… siapa?”

“Cape gue ngadepin sikapmu. Mulai sekarang, gue gak akan telepon lo lagi… atau nerima telepon lo,” suara Fani berubah menurun.

“Gue gak ngerti!” Bobi mengernyitkan alis. Lalu matanya menyipit. Tak berapa lama. Diinjaknya dengan gusar sekali stik yang menyentuh sepatunya. Penuh benci.

“Mau gue jelasin?” kata Fani setelah menghela nafas untuk beberapa saat. “Gue… mau belajar menyayangi Andre.”

Jantung Bobi hampir retak. Ia melonjak kaget bagaikan kena setrum ribuan kilo watt. Ternyata cemburunya beralasan. Kecurigaannya terjawab. Dalam sebulan ini, ia menunggu Fani mengungkapkan kejujurannya tanpa diminta.

“Hei, Fan!” dada Bobi bergolak. “Gue gak peduli lo ma Andre ngomong apa aja! Tapi yang gue pinta… jangan pernah sekalipun… kalian ngomongin gue!”

Fani tertawa renyah. “Ngomongin lo? Buat apa? Andre juga gak suka kalo gue nyebut nama lo!”

Kini hati Bobi seperti ditusuk sembilu. Pedih sekali. Tega sekali Fani bicara seperti itu. Sebelumnya, ia menyangka Fani tulus menyayanginya. Fani mau jadi ceweknya. Tapi nyatanya gombal! Palsu! Imitasi! Sepuhan!

Ingin rasanya membanting ponsel tak berdosa, tapi masih sadar, barang itu satu-satunya miliknya yang paling berharga. Dengan hati merintih, dimasukkan kembali ke peraduannya. Dalam saku celana belelnya.


Entah sudah menunjukkan jam berapa. Bobi tak peduli. Ia tertunduk lesu, duduk sambil menselonjorkan kedua kaki kurusnya. Terpaku sendiri di sebelah gitar kesayangannya. Di dalam studio yang kosong dan sepi. Tempat yang sebelumnya dijadikan latihan bersama personil band lainnya, meneriakkan tembang-tembang keras. Sesekali minuman keras pun memanjakannya hingga mereka terbuai dalam ruang yang gelap dan pengap.

Kini, bukan saja grup band yang akan bubar karena alasan tak dapat dipertahankan dan tak sanggup melawan jaman. Tapi juga persahabatannya dengan salah satu personilnya, penabuh drum yaitu Andre. Semua karena Fani!

Bobi tergugu. Dijambak rambutnya yang gondrong dan berantakan. Mulai sekarang, ia harus menjaga jarak dengan Fani juga Andre. Bukannya tak mau dekat dengan kedua makhluk paling tak berperasaan itu, tapi hatinya takut akan betambah sakit melihat kedekatan mereka berdua.

Merintih lirih hatinya. Bobi sedih. Kehilangan orang-orang yang sangat berarti.

***


Dua minggu Andre tak melihat Bobi, sms tak pernah dibalas. Telepon tak juga diangkat. Di studio, tak ditemuinya. Ada apa gerangan?

“Tau!”

Hanya itu jawaban yang didapat dari Fani setiap kali menanyakan Bobi. Andre sangat kuatir dengan sahabatnya itu. Kalau Bobi seperti itu, pasti ada sesuatu yang membuatnya sakit. Andre tahu itu. Ia sudah lama menyelami jiwa Bobi. Di balik sikapnya yang kasar, jiwanya teramat sentimental.

Mungkinkan Fani telah menyakitinya? Pikir Andre.

***

“Udah lama rocker cengeng itu gak ada di rumahnya!” jawab tetangganya yang suka sentimen dengan Bobi, ketika Fani dengan segenap kerinduannya datang ke rumah Bobi yang sepi, tanpa manusia sepotong pun. Tak sabar ia ingin segera bertemu cowok yang paling disayanginya itu dan meminta ma’af.

“Sepertinya… dia gak akan pernah kembali lagi!” tambah tetangga Bobi. Fani menggigit bibir. Getir.


The End   


Bandung Barat, 8 Oktober 

Rival, Cerpen Young Adult Romance 



Seperti suara sepatu di belakangku. Suara itu tak terdengar. Hm, sepertinya dia berjingkat dan berlalu. Di pelupuk mataku, melintas wajah munafik itu. Erma!

Kulangkahkan kaki lagi menyusuri koridor. Di depan kelasku, kelas sebelas-1, Zami tersenyum.

“Tunggu di dalam, ya? Aku ada urusan mendadak. Barusan sodara misanku telpon minta dianter ke klinik bersalin tempat mamanya semalam melahirkan,” jelas Zami panjang lebar. Aku mengangguk, lalu masuk ke dalam kelas yang sepi. Menghampiri bangkuku.

“Jangan kemana-mana ya, Dri?” teriak Zami dari luar kelas.

“Hm…” sahutku. Kutatap buku kumpulan puisi di atas mejaku. Rasanya, tak percaya namaku tertera di sana. Dan itu berkat jerih payah juga dorongan teman-temanku, yang rata-rata suka sastra terutama puisi.

Kubuka lembar demi lembar. Tak bosan kulumati jalinan kata demi kata. Kadang aku sendiri tak percaya, ternyata akan mampu menjalin semua kata menjadi untaian kalimat dan berbentuk puisi.

Beberapa bulan lagi, usiaku menginjak enambelas. Dan buku di tanganku merupakan hadiah terindah. Betapa Tuhan telah mendengar do’aku untuk menjadi penulis puisi yang indah. Aku teramat bahagia.

Langkah sepatu mendekat.. Depan pintu kelas, Erma tersenyum. . Kubalas dengan sebentuk senyuman, yang kurasa, terpaksa kulakukan.

“Lom pulang?” tanyaku basa-basi. Segera kumasukkan buku kumpulan puisi ke dalam tas sekolahku.

“Ngawasin anak-anak yang latihan basket buat turnamen minggu depan,” sahutnya. Dia lalu mendekatiku. “Kamu sendirian? Janjian ya ama Zami?”

Kulirik sepintas dia yang berdiri di samping kiri bangkuku. “Kalo iya, kenapa? Gak boleh?”

Erma tertawa kecil. Suaranya terdengar menyeringai. Tak berapa lama, dia menatapku setelah tawanya terhenti tanpa kuminta.

“Kalimatmu terdengar sadis,” kata Erma.

Aku mendecak. “Sadis? Seperti itu kamu anggap sadis?”

“Kadang aku gak habis pikir, Dri. Kenapa kamu selalu berburuk sangka ma aku?”

“Kenapa kamu anggap aku dah buruk sangka ma kamu?” aku balik bertanya.

“Menyesal aku mengejarmu kesini, kalo kalimatmu terus seperti itu,” Erma lalu membalikkan tubuhnya, berlalu dari hadapanku. 

Kuhela nafas sesaat. Mengejar atau mengikutiku. Aku tahu bukan untuk hal baik. Dia selalu ingin tahu apa yang kulakukan. Mengapa dia selalu mengikutiku? Tak puaskah dia telah mencuri semua yang kumiliki?

Di kelas sepuluh, kami berteman baik. Kemana-mana selalu bersama. Semua orang di sekolah menyukai kedekatan kami. Kami sama-sama anak rajin dan disayang guru. Nilai kami pun selalu paling tinggi di kelas. Ranking satu pun kami nikmati bersama. 


Sepertinya, wali kelas bingung menentukan siapa yang harus juara pertama karena nilai kami hampir tak ada bedanya. Banyak persamaan di antara kami berdua. Dari mulai semangat belajar yang menggebu, cita-cita dan harapan, kesukaan bahkan kami dilahirkan pada hari yang sama. Tanggal, bulan dan tahun.

“Jangan-jangan kalian kembar!” seloroh salah satu teman di sekolah. Kami menanggapinya dengan derai tawa, lalu tangan kami saling berpegangan. Seakan tak ingin lepas. Aku sayang dia. Begitu juga dia sayang aku.

Memasuki kelas sebelas, dimana kami tak sekelas lagi, tanpa diduga, keretakan mulai terjadi. Walaupun masih saling bertegur sapa dan melempar senyum, tapi kurasa ada yang ganjil. Sapaannya hanya basa-basi. Senyumnya tak tulus. 


Ah, aku bukannya melebih-lebihkan. Diawali dengan cara, dia membujuk teman-teman yang sebelumnya agresif mendukungku untuk menjadi ketua OSIS, akhirnya beralih mendukung Erma. 


Dia pun berhasil menyisihkan aku dan menyabet posisi ketua OSIS yang sebelumnya sangat kuinginkan. Guru-guru mulai menyalahkanku karena nilai-nilai ulanganku yang mereka anggap kurang, padahal aku sudah semaksimal mungkin belajar.


 Emosiku mulai terpancing ketika teman-teman dekat di kelas, jarang menegurku, entah karena alasan apa. Aku tak merasa berbuat salah.

“Mereka sering ngumpul di rumah Erma,” jelas Nayla, teman sebangkuku. 


Mereka yang dimaksud itu teman-teman sekelas yang mulai memuji-muji Erma di depanku. Lalu pertemanan mereka dengan Erma pun terjalin. Ya Tuhan! Pekikku nyeri. Tak cukup sampai di situ. Rio, cowokku kini dekat dengan dia. Adik-adik kelas sepuluh yang aktif di basket, ingin dilatih Erma, sedangkan mereka tetanggaku di komplek. Di semester ganjil, juara umum diraih Erma. 


Sementara, otakku hampir terkuras habis memecahkan soal-soal Matematika dan Sains agar nilai di raport baik dan terbaik bukan hanya di kelas, tapi di sekolah. Tapi akhirnya impianku kandas. Erma mengalahkanku.

“Erma kan sering bertandang ke rumah Pa Agung,” jelas Nayla. Pak Agung, tetangga Nayla. Pak Agung juga, bagian kesiswaan di sekolah, guru yang sangat dihormati juga dianggap punya pengaruh, karena menantunya bapak kepala sekolah ini.

Di hadapanku, Erma tetap bersikap manis. Tapi aku yakin, itu hanya kepura-puraan. Hm, sangat manusiawi jika akhirnya timbul rasa benci dalam hatiku. Aku tak menyangka dia setega itu. Apa salahku? Aku tak mengerti, mengapa dia melakukan semua itu padaku?

“Indri…”

Aku tersentak. Di sampingku, Zami berdiri dan menyentuh lenganku.

“Kamu nangis?” tanyanya.

Segera kuseka air mata yang menitik. Aku tak boleh menangis. Apalagi menangisi masalah yang berhubungan denga Erma. 


Seharusnya tak kupedulikan. Tak lama lagi usiaku genap enambelas. Aku harus lebih matang dalam berfikir walau masih dalam batasan remaja atau belum bisa dikatakan dewasa.

“Kenapa kamu lama, Zam?” aku menetralisir suasana. Dari lapangan basket, terdengar teriakan histeris beberapa cewek centil yang kukenal temannya Erma, sepertinya setiap kali bola masuk.

“Gak lama, koq. Bentar. Barusan ngobrol dulu di kantin ma Erma,” jelasnya. Aku menatap Zami penuh selidik.

“Apa yang kalian omongin?” desakku cepat. Tiba-tiba hatiku mendadak resah. Walaubagaimanapun, aku tak rela Erma merebut Zami dari tanganku.

“Hal-hal yang umum, koq,” Zami balas menatapku. “Kenapa emang?”

Kugelengkan kepala cepat-cepat. “Gapapa. Nanya doang. Jadi kan kita bahas kumpulan puisiku yang kedua?”

“Oke…” Zami duduk di sebelahku. Angin jam tiga sore yang menyelusup dari jendela kaca kelas yang terbuka sedikit, meniup lembut rambut sebahuku.

Berlari Tergesa-gesa Akibat Cemburu  


Tergesa-gesa kulangkahkan kaki menyusuri koridor yang menghubungkan kelasku dengan perpustakaan. Sepi. Semua siswa berada di dalam kelas pada jam segini. Zami memberitahu kalau kumpulan puisiku yang kedua telah tiba di sekolah dan sudah dititipkan pada petugas perpustakaan. 


Sebenarnya, aku harus menyelesaikan tugas Matematika dari Pak Deni yang berhalangan masuk, tapi keinginanku untuk segera melihat buku karyaku lebih kuat.



Mendadak kuhentikan langkah, ketika kudengar suara sepatu mendekat dari belakang. Langkah itu terhenti. Tak kutolehkan kepala. Hm, sepertinya… seperti biasa dia berjingkat. Dia, orang yang lahirnya sama denganku. Sekarang sama-sama akan berusia enambelas. Aku geleng-geleng kepala. 


Bukan satu kali dua kali, tapi dia sering seperti itu. Mengikutiku secara sembunyi seperti mau menangkap maling saja. Emang apa yang sudah kulakukan? Toh, aku tak melakukan tindakan yang melanggar tata tertib dan peraturan sekolah ini. 


Dia selalu tahu mengenai aku. Kebencianku padanya menebal. Sebutan apa yang lebih pantas untuk seorang teman yang di depanku pura-pura baik, tapi di belakang kasak-kusuk untuk menjatuhkanku. Berani, di belakang. Huh, dasar tikus. Tikus got! Bukannya sadis menyebutnya dengan sebutan hewan kotor, tapi itu pantas untuk seorang penghianat.
 

Petugas perpustakaan menyerahkan buku. Kuucap puji syukur pada-Nya. Kalau bukan karena teman-temanku yang baik, yang selalu mendukungku untuk menerbitkan karyaku, tak mungkin aku bisa segembira ini. Walau di sudut hati, aku masih merasakan ada orang yang tak suka dengan apa yang kuperoleh saat ini yaitu… Erma.

Tapi, biarlah. Ini mungkin kendala saat aku ingin maju, memperoleh apa yang kuimpikan menjadi seorang penulis puisi yang baik. Saat enambelas tahun akan menghampiri usiaku, kerikil yang dilemparkan Erma menghalangiku. Aku harus menyingkirkannya.

“Selamat, ya…” Erma tiba-tiba sudah berada di sebelahku, membuatku kaget. Aku menelan ludah. Menahan kebencian yang kian menebal.

“Makasih!” tanpa kubalas tatapannya, langsung kubalikkan tubuh, berlari menuju kelasku.

Aku yakin, ucapan selamatnya tak tulus. Entah apa yang diinginkannya sekarang setelah menjatuhkanku dari dukungan teman-teman yang sebelumnya mencalonkanku untuk menjadi ketua OSIS, membuat para guru mulai meragukan kemampuan belajarku, menjauhkan teman dekat dariku, menggeserku agar tak jadi juara umum, merebut Rio dari sisiku, dan sekarang… dia berusaha menarik simpati Zami, murid baru yang keren dan kaya yang tengah dekat denganku.

 Mungkin juga, dia akan mulai mempublikasikan puisi-puisi lebaynya agar bisa menjadi buku kumpulan puisi seperti yang sudah kumiliki sekarang.

Peristiwa Cemburu di  Depan Gedung 


Aku menatap takjub gedung di hadapanku. Rasanya, tak percaya aku akan masuk ke dalam gedung megah yang menjulang ini. Gedung penerbitan yang akan kembali melahirkan puisiku. Semua ini berkat Zami.

“Selamat ulang tahun!” Zami melempar senyum.

“Kamu baek, Zam..” ucapku. “Makasih.”

“Aku mau kenalin kamu ma papaku,” kata Zami, lalu menuntun tanganku. Tak kusangka, siang ini aku akan bertemu dengan ayah Zami yang sekaligus pemilik penerbitan ternama ini.

Pria itu sangat ramah. Kesan pertama, menyenangkan. Kami bertiga berbicara dalam ruangan yang nyaman. Hari ulang tahun kali ini walau tak kurayakan, namun aku merasa kebahagiaan begitu sempurna.


 Ada Zami di sampingku, papanya yang tampak menyukaiku. Tiba-tiba melintas wajah Erma di pelupuk mataku. Mual perutku.

“Ketika tau kamu gak akan ngerayain ultah ke enambelasmu, dia pun gak mau kalah,” lapor Nayla. “Dia gak akan ngerayain juga.”

“Bingung aku,” aku nyaris geleng-geleng kepala. Erma selalu bersikap dan mengambil tindakan yang sama denganku. Untuk apa?

“Mengambil simpati banyak orang di sekolah,” tegas Nayla. “Biar dikata, sang juara gak suka hura-hura.”

Lamunanku buyar ketika Zami memberikan gelas berisi sirup dingin berwarna merah. Kuulas senyum. Kuteguk sedikit minuman kesukaanku. Kembali melintas wajah Erma. Dia juga suka sirop berwarna merah. Jangan-jangan kalau aku mati, dia pun akan ikut mati. Aku memaki dalam hati. Huh, kalau saja dia tahu, hari ini, aku merasa istimewa menikmati hari ultahku. 


Berada bersama Zaki dan papanya di sebuah gedung mewah yang akan membuatku tenar sebagai penulis puisi. Dia, Erma yang selalu berusaha meniru alias menjiplakku, pasti akan iri. Bukan tidak mungkin akan merebut Zami dan simpati papanya. Namun kali ini aku tak boleh kalah. Harus kupertahankan. Tak akan kubiarkan dia merampas kebahagiaanku.

“Zami… udah kamu telepon ademu?” Papa Zami menyela perbincangan seru kami.

“Udah, Pa. Bentar lagi dia datang,” jawab Zami, lalu melirikku. “Kamu dah kenal adeku lho, Dri…”

Kutautkan alis. “Kenal kamu aja baru empat bulan ini, gimana bisa kenal ademu?”

Zami tersenyum. “Dia adeku yang amat kusayang. Setelah beberapa tahun berpisah, kali ini kami berkumpul lagi.”

“O ya?”

Zami mendesah. “Sebenarnya… kami dilahirkan dari ibu yang berbeda, tapi kami tetap saling menyayangi. Usia kami pun cuma terpaut beberapa bulan, karena waktu itu Papa kami…”

Papa Zami mendehem. Aku mengerti walaupun usiaku belum dewasa. Sepertinya, Papa Zami beristri dua.

“Tuuuuh…” Zami dengan dagunya menunjuk ke arah pintu yang tiba-tiba terkuak. Aku melirik dan tatapanku bersirobok dengan….

“Erma!” pekikku tertahan. Cewek itu tersenyum penuh kemenangan.

The End 

Daftar Isi Cerpen 

    

INDEKS LINK EVENT MENULIS CERPEN YOUNG ADULT ROMANCE

***

Author 

Komala Sutha yang lahir di Bandung, 12 Juli, pernah mengenyam pendidikan hingga selesai di Universitas Winaya Mukti.

Menulis sejak usia tigabelas tahun. Guru yang pernah menjadi wartawan SundaMidang. Tulisannya berupa Carpon, Sajak dan laporan jurnalistik dalam bahasa Sunda. 


Menulis puluhan antologi berbahasa Indonesia dan belasan kali memenangkan lomba menulis cerpen dan puisi yang diadakan di jejaring social facebook diantaranya di Tuasmedia, LeutikaPrio, Diva Press dan banyak lagi.

1 comment for "Gara-gara Cemburu, Young Adult Romance "