Pergi Bersama Pelangi, Cerita Cinta Pertama Remaja
Cerita Pendek Cinta Pertama Remaja Romantis Baper
Cerpen Young Adult, Pergi Bersama Pelangi
Oleh, Komala Sutha
Pita harus ketemu cowok itu! Harus. Semua akan dia lakukan demi Ninda, sahabat tercintanya. Skenario sudah tersusun baik tinggal menjalankan peran yang sempurna. Pita menjentikkan dua ujung jari tangan kanannya.
Tak sampai sepuluh menit dia sudah berada di depan café dimana seseorang telah menunggunya dengan sabar. Hati-hati Pita melangkah ke dalam. Matanya berkeliaran mencari sosok yang belum pernah dilihatnya. Tapi dia yakin, Deri pasti menunggunya. Deri kan tak pernah ingkar janji, begitu menurut cerita Ninda. Ya, tak pernah ingkar janji, setidaknya sebelum hubungan Pita dan Deri berantakan.
Deheman kecil membuat Pita membalikkan tubuhnya. Matanya bersirobok dengan mata seorang… amboiii, tiba-tiba saja mata Pita tak berkedip menatap makhluk tampan yang tengah duduk santai. Tatapan mata cowok itu sangat bersahabat. Sebuah senyuman disuguhkan pada Pita membuat cewek yang lagi berstatus jomblo ini sedikit salah tingkah.
Setelah dipersilakan duduk, dua gelas softdrink diantarkan pelayan. Alunan musik jazz menghanyutkan perasaan Pita dan nyaris lupa akan misinya. Woi.m. bukankah Pita datang ke café ini demi Ninda, demi membuat Deri kembali pada Ninda? Bukannya terlena dengan alunan jazz yang juga dampak dari sosok Deri yang sangat memikat.
Meski Deri sudah jadi pacar Ninda selama tiga bulan, Pita belum pernah sekali pun bertemu Deri. Kebetulan cowok itu bersekolah di SMU yang berbeda dengan Pita dan Ninda. Dan karena berbagai alasan, Ninda pun belum sempat memperkenalkan cowok terkasihnya pada Pita. Memang Pita pernah melihat foto Deri di wallpaper ponsel Ninda, tapi tak begitu jelas dan dia tak menyangka Deri jauh lebih tampan dan menarik dalam dunia nyatanya.
“Minum, dong…” Deri membuka percakapan, mencoba mencairkan kebekuan di antara mereka. Dia juga heran, Ninda sering kirim sms dan gaya penuturannya asik banget, tapi saat ketemu malah diam seribu bahasa. Pertemuan di café ini, Ninda yang merencanakan dan Deri yang mulai menyukai Ninda tak bisa menolak. Apa salahnya mengabulkan keinginan Pita toh saat ini Deri merasa tak terikat dengan cewek manapun. Dia tak merasa punya pacar jadi tak akan ada yang cemburu. Lagipula, Pita cukup cantik dan tak malu-maluin jika teman-teman sekolahnya memergoki mereka jalan berdua.
Besoknya, pas sekolah mau bubaran, Pita bersenandung kecil. Ninda menatapnya heran.
“Lagi jatuh cinta ya, Pit?”
Pita tersenyum. Dicubitnya dengan gemas pipi Ninda yang mulus tak berjerawat. “Aku mau ketemuan sama yayangmu!”
Ninda menelan ludah. Tangannya memasukkan buku-buku di atas meja ke dalam tas coklatnya. Pikirannya melayang pada Deri, cowok yang sampai hari itu masih tetap bersemayam dalam ruang hatinya. Tapi hatinya mendesah resah ingat sampai hari ini juga tak ada kejelasan hubungan mereka. Ngambang. Putus gak, jalan pun gak. Ingin sebenarnya Ninda minta ketegasan pada Deri tapi tak kuasa. Dia merasa malu dan takut dipermalukan oleh Deri walau kadang dia berpikir Deri tak mungkin mempermalukannya. Ah, Deri… desis Ninda dalam hati. Deri yang pernah datang bersama pelangi, lalu mempersembahkan lukisan berbagai warna indah itu padanya. Teramat indah bagi Ninda.
“Kamu gak suka dengan misiku?” Pita menyenggol lengan Ninda. Tinggal mereka berdua yang masih berada dalam ruang kelas. Semua temannya sudah berada di luar, sebagian sibuk di tempat parkir dengan kendaraannya masing-masing. “Ini kan buatmu…”
“Tapi aku gak yakin misimu berhasil, Pit…”
“Lom apa-apa udah ciut duluan. Tenang saja, akan aku lakuin semaksimal mungkin. Yu ah kasian Deri nunggu lama. Kamu gak dijemput sopirmu?”
Pita menggeleng lesu. Tiba-tiba resah kembali menggelayuti hatinya. Ini bukan saja karena Deri yang sudah menjauh tapi jadi tak enak hati melihat keceriaan di wajah Pita. Apa yang membuat Pita ceria karena akan ketemu Deri?
Beberapa saat perasaan Ninda dikerubuti berbagai prasangka. Sementara Pita sama sekali tak merasa riangnya karena akan berjumpa Deri, menyebabkan perasaan tak nyaman pada hati sahabatnya.
Tepat jam satu, Deri menyambut dengan seulas senyum manis di bibir melihat Pita setengah berlari kecil menghampirinya. Kali ini mereka tak bertemu di café, tapi di sebuah taman yang jarang pengunjungnya.
“Kamu gak pulang dulu ke rumahmu, Pit?” Deri mengamati pakaian putih abu-abu yang masih melekat di tubuh Pita yang tinggi dan langsing. Sementara Deri mengenakan pakaian bebas karena pulang dulu ke rumahnya yang tak jauh dari sekolahnya. Selain itu, dia tipe anak yang penurut pada orang tua. Jarang sekali main-main di luar jam sekolah dengan masih memakai baju seragam.
Pita menggeleng lalu duduk di kursi panjang di samping Deri yang tak henti meliriknya. Udara siang hari tak begitu panas ditambah sekarang mulai memasuki musim penghujan. Tapi untung hari ini tak ada mendung, apalagi hujan, meski hanya rintik-rintik, sehingga Deri mengabulkan permintaan Pita untuk bertemu di alam terbuka. Bukan di café atau tempat minum lainnya seperti sebelumnya. Ini pertemuan keempat mereka. Pertemuan yang selalu Pita yang minta dan Deri tak kuasa menolak. Lagipula tak banyak teman Deri. Dan dia pun nyaris tak punya teman dekat cewek kecuali beberapa waktu lalu saat dirinya dekat dengan seorang cewek manis. Ninda. Riskaninda Maharani nama lengkapnya. Sekarang dia tak tahu kabar cewek itu sejak perselisihan terakhir yang terjadi dua bulan lalu.
“Aku udah bikin brownies… buatmu nanti malam,” Ninda begitu riang saat tahu Deri mau datang ke rumahnya. Siapa sih ceweknya yang tak hepi diapelin cowoknya? Selama ini mereka cuma bertemu di siang hari saja. Di café, mall atau bioskop. Sebenarnya sih dari awal pacaran Ninda sangat ingin Deri berkunjung ke rumah di malam Minggu layaknya orang pacaran, tapi dengan berbagai alasan, Deri selalu menolak dan Ninda tak bisa memaksa. Walaubagaimanpuna pun dia sadar posisinya sebagai seorang gadis yang berusia belum genap tujuhbelas tahun.
“Kayanya aku gak jadi datang, Nin… Mamaku mendadak ngadain acara di rumah dengan teman-teman kuliahnya dulu,” Deri berhenti bicara dan menatap cewek di hadapannya. Wajah Ninda berubah, yang semula matanya penuh binar bahagia, jadi sendu.
“Trus?” Ninda memalingkan muka. Kecewa memenuhi ruang hatinya.
“Yaaa… aku harus bantu mamaku kan, lagian… anak Mama cuma satu, aku…” jelas Deri. “Trus Bi Iis pembantuku lagi gak enak badan, masa Mama harus maksa dia kerja…”
“Tapi aku udah nyiapin brownies buatmu!” kata Ninda sedih. Dia ingin menangis tapi ditahannya. Sementara menurut Ninda, Deri tak ada reaksi dengan kekecewaan yang harus ditelan Ninda. Deri lebih memilih membantu mamanya dan membatalkan rencananya untuk datang ke rumah Ninda. Padahal Ninda bukan hanya mempersiapkan brownies dan minuman enak lainnya, Ninda juga sudah janji pada kedua sepupunya, yang sok pamer punya pacar tampan dan keren, kalau Ninda akan memperkenalkan Deri pada mereka. Kebetulan malam minggu itu kedua sepupunya berencana menginap di rumah Ninda. Lalu tiba-tiba Deri membatalkan secara sepihak, bagaimana Ninda tak sakit hati?
“Tapi aku tetap gak bisa, Ninda… mengertilaahh…” tegas Deri bersikukuh. Dihelanya napas sesaat dan kembali dipandangnya wajah Ninda yang kusut.
“Bukankah kamu sendiri yang janji mau dating?” Ninda kembali mengingatkan.
“Ya aku tau…”
“Jangan-jangan sejak awal… kamu emang gak ada niat mau dateng... dan kamu pernah bilang gitu cuma mau ngebohongin aku saja... iya kan?” Ninda menatap Deri dengan tajam. Dadanya mulai mendidih.
“Tega sekali kamu nuduh aku gitu!” seru Deri sedikit keras. Dia kaget dan merasa tersinggung dengan tudingan Ninda. “Kenapa kamu gak mau ngerti? Temen-temenku yang lain juga kalo aku batalin janji ama mereka… mereka mau ngerti. Tapi kamu…”
Tanpa menunggu Deri melenjutkan kalimat-kalimatnya yang juga mulai terasa menusuk di hati, Ninda segera berlalu dari hadapan Deri tak menghiraukan teriakan cowok itu yang memanggil namanya berkali-kali.
Sejak saat itu, Deri tak pernah bertemu lagi dengan Ninda. Perlahan dia pun mulai menghapus nama Ninda yang sebelumnya sempat terukir di relung sanubarinya yang paling dalam.
“Kamu ngelamun,” Pita menyentuh lengan kiri Deri yang berjaket coklat tua.
Deri menelan ludah. Dia lalu menggeleng. “Oh, gak ko, Pit… hm, kamu udah makan? Kita cari makan yu?”
Pita menggeleng. “Aku gak laper, Der… tadi waktu istirahat di sekolah udah makan nasi goreng sama…”
“Sama siapa?”
Pita tersenyum dikulum. Hampir dia keceplosan bicara. Sampai hari ini Deri tak tahu kalau Pita satu sekolah bahkan sekelas dengan Ninda. Deri bahkan tak tahu kalau Pita itu sahabat Ninda dan misinya mendekati Deri itu untuk membuat Deri kembali pada Ninda yang masih sangat menyayanginya.
“Hehe… sama sahabatku,” Pita terkekeh. Cukup sampai hari ini saja Deri tak tahu dengan misinya. Tampaknya Deri memang tak curiga. Sejak awal datang telepon dari Pita yang pura-pura salah sambung, Deri tak curiga. Diladeninya pesan singkat yang sering muncul di waktu luangnya. Bagi Deri tak ada salahnya sering komunikasi dengan Pita karena tanpa disadari, semakin dia dekat dengan Pita, semakin dia bisa melupakan Ninda. Sementara bagi Pita, ya… iya harus tetap menjalankan misi ini hingga selesai dan berhasil menjembatani kembali hubungan Deri dengan Ninda yang sudah berantakan. Dia ingin melihat kembali senyum Ninda yang sekarang sering tak hadir sejak Deri tak lagi memberikan hari-hari manisnya. Pita ingin Ninda bahagia. Bahagia dengan cowok yang dikasihinya. Dengan Deri, meski tak bisa dipungkiri, sejak dirinya kenal dengan Deri, sejak saat itu pula benih-benih cinta mulai tumbuh. Tapi dia tak akan membiarkan benih itu terus berkembang. Dia harus membasminya. “Der… sebenarnya ada yang mau aku sampein…”
Deri melirik sepintas wajah Pita yang berubah serius. “Apa?”
“Jangan marah ya…” kata Pita hati-hati. “Aku mau kamu kembali ama sahabatku. Aku mewakili dia… maafin kesalahannya yang mungkin jadi penyebab kamu ninggalin dia.”
Deri tersentak. Tapi tak ada kalimat yang keluar dari bibirnya. Beberapa menit kemudian, dihelanya napas dalam-dalam. Di pelupuk matanya melintas wajah Ninda. Wajah Ninda yang kusut dan penuh kekesalan ketika terakhir mereka bertemu. Bersamaan dengan rasa cinta di hati Deri yang kemudian berangsur berkurang. Berkurang, hilang dan akhirnya sirna.
“Der… dia masih mengharapkan kamu. Aku ngerti kalo kamu masih marah dengan sikap dia waktu itu, tapi pahamilah, “ Pita berhenti sejenak dan mengamati wajah Deri yang berubah murung. “Dia kecewa waktu itu.”
Deri masih tak bersuara. Tatapannya menunduk ke bawah, pada rumput yang sedikit basah.
“Apa ucapanku gak berkenan di hatimu?” Pita kembali memburunya dengan sebuah pertanyaan. Perlahan kepala Deri bergerak. Menggeleng. Diberanikan tubuhnya sedikit menghadap ke samping. Menatap Pita yang juga tengah menatapnya. Ada debar indah di hati Pita saat matanya bersirobok dengan tatapan Deri yang semakin menghujam ke dasar hatinya. Ingin rasanya Pita meredakan debar itu yang detik detik berikutnya semakin menggoyahkan jiwanya. Dia ingat Ninda. Tak lupa. Tapi….
“Pita…” suara Deri mulai bergetar. “Tapi aku gak butuh lagi Ninda…”
Jantung Pita berdetak. Dia pun tak menyangka akan keluar kalimat itu dari mulut Deri.
“Karena yang sekarang aku butuhkan… selalu dekat ama kamu, Pita,” kalimat terakhir Deri membuat perasaan berkecamuk dalam dada Pita. Dia terbelalak. Beberapa saat kemudian, Deri meraih jemari kiri Pita. “Maukah kamu jadi cewekku?”
Dari kejauhan, tampak seorang cewek sebaya Pita dengan antusias memerhatikan kedua insan yang duduk di kursi sebuah taman yang jarang pengunjungnya. Cewek itu Ninda. Untuk kedua kalinya dia mengucek mata sendunya. Penglihatanya tak salah. Lengan Deri yang melingkar manis di bahu Pita. Selanjutnya Ninda menyaksikan begitu cerianya Pita di samping cowok yang hingga detik ini masih bersemayam dalam ruang hati Ninda, meski kini cowok itu semakin menjauh, pergi bersama lukisan indah yang sebelumnya dipersembahkan hanya buat Ninda.
Cerpen Young Adult, Pergi Bersama Pelangi
Oleh, Komala Sutha
Pita harus ketemu cowok itu! Harus. Semua akan dia lakukan demi Ninda, sahabat tercintanya. Skenario sudah tersusun baik tinggal menjalankan peran yang sempurna. Pita menjentikkan dua ujung jari tangan kanannya.
Tak sampai sepuluh menit dia sudah berada di depan café dimana seseorang telah menunggunya dengan sabar. Hati-hati Pita melangkah ke dalam. Matanya berkeliaran mencari sosok yang belum pernah dilihatnya. Tapi dia yakin, Deri pasti menunggunya. Deri kan tak pernah ingkar janji, begitu menurut cerita Ninda. Ya, tak pernah ingkar janji, setidaknya sebelum hubungan Pita dan Deri berantakan.
Deheman kecil membuat Pita membalikkan tubuhnya. Matanya bersirobok dengan mata seorang… amboiii, tiba-tiba saja mata Pita tak berkedip menatap makhluk tampan yang tengah duduk santai. Tatapan mata cowok itu sangat bersahabat. Sebuah senyuman disuguhkan pada Pita membuat cewek yang lagi berstatus jomblo ini sedikit salah tingkah.
Setelah dipersilakan duduk, dua gelas softdrink diantarkan pelayan. Alunan musik jazz menghanyutkan perasaan Pita dan nyaris lupa akan misinya. Woi.m. bukankah Pita datang ke café ini demi Ninda, demi membuat Deri kembali pada Ninda? Bukannya terlena dengan alunan jazz yang juga dampak dari sosok Deri yang sangat memikat.
Meski Deri sudah jadi pacar Ninda selama tiga bulan, Pita belum pernah sekali pun bertemu Deri. Kebetulan cowok itu bersekolah di SMU yang berbeda dengan Pita dan Ninda. Dan karena berbagai alasan, Ninda pun belum sempat memperkenalkan cowok terkasihnya pada Pita. Memang Pita pernah melihat foto Deri di wallpaper ponsel Ninda, tapi tak begitu jelas dan dia tak menyangka Deri jauh lebih tampan dan menarik dalam dunia nyatanya.
“Minum, dong…” Deri membuka percakapan, mencoba mencairkan kebekuan di antara mereka. Dia juga heran, Ninda sering kirim sms dan gaya penuturannya asik banget, tapi saat ketemu malah diam seribu bahasa. Pertemuan di café ini, Ninda yang merencanakan dan Deri yang mulai menyukai Ninda tak bisa menolak. Apa salahnya mengabulkan keinginan Pita toh saat ini Deri merasa tak terikat dengan cewek manapun. Dia tak merasa punya pacar jadi tak akan ada yang cemburu. Lagipula, Pita cukup cantik dan tak malu-maluin jika teman-teman sekolahnya memergoki mereka jalan berdua.
Besoknya, pas sekolah mau bubaran, Pita bersenandung kecil. Ninda menatapnya heran.
“Lagi jatuh cinta ya, Pit?”
Pita tersenyum. Dicubitnya dengan gemas pipi Ninda yang mulus tak berjerawat. “Aku mau ketemuan sama yayangmu!”
Ninda menelan ludah. Tangannya memasukkan buku-buku di atas meja ke dalam tas coklatnya. Pikirannya melayang pada Deri, cowok yang sampai hari itu masih tetap bersemayam dalam ruang hatinya. Tapi hatinya mendesah resah ingat sampai hari ini juga tak ada kejelasan hubungan mereka. Ngambang. Putus gak, jalan pun gak. Ingin sebenarnya Ninda minta ketegasan pada Deri tapi tak kuasa. Dia merasa malu dan takut dipermalukan oleh Deri walau kadang dia berpikir Deri tak mungkin mempermalukannya. Ah, Deri… desis Ninda dalam hati. Deri yang pernah datang bersama pelangi, lalu mempersembahkan lukisan berbagai warna indah itu padanya. Teramat indah bagi Ninda.
“Kamu gak suka dengan misiku?” Pita menyenggol lengan Ninda. Tinggal mereka berdua yang masih berada dalam ruang kelas. Semua temannya sudah berada di luar, sebagian sibuk di tempat parkir dengan kendaraannya masing-masing. “Ini kan buatmu…”
“Tapi aku gak yakin misimu berhasil, Pit…”
“Lom apa-apa udah ciut duluan. Tenang saja, akan aku lakuin semaksimal mungkin. Yu ah kasian Deri nunggu lama. Kamu gak dijemput sopirmu?”
Pita menggeleng lesu. Tiba-tiba resah kembali menggelayuti hatinya. Ini bukan saja karena Deri yang sudah menjauh tapi jadi tak enak hati melihat keceriaan di wajah Pita. Apa yang membuat Pita ceria karena akan ketemu Deri?
Beberapa saat perasaan Ninda dikerubuti berbagai prasangka. Sementara Pita sama sekali tak merasa riangnya karena akan berjumpa Deri, menyebabkan perasaan tak nyaman pada hati sahabatnya.
Tepat jam satu, Deri menyambut dengan seulas senyum manis di bibir melihat Pita setengah berlari kecil menghampirinya. Kali ini mereka tak bertemu di café, tapi di sebuah taman yang jarang pengunjungnya.
“Kamu gak pulang dulu ke rumahmu, Pit?” Deri mengamati pakaian putih abu-abu yang masih melekat di tubuh Pita yang tinggi dan langsing. Sementara Deri mengenakan pakaian bebas karena pulang dulu ke rumahnya yang tak jauh dari sekolahnya. Selain itu, dia tipe anak yang penurut pada orang tua. Jarang sekali main-main di luar jam sekolah dengan masih memakai baju seragam.
Pita menggeleng lalu duduk di kursi panjang di samping Deri yang tak henti meliriknya. Udara siang hari tak begitu panas ditambah sekarang mulai memasuki musim penghujan. Tapi untung hari ini tak ada mendung, apalagi hujan, meski hanya rintik-rintik, sehingga Deri mengabulkan permintaan Pita untuk bertemu di alam terbuka. Bukan di café atau tempat minum lainnya seperti sebelumnya. Ini pertemuan keempat mereka. Pertemuan yang selalu Pita yang minta dan Deri tak kuasa menolak. Lagipula tak banyak teman Deri. Dan dia pun nyaris tak punya teman dekat cewek kecuali beberapa waktu lalu saat dirinya dekat dengan seorang cewek manis. Ninda. Riskaninda Maharani nama lengkapnya. Sekarang dia tak tahu kabar cewek itu sejak perselisihan terakhir yang terjadi dua bulan lalu.
“Aku udah bikin brownies… buatmu nanti malam,” Ninda begitu riang saat tahu Deri mau datang ke rumahnya. Siapa sih ceweknya yang tak hepi diapelin cowoknya? Selama ini mereka cuma bertemu di siang hari saja. Di café, mall atau bioskop. Sebenarnya sih dari awal pacaran Ninda sangat ingin Deri berkunjung ke rumah di malam Minggu layaknya orang pacaran, tapi dengan berbagai alasan, Deri selalu menolak dan Ninda tak bisa memaksa. Walaubagaimanpuna pun dia sadar posisinya sebagai seorang gadis yang berusia belum genap tujuhbelas tahun.
“Kayanya aku gak jadi datang, Nin… Mamaku mendadak ngadain acara di rumah dengan teman-teman kuliahnya dulu,” Deri berhenti bicara dan menatap cewek di hadapannya. Wajah Ninda berubah, yang semula matanya penuh binar bahagia, jadi sendu.
“Trus?” Ninda memalingkan muka. Kecewa memenuhi ruang hatinya.
“Yaaa… aku harus bantu mamaku kan, lagian… anak Mama cuma satu, aku…” jelas Deri. “Trus Bi Iis pembantuku lagi gak enak badan, masa Mama harus maksa dia kerja…”
“Tapi aku udah nyiapin brownies buatmu!” kata Ninda sedih. Dia ingin menangis tapi ditahannya. Sementara menurut Ninda, Deri tak ada reaksi dengan kekecewaan yang harus ditelan Ninda. Deri lebih memilih membantu mamanya dan membatalkan rencananya untuk datang ke rumah Ninda. Padahal Ninda bukan hanya mempersiapkan brownies dan minuman enak lainnya, Ninda juga sudah janji pada kedua sepupunya, yang sok pamer punya pacar tampan dan keren, kalau Ninda akan memperkenalkan Deri pada mereka. Kebetulan malam minggu itu kedua sepupunya berencana menginap di rumah Ninda. Lalu tiba-tiba Deri membatalkan secara sepihak, bagaimana Ninda tak sakit hati?
“Tapi aku tetap gak bisa, Ninda… mengertilaahh…” tegas Deri bersikukuh. Dihelanya napas sesaat dan kembali dipandangnya wajah Ninda yang kusut.
“Bukankah kamu sendiri yang janji mau dating?” Ninda kembali mengingatkan.
“Ya aku tau…”
“Jangan-jangan sejak awal… kamu emang gak ada niat mau dateng... dan kamu pernah bilang gitu cuma mau ngebohongin aku saja... iya kan?” Ninda menatap Deri dengan tajam. Dadanya mulai mendidih.
“Tega sekali kamu nuduh aku gitu!” seru Deri sedikit keras. Dia kaget dan merasa tersinggung dengan tudingan Ninda. “Kenapa kamu gak mau ngerti? Temen-temenku yang lain juga kalo aku batalin janji ama mereka… mereka mau ngerti. Tapi kamu…”
Tanpa menunggu Deri melenjutkan kalimat-kalimatnya yang juga mulai terasa menusuk di hati, Ninda segera berlalu dari hadapan Deri tak menghiraukan teriakan cowok itu yang memanggil namanya berkali-kali.
Sejak saat itu, Deri tak pernah bertemu lagi dengan Ninda. Perlahan dia pun mulai menghapus nama Ninda yang sebelumnya sempat terukir di relung sanubarinya yang paling dalam.
“Kamu ngelamun,” Pita menyentuh lengan kiri Deri yang berjaket coklat tua.
Deri menelan ludah. Dia lalu menggeleng. “Oh, gak ko, Pit… hm, kamu udah makan? Kita cari makan yu?”
Pita menggeleng. “Aku gak laper, Der… tadi waktu istirahat di sekolah udah makan nasi goreng sama…”
“Sama siapa?”
Pita tersenyum dikulum. Hampir dia keceplosan bicara. Sampai hari ini Deri tak tahu kalau Pita satu sekolah bahkan sekelas dengan Ninda. Deri bahkan tak tahu kalau Pita itu sahabat Ninda dan misinya mendekati Deri itu untuk membuat Deri kembali pada Ninda yang masih sangat menyayanginya.
“Hehe… sama sahabatku,” Pita terkekeh. Cukup sampai hari ini saja Deri tak tahu dengan misinya. Tampaknya Deri memang tak curiga. Sejak awal datang telepon dari Pita yang pura-pura salah sambung, Deri tak curiga. Diladeninya pesan singkat yang sering muncul di waktu luangnya. Bagi Deri tak ada salahnya sering komunikasi dengan Pita karena tanpa disadari, semakin dia dekat dengan Pita, semakin dia bisa melupakan Ninda. Sementara bagi Pita, ya… iya harus tetap menjalankan misi ini hingga selesai dan berhasil menjembatani kembali hubungan Deri dengan Ninda yang sudah berantakan. Dia ingin melihat kembali senyum Ninda yang sekarang sering tak hadir sejak Deri tak lagi memberikan hari-hari manisnya. Pita ingin Ninda bahagia. Bahagia dengan cowok yang dikasihinya. Dengan Deri, meski tak bisa dipungkiri, sejak dirinya kenal dengan Deri, sejak saat itu pula benih-benih cinta mulai tumbuh. Tapi dia tak akan membiarkan benih itu terus berkembang. Dia harus membasminya. “Der… sebenarnya ada yang mau aku sampein…”
Deri melirik sepintas wajah Pita yang berubah serius. “Apa?”
“Jangan marah ya…” kata Pita hati-hati. “Aku mau kamu kembali ama sahabatku. Aku mewakili dia… maafin kesalahannya yang mungkin jadi penyebab kamu ninggalin dia.”
Deri tersentak. Tapi tak ada kalimat yang keluar dari bibirnya. Beberapa menit kemudian, dihelanya napas dalam-dalam. Di pelupuk matanya melintas wajah Ninda. Wajah Ninda yang kusut dan penuh kekesalan ketika terakhir mereka bertemu. Bersamaan dengan rasa cinta di hati Deri yang kemudian berangsur berkurang. Berkurang, hilang dan akhirnya sirna.
“Der… dia masih mengharapkan kamu. Aku ngerti kalo kamu masih marah dengan sikap dia waktu itu, tapi pahamilah, “ Pita berhenti sejenak dan mengamati wajah Deri yang berubah murung. “Dia kecewa waktu itu.”
Deri masih tak bersuara. Tatapannya menunduk ke bawah, pada rumput yang sedikit basah.
“Apa ucapanku gak berkenan di hatimu?” Pita kembali memburunya dengan sebuah pertanyaan. Perlahan kepala Deri bergerak. Menggeleng. Diberanikan tubuhnya sedikit menghadap ke samping. Menatap Pita yang juga tengah menatapnya. Ada debar indah di hati Pita saat matanya bersirobok dengan tatapan Deri yang semakin menghujam ke dasar hatinya. Ingin rasanya Pita meredakan debar itu yang detik detik berikutnya semakin menggoyahkan jiwanya. Dia ingat Ninda. Tak lupa. Tapi….
“Pita…” suara Deri mulai bergetar. “Tapi aku gak butuh lagi Ninda…”
Jantung Pita berdetak. Dia pun tak menyangka akan keluar kalimat itu dari mulut Deri.
“Karena yang sekarang aku butuhkan… selalu dekat ama kamu, Pita,” kalimat terakhir Deri membuat perasaan berkecamuk dalam dada Pita. Dia terbelalak. Beberapa saat kemudian, Deri meraih jemari kiri Pita. “Maukah kamu jadi cewekku?”
Dari kejauhan, tampak seorang cewek sebaya Pita dengan antusias memerhatikan kedua insan yang duduk di kursi sebuah taman yang jarang pengunjungnya. Cewek itu Ninda. Untuk kedua kalinya dia mengucek mata sendunya. Penglihatanya tak salah. Lengan Deri yang melingkar manis di bahu Pita. Selanjutnya Ninda menyaksikan begitu cerianya Pita di samping cowok yang hingga detik ini masih bersemayam dalam ruang hati Ninda, meski kini cowok itu semakin menjauh, pergi bersama lukisan indah yang sebelumnya dipersembahkan hanya buat Ninda.
The End
***
Indeks Link Peserta Event Menulis Cerpen Young Adult Romance
Bandung Barat, Desember 2020
Komala Sutha yang lahir di Bandung, 12 Juli 1974, menulis dalam bahasa Sunda, Jawa dan Indonesia. Tulisannya dimuat dalam koran dan majalah di antaranya Pikiran Rakyat, Tribun Jabar, Jawa Pos, Kompas.id, Republika, Kedaulatan Rakyat, Solopos, MingguPagi, Harian Rakyat Sultra, Harian Fajar, Merapi, Denpasar Post, Lampung Post, Padang Ekspres, Harian Fajar, Malang Post, Bangka Post, Analisa, Medan Post, Kabar Cirebon, Tanjungpinang Post, Radar Bromo, Diksi Jombang, Radar Jombang.
Bandung Barat, Desember 2020
Komala Sutha yang lahir di Bandung, 12 Juli 1974, menulis dalam bahasa Sunda, Jawa dan Indonesia. Tulisannya dimuat dalam koran dan majalah di antaranya Pikiran Rakyat, Tribun Jabar, Jawa Pos, Kompas.id, Republika, Kedaulatan Rakyat, Solopos, MingguPagi, Harian Rakyat Sultra, Harian Fajar, Merapi, Denpasar Post, Lampung Post, Padang Ekspres, Harian Fajar, Malang Post, Bangka Post, Analisa, Medan Post, Kabar Cirebon, Tanjungpinang Post, Radar Bromo, Diksi Jombang, Radar Jombang.
Karebaindonesia, Ayobandung. Com, Veasna, Tribun Kaltim, Radar Tasik, Kabar Priangan, Galura, Target, Femina, Hadila, Potret, Veasna, majalahAnak Cerdas, Mayara, SundaUrang, WartaSunda, Beat Chord Music, Manglé, SundaMidang, Djaka Lodang, Mutiara Banten, Kandaga, Cakra Bangsa, Metrans, Buletin Selasa, Redaksi Jabar Publisher, Utusan Borneo dan New Sabah Times. Buku tunggalnya, novel “Separuh Sukmaku Tertinggal di Halmahera” (MujahidPress, 2018) dan kumpulan cerpen “Cinta yang Terbelah” (Mecca Publishing, 2018).
Akun fb. Sariak Layung (Komala Sutha)
IG. komala_sutha
Akun fb. Sariak Layung (Komala Sutha)
IG. komala_sutha

Post a Comment for "Pergi Bersama Pelangi, Cerita Cinta Pertama Remaja "
Disclaimer: Semua isi konten baik, teks, gambar dan vidio adalah tanggung jawab author sepenuhnya dan jika ada pihak-pihak yang merasa keberatan/dirugikan silahkan hubungi admin pada disclaimer untuk kami hapus.