Hujan Asamara, Story Young Adult Romance
Event Menulis Cerpen Young Adult Romance
Senyuman tergambar di bibir itu. Dia adalah guru pengasuh bidang study matematikaku.
"Iyah. Karena aku ingin kau mengejar cintaku seperti kau mengejar tasmu. Aku mencintaimu bukan karena rasa empati. Tetapi karena kepribadian dan kepolosanmu itulah yang menarik ulu hatiku."
Dia mengembalikan tasku. Jantungku semakin berdegup kencang. Sekucur tubuhku bermandikan keringat saking gerogi. Sebenarnya aku juga punya rasa dengan Bapak! Bahkan sudah lama sebelum Bapak berstatus guru di kelasku. Karena aku penggemar bapak waktu bapak meraih prestasi kala waktu kuliah dulu.
Namun, lidahku kelu mengisyaratkan untuk terus memandangi wajah tampannya.
"Tidak perlu dijawab sekarang, karena aku tak mau jawaban yang palsu. Aku hanya butuh jawaban yang pasti. Untuk itu, aku akan menunggumu sampai kau sudah siap menjadi kekasihku."
Sifatnya terlihat biasa saja. Aku tak menyangka, Pak Iqbal punya rasa yang sama denganku.
"Satu tambah satu tak pernah jadi tiga atau empat. Jawabannya tetap dua. Begitu juga aku dan kamu ada dalam satu cinta."
Bunga-bunga bermekaran seiring rintik-rintik hujan yang menjadi saksi bisu pada asmara yang sedang bergejolak.
Cinta memang tak ada logika, egois. Tak pernah pandang usia, derajat, jabatan, atau pun harta, melainkan hanya butuh modal kepercayaan dan ketulusan. Kebersamaan dalam keharmonisan dalam jalinan ikatan cinta. itulah arti cinta yang sesungguhnya.
Cerpen Remaja Romantis- Hujan Asmara, Cerita Cinta Pertama, Nidar
Ketika ada bertanya, mata pelajaran apa yang kamu sukai antara matematika dan bahasa Inggris? Aku lebih memilih matematika. Karena matematika memiliki jawaban yang pasti. Sedangkan bahasa Inggris, satu kata banyak mengandung arti.
"Lelly, kamu dipanggil oleh bapak Wakel. Harap segera menemuinya di ruangan guru," kata Dimas, sang ketua kelasku.
Seketika aliran darahku terhenti. Mati. Aku belum melunasi uang sekolah selama tiga bulan berturut-turut, akhir-akhir ini juga aku sering bolos. Bolos bukan berarti tak mau sekolah, tetapi untuk mempertahankan kelangsungan hidup keluarga, karena aku adalah tulang punggung di keluarga.
Selain memikirkan tugas-tugas di sekolah, aku juga memikirkan kesehatan ibuku yang sering sakit-sakitan. Bagaimana tidak, hanya dialah satu-satunya yang kumiliki untuk bisa bertahan hidup, karena ayahku sudah lama meninggal dunia. Setiap hari harus pandai mengolah waktu. Sepulang dari sekolah, aku bekerja paruh waktu, dan bahkan pulang hingga tengah malam.
Aku dengan cepat memasukkan kembali bekal makan siangku ke dalam tas. Aku bergegas ke tempat yang dimaksudkan oleh Dimas. Saat ini aku hanya pasrah terhadap keputusan yang akan keluar dari mulut bapak wali kelasku.
Saat di depan pintu ruang guru, langkahku terhenti ketika ada seseorang yang memanggil namaku.
"Lelly Veronika?"
Aku menoleh ke arah suara itu. Ternyata dia guru pengasuh bidang study Bahasa Inggris di kelasku, Pak Doni.
"Iyah, Pak," jawabku sembari menunduk, karena aku yakin dia pasti menanyakan tentang nilaiku yang mulai menurun.
Sebelum ayahku meninggal, aku termasuk siswa teladan. Baik dari kedisplinan, kerajinan, dan bahkan prestasi. Karena dulu ayahku yang mengurus kebutuhan keluarga, aku hanya mencari biaya sekolah saja.
"Nanti sepulang sekolah, kau datang di tempat biasa kita bertemu."
"Tapi ..."
Sebuah gerakan jari tangannya, mengisyaratkan aku untuk berhenti bicara.
"Syuuuttt ... tidak ada tapi-tapian. Ini sudah semester terakhirmu. Jangan dengarkan apa kata-kata mereka, mereka hanya ingin merebut posisimu di hatiku. Karena kaulah pemiliknya, Lelly," bisik Pak Doni.
Rasanya sudah muak dengar pengakuan berulang kali. Bagiku, keluarga dan pendidikan itulah yang utama. Bukanlah pacaran. Bagaimana mungkin seorang guru pacaran dengan muridnya sendiri? Aneh!
Saat pertama kali aku mendengar pengakuan dari orang yang sama, sejak saat itu aku sudah tak mau lagi ikut kelas privatnya. Walau gratis sekalipun.
"Maaf, Pak. Aku tak mengerti dengan apa yang bapak bicarakan. Permisi."
Tanpa berpikir panjang, aku langsung bergegas masuk ke ruangan guru dan mendapati wajah Bapak wali kelasku murka terhadapku. Sorot matanya begitu tajam, bagai elang yang sedang mengincar anak ayam menjadikan mangsa. Oh, my God! Lepas mulut harimau masuk mulut buaya.
Dengan langkah gemetar, aku menghampiri meja Bapak wali kelas.
"Selamat siang, Pak," sapaku sembari membungkuk memberi hormat.
Dunia bagai mau kiamat. Bagaimana tidak, surat peringatan sudah dua kali aku terima. Kini, pasti surat pemecatanku. Aku menghela napas dalam-dalam.
"Tadi Bapak memanggil saya?"
"Kamu tahu kesalahanmu apa?!" Suaranya lantang sembari memukul meja yang di depannya.
Aku terkesiap. Andai saja dekat kolam renang, aku bisa menyemburkan diri ke dalam air, untuk bisa enyah dari hadapan Bapak wali kelas. Untung saja guru-guru yang lain tak berada di ruangan itu.
"Ma ... mafkan saya, Pak. Akan saya usahan untuk membayar secepatnya sangkutan saya. Tolong, Pak. Jangan pecat saya. Saya ingin sekolah," ucapku dengan suara gemetar. Aku sudah tak berani menatap Bapak wali kelasku.
"Hanya itu?!" tanya Bapak wali kelas.
Saya tahu, menangis bukanlah pelerai masalah, bahkan bukanlah solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah. Tapi, saat ini pertahananku begitu lemah. Bagai gumpalan awan hitam yang siap meleleh jadikan hujan. Oh, no!
"Untuk nilai, akan saya perbaiki pada semester ini. Saya tahu, Bapak kecewa karna nilai saya sudah menurun. Saya minta maaf, Pak." Aku menyeka air mataku dengan kasar. "Saya mohon, Pak. Jangan keluarkan saya. Saya akan berusaha untuk menjadi lebih baik lagi."
Suasana ruangan aneh memang. Guru-guru yang lain pada ke mana? sementara ini waktu istirahat.
"Happy birthday to you, happy birthday to you."
Tiba-tiba suara riuh menggema di ruangan itu. Satu persatu guru, keluar dari ruang UKS, bersebelahan dengan ruangan guru hanya tirai pembatasannya. Barangkali tempat mereka bersembunyi.
Sebuah kue ultah serta lilin di atasnya, mengisyaratkan aku untuk meniupkan lilinnya.
Sungguh tidak lucu. Sama sekali tidak lucu! Andai bisa berteriak, aku sudah berteriak sebisa mungkin. No! Bibirku bagai telah terpasung oleh sebuah pemandangan kalimat yang tertulis di beberapa kertas putih polos di dinding sana.
I LOVE YOU
What?! Satu kalimat berhasil membuatku melongo. Tak salah lihatkah? Apa ini tak berlebihan? Masih sehatkah? Beberapa pertanyaan itu hanya mampu keluar dari hatiku bukan dari mulutku.
"Kesalahan fatalmu yang selalu menolakku menjadi kekasihmu," ucap bapak wali kelasku.
"Terima kasih, ya, Pak, atas perhatiannya. Maaf, saya masih sekolah. Saya masih belom berpikir untuk pacaran. Jika tujuan bapak memanggil saya ke sini hanya untuk mengutarakan itu, saya mohon permisi. Dan tentang yang sudah saya janjikan tadi, akan saya usahakan."
Dunia rasanya sempit. Aneh. Bagaimana tidak, aku satu-satunya siswi di kelas XII. Kata teman-temanku cowok, aku 11-12 dengan Natasya Wilona. Wajar banyak yang suka.
Aku keluar dari ruangan itu menuju kelasku. Sepeninggalanku, mereka bagai tersambar petir, diam bagai patung.
Cahaya terik menyilau di mataku, sebuah bayangan samar-samar di pandanganku. Ketika sebuah buku tepat mengenai kepalaku, seketika aku terbangun dari mimpi aneh yang baru kulalui. Pak Doni?
"Kau push-up sepuluh kali!"
Mataku berkeliaran lirik sana-sini. Masih mimpi nggak, ya?
"Kenapa, Pak?" tanyaku.
"Hukumanmu karena telah mengabaikan guru di depan kelasmu."
"Bagaimana aku tidak abai, bila semua guruku pada love me. Aku 'kan masih sekolah bukan untuk pacaran," protesku.
"Anak-anak, kalian perlu ketahui love adalah cinta. Cinta bukan hanya mengarah pada hubungan lawan jenis. Tetapi juga ada di dalam keluarga, teman, sahabat, juga pada guru terhadap muridnya. Love mengungkapkan perasaan suka, entah sebagai teman, sahabat, keluarga, atau bahkan seorang kekasih. Jadi, jangan terlalu cepat mengklarifikasikan sesuatu kata yang belum jelas."
Pipiku memerah. Benar juga, ya. Aku kembali mengutuk pikiran pendekku. Mengutarakan cinta belum tentu menjadikan sebagai simpanan.
Aku pulang seperti biasa, tanpa memikirkan lagi tentang kata cinta yang setiap hari aku dengar, baik di dunia nyata maupun di dunia alam bawah sadarku.
Jalan terlihat sepi. Dedaunan berterbangan menghiasi sepanjang jalan yang kulewati. Sebuah motor lintas dan berhasil menarik tas sekolahku.
"Hei! kembalikan tasku. Woiii. Tolonggg ada perampok!!!" teriakku sembari mengejar motor Harley itu.
Dengan napas ngos-ngosan. Akhirnya aku mendapati tasku kembali dengan seseorang yang sedang duduk di atas motornya.
"Pak Iqbal?" tanyaku tak percaya. "apakah bapak yang telah mengambil tasku?"
Ketika ada bertanya, mata pelajaran apa yang kamu sukai antara matematika dan bahasa Inggris? Aku lebih memilih matematika. Karena matematika memiliki jawaban yang pasti. Sedangkan bahasa Inggris, satu kata banyak mengandung arti.
"Lelly, kamu dipanggil oleh bapak Wakel. Harap segera menemuinya di ruangan guru," kata Dimas, sang ketua kelasku.
Seketika aliran darahku terhenti. Mati. Aku belum melunasi uang sekolah selama tiga bulan berturut-turut, akhir-akhir ini juga aku sering bolos. Bolos bukan berarti tak mau sekolah, tetapi untuk mempertahankan kelangsungan hidup keluarga, karena aku adalah tulang punggung di keluarga.
Selain memikirkan tugas-tugas di sekolah, aku juga memikirkan kesehatan ibuku yang sering sakit-sakitan. Bagaimana tidak, hanya dialah satu-satunya yang kumiliki untuk bisa bertahan hidup, karena ayahku sudah lama meninggal dunia. Setiap hari harus pandai mengolah waktu. Sepulang dari sekolah, aku bekerja paruh waktu, dan bahkan pulang hingga tengah malam.
Aku dengan cepat memasukkan kembali bekal makan siangku ke dalam tas. Aku bergegas ke tempat yang dimaksudkan oleh Dimas. Saat ini aku hanya pasrah terhadap keputusan yang akan keluar dari mulut bapak wali kelasku.
Saat di depan pintu ruang guru, langkahku terhenti ketika ada seseorang yang memanggil namaku.
"Lelly Veronika?"
Aku menoleh ke arah suara itu. Ternyata dia guru pengasuh bidang study Bahasa Inggris di kelasku, Pak Doni.
"Iyah, Pak," jawabku sembari menunduk, karena aku yakin dia pasti menanyakan tentang nilaiku yang mulai menurun.
Sebelum ayahku meninggal, aku termasuk siswa teladan. Baik dari kedisplinan, kerajinan, dan bahkan prestasi. Karena dulu ayahku yang mengurus kebutuhan keluarga, aku hanya mencari biaya sekolah saja.
"Nanti sepulang sekolah, kau datang di tempat biasa kita bertemu."
"Tapi ..."
Sebuah gerakan jari tangannya, mengisyaratkan aku untuk berhenti bicara.
"Syuuuttt ... tidak ada tapi-tapian. Ini sudah semester terakhirmu. Jangan dengarkan apa kata-kata mereka, mereka hanya ingin merebut posisimu di hatiku. Karena kaulah pemiliknya, Lelly," bisik Pak Doni.
Rasanya sudah muak dengar pengakuan berulang kali. Bagiku, keluarga dan pendidikan itulah yang utama. Bukanlah pacaran. Bagaimana mungkin seorang guru pacaran dengan muridnya sendiri? Aneh!
Saat pertama kali aku mendengar pengakuan dari orang yang sama, sejak saat itu aku sudah tak mau lagi ikut kelas privatnya. Walau gratis sekalipun.
"Maaf, Pak. Aku tak mengerti dengan apa yang bapak bicarakan. Permisi."
Tanpa berpikir panjang, aku langsung bergegas masuk ke ruangan guru dan mendapati wajah Bapak wali kelasku murka terhadapku. Sorot matanya begitu tajam, bagai elang yang sedang mengincar anak ayam menjadikan mangsa. Oh, my God! Lepas mulut harimau masuk mulut buaya.
Dengan langkah gemetar, aku menghampiri meja Bapak wali kelas.
"Selamat siang, Pak," sapaku sembari membungkuk memberi hormat.
Dunia bagai mau kiamat. Bagaimana tidak, surat peringatan sudah dua kali aku terima. Kini, pasti surat pemecatanku. Aku menghela napas dalam-dalam.
"Tadi Bapak memanggil saya?"
"Kamu tahu kesalahanmu apa?!" Suaranya lantang sembari memukul meja yang di depannya.
Aku terkesiap. Andai saja dekat kolam renang, aku bisa menyemburkan diri ke dalam air, untuk bisa enyah dari hadapan Bapak wali kelas. Untung saja guru-guru yang lain tak berada di ruangan itu.
"Ma ... mafkan saya, Pak. Akan saya usahan untuk membayar secepatnya sangkutan saya. Tolong, Pak. Jangan pecat saya. Saya ingin sekolah," ucapku dengan suara gemetar. Aku sudah tak berani menatap Bapak wali kelasku.
"Hanya itu?!" tanya Bapak wali kelas.
Saya tahu, menangis bukanlah pelerai masalah, bahkan bukanlah solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah. Tapi, saat ini pertahananku begitu lemah. Bagai gumpalan awan hitam yang siap meleleh jadikan hujan. Oh, no!
"Untuk nilai, akan saya perbaiki pada semester ini. Saya tahu, Bapak kecewa karna nilai saya sudah menurun. Saya minta maaf, Pak." Aku menyeka air mataku dengan kasar. "Saya mohon, Pak. Jangan keluarkan saya. Saya akan berusaha untuk menjadi lebih baik lagi."
Suasana ruangan aneh memang. Guru-guru yang lain pada ke mana? sementara ini waktu istirahat.
"Happy birthday to you, happy birthday to you."
Tiba-tiba suara riuh menggema di ruangan itu. Satu persatu guru, keluar dari ruang UKS, bersebelahan dengan ruangan guru hanya tirai pembatasannya. Barangkali tempat mereka bersembunyi.
Sebuah kue ultah serta lilin di atasnya, mengisyaratkan aku untuk meniupkan lilinnya.
Sungguh tidak lucu. Sama sekali tidak lucu! Andai bisa berteriak, aku sudah berteriak sebisa mungkin. No! Bibirku bagai telah terpasung oleh sebuah pemandangan kalimat yang tertulis di beberapa kertas putih polos di dinding sana.
I LOVE YOU
What?! Satu kalimat berhasil membuatku melongo. Tak salah lihatkah? Apa ini tak berlebihan? Masih sehatkah? Beberapa pertanyaan itu hanya mampu keluar dari hatiku bukan dari mulutku.
"Kesalahan fatalmu yang selalu menolakku menjadi kekasihmu," ucap bapak wali kelasku.
"Terima kasih, ya, Pak, atas perhatiannya. Maaf, saya masih sekolah. Saya masih belom berpikir untuk pacaran. Jika tujuan bapak memanggil saya ke sini hanya untuk mengutarakan itu, saya mohon permisi. Dan tentang yang sudah saya janjikan tadi, akan saya usahakan."
Dunia rasanya sempit. Aneh. Bagaimana tidak, aku satu-satunya siswi di kelas XII. Kata teman-temanku cowok, aku 11-12 dengan Natasya Wilona. Wajar banyak yang suka.
Aku keluar dari ruangan itu menuju kelasku. Sepeninggalanku, mereka bagai tersambar petir, diam bagai patung.
Cahaya terik menyilau di mataku, sebuah bayangan samar-samar di pandanganku. Ketika sebuah buku tepat mengenai kepalaku, seketika aku terbangun dari mimpi aneh yang baru kulalui. Pak Doni?
"Kau push-up sepuluh kali!"
Mataku berkeliaran lirik sana-sini. Masih mimpi nggak, ya?
"Kenapa, Pak?" tanyaku.
"Hukumanmu karena telah mengabaikan guru di depan kelasmu."
"Bagaimana aku tidak abai, bila semua guruku pada love me. Aku 'kan masih sekolah bukan untuk pacaran," protesku.
"Anak-anak, kalian perlu ketahui love adalah cinta. Cinta bukan hanya mengarah pada hubungan lawan jenis. Tetapi juga ada di dalam keluarga, teman, sahabat, juga pada guru terhadap muridnya. Love mengungkapkan perasaan suka, entah sebagai teman, sahabat, keluarga, atau bahkan seorang kekasih. Jadi, jangan terlalu cepat mengklarifikasikan sesuatu kata yang belum jelas."
Pipiku memerah. Benar juga, ya. Aku kembali mengutuk pikiran pendekku. Mengutarakan cinta belum tentu menjadikan sebagai simpanan.
Aku pulang seperti biasa, tanpa memikirkan lagi tentang kata cinta yang setiap hari aku dengar, baik di dunia nyata maupun di dunia alam bawah sadarku.
Jalan terlihat sepi. Dedaunan berterbangan menghiasi sepanjang jalan yang kulewati. Sebuah motor lintas dan berhasil menarik tas sekolahku.
"Hei! kembalikan tasku. Woiii. Tolonggg ada perampok!!!" teriakku sembari mengejar motor Harley itu.
Dengan napas ngos-ngosan. Akhirnya aku mendapati tasku kembali dengan seseorang yang sedang duduk di atas motornya.
"Pak Iqbal?" tanyaku tak percaya. "apakah bapak yang telah mengambil tasku?"
Senyuman tergambar di bibir itu. Dia adalah guru pengasuh bidang study matematikaku.
"Iyah. Karena aku ingin kau mengejar cintaku seperti kau mengejar tasmu. Aku mencintaimu bukan karena rasa empati. Tetapi karena kepribadian dan kepolosanmu itulah yang menarik ulu hatiku."
Dia mengembalikan tasku. Jantungku semakin berdegup kencang. Sekucur tubuhku bermandikan keringat saking gerogi. Sebenarnya aku juga punya rasa dengan Bapak! Bahkan sudah lama sebelum Bapak berstatus guru di kelasku. Karena aku penggemar bapak waktu bapak meraih prestasi kala waktu kuliah dulu.
Namun, lidahku kelu mengisyaratkan untuk terus memandangi wajah tampannya.
"Tidak perlu dijawab sekarang, karena aku tak mau jawaban yang palsu. Aku hanya butuh jawaban yang pasti. Untuk itu, aku akan menunggumu sampai kau sudah siap menjadi kekasihku."
Sifatnya terlihat biasa saja. Aku tak menyangka, Pak Iqbal punya rasa yang sama denganku.
"Satu tambah satu tak pernah jadi tiga atau empat. Jawabannya tetap dua. Begitu juga aku dan kamu ada dalam satu cinta."
Bunga-bunga bermekaran seiring rintik-rintik hujan yang menjadi saksi bisu pada asmara yang sedang bergejolak.
Cinta memang tak ada logika, egois. Tak pernah pandang usia, derajat, jabatan, atau pun harta, melainkan hanya butuh modal kepercayaan dan ketulusan. Kebersamaan dalam keharmonisan dalam jalinan ikatan cinta. itulah arti cinta yang sesungguhnya.
The End
Author, Nidar
Wow, jadian sama guru, sweet 🤩🥰
ReplyDeleteJadi ngakakkk🤣🤣🤣
DeleteIdih kok jadi cie cie sih, haaaa tapi keren loh
ReplyDeleteMakasih kak🙏🤭
Delete