Lelaki Idaman Lain, Fanny Love Story
Cerita Pendek Terbaru Lucu dan Kocak Abis
Bunyi telepon itu benar-benar menggangguku! Mimpi yang tengah membuaiku seketika sirna. Namun aku tak mampu menggerakkan tubuhku untuk bangkit dari tempat tidur. Rasa kantuk begitu sangat menahanku. Tangan sebelahku saja yang terangkat, menunjuk ke pintu---mengarah ke dalam ruangan tengah dimana ponselku berbunyi. Pasti anak keduaku yang nakal yang mungkin telah membunyikan alarm atau sejenisnya, entahlah rasa kantuk yang kuat tak mampu menebak dering apa.
“Matiin ponselku, Pa!” suaraku tinggi, sementara mataku masih terpejam, melawan kantuk. “Kayanya Rio yang hidupin alarm!”
Sontak suamiku yang sudah terjaga beberapa detik lalu pun, seketika tubuhnya bangkit. Dengan tergesa, ia segera ke luar kamar. Mengambil ponselku dan membawanya ke dalam kamar lagi sebelum tentunya mematikan bunyi yang membisingkan telinga tengah malam. Suami menggerutu.
“Bukan alarm!” ucapnya sedikit gusar. “Dering teleponmu!”
“Masa sih?” mataku belum juga dapat terbuka.
“Iya!” suara suami meninggi. “Ada yang mencoba meneleponmu!”
“Mungkin orang iseng, Pa… yang salah sambung,” belaku. Rasa kantuk sedikit hilang. Mataku kupaksakan untuk bisa terbuka.
“Orang iseng saja tak pernah menelepon pada jam duabelas malam seperti ini!” suami berubah marah. “Tak punya etika, ganggu orang tidur saja!”
“Sudahlah, Pa!” mataku berhasil terbuka. Kulihat suami duduk di pinggir tempat tidur, masih memegang ponselku. “Lagian malam-malam ko teriak-teriak siih… malu sama tetangga.”
“Sepertinya si penelepon gelap ini kenal Mama,” jelas suamiku membuat telingaku terangkat. Mataku semakin terbuka. “Buktinya, meski Tak ada namanya, nomor itu langsung SMS dua kali setelah panggilannya tadi kurijek!”
“Apa?” aku kaget. Sontak badanku seperti memiliki kekuatan ‘extra’, langsung bangkit dan mendekati suami. Hampir saja kurebut ponsel dari tangan suami, namun ia melirikku dengan penuh selidik. Walaupun kamar gelap, namun bisa kupastikan lirikan penuh selidik dari mata suami ketika aku mendekatinya. Cahaya dari ponsel membantuku memerhatikannya.
Suami memberikan ponselnya padaku. Yang kulihat pertama kali, panggilan teleponnya yang tepat jam duabelas.
Cerpen Lucu - Fanny Love Story Young Adult Romance, Cerpen Komala Sutha, Lelaki Idaman Lain
Bunyi telepon itu benar-benar menggangguku! Mimpi yang tengah membuaiku seketika sirna. Namun aku tak mampu menggerakkan tubuhku untuk bangkit dari tempat tidur. Rasa kantuk begitu sangat menahanku. Tangan sebelahku saja yang terangkat, menunjuk ke pintu---mengarah ke dalam ruangan tengah dimana ponselku berbunyi. Pasti anak keduaku yang nakal yang mungkin telah membunyikan alarm atau sejenisnya, entahlah rasa kantuk yang kuat tak mampu menebak dering apa.
“Matiin ponselku, Pa!” suaraku tinggi, sementara mataku masih terpejam, melawan kantuk. “Kayanya Rio yang hidupin alarm!”
Sontak suamiku yang sudah terjaga beberapa detik lalu pun, seketika tubuhnya bangkit. Dengan tergesa, ia segera ke luar kamar. Mengambil ponselku dan membawanya ke dalam kamar lagi sebelum tentunya mematikan bunyi yang membisingkan telinga tengah malam. Suami menggerutu.
“Bukan alarm!” ucapnya sedikit gusar. “Dering teleponmu!”
“Masa sih?” mataku belum juga dapat terbuka.
“Iya!” suara suami meninggi. “Ada yang mencoba meneleponmu!”
“Mungkin orang iseng, Pa… yang salah sambung,” belaku. Rasa kantuk sedikit hilang. Mataku kupaksakan untuk bisa terbuka.
“Orang iseng saja tak pernah menelepon pada jam duabelas malam seperti ini!” suami berubah marah. “Tak punya etika, ganggu orang tidur saja!”
“Sudahlah, Pa!” mataku berhasil terbuka. Kulihat suami duduk di pinggir tempat tidur, masih memegang ponselku. “Lagian malam-malam ko teriak-teriak siih… malu sama tetangga.”
“Sepertinya si penelepon gelap ini kenal Mama,” jelas suamiku membuat telingaku terangkat. Mataku semakin terbuka. “Buktinya, meski Tak ada namanya, nomor itu langsung SMS dua kali setelah panggilannya tadi kurijek!”
“Apa?” aku kaget. Sontak badanku seperti memiliki kekuatan ‘extra’, langsung bangkit dan mendekati suami. Hampir saja kurebut ponsel dari tangan suami, namun ia melirikku dengan penuh selidik. Walaupun kamar gelap, namun bisa kupastikan lirikan penuh selidik dari mata suami ketika aku mendekatinya. Cahaya dari ponsel membantuku memerhatikannya.
Baca Juga;
Suami memberikan ponselnya padaku. Yang kulihat pertama kali, panggilan teleponnya yang tepat jam duabelas.
Gila, kaya tak ada waktu saja tuh orang, makiku dalam hati. Nomor simpati. Tanpa nama namun aku tahu siapa pemiliknya. Nomornya sama dengan nomor yang sore hari miscall waktu orang itu memasukkan nomorku di ponselnya. Sementara karena aku tak menganggapnya orang itu penting untukku, makanya tak kusimpan nomornya.
Lalu kulihat dua SMS yang masuk. Bunyinya yang pertama, menanyakan apa aku sudah tidur. Hm, ya iyalah jam segitu sudah tidur, emangnya aku petugas ronda yang lagi main gapleh hingga masih bisa dihubungi tengah malam gitu? SMS kedua, beberapa menit lalu, bunyinya kalau ia minta maap karena telah miscall nomorku dengan alasan untuk mengecek apa nomorku memang aktif atau tidak. Antara kesal dan ingin tertawa sebenarnya namun kucoba menahannya. Suamiku nampak sangat terganggu.
“Siapa dia?” suamiku melirikku lagi.
Aku menelan ludah. “Dia temanku, Pa.”
“Apa seorang teman dengan begitu bebas bisa meneleponmu kapan saja?”
“Papa… sudahlah, mending kita tidur lagi,” rajukku. “Besok saja kita bahas. Lagian aku ngantuk banget…”
“Silakan Mama tidur lagi!” suami bangkit dari tempat duduknya, lalu ke luar kamar. Aku merasa tak nyaman dengan sikapnya. Kuikuti saja. Ia duduk di sofa setelah menghidupkan dulu lampu neon.
“Aku mau tidur lagi... tapi pengen sama Papa…” ucapku bersikap manja untuk membujuk suami agar segera mau ke tempat tidur lagi. Lagipula jika aku tidur sendiri dan membiarkan ia melek, sangat kuatir terjadi sesuatu yang tak kuharapkan, misalnya si penelepon itu menelepon lagi dan suami mengangkatnya. Atau sebaliknya, suami yang memulai menghubunginya. Ngeri kubayangkan itu.
Aku duduk di sebelahnya, lalu membujuk lagi untuk tidur. Namun ia tetap menolak. Sikapnya dingin padaku. Tampak kekesalan masih nyata dalam matanya. Kesal pada penelepon yang tak punya etika itu atau juga kesal padaku, istrinya yang telah berteman dengan orang yang berhasil membuatnya muak.
Diambilnya kotak rokok, lalu mengeluarkan sebatang. Menyulut ujungnya dengan api. Hm, kalau sudah mulai merokok, alamat tak akan cepat-cepat tidur.
“Mas… ko malah merokok sih…” ucapku sambil menyentuh lengannya. Sikapnya masih dingin. Aku mengerti dengan kekesalannya.
“Jadi gak ngantuk gara-gara suara telepon sialan itu!” ucap suamiku. Aku menghela nafas pelan. Kalau saja aku yang segera bangun dan mengangkat ponsel tadi, pasti langsung kututup ponsel atau sekalian kumatikan. Barangkali tak membuat suami tercintaku bangun dan mengetahui kalau penelepon itu sebenarnya orang yang mengenalku. Resikonya, akhirnya seperti ini. Namun aku akan berusaha menjelaskannya agar aku tak menjadi pihak yang dipersalahkan.
“Siapa penelepon itu?” suami mulai memancingku. “Pastinya bukan teman kerjamu kan? Aku tahu… semua teman kerjamu punya etika.”
Aku mengangguk pelan. “Ya, Pa… dia bukan teman kerjaku, tapi teman baikku.”
“Teman baik tapi nelepon malem-malem.”
Sebenarnya aku malas membahasnya, namun kalau tak diselesaikan malam ini, bisa berabe. Suamiku akan terus melek sampai pagi dan berpikir macam-macam kalau antara aku dan penelepon itu ada apa-apa setelah tahu ia seorang lelaki. Kujelaskan saja orang itu baru sebulan ini aku mengenalnya, bahkan nomorku baru belasan jam lalu kuberikan, karena ia yang minta, ketika bertemu sepulang kerja.
“Siapa dia?” suamiku melirikku lagi.
Aku menelan ludah. “Dia temanku, Pa.”
“Apa seorang teman dengan begitu bebas bisa meneleponmu kapan saja?”
“Papa… sudahlah, mending kita tidur lagi,” rajukku. “Besok saja kita bahas. Lagian aku ngantuk banget…”
“Silakan Mama tidur lagi!” suami bangkit dari tempat duduknya, lalu ke luar kamar. Aku merasa tak nyaman dengan sikapnya. Kuikuti saja. Ia duduk di sofa setelah menghidupkan dulu lampu neon.
“Aku mau tidur lagi... tapi pengen sama Papa…” ucapku bersikap manja untuk membujuk suami agar segera mau ke tempat tidur lagi. Lagipula jika aku tidur sendiri dan membiarkan ia melek, sangat kuatir terjadi sesuatu yang tak kuharapkan, misalnya si penelepon itu menelepon lagi dan suami mengangkatnya. Atau sebaliknya, suami yang memulai menghubunginya. Ngeri kubayangkan itu.
Aku duduk di sebelahnya, lalu membujuk lagi untuk tidur. Namun ia tetap menolak. Sikapnya dingin padaku. Tampak kekesalan masih nyata dalam matanya. Kesal pada penelepon yang tak punya etika itu atau juga kesal padaku, istrinya yang telah berteman dengan orang yang berhasil membuatnya muak.
Diambilnya kotak rokok, lalu mengeluarkan sebatang. Menyulut ujungnya dengan api. Hm, kalau sudah mulai merokok, alamat tak akan cepat-cepat tidur.
“Mas… ko malah merokok sih…” ucapku sambil menyentuh lengannya. Sikapnya masih dingin. Aku mengerti dengan kekesalannya.
“Jadi gak ngantuk gara-gara suara telepon sialan itu!” ucap suamiku. Aku menghela nafas pelan. Kalau saja aku yang segera bangun dan mengangkat ponsel tadi, pasti langsung kututup ponsel atau sekalian kumatikan. Barangkali tak membuat suami tercintaku bangun dan mengetahui kalau penelepon itu sebenarnya orang yang mengenalku. Resikonya, akhirnya seperti ini. Namun aku akan berusaha menjelaskannya agar aku tak menjadi pihak yang dipersalahkan.
“Siapa penelepon itu?” suami mulai memancingku. “Pastinya bukan teman kerjamu kan? Aku tahu… semua teman kerjamu punya etika.”
Aku mengangguk pelan. “Ya, Pa… dia bukan teman kerjaku, tapi teman baikku.”
“Teman baik tapi nelepon malem-malem.”
Sebenarnya aku malas membahasnya, namun kalau tak diselesaikan malam ini, bisa berabe. Suamiku akan terus melek sampai pagi dan berpikir macam-macam kalau antara aku dan penelepon itu ada apa-apa setelah tahu ia seorang lelaki. Kujelaskan saja orang itu baru sebulan ini aku mengenalnya, bahkan nomorku baru belasan jam lalu kuberikan, karena ia yang minta, ketika bertemu sepulang kerja.
Soal ia telepon tengah malam, itu aku jelaskan kalau sama sekali aku tak mengerti dengan maksudnya. Kutegaskan juga kalau akupun merasa terganggu. Titik.
Aku bangkit dari duduk, meninggalkan suami yang tampak belum puas dengan penjelasan dan ketegasanku. Jengkel juga dengan penelepon yang telah membuat mimpi malamku terganggu.
Tidurku kembali tenang setelah kumatikan ponsel itu. Hal yang tak biasa kulakukan sebenarnya. Mematikan ponsel ketika tidur. Suami masih menikmati kesendiriannya ditemani puluhan rokok yang bernasib menggenaskan di dalam asbak. Entah sampai jam berapa..
Setelah mengenakan pakaian kerja, tepat jam tujuh pagi, kuhidupkan ponsel. Satu SMS masuk. Kupikir dari salah satu teman kerjaku, nyatanya dari penelepon itu. Hm, ia kirim SMS jam empat pagi, tak ada kerjaan. Mending urusan penting, hanya tiga kata yang langsung membuatku mual, ‘Segeralah bangun, cantik…’
Cepat ponsel itu kumasukan ke dalam saku blazer warna kuning gading yang kukenakan. Malas sekali harus kubalas, bisa-bisa memancing kembali pertikaian dengan suami yang baru saja meredam.
Tumben, suamiku mau mengantarku ke tempat kerjaku yang lumayan jauh dari rumahku. Sekitar tujuhbelas kilo. Ia rela menutup tokonya. Dua anakku sudah berada di sekolahnya masing-masing sepuluh menit lalu.
“Ma… pria kan penelepon itu?” suami mulai membahas itu lagi setelah lima menit perjalanan dalam motor kami. Aku jawab, iya. Namanya entah Doni, Ari atau Egi. Lupa. Usianya lima tahun lebih muda dariku. Statusnya duda tanpa ada kejelasan. Kerja di sebuah Bank swasta. Letak rumahanya aku tak bisa jelaskan karena belum tahu. Namanya juga baru kenal.
“Apa dia menyukai Mama?” tanya suami serius. Kucubit pinggang kirinya dari belakang. Ia meringis. Motor melaju pelan. “Aku bukannya melarang Mama punya teman pria, tapi ya… Mama kasih tau dia, janganlah telepon-telepon malam-malam,.. atau Mama tak bilang ya, kalo udah punya suami?”
Kembali aku menegaskan agar jangan mulai menuduh lagi yang bukan-bukan. Dan suamiku harus percaya aku. Aku pun pasti menghentikan orang itu agar tak mengganguku lagi. Dalam hati menggerutu.
Aku bangkit dari duduk, meninggalkan suami yang tampak belum puas dengan penjelasan dan ketegasanku. Jengkel juga dengan penelepon yang telah membuat mimpi malamku terganggu.
Tidurku kembali tenang setelah kumatikan ponsel itu. Hal yang tak biasa kulakukan sebenarnya. Mematikan ponsel ketika tidur. Suami masih menikmati kesendiriannya ditemani puluhan rokok yang bernasib menggenaskan di dalam asbak. Entah sampai jam berapa..
Setelah mengenakan pakaian kerja, tepat jam tujuh pagi, kuhidupkan ponsel. Satu SMS masuk. Kupikir dari salah satu teman kerjaku, nyatanya dari penelepon itu. Hm, ia kirim SMS jam empat pagi, tak ada kerjaan. Mending urusan penting, hanya tiga kata yang langsung membuatku mual, ‘Segeralah bangun, cantik…’
Cepat ponsel itu kumasukan ke dalam saku blazer warna kuning gading yang kukenakan. Malas sekali harus kubalas, bisa-bisa memancing kembali pertikaian dengan suami yang baru saja meredam.
Tumben, suamiku mau mengantarku ke tempat kerjaku yang lumayan jauh dari rumahku. Sekitar tujuhbelas kilo. Ia rela menutup tokonya. Dua anakku sudah berada di sekolahnya masing-masing sepuluh menit lalu.
“Ma… pria kan penelepon itu?” suami mulai membahas itu lagi setelah lima menit perjalanan dalam motor kami. Aku jawab, iya. Namanya entah Doni, Ari atau Egi. Lupa. Usianya lima tahun lebih muda dariku. Statusnya duda tanpa ada kejelasan. Kerja di sebuah Bank swasta. Letak rumahanya aku tak bisa jelaskan karena belum tahu. Namanya juga baru kenal.
“Apa dia menyukai Mama?” tanya suami serius. Kucubit pinggang kirinya dari belakang. Ia meringis. Motor melaju pelan. “Aku bukannya melarang Mama punya teman pria, tapi ya… Mama kasih tau dia, janganlah telepon-telepon malam-malam,.. atau Mama tak bilang ya, kalo udah punya suami?”
Kembali aku menegaskan agar jangan mulai menuduh lagi yang bukan-bukan. Dan suamiku harus percaya aku. Aku pun pasti menghentikan orang itu agar tak mengganguku lagi. Dalam hati menggerutu.
Dasar saraf, mentang-mentang lagi tak punya bini, malah bertindak seenaknya, kaya yang udah berkomitmen pacaran sama aku saja….
Depan kantorku, suami menghentikan motornya. Aku turun, mencium tangan kanan suami dengan hormat. Suami balas membelai rambutku. Dalam hati aku bersyukur dengan kesalahpahaman semalam yang pagi ini berlalu Sikap suami kembali manis..
Pulang kerja pukul empat sore. Baru saja aku keluar dari minimarket yang tak jauh dari kantorku, sebuah mobil mulus nongkrong depan hidungku. Penumpangnya keluar.
Depan kantorku, suami menghentikan motornya. Aku turun, mencium tangan kanan suami dengan hormat. Suami balas membelai rambutku. Dalam hati aku bersyukur dengan kesalahpahaman semalam yang pagi ini berlalu Sikap suami kembali manis..
Pulang kerja pukul empat sore. Baru saja aku keluar dari minimarket yang tak jauh dari kantorku, sebuah mobil mulus nongkrong depan hidungku. Penumpangnya keluar.
Seorang pria tampan menghaturkan senyum manisnya. Perutku mendadak mual. Ini waktunya meminta penjelasan sekaligus mengultimatumnya agar tak sekali-kali lagi menelepon malam hari. Jika ada keperluan, gunakan waktu yang tepat yang tak akan menggangu ketenangan orang. Apalagi sampai mengganggu kemesraan suami istri di atas tempat tidur.
“Hai, cantik…” sapanya ramah. Aku mendelik.
Entah namanya Doni, Ari atau Egi. Ia mengajakku ke kafe, namun kutolak. Ada yang ingin dibicarakan, jelasnya. Jawabku, di sini saja. Katanya, masa di pinggir jalan. Kataku, tak masalah, di mana saja bisa untuk menyelesaikan masalah. Aku tak mau bicara dengan dia di tempat yang kesannya sangat privasi. Ia pun akhirnya tak bisa memaksa.
“Kalo kau bisa menyatukanku dengan pacar lamaku yang masih kucinta… maka aku akan kasih hadiah apa saja yang kau minta,” tuturnya membuat kedua alisku bertaut. Dahiku pun berkerut. Apa hak dia menuntutku dan siapa yang ia maksud?
“Hm, aku pikir kau jemput aku kemari sengaja untuk memohon maap atas kesalahanmu semalam,” kataku setelah menelan ludah. Kutatap sekilas. Ya, ia sangat tampan ditunjang dengan pakaian mahal. Sejak awal aku pun menilainya.
“Hai, cantik…” sapanya ramah. Aku mendelik.
Entah namanya Doni, Ari atau Egi. Ia mengajakku ke kafe, namun kutolak. Ada yang ingin dibicarakan, jelasnya. Jawabku, di sini saja. Katanya, masa di pinggir jalan. Kataku, tak masalah, di mana saja bisa untuk menyelesaikan masalah. Aku tak mau bicara dengan dia di tempat yang kesannya sangat privasi. Ia pun akhirnya tak bisa memaksa.
“Kalo kau bisa menyatukanku dengan pacar lamaku yang masih kucinta… maka aku akan kasih hadiah apa saja yang kau minta,” tuturnya membuat kedua alisku bertaut. Dahiku pun berkerut. Apa hak dia menuntutku dan siapa yang ia maksud?
“Hm, aku pikir kau jemput aku kemari sengaja untuk memohon maap atas kesalahanmu semalam,” kataku setelah menelan ludah. Kutatap sekilas. Ya, ia sangat tampan ditunjang dengan pakaian mahal. Sejak awal aku pun menilainya.
Sosoknya bisa saja membuat banyak teman kerjaku yang masih berstatus gadis, jatuh cinta dan tak akan menolak dijadikan pendamping hidup. Namun sore ini, tingkahnya begitu feminin. Juga cara bicaranya.
“Ayolah, Mio… bantu aku, plis…” pria itu berubah lebay. Aku belum habis pikir. Sebenarnya apa yang diinginkan pria banci ini? Tadinya kupikir setelah kejadian tadi malam, ia menyukaiku. Namun tiba-tiba sekarang ia minta aku menjadi batu loncatan demi kembalinya cinta lamanya dengan seseorang yang aku juga belum tahu siapa.
“Ayolah, Mio… bantu aku, plis…” pria itu berubah lebay. Aku belum habis pikir. Sebenarnya apa yang diinginkan pria banci ini? Tadinya kupikir setelah kejadian tadi malam, ia menyukaiku. Namun tiba-tiba sekarang ia minta aku menjadi batu loncatan demi kembalinya cinta lamanya dengan seseorang yang aku juga belum tahu siapa.
“Kau sangat kenal mantanku itu. Aku juga baru tau kemarin kalo kalian itu sodara misan. Temen kerjaku yang bilang…”
“Sodara misan?” belum habis rasa heranku ketika dari kejauhan kulihat motor suamiku menuju ke arah kami. Hatiku bersorak, namun suamiku tak mendekatiku. Ia memarkir motornya di sebrang jalan.
Si lebay merasakan kalau aku memerhatikan seseorang. Tubuhnya setengah berbalik mengikuti pandangan mataku. Sempat kulirik, matanya mengerjap berbinar melihat suamiku yang tengah melambaikan tangan padaku.
Tubuh si lebay berbalik lagi ke arahku. “Mio… itu sodara misanmu yang kumaksud…”
Aku terperanjat. Jantungku nyaris copot. “Apaaaaa?”
“Iya Mio…” Doni, Ari atau Egi berubah genit. “Dia itu mantanku.”
Perutku mual tanpa dapat kutahan. Ingin muntah.***
Bandung Indonesia, 28 Maret
“Sodara misan?” belum habis rasa heranku ketika dari kejauhan kulihat motor suamiku menuju ke arah kami. Hatiku bersorak, namun suamiku tak mendekatiku. Ia memarkir motornya di sebrang jalan.
Si lebay merasakan kalau aku memerhatikan seseorang. Tubuhnya setengah berbalik mengikuti pandangan mataku. Sempat kulirik, matanya mengerjap berbinar melihat suamiku yang tengah melambaikan tangan padaku.
Tubuh si lebay berbalik lagi ke arahku. “Mio… itu sodara misanmu yang kumaksud…”
Aku terperanjat. Jantungku nyaris copot. “Apaaaaa?”
“Iya Mio…” Doni, Ari atau Egi berubah genit. “Dia itu mantanku.”
Perutku mual tanpa dapat kutahan. Ingin muntah.***
Bandung Indonesia, 28 Maret
Author, Komala Suta

Post a Comment for " Lelaki Idaman Lain, Fanny Love Story "
Disclaimer: Semua isi konten baik, teks, gambar dan vidio adalah tanggung jawab author sepenuhnya dan jika ada pihak-pihak yang merasa keberatan/dirugikan silahkan hubungi admin pada disclaimer untuk kami hapus.