Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Senandung Rinai, Young Adult Romance

Event Menulis Cerpen Young Adult Romance 



Cerpen Romantis - Senandung Rinai, Cerita Cinta Pertama yang Bikin Baper 


Semilir angin bagaikan ilusi tak bertepi, mengiringi jiwa menyenandungkan lirik kehidupan, membuai hasrat menanti sang kekasih tiba.


Malam ini pula nyanyian jangkrik bagaikan musik indah menyentuh gendang telinga, membisikkan kerinduan sangat dalam pada pria yang telah berhasil membuat hidupku berwarna bak pelangi. Membuat tidurku tak lelap.


"Ay ... Ayla ...!"


Reflek, aku menoleh ke arah pemilik suara yang memanggil namaku tadi. Suara itu sudah tak asing lagi di telingaku. Suara Prima, cowok yang akhir-akhir ini telah berhasil mempourak-porandakan kehidupanku.


"Ada apa, Pri?" tanyaku kemudian. Berusaha bersikap setenang mungkin.Prima tampak sedikit grogi. Sepertinya dia menyembunyikan sesuatu.




"Ntar, pulangnya barengan, ya, Ay!" ucapnya lirih, sedikit ragu.


Biasanya sih, kalau lagi tak ada pelajaran tambahan atau ekstra kurikuler, kami pasti pulangnya bersama. Soalnya rumah kami satu arah.


Namun, akhir-akhir ini, aku mencoba untuk menghindar. Perhatian Prima sudah mulai mengkhawatirkan. Tidak seperti dulu. Tatapannya pun mulai berubah. Aku jadi cemas sendiri, dan sering merasa salah tingkah jika berhadapan dengannya.


Lagi-lagi, aku bersikap sedikit kikuk saat berhadapan dengan cowok ini. Mudah grogi. Serba salah. Debaran jantung ini pun berbunyi sangat kencang, tidak beraturan, seakan mampu mengalahkan bunyi deburan ombak yang memcah pantai.


"Boleh, Pri. Lagi pula, aku lagi malas naik angkot, hari ini." jawabku akhirnya.


Prima tersenyum lebar. Terlihat dari matanya kilatan bahagia. Dan, getaran itu kembali hadir. Aku menarik napas panjang mengusir debaran yang membuatku tak mampu bergerak.


"Yok, Aku duluan, Ay. Sampai ketemu di gerbang, ntar siang!"


Aku hanya tersenyum, melambai, dan berjalan menuju kelas. Aku dan Prima memang tidak satu kelas, karena pada saat penjurusan ternyata minat kami berbeda.


Selama pelajaran, jantungku kembali berdebar kencang. Tidak konsentrasi menerima pelajaran. Berulang kali, kulayangkan pandangan ke luar jendela, mencoba meredakan amukan getaran yang terus-menerus melanda.


Menjelang lonceng pulang berbunyi, kembali jantung berdetak kencang lagi. Ada perasaan yang tidak kumengerti hadir begitu saja. Padahal Prima, adalah cowok yang sudah kukenal dari sejak kanak-kanak.


"Sorry, Pri. Telat dikit. Tadi, aku piket dulu," ujarku sesaat menyambanginya di pintu gerbang. Prima lebih senang menungguku di gerbang. Biar bisa langsung pulang. Itu alasannya.


"Nggak apa-apa!" jawabnya, tersenyum manis. "Ayo, berangkat sekarang. Tapi, sebelumnya Kita mampir di warung bakso dulu, ya! Perutku udah keroncongan, nih," lanjutnya.


Gantian aku yang tersenyum. Sudah hapal dengan kebiasaan sahabatku ini.


Prima melajukan kendaraan roda dua matiknya dengan tenang di tengah lalulintas yang tidak terlalu ramai. Berkali-kali dia memandangku dari kaca spion. Tatapan yang membuat jantungku berirama disko.



"Ay, kok masih senang ngejomblo, sih. Nggak bosan apa, nggak ada cowok yang ngajak kencan malam minggu?"


"Kan ada kamu, Pri. Sahabat yang selalu setia nemenin," sahutku cepat. Takut, dia mengetahui kegugupanku.


Prima sedikit mempercepat laju kuda besi yang sedang kami kendarai. Reflek aku memegang pingang Prima. Ada getar aneh yang lagi-lagi hadir.


"Ayolah, Ay ...," bujuknya lagi.


"Dasar cowok aneh. Ngapain juga ngajak jadian. Nggak lihat apa, banyak cewek-cewek di sekolah yang antri ingin jadi pacarmu!"


Prima tertawa keras mendengar ucapanku yang berusaha menolaknya secara halus. Aku jadi jengah. Sepertinya dia tahu kalau aku hanya berusaha mengelak.


"Bener, nggak mau jadi kekasihku?"


Aku merasa semakin gelisah. Apalagi setelah melihat wajahku telah memerah, seperti kepeting rebus dari balik spion. Bebar-benar malu. Prima begitu pandai menilai tingkahku yang terus-terusan salah tingkah.


"Pri, hujan. Berteduh dulu, yuk!" Bukannya menjawab, aku malah menyuruhnya untuk menepi. Hujan sudah mulai turun.




Prima masih terus memacu sepeda motor matiknya mencari tempat berteduh secepat mungkin. Sementara curah hujan kian deras dan mulai membasahi pakaian kami.


Melihat sebuah pohon Akasia, Prima menepi dan menaruh sepeda roda duanya itu di samping pohon. Aku dan Prima bisa berteduh untuk beberapa saat sampai menunggu hujan reda.


Baru saja merasa sedikit tenang, bisa mengalihkan perhatian Prima karena hujan. Ternyata, cowok itu malah makin gigih membujukku.


"Ay, serius nih. Aku udah capek sahabatan terus. Mau ya jadi kekasihku!"


Aku terbelalak mendengar bujukannya. Memang benar-benar keras kepala Prima. Kalau udah punya keinginan, nggak mau surut sedikit pun.


"Nggak bosan apa, Pri, ngebujukin terus!"


Cowok itu menggeleng. Hujan semakin lebat. Aku pun mengalihkan pandangan ke arah jalan yang basah. Debar itu terasa makin lama semakin kencang.


"Ay, beneran kamu nggak mau jadi kekasihku?"


Aku semakin bertambah bingung. Ingin menerima ajakannya, takut digodain teman-teman yang lain. Kalau ditolak, hati kecilku mengatakan akan kehilangan kesempatan untuk menjadi kekasih Prima.


Setelah mengambil napas panjang, mata kupejamkan perlahan, menenangkan gejolak perasaan yang terus menggelora. Satu keputusan harus diambil saat ini. Apa tetap menjadi sahabat Prima atau menerima ajakannya menjadi sepasang kekasih.

"Pri, kamu serius mau menjalin hubungan denganku?"

"Seratus persen serius, Ay. Kita udahan jadi sahabat, ya. Nggak ada salahnya kita mencoba menjadi sepasang kekasih!"


Aku tak bergeming. Bingung. Getar aneh itu kini terus muncul dan kian memporakporandakkan perasaanku. Sementara tetes hujan terus turun dan kian deras. Tetesnya mulai membasahi wajahku.


Gejolak mudaku sepertinya telah memenangkan pertarungan dalam dada. Memilih menjadi seorang yang spesial, bukan hanya sebagai sahabat.


"Ya, Aku mau Pri. Tapi, pacarannya yang sehat aja, ya. Kalau berani macam-macam, awas lho!"


Prima tertawa lepas ketika mendengar ucapanku. Tawa yang sempat menghilang beberapa waktu. Wajahnya pun sudah lebih tenang. Entah ke mana menghilang wajah risaunya yang dari tadi diperlihatkan.


"Siapa juga yang berani macam-macam, Ay. Kan kamu punya bodiguard andalan!"


Kali ini aku yang tertawa lepas. Yang dimaksud Prima dengan bodiguard itu pasti kak Alif. Kakak laki-lakiku yang berbeda usia sekitar 3 tahun.


Dulu, sewaktu masih kanak-kanak, kak Alif lah yang selalu melindungiku dari keusilan Prima. Cowok ini memang terkenal badung dulu. Suka menjahili dan membuat anak-anak perempuan menangis. Nah, akhirnya dia kena batunya juga. Dikalahkan kak Alif saat mencoba menggangguku.


"Pri, masih ingat nggak, dulu, kamukan pernah dipukul kak Alif?"


Prima mengangguk. Aku yakin, dia pasti masih mengingatnya. Itu adalah titik awal persahabatan kami.


"Ya, masih ingatlah, Ay. Pukulan kak Alif sangat telak mengenai wajahku!"


"Kamu, sih. Badung amat waktu itu. Jelaslah dipukul ama kak Alif."


Prima tertawa, lebih keras dari tadi. Lalu melemparkan senyum. Dia selalu mengatakan sangat bersyukur kak Alif bisa menghentikan kenakalan masa kecilnya dan membuatku menjadi sahabatnya.


"Iya, Ay. Sampai kapan pun Aku akan ingat peristiwa itu. Aku juga udah janji dengan diri sendiri, tak akan menyakiti dan membuatmu menangis lagi!"


Kembali aku bisa merasakan wajahku bersemu. Memang dasar si Prima ini. Dia paling bisa melelehkan hatiku.


Gombal .... Paling juga besok udah kambuh lagi jahilnya!" Aku berusaha menutupi perasaanku.


"Apa perlu aku membuat prasasti, Ay?" tanyanya serius.


"Prasasti apaan, sih? Emang kita ada di jaman batu apa?" Tawa Prima terdengar lagi.

"Prasasti yang berisi janji suci kita!"

Aku mencubit pinggangnya. Gemas. Prima memang cowok romantis sekaligus humoris. Dia tidak akan kehabisan kata-kata untuk membuatku tersenyum dan tertawa.


"Pri, hujan udah mulai berhenti. Kita pulang,yuk!"

Aku menunjuk ke arah langit yabg mulai terang. Memang masih ada gerimis tapi bisa dilalui.


"Sebentar lagi, Ay. Tunggu hujannya benar-benar berhenti!" saran Prima.

"Perutku udah keroncongan nih, Pri. Tadi, katamu mau traktir makan bakso!" sungutku sembari menepis sisa-sisa rinai yang masih mengenai kepala.


Cowok itu tersenyum manis. Sahabat yang akhirnya kini menjadi kekasihku itu memandangku teduh.


Pria yang telah menemaniku melewati masa indah dan menjadi tempatku berbagi suka dan duka. Ah, cinta memang telah menyambangi sedari dulu, tanpa kami sadari.

"Ayo, Ay, hujan udah berhenti. Kita jalan lagi."


Aku mengangguk, mengiyakan. Perutku sudah mulai keroncongan. Apalagi cuaca sedang dingin, sehabis hujan, semakin menambah lapar.


"Ayuk, pri. Tawaran makan bakso masih berlaku kan?"

Prima lagi-lagi tertawa. Aku tersenyum malu. Dalam keadaan seperti, biasanya dia akan mulai menggodaku.

Namun, kali ini kelihatannya tidak. Cowok itu hanya melepas senyumnya yang menawan saja.


"Masih, Ay. Kalo lapar, khusus hari ini, kamu boleh pesan dua mangkuk!"


Aku hanya tersenyum mendengar ucapan Prima. Dasar. Ternyata dia masih saja menggodaku.


"Bener, ya. Kalau bohong, ntar hidungnya panjang kayak Pinokio!"


Prima tertawa lagi. Aku juga ikut tertawa. Lega rasanya. Ternyata mengakui perasaan bukanlah satu kejahatan yang harus dihukum. Mungkin lebih baik berterus terang dari pada terus-terusan menahannya dalam hati.



Aku dan Prima pun berlalu meninggalkan pohon Akasia yang menjadi saksi awal kebersamaan kami menjadi sepasang sahabat sekaligus kekasih. Rinai sore ini telah ikut menjadi saksi dimulainya kisah baru kami dalam melangkah. Akan mengguratkan banyak jejak menyusuri indahnya masa remaja.


Senandung rinai terindah yang pernah hadir dalam hidupku. Nyanyian penuh harmonisasi indah antara perasaan kasihku dan Prima yang akan tedus membiak, mengisi bilangan hari.


Biarlah saat ini segenap rasa berpadu seiring takdir yang menggiring. Jika suatu saat goresan nasib tak berpihak, deretan cerita yang terjalin akan menjadi kenangan yang selalu tersimpan dalam kalbu. Tersemat sebagai lembaran kisah yang akan hidup dan mengakar dalam jiwa.


The end.

Daftar Isi Cerpen Romantis 


Crp, Aprl 2021



Author, Sri Uliyati 

Bio penulis
Seorang penulis biasa yang suka menulis dan mencurahkan seluruh rasa melalui rangkaian aksara. Mencoba memberikan sebuah karya yang bisa dinikmati siapa saja.

3 comments for "Senandung Rinai, Young Adult Romance "