Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Kasih Tak Sampai, Young Adult Romance

Event Menulis Cerpen Young Adult Romance 


Cerpen Remaja Romantis-  Kasih Tak Sampai, Young Adult Romance, by Enya 

Suatu masa di tahun 2000-an.


Kring ... kring ... kring ....

Telepon di rumah, sering sekali berbunyi di jam-jam siang begini. Biasanya itu buat adikku si tomboi yang hitam manis. Sekarang dia sudah tidak tinggal di rumah ini lagi, merantau ke pulau seberang, melanjutkan sekolahnya.


Bermalas-malasan, akhirnya aku pun bangun, terpaksa mengangkat telepon yang belum juga berhenti berdering.


"Ya, hellow? Dari siapa?"

"Saya Dion, temannya Nia. Ini kakaknya Nia, ya?"


"Iya, saya kakaknya. Nia gak ada. Dia sekarang kuliah di Bandung." Aku langsung saja menjawab tanya itu buru-buru biar bisa segera menutup telepon karena aku ingin kembali melanjutkan tidur siangku tadi yang terganggu, ketika sayup-sayup terdengar suara di ujung sana.


"Salam kenal, ya, Kak, saya teman klub Bahasa Inggrisnya Nia. Kata Nia, Kakak kuliah di Sastra Inggris. Jago dong, Kak ... cas cis cus."




Itulah awal perkenalanku dengan Dion, teman Nia, adikku. Sejak bicara di telepon waktu itu, Dion jadi sering meneleponku meski hanya sekadar menyapa. Entah kenapa, aku merasa nyaman saat berbicara dengannya. Semakin lama Dion pun semakin intens menghubungiku dan tak lagi bicara basa-basi menanyakan kabar, tetapi sudah berani membuka diri, bercerita soal pribadi; tentang kuliah dan juga tentang hobi.



Tak kusangka, ternyata Dion sepantaran denganku. Mungkin hal itulah yang membuat segalanya menjadi mudah. Tadinya aku sempat berpikir kalau dia seumuran Nia. Ternyata aku salah besar. Rupanya dia mahasiswa tahun terakhir di kampus sebelah.



Seringnya berkomunikasi via telepon, akhirnya membawa aku dan Dion ke dalam hubungan persahabatan yang erat. Deringan Dion yang dulunya buat Nia, sekarang beralih untukku. Bersyukur, Nia dan Dion hanyalah teman biasa. Hari-hari selanjutnya, kami pun mulai sering bertemu.


"Ternyata kakaknya Nia cantik, ya."


Itulah sapaan pertamanya saat kami jumpa. Aku yang tak terbiasa dipuji laki-laki, apalagi oleh orang yang baru pertama bertemu, tentu saja tak bisa menutupi kegugupan, juga rasa senangku. Wajahku terasa memanas, bahkan mungkin juga sudah memerah karena jengah. Duh, kulit seputih pualamku, pasti takkan bisa berbohong kalau aku tengah tersipu karena sapaannya. Apalagi ternyata Dion sangat tampan, berwajah tegas, berhidung mancung dengan rambut lurus dan iris kecoklatan, membuat dia terlihat seperti orang bule saja. Kenapa Nia tak pernah bercerita, ya, kalau dia punya teman setampan bintang film begini? Kenapa juga bocah itu tak menaksirnya? Memang aneh selera adik tomboiku itu. Sukanya kok malah sama yang berwajah antik dan berkulit unik. Aih, selera orang emang kudu beda-beda, ya. Berbahaya malah jika serupa, apalagi kalau sampai sama.


Keseruan persahabatan kami pun terus berlanjut, hingga tak terasa, perlahan dan pasti, kami berdua mulai saling menyukai.





Setelah sama-sama memahami dan merasa baku cocok, mulailah kami berdua sering bepergian, mencoba menikmati segala hal yang menyenangkan; makan di resto dan nongki di tempat favorit anak-anak muda, serta jalan-jalan menghabiskan waktu libur di akhir pekan. Biasalah, melakukan kegiatan asyik seperti anak-anak muda zaman sekarang. Ups, jangan ditiru, ya.



Menurut Dion, dia merasa nyaman denganku. Selain bisa menjadi teman bicara English yang asyik, aku pun enak dijadikan teman curhat. Dion selalu mengatakan kalau pola pikirku dewasa dan sangat bijaksana. Duhai, pintar sekali dia membuat hatiku menggeletar dengan segala ucapan manisnya. Bahkan dia juga tak segan menggoda, membuat dan bercerita hal-hal yang lucu, seperti sengaja untuk melihat rona merah di pipiku yang tak bisa kucegah munculnya saat aku merasa malu juga bahagia. Aku benar-benar telah diamuk rasa, tunduk dan lemah karena cinta. Laki-laki itu sungguh luar biasa memesona, mengikat jiwaku di hatinya.



Romansa usia muda di saat kuliah, memanglah kenangan yang paling indah. Seperti bunga yang sedang mekar, warna-warninya pun menggambarkan rasa di hatiku. Hidup laksana pelangi. Yang ada hanya ceria sejak aku mengenal Dion.


Namun sayang, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Selesai menamatkan kuliahnya, Dion seperti menghilang tak tahu rimbanya. Kabar yang berembus, Dion pergi ke Surabaya mencari pekerjaan. Hanya, kenapa Dion tak memberi kabar? Aku merasa ditinggal begitu saja. Tak menyangka, dia pergi tanpa sedikit pun ada salam perpisahan.



Aku masih berpikiran positif, menganggap mungkin saja saat itu Dion tidak sempat mengucapkan selamat tinggal atau memberi kabar karena sibuk sebab akan berangkat merantau. Akan tetapi, masa sih, dia tak bisa meneleponku barang sebentar saja, 3--5 menit?



Terus terang aku sangat sedih, merasa diabaikan dan tak dianggap. Persahabatan, keakraban, bahkan hubungan spesial yang kami jalani seperti tak ada artinya. Padahal perasaanku ke Dion sudah sangat mendalam. Aku mencintainya. Lebih nyata lagi, cinta itu semakin terasa setelah dia pergi.



Aku yakin, perasaan Dion pun sama. Namun, mengapa dia bisa pergi tanpa pesan? Kenapa dia bisa sampai hati berbuat begitu?



Telepon di rumah, sudah jarang berdering. Kalau pun berbunyi, sudah tidak ada lagi orang yang menjawab karena rumah sudah mulai sepi ditinggal banyak penghuninya. Sebagian pergi, sebagian sibuk dengan urusannya sendiri.



Nia masih kuliah di Bandung dan jarang pulang. Sementara aku, lebih sering menghabiskan waktu di kampus seharian, menyelesaikan tugas kuliah, sekaligus melupakan rasa sedihku. Mama dan Papaku pun lebih banyak di luar rumah, sibuk dengan bisnisnya masing-masing.





Kadang sempat terpikir, mungkin saja Dion pernah menghubungiku, ingin memberi kabar, tetapi tak pernah menyambung karena tak ada orang yang mengangkat teleponnya. Mungkin saja seperti itu, aku hanya menduga-duga, mencoba menghibur diri sendiri.


Harapan, memang tak selalu menjadi kenyataan. Lama ... tetap tak ada pesan yang tersampaikan. Jangankan sepucuk surat. Telepon pun sudah tak pernah ada lagi untukku dari Dion.


Duhai, semudah itukah dia melupakanku? Tak adakah sedikit kenangan yang membuatnya kembali padaku?


Menunggu dan menunggu, tetapi tetap saja masih tak ada kabar darinya. Hingga tak terasa, aku pun menyelesaikan kuliah, menjadi sarjana.



Jujur, aku sering sedih jika teringat kisahku ini. Betapa dulu aku begitu bebas berteman dengan laki-laki sehingga merasa terikat dan terbelenggu tak bisa lepas.





Seperti kebiasaan orang-orang tua kita dahulu, ketika melihat anak-anak mereka sudah tamat sekolah, apalagi sudah selesai kuliah, sering sekali membuat mata mereka sepet, terutama jika anak perempuan itu masih berstatus singgel dan tinggal di rumah.


Penilaian dari lingkungan malah lebih ganas lagi. Para gadis sering sekali disindir-sindir, dinggap sudah tak laku sehingga orang tuaku pun semakin khawatir dan berupaya keras mencarikan jodoh.


Jujur, aku berharap, Dion-lah yang akan datang melamarku. Namun, kehadiran laki-laki itu seperti hilang bak ditelan bumi. Tak bisa diandalkan. Dion, kamu di mana, sih?


Sementara aku, tak punya pilihan selain menurut pada ketentuan keluarga. Belum pernah ada satu orang pun yang berani menolak tradisi dan kebiasaan di keluarga besarku, apalagi jika tidak ada calon yang bisa dihadapkan. Hingga akhirnya, perjodohan itu pun terpaksa aku terima.



Sesaat sebelum menikah, aku sempat mendengar selentingan kalau Dion mencariku. Kabarnya, dia mengutus seseorang untuk mencari tahu kebenarannya. Malah dari berita angin yang berembus, temannya itu sengaja datang ke rumah, tepat sesaat sebelum akad nikahku dilangsungkan. Namun, buat apa? Sudah terlambat semuanya karena memang aku--Anjelina Prameswari--yang menikah.



Aku tidak tahu, apakah Dion menyesal mendengar kabar pernikahanku itu. Yang jelas, aku selalu menganggap semua yang terjadi padaku adalah karena kesalahannya, pergi tanpa kabar, tanpa pernah memikirkan perasaanku.


***

Dalam perjalanan hidup, ternyata takdir tak sepenuhnya berpihak kepadaku. Aku bercerai dengan membawa seorang anak dalam usia pernikahanku yang masih teramat muda. Dia--suamiku waktu itu--meninggalkanku karena ingin menikahi perempuan lain, padahal aku sudah ikhlas, memberikan izin untuknya. Akan tetapi, dia tetap melepaskanku atas permintaan perempuan kedua itu.


Perjodohan, memang tidak selalu mesti ada kecocokan dan berakhir manis. Akan tetapi, bukan berarti tidak ada yang abadi hingga maut menghampiri. Kisahku, hanyalah segelintir yang gagal. Namun, takdirku tak perlu harus ditangisi.



Hidup yang kujalani terasa semakin berat. Sebagai perempuan tanpa suami, banyak stigma dan penilaian buruk yang kadang singgah di telinga. Semua kesusahan, harus kutanggung dan kutahan sendiri sepenuh hati. Aku harus berjuang dan kuat demi sang buah hati.



Mengenai Dion, aku tetap tak pernah tahu kabarnya. Hanya sempat kudengar, katanya dia juga sudah menikah dan melanjutkan hidupnya di tanah rantauan. Tentang kebahagiaan dan perasaannya, aku juga tak pernah mengerti. Kami hanya menjalani semua takdir kehidupan, sendiri-sendiri.



Bertahun kemudian, tanpa sengaja kami kembali bertemu. Dipertemukan oleh nasib. Ternyata, rasa di antara kami belum hilang. Ia masih ada karena memang masing-masing masih tetap menyimpannya, dalam, di ceruk hati.



Dengan statusku saat ini yang sebagai orang tua tunggal, bisa saja aku melanjutkan hubungan, menjalin kembali kisah lama kami. Akan tetapi, aku merasa itu tak lagi mungkin. Dion masih berstatus suami orang dan ayah dari anak-anaknya. Walaupun dia sempat meminta akan menjadikanku yang kedua. Namun ....



Jika menurutkan ego dan perasaanku semata, bisa saja aku memutuskan menikah dengan Dion dan melanjutkan kebahagiaanku yang dulu sempat terenggut. Akan tetapi, aku tak mau menjadi seperti itu. Aku tak mau di cap sebagai pengganggu rumah tangga orang. Hidupku sudah berat dan aku tak ingin lagi menambahkan berat bebannya. Walaupun aku tahu bahwa Dion bisa saja menikah tanpa restu istri pertamanya, tetapi tetap, aku tak ingin melakukannya. Dengan restu ataupun tanpa restu, aku tetap takkan sanggup menerimanya karena aku pernah memiliki pengalaman yang sama. Aku tahu, betapa sakitnya dikhianati dan ditinggalkan.



Sekali-sekali, Dion masih menghubungiku, mengungkapkan semua penyesalannya di masa lalu karena pernah meninggalkanku. Bahkan hingga saat ini, dia masih belum juga bisa melupakanku. Itu yang selalu dia katakan.



Penyesalan memang tak selalu perlu diratapi. Buat apa? Toh, hidup harus tetap dijalani. Bahagia atau tidak, semua sudah terjadi. Aku tak ingin menjadi perempuan kedua, yang akan menyakiti, dan menjadi duri dalam kehidupannya.


Bagiku, perasaan Dion itu ibarat dongeng manis belaka, karena jelas, semua tak akan pernah lagi sama untukku.





Perceraian telah banyak memberikan pelajaran hidup. Meski aku pun belum bisa melupakan Dion yang dulu pernah hadir di masa-masa terindah dalam kehidupanku di usia muda, tetapi aku akan berusaha untuk mengikis semua rasa itu, menjalani hidup dengan lebih banyak merenung, untuk memperbaiki kesalahanku di masa lalu.


Cerita ini, ibarat kisah kasih yang tak sampai. Cinta yang dulu pernah kuharap, kemudian menghilang, dan kini ia kembali. Namun sayangnya, cinta itu tetap belum bisa kuraih.


~Tamat~


Indonesiana, Tidore Kepulauan, 12 Februari 2021


Post a Comment for "Kasih Tak Sampai, Young Adult Romance "