Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Musim Kemarau, Bagian 10, Cinta Terlarang Ini Dosa Siapa?

Baca Novel Online Cinta Terlarang yang Bikin Baper 




Musim Kemarau Berkepanjangan 



Pernikahan Eva baru seumur jagung sudah di ujung tanduk. Sebagai istri yang di tinggal pergi suami untuk beberapa waktu sering mendapatkan tatapan miring dari orang-orang sekitar. Anggapan seperti itu tentu tidak membuat hatinya goyah.

Sekiranya benar kata orang bahwa jika ada surga itu adalah pernikahan maka jika ada neraka adalah pernikahan yang di dalamnya di isi pertengkaran dan pertentangan. Seperti mengarungi bahtera impian, kini badai datang menghantam bertubi-tubi. Cinta pun di uji dan musim kemarau berkepanjangan.



Apapun ujian itu cinta Eva masih kuat bersemi meski sering ditinggal sendiri. Suami pulang terkadang tiga bulan sekali, enam bulan sekali dan di rumah hanya sehari dua hari paling lama seminggu.

Punya suami seperti tidak punya suami. Menyakitkan.

"Gak bisa lebih lama di rumah, Mas?"


Eva mengambek, Kota Kudus terasa panas malam itu. Belum genap setahun pernikahan, ia masih melekat kedahsyatan pengantin baru.


"Sebenarnya aku juga ingin lebih lama di rumah. Kamu tau sendiri pekerjaan menuntutku, Dek Va"

Urya tersenyum, mencoba merayu bidadarinya.


"Mas lebih cinta dengan pekerjaan atau aku?"


"Ya kamu lah sayang. Aku mohon berikan Mas waktu sampai kita punya usaha sendiri. Tidak harus ikut perusahaan lagi."


"Sampai kapan itu, Mas. Sampai mati?" Eva merajuk bibirnya bisa dikucir.


Apalah sebuah pernikahan jika tidak bersama. Istri itu bukan lukisan yang hanya dilihat keindahannya saja. Istri juga butuh cinta kasih sayang dan perhatian bukan sekedar di cukupi materi saja.

Eva paham Urya mencari nafkah untuk keluarga, hanya sering membiarkannya menjadi sawah kering tidak diairi, itu gersang. Hati Eva selalu iri saat melihat orang-orang bersama keluarganya. Jalan-jalan setiap sore atau setidaknya sabtu malam minggu.

"Sayang ada hadiah untukmu."


Urya memberikan sebuah kalung emas yang cantik untuk meluluhkan hati istrinya.

"Aku gak butuh hadiah itu, Mas!"

"Iya Mas tau ...." Ia langsung memboyongnya menuju kamar dengan tatapan bergetar.

Setiba dalam kamar bernuansa terang, perlahan Urya meletakkan Eva di atas ranjang. Ia nampak gugup saat bibirnya mendekat. Segera membuang muka jengkel.

Urya masih mematung menatapnya dengan tubuh menjulang, senyuman manisnya nampak saat Eva menekuri jari-jemarinya yang putih tanpa polesan warna. Ia melipat kaki untuk sejajar denganya, menjulurkan kepala mencari wajah Eva yang bersembunyi dibalik bantal.







Tidak menyerah, jemari Urya membelai lengannya yang putih hingga memaksa sesekali tubuh wanita itu bergidik.


Perlahan Urya mencondongkan tubuh untuk pagutan terdalam. Tidak mampu menolak, kedua bola mata Eva merem-melek saat kedua lidah tanpa tulang itu menari-nari tidak terkendali, intim lagi dalam.

Remasan manja Urya membuatnya meronta dalam dekapan. Pejantan tangguh itu semakin bersemangat membangkitkan semangat hingga tubuh Eva melengkung mendamba sentuhan hawa surgawi yang memabukkan.

Entah sejak kapan, tanpa sadar Eva seperti bayi yang baru lahir, rajutan benang berterbangan.

Urya mengangkat Eva untuk berada ke tengah ranjang dan mengungkungnya. Terlihat jelas kilat api semangat membara di matanya. Eva tetap fokus saat Urya mempersiapkan perjalanan melintasi sembilan samudra asmara.

Sesekali Eva menelan jelijih sendiri saat menapung kebanggaan Urya yang membuat tubuhnya mengigil gemetar, apalagi saat bertubi-tubi menghunjam dengan gempa sekala likter terpusat pada inti hingga akhirnya tiba pada puncak Himalaya surga dunia.

Tiga bulan sawah yang kering telah diairi. Padi-padi yang layu kini segar kembali penuh cinta dan semangat.

Semarah apapun istri jika sudah di atas ranjang pasti takluk. Entah karena para lelaki itu pandai merayu atau memang para wanita yang bodoh.

Urya selalu tau kelemahannya. Semarah apa pun Eva selalu dibuatnya takluk, rasanya sangat tidak dapat dipikirkan hanya bisa dirasakan.


Menyambut Pagi Berderap



Secangkir kopi hangat dengan gula secukupnya, tidak manis juga tidak pahit, Eva siapkan di atas meja makan. Pagi yang cerah secerah hatinya yang sudah tidak layu kering perpanjangan. Mereka habis mandi subuh tadi, tentu pagi ini sudah segar-bugar.

Biasanya, selama Urya tidak di rumah, Eva lebih suka membeli lauk-pauk dan sayur siap saji. Hari itu sengaja ia memasak untuk yang sepesial. Walaupun sejujurnya memasak bukan keahlian yang Eva miliki. Mengandalkan chef Google sebagai gurunya, masakan istimewa itu pun siap saji.

"Semuanya sudah siap Mas. Silahkan sarapan pagi."

"Wah, sepertinya enak nih. Tumben enggak mie lagi, Dek."

"Gak 'lah. Ini hasil karyaku sepesial buat Mas Urya."

"Iya kah? Eeemm masak sendiri tadi?"

"Iya" Eva tersenyum bangga karena akhirnya bisa memasak juga. Urya langsung menyantap makanan itu. Ayam goreng dan sambal bawang kesukaannya. Tidak lupa sayur kunci daun katu dan bayam.


Urya memakannya dengan lahap, saking senangnya Eva sampai lupa makan dan hanya memandangi wajah tampannya.

Jika Urya suka, pastilah enak masakan Eva Buktinya ia makan dengan lahap, setidaknya bisa menambah vitamin dan nutrisi yang habis terkuras semalam.


"Enak, Mas?"

"Enak sekali. Kamu hebat, ternyata pintar masak juga ya."

"Ya iyalah. Istri siapa dulu?"

Ia hanya tersenyum lalu memberi uang jatah belanja. Padahal kemarin baru memberinya uang, ini ngasih lagi ada apa ya? Tanpa curiga Eva dalam hati.

"Ini uang buat beli garam, Dek!"

"Garamnya masih banyak kok Mas!"

Lagi-lagi ia hanya tersenyum lalu keluar untuk menghisap rokok dan melanjutkan mengopinya. Eva sebenarnya sudah lapar, langsung makan begitu saja dan ....

"Asiiiiiin!!"

Pekik Eva setelah mencicipi makanan itu. Pantesan Urya memberinya uang untuk beli garam lagi.
Saking jengkelnya, muka Eva bisa dilipat-lipat. Urya yang terus tersenyum mengejek, Eva menggigit lengannya hingga memerah.

Sedikit Kurang Cerdas untuk Bahagia Membekas



Rasa jengkel tidak sampai disitu saja. Bahkan bertambah. Bagaimana tidak Urya baru sehari di rumah harus pergi lagi menyelesaikan proyeknya. Mau bagaimana lagi, jadi istri jarang dibelai sudah menjadi nasibnya. Mau marah tidak bisa marah, jengkel tidak bisa jengkel.

Menyebalkan.

Waktu terus berlalu dan hari-hari Eva jalani selalu sendiri walaupun sudah bersuami. Entah pernikahan macam apa itu? Eva terkadang terbesit dalam hatinya untuk mengakhiri semuanya. Tapi ....

Hatinya benar-benar diuji, saat Taufik memberikan pesan singkat bahwa ia masih menunggunya. Ia berkata, "Kutunggu jandamu biar janda aku mau."


Apa yang harus Eva lakukan? Mempertahankan pernikahan atau berantakan?

Jodoh itu unik, dikejar menjauh yang tanpa sengaja mendekat. Sedang diimpikan tidak kunjung di pernikahan.

Sementara tidak pernah dipikirkan di pelaminan. Apakah jodohnya dengan Urya harus berakhir? Eva sekali tidak menginginkannya.

Pikiran Eva terombang-ambing kembali. Apakah perasaan tentang mantan adalah ujian pernikahan atau tidak benar-benar mencintai suaminya?

Berkali-kali Taufik mengirimkan pesan, meyakinkan bahwa tidak masalah apapun kondisi dirinya. Hanya pesan itu tidak pernah Eva balas.


Apakah aku tidak mencintai suamiku? Jerit Eva dalam hati.


Sementara itu tidak lebih satu kilometer dari tempat Eva, seorang pemuda terlentang di atas dipan kosnya dengan mata nanar memandang plafon.


Taufik tidak tau lagi bagaimana mengatasi gejolak hatinya. Sebagai orang melayu di perantauan, pantang menerima sisa orang. Hanya saja Eva selalu muncul dalam mindanya.


Jika ada penyesalan dalam hidupnya adalah takut menyatakan cinta pada wanita dicintai. Keraguannya dulu bukan tanpa alasan. Ia menyeberangi lautan untuk kuliah di pulau jawa.

Ia hanya ingin fokus kuliah, tapi keraguan itu kini menghantui menjadi penyesalan.


Sisi lain Eva jarang dibelai suaminya apakah Eva masih bisa setia?



Next 


Daftar Isi Novel 


Selengkapnya  >>    INDEK LINK DISINI

Selamat membaca dan jangan lupa bahagia 

Post a Comment for "Musim Kemarau, Bagian 10, Cinta Terlarang Ini Dosa Siapa? "