Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Hanya Sebuah Alasan, Story Young Adult Romance

Event Menulis Cerpen Young Adult Romance 


Hanya Sebuah Alasan, love Story  Young Adult Romance 


Perasaan cinta bisa saja hanya emosi sesaat. Hadir lalu menghilang. Bagaikan cahaya mentari, kian meredup tatkala menghilang di ufuk barat.


Mungkin juga , perasaan cinta akan mampu berkembang, jika bibit yang tersemai bisa bersemi. Namun, bisakah sebuah rasa tetap tertanam jika tiba-tiba semuanya terasa hambar.


"Prita, tunggu ...!" Sebuah seruan menghentikan langkahku. Oska ternyata yang memanggil.



"Mau apa lagi sih, Ka?" Oska mengernyitkan dahi mendengar ucapan ketusku.


"Sorry, Aku benar-benar lupa!" ucapnya lagi. Benar-benar menjengkelkan. Entah sudah berapa kali Oska tidak menepati janjinya.


"Aku udah bosan denger alasanmu!"




Aku terus saja berjalan, meninggalkannya yang mematung, menatap kepergianku. Rasanya sakit saja, terus dibohongi. Terlebih malam tadi, ketika aku secara tidak sengaja melihatnya berjalan bersama Lasti, cewek kelas sebelah. Padahal, dia sudah terlebih dahulu berjanji denganku.


'Dasar, cowok plaboy. Kenapa juga mau aja dikadalin ama dia!' gerutuku sepanjang jalan menuju kelas.


"Ada apa gerangan yang terjadi pada nona yang satu ini. Kenapa juga muka kok ditekuk begitu. Ntar cepat tua lho!" guyonan, Indi tak kugubris.


Aku langsung saja menuju kursi, lalu duduk sembari memandang ke luar kelas. Biasanya aku suka sekali memandang ke sana. Ada Oska yang suka nongkrong bersama teman-temannya di sana. Namun, mungkin karena lagi jengkel, aku segera berpaling, apalagi di sana terlihat jelas ada Lasti.


Sebuah tarikan napas panjang kemudian kubuang secara kasar menghalau rasa kesal yang tiba-tiba hadir. 'Ah, kenapa juga harus peduli dengan kebersamaan mereka. Ini, bukan yang pertama kali, Oska menghianatimu, Prita!" Hati kecilku berbisik. Rasanya sudah cukup sakit hati yang kupendam selama ini. Aku tak mau lagi dibohongi dan dikhianati.



"Ka, ntar sore, bisa nggak nemenin ke toko buku?Ada buku yang mau dibeli" Sebuah pesan kukirim lewat pesan WA.


Sebenarnya aku sudah tahu jawabannya. Oska pasti akan mencoba memenuhi permintaanku tapi selalu ada alasan untuk membatalkannya.


"Ok, Sayang. Ntar sore, Aku jemput ke rumah." Aku mencibir, saat menerima balasan Oska. '!Dasar plaboy cap kampung!' sungutku sembari mengeluarkan beberapa buku. Bel tanda pelajaran dimulai sudah berbunyi.



Seperti yang sudah-sudah, Oska tak pernah serius mau memenuhi ajakanku. Terbukti sore ini dia tak juga muncul. Padahal sudah lewat satu jam dari waktu yang ditentukan. Kesal, aku memutuskan untuk menemuinya di tempat biasa dia suka menghabiskan waktu bersama teman-

temannya.




Hujan mulai menetes ketika aku tiba di sebuah taman yang biasa didatangi Oska. Di sana aku sering menjumpainya sedang bercanda dengan teman-teman satu gengnya. Namun, tidak kali ini. Oska tidak bersama dengan teman yang lainnya. Dia bersama Lasti. Rasa sakit itu hadir kembali. Kenapa, Oska tak mau berubah? Kenapa juga aku tak mau menyerah dan melepaskannya?



Butiran kristal bening tiba-tiba saja menetes bercampur dengan ar hujan. Pemandangan di hadapanku itu begitu menghuncang perasaanku.


"Ka, Kok Kamu tega banget, ya?"


Aku sudah tak mampu lagi membendung emosi yang selalu kupendam. Oska terlihat kaget melihat sikapku.


"Sorry, Prita. Aku minta maaf ...!" ucapnya, tertunduk.


'Ah, lagu lama'. Selalu seperti itu sikapnya, ketika aku memergokinya sedang berduaan dengan cewek lain. Ini sudah yang ketiga kalinya. Aku sudah tak sanggup lagi.


"Kalo ini, maumu, Ka. Ya, sudah. Kita putus saja. Aku sudah nggak sanggup!"



Setengah berlari aku meninggalkan cowok itu. Aku sudah tak bisa lagi terus disakiti dengan menyaksikan penghianatan Oska.



"Prita ... tunggu!" seruan Oska tak kugubris. Aku terus berlari menembus hujan yang mulai turun lebat. Keputusan telah diambil.



Tiga hari aku minta izin sama mama untuk tidak masuk sekolah. Perasaan sakit itu membuat semangatku menimba ilmu di sana menurun. Aku belum ingin bertemu cowok penghianat itu.


Indi yang mencoba menemui pun aku tolak. Saat ini, aku benar-benar ingin memulihkan perasaan sakit hatiku.



Setelah tiga hari tidak masuk sekolah, hari keempat aku memutuskan untuk kembali bersekolah. Tidak ada gunanya terus tinggal di rumah. Bisa-bisa nanti malah semakin jauh ketinggalan pelajaran.


Menjelang masuk ke kelas, Indi mencegatku.


"Prita, Kamu udah dengar khabar belum?"


Aku memandang Indi tajam, tidak mengerti maksudnya.


"Emang ada apaan sih,In?"


Dara itu berhenti sejenak. Sepertinya sedikit ragu untuk memberitahuku.


"Itu ... Oska, khabarnya dirawat di rumah sakit. Dia menderita kanker."


"Bohong ... Mana mungkin Oska sakit kanker!" sanggahku tak percaya.


"Benaran, Prita Dia juga udah tiga hari nggak masuk. Mamanya sendiri yang bilang waktu ngantarin surat izin dari dokter."


Aku hanya mampu terdiam. Antara percaya dan tidak. Selama ini, Oska tak pernah memperlihatkan tanda-tanda kalau sedang mengidap penyakit berbahaya ini.


Setelah mengorek beberapa keterangan dari Prita, aku memutuskan untuk menjenguk Oska usai pulang sekolah. Indi pun mendukung niatku, meski dia tak bisa menemaniku pervi ke rumah sakit.


Suasana kamar Oska terlihat lengang. Tak ada seorang pun di sana. Mungkin mama Oska baru saja keluar untuk satu keperluan. Terlihat wajah tampan Oska pucat. Tak ada senyum yang biasa ia perlihatkan atau sorotan matanya yang sering membuatku meleleh.


"Hai, Ka. Kamu kok nggak bilang sih kalo lagi sakit!" sapaku ketika Oska merespon kedatanganku.




Dia tersenyum. Lelah sepertinya. "Maafkan aku ya, Prita. Aku nggak punya maksud menyakiti atau mengkhianatimu!"


Aku langsung menangis, tergugu di samping Oska. Cowok yang sangat kusayangi meski telah berkali-kali membuatku menangis.


"Kamu jahat, Ka! Seharusnya bilang kalo kamu sedang sakit kanker!" Aku masih terisak. Oska memegang lembut tanganku.


"Aku nggak ingin Kamu sedih dan menderita kalo ntar suatu saat harus meninggalkanmu," jawabnya lirih.


Tangisku semakin menjadi. "Berarti selama ini, Kamu nggak sungguh-sungguh berkhianat ya,Ka?" tanyaku.



Oska kembali tersenyum tipis. Tangannya masih mengang jemarku. Napasnya terdengar tak beraturan. Tubuhnya telah dipasang beberapa alat.


"Aku hanya ingin Kamu bisa melupakanku, Prita! ucapnya sendu.



Aku menyeka air mata yang makin deras. Peristiwa ini sungguh diluar dugaan. Ternyata Oska hanya berpura-pura mengkhianatiku.


"Bukan begitu caranya, Ka. Justru melihatmu menutupi semua ini yang membuatku sakit. Sedih!"


Oska mencoba menarik napas. Tidak mudah bagi cowok itu untuk bertahan, melawan rongrongan kanker stadium 4 yang menyerang otaknya.


"Maafkan Aku, ya, Prita. Maafkan ...," ucapnya lagi.


Aku menggeleng, kuat. Perasaan amarah, sakit hati karena merasa dikhianati, menguap entah ke mana. Semua itu hanya alasan Oska semata agar aku mau meninggalkannya. Dia menganggap itu lebih baik daripada nantinya berpisah karena kematian.


"Iya, Ka. Aku udah maafkan. Sekarang, fokus aja ama pengobatanmu!" sahutku tulus.


Cowok itu mengangguk. Pasrah. Terlihat lelah, tergolek di ranjang. Meskipun begitu, ada terpancar semangat untuk sembuh dari sorot matanya.


Sore itu, aku pamit dan berjanji untuk kembali lagi besok. Menemani perjuangan Oska melawan kanker tumor dalam tubuhnya. Oska harus bisa bangkit dan kembali seperti Oska yang kukenal.


Seminggu setelah aku menjenguk Oska, perubahan mhuai tampak pada tubuhnya. Cowok itu tak lagi sering mengeluhkan sakit di kepalanya. Wajahnya pun mulai memerah, apalagi senyum tak pernah lepas dari bibirnya.


"Prita, temenin ke taman ya. Aku rindu ingin duduk di sana!"


Aku mengangguk. Senang saja karena Oska sudah mulai bisa mengatasi penyakitnya.


"Iya, Ka. Aku pesenin mobil dulu ya!" ujarku, meninggalkannya sejenak. Memesan sebuah mobil lewat aplikasi.



Setelah pamit pada mama Oska, kami pun menuju taman di mana Oska biasa duduk dan menghabiskan sore di sana.


"Nggak ada yang berubah, kan, Ka? Semua masih sama," tuturku setelah duduk di bangku kesukaannya.


Dia mengangguk, lalu berkata, "Prita, kalo ntar Aku udah nggak ada, tolong sering main ke sini."


"Apaan sih, Ka. Kamu udah mulai sembuh, kok!" sergahku. Ada rasa nyeti yang tiba-tiba hadir.


Oska bersikukuh, memintaku untuk memenuhi permintaannya. Hingga akhirnya, aku menyanggupinya. Tak ingin melihatnya sedih.




Ternyata takdir berkata lain. Kesembuhan sementara Oska tidak bertahan lama. Semangatnya untuk sembuh saja tak cukup. Oska perlu keajaiban untuk sembuh. Satu bulan aku menemaninya. Namun, akhirnya cowok itu harus menyerah. Usai sudah perjuangannya.


'Selamat jalan cintaku. Kau akan tetap mengisi lorong jiwaku. Tetap tersimpan rapi di sana. Bukan sebagai seorang pengkhianat tapi sebagai seseorang yang sangat spesial dalam hidupku. Penghianatan hanya sebuah alasan agar aku tak tersakiti ketika kau harus kembali, menghadap Sang Pencipta.


Crp, medio Aprl 2021




Author , Sriuliyati 

Post a Comment for "Hanya Sebuah Alasan, Story Young Adult Romance "