Surya Cewana VS Niat Balas Dendam, Bagian 17, Cinta Terlarang Ini Dosa Siapa?
Baca Novel Online Cinta Terlarang yang Bikin Baper
Surya Cewana Pulau Dewata
Terbilang gadis hanya bersuami, apa jadinya? Demikian Alena, terpenjara oleh perbuatan bodoh, hanya untuk bahagia. Seperti cahaya surya menyapa dipagi hari, menyambut hangat dan beganti terik membakar saat menjadi siang.
Semenjak menikah dengan Urya, ia bahkan tidak meminta harta atau kekayaan. Apakah ingin menjadi istri yang resmi dan diakui oleh hukum negara itu salah? Jawab.
"Mungkin aku memang wanita terlalu bodoh mau dengan Kakak, mengorbankan segalanya."
Wanita dengan body Bunga Seroja Bergoyang melontarkan nada getir. Cahaya Surya memang menyapa membawa terang di kepala Alena. Sementara tubuhnya harus tabah menikmati panasnya terbakar waktu.
"Karena itulah Sayang, aku butuh dukunganmu. Beri Kakak waktu."
"Waktu? Sampai kapan Kak?"
"Sayang percayalah, aku mohon," rayu Urya dengan memeluk Alena, istri mudanya menolak mentah-mentah pelukan hangat itu.
Bukan Urya namanya jika tidak bisa meluluhkan hati wanita.
"Baik, ayo hari ini juga kita pulang ke jawa menemui keluargaku. Kamu sudah tau kan?Aku sudah terikat janji bahwa tidak akan menceraikan Eva kecuali dia meninggalkanku. Bahkan aku sengaja memberitahu hubungan kita denganya."
"Bener?"
"Iya Sayang. Gimana kita pulang hari ini?" Urya menantang
"Tidak Kak. Aku belum siap. Bagaimana nanti pandangan keluarmu denganku?"
"Nah 'kan! Adek udah tau jawabanya sendiri kenapa aku belum bisa mewujudkan impian kita untuk bersama," ucapnya dengan sebuah kecupan mendarat di kening wajah beraut membenam separuh laksana bulan sabit menyapa malam, Alena.
Tanpa terasa waktu berputar begitu cepat hingga senja telah menyapa di ujung langit. Keindahan alam di Pura Tanah Lot melunturkan segala kecamuk kepedihan yang ada. Semburat jingga merona memancar indah penuh pesona.
Angin laut membelai manja mengurapi dua insan yang sedang di mabuk asmara. Entah berkah surya cewana menyertai cinta mereka? Atau malah akan membakarnya hingga menjadi abu. Meski sinar surya menerangi alam semesta, tetap saja selalu ada yang gelap.
Gua dalam bumi, dibalik batu dan masih banyak tempat tersembunyi tidak mendapatkan sinar surya. Lalu apakah kegelapan itu kejahatan? Bagaimana dengan hewan kecil, jamur, bakteri dan lainya yang mereka hanya bisa hidup dalam kegelapan?
Tidak bisa dibantah bahwa sinar surya memberi kehidupan, namun tanpa kegelapan pun kehidupan tidak akan hidup. Jika Eva adalah cahaya maka Alena adalah kegelapan dalam cinta Urya. Di mana ada cahaya di situ ada kegelapan.
Demi semua hal yang disepakati, Alena 'pun mengerti. Ia harus sabar menanti, memperjuangkan apa yang dimiliki. Urya memilik Eva, Alena memiliki Urya, apa yang terjadi adalah sebagian hal perjuangan merengkuh kebahagiaan dari apa dinikmati nanti.
Di sebuah batu karang pesisir pantai Tanah Lot, Urya dan Alena berkasih manja dengan memandangi indahnya surga Pulau Dewata. Lalu bagaimana nasib Eva? Untuk sesaat sebentar lagi malam telah tiba.
"Adek menyesal bersamaku?" Urya dengan menghitung mesra pucuk-pucuk rambut Bunga Seroja itu yang hanya diam memandangi dalam pelukanya.
"Terlambat," ucap Alena lirih dengan mata berbinar entah sepertinya wanita kehilangan arah. Kosong berlubang hampa namun teduh. Entahlah tidak ada kata yang bisa merangkainya.
"Kok terlambat?"
"Iya mahkotaku sudah Kakak renggut! Aku dapat apa?" Suara Alena ririh, sesakan dada. Tanpa ia sadari, dalam pelukan Urya ternyata sebuah kalung berlian mengkilau melingkar dilehernya.
"Adek gak suka pemberian Kakak ya?"
"Pemberian apa?" Wanita dengan pinggang meliuk itu berbalik untuk terlepas dari pelukan Urya.
"Lihat dulu dilehermu!"
Entah sejak kapan kalung liontin permata indah itu ada dilehernya. Sontak hati Alena luluh saat mengetahui hadiah pemberian Lelanangeng Jagat.
"Ah ... Kak Urya jahat!" Alena dengan menggigit manja lengan Urya.
"Sakit, Dek," teriak Laki-laki pecinta wanita itu menarik lengannya.
"Katanya nikmat kalau di gigit. Kok sakit?''
"Gigit apa dulu, Dek?"
"Ni lihat. Leherku merah semua Kakak gigit tadi malam. Itu pembalasanku belum seberapa."
Tanah Lot masih ramai, matahari tinggi beranjak membumi, udara perlahan menghangat. Alena di atas pangkuan Urya langsung bercumbu-bermanja-mesra hingga malam tiba.
Perlahan riuh para pengunjung mulai sepi atau memang dari awal keduanya mencari tempat sepi dibalik bebatuan untuk privasi. Ciuman-pagutan terasa bagai kesenduan perpisahan. Alena terpejam, sebening tirta merangsek hangat tumpahi pipi, sementara lidahnya sibuk menari-beradu seolah tidak ingin melepaskan.
Kontak badan selama ini yang menjadi jalinan batin dan cinta apakah bisa menyatukan mereka menjadi suami-istri syah secara negara hingga tua-renta? Sementara ada Eva menjadi dinding pemisah sekaligus jurang yang kapan saja bisa membuat Alena jatuh terjerembab tidak berdaya memiliki Urya.
Apakah birahi fisik demikian Alena dan Urya perlukan untuk menata masa depan? Sebuah pertanyaan sulit! Di mana rumput bergoyang tidak mampu memberikan jawaban.
Api gairah mulai menyala. Alena seperti biasa dipangkuan Urya, membiarkan dua benteng bukit kembar pembungkus hatinya dipermainkan. Rasa nikmat seperti biasa mulai menjalar keseluruh tubuhnya. Apakah Alena akan selalu bisa merasakan lagi tarian-tarian jemari kesepian itu? Untuk seasat kebahagiaan memang untuk gelap malam berkuasa.
Apakah lelaki bermata elang itu akan melupakan kehangatan malam di Tanah Lot? Pikir Alena di tengah gelimang kenikmatan yang memenuhi benaknya. Meski bulan tidak bisa menghasilkan sinar sendiri namun cahaya pantulan dalam gelap justru indah walau hanya sesaat.
Terlihat pepohonan yang tinggi berjajar di luar jendela. Eva mencoba bangun dari posisi tidurnya, akan tetapi entah mengapa rasanya terasa berat. Sudah berapa jam matanya terpejam, rasa resah hatinya tidak juga menghilang. Kepala Eva rasanya berat dan pusing dengan berbagai pertanyaan yang mana tidak tau apa jawabanya.
"Halo! Halo!"
Terteiak Eva sekencang mungkin namun ternyata suaranya yang keluar kalah dengan desiran angin yang masuk melalui jendela. Bibir terasa kering dan Eva merasa sangat haus sekali.
"Tolong," ucapnya lirih dan entah dari mana Mama dari laki-laki pengkhianat masuk ke kamar
"Kapan Mama datang?"
"Tadi. Sengaja Mama tidak membangunkanmu. Ini minum dulu," ucapnya dengan memberikan segelas air putih. Karena memang sudah sangat haus Eva meminum air itu.
Meski seluruh air di lautan Eva minum tentu tidak akan pernah bisa menghilangkan keringnya jiwa yang sudah terlanjur gersang. Gersang oleh pengkhianatan cinta menyakitkan.
"Sudah kamu istirahat dulu , Va!" perintahnya.
Dalam hati Eva berkata ;
"Istirahat? Bagaimana aku bisa istirahat? Anakmu sudah menghancurkan hidupku?
Pertanyaan itu hanya tersimpan dalam-dalam di lubuk hati ini. Meski berusaha melupakan Mas Urya, kenyataanya? ...
Semakin melupankanya malah semakin teringat, semakin teringat semakin sakit hati ini. Kenapa aku masih hidup?
Kenapa Tuhan?
Aku tau ini sangat salah namun beban ini sungguh sangat menyiksa. Buat apa ada cinta jika hanya membuat luka?
Tentu saja aku bisa menikah dengan orang lain tanpa memperdulikan keluarga Urya.
Buata apa? Aku gak butuh harta. Kini hanya ada satu dalam hidupku yaitu membalas perlakuan tidak adil ini. Emang di dunia ini ada yang adil? Jawab
Membunuh Urya? Tidak itu terlalu mudah baginya. Aku tau dia sangat menginginkan anak jadi satu-satu cara balas dendam adalah aku harus punya anak dari Urya.
Setelah anak itu lahir aku akan membawanya dan meninggalkan laki-laki brengsek itu.
Dan Urya tidak akan pernah aku ijinkan untuk menyentuh anakku kelak. Aku bersumpah, apapun caranya aku harus biasa hamil. Tuhan jika Engkau tidak mengijinkan akan hal ini sebaiknya ambil saja nyawaku."
Remuk, dihancurkan secara perlahan Eva hanya mampu menyembunyikan sakit hatinya dalam senyuman.
"Iya Ma," balasnya lirih. Seketika Mama Urya
memeluk erat penuh kasih sayang terdalam. Akan tetapi kasih sayang itulah yang justru menyiksa hidupnya.
"Jangan pikirkan Urya. Yang penting kamu kembali sehat dulu. Mama akan menemani sampai kamu benar-benar pulih, Va."
Eva tersenyum dalam pelukanya. Biarlah diam menjadi jawaban akan kegelisahan hati. Lagi dan lagi bulir air mata tidak bisa terbendung dan melompat begitu saja membasahi pipinya sebelum akhirnya dihapus.
Buat apa menangisi seorang pengkhianat?
Semenjak hari itu Eva mulai bangkit dengan tertatih menahan sakit yang teramat perih meski dengan kenyataan seperti orang linglung. Tidak peduli orang berkata apa hanya ada satu tujuannya yaitu Balas Dendam.
Seperti halnya mentari bersinar terik membakar sesuatu yang kering saat siang hari tidak perlu bertanya pada bumi.
"Akan aku buat Urya merasakan sakit yang teramat perih nanti. Lebih sakit dari apa yang aku alami selama ini."
Eva bertekat balas dendam pada suaminya, lelaki playboy penjahat cinta.
Semenjak menikah dengan Urya, ia bahkan tidak meminta harta atau kekayaan. Apakah ingin menjadi istri yang resmi dan diakui oleh hukum negara itu salah? Jawab.
"Mungkin aku memang wanita terlalu bodoh mau dengan Kakak, mengorbankan segalanya."
Wanita dengan body Bunga Seroja Bergoyang melontarkan nada getir. Cahaya Surya memang menyapa membawa terang di kepala Alena. Sementara tubuhnya harus tabah menikmati panasnya terbakar waktu.
"Karena itulah Sayang, aku butuh dukunganmu. Beri Kakak waktu."
"Waktu? Sampai kapan Kak?"
"Sayang percayalah, aku mohon," rayu Urya dengan memeluk Alena, istri mudanya menolak mentah-mentah pelukan hangat itu.
Bukan Urya namanya jika tidak bisa meluluhkan hati wanita.
"Baik, ayo hari ini juga kita pulang ke jawa menemui keluargaku. Kamu sudah tau kan?Aku sudah terikat janji bahwa tidak akan menceraikan Eva kecuali dia meninggalkanku. Bahkan aku sengaja memberitahu hubungan kita denganya."
"Bener?"
"Iya Sayang. Gimana kita pulang hari ini?" Urya menantang
"Tidak Kak. Aku belum siap. Bagaimana nanti pandangan keluarmu denganku?"
"Nah 'kan! Adek udah tau jawabanya sendiri kenapa aku belum bisa mewujudkan impian kita untuk bersama," ucapnya dengan sebuah kecupan mendarat di kening wajah beraut membenam separuh laksana bulan sabit menyapa malam, Alena.
Tanpa terasa waktu berputar begitu cepat hingga senja telah menyapa di ujung langit. Keindahan alam di Pura Tanah Lot melunturkan segala kecamuk kepedihan yang ada. Semburat jingga merona memancar indah penuh pesona.
Angin laut membelai manja mengurapi dua insan yang sedang di mabuk asmara. Entah berkah surya cewana menyertai cinta mereka? Atau malah akan membakarnya hingga menjadi abu. Meski sinar surya menerangi alam semesta, tetap saja selalu ada yang gelap.
Gua dalam bumi, dibalik batu dan masih banyak tempat tersembunyi tidak mendapatkan sinar surya. Lalu apakah kegelapan itu kejahatan? Bagaimana dengan hewan kecil, jamur, bakteri dan lainya yang mereka hanya bisa hidup dalam kegelapan?
Tidak bisa dibantah bahwa sinar surya memberi kehidupan, namun tanpa kegelapan pun kehidupan tidak akan hidup. Jika Eva adalah cahaya maka Alena adalah kegelapan dalam cinta Urya. Di mana ada cahaya di situ ada kegelapan.
Demi semua hal yang disepakati, Alena 'pun mengerti. Ia harus sabar menanti, memperjuangkan apa yang dimiliki. Urya memilik Eva, Alena memiliki Urya, apa yang terjadi adalah sebagian hal perjuangan merengkuh kebahagiaan dari apa dinikmati nanti.
Di sebuah batu karang pesisir pantai Tanah Lot, Urya dan Alena berkasih manja dengan memandangi indahnya surga Pulau Dewata. Lalu bagaimana nasib Eva? Untuk sesaat sebentar lagi malam telah tiba.
"Adek menyesal bersamaku?" Urya dengan menghitung mesra pucuk-pucuk rambut Bunga Seroja itu yang hanya diam memandangi dalam pelukanya.
"Terlambat," ucap Alena lirih dengan mata berbinar entah sepertinya wanita kehilangan arah. Kosong berlubang hampa namun teduh. Entahlah tidak ada kata yang bisa merangkainya.
"Kok terlambat?"
"Iya mahkotaku sudah Kakak renggut! Aku dapat apa?" Suara Alena ririh, sesakan dada. Tanpa ia sadari, dalam pelukan Urya ternyata sebuah kalung berlian mengkilau melingkar dilehernya.
"Adek gak suka pemberian Kakak ya?"
"Pemberian apa?" Wanita dengan pinggang meliuk itu berbalik untuk terlepas dari pelukan Urya.
"Lihat dulu dilehermu!"
Entah sejak kapan kalung liontin permata indah itu ada dilehernya. Sontak hati Alena luluh saat mengetahui hadiah pemberian Lelanangeng Jagat.
"Ah ... Kak Urya jahat!" Alena dengan menggigit manja lengan Urya.
"Sakit, Dek," teriak Laki-laki pecinta wanita itu menarik lengannya.
"Katanya nikmat kalau di gigit. Kok sakit?''
"Gigit apa dulu, Dek?"
"Ni lihat. Leherku merah semua Kakak gigit tadi malam. Itu pembalasanku belum seberapa."
Tanah Lot masih ramai, matahari tinggi beranjak membumi, udara perlahan menghangat. Alena di atas pangkuan Urya langsung bercumbu-bermanja-mesra hingga malam tiba.
Perlahan riuh para pengunjung mulai sepi atau memang dari awal keduanya mencari tempat sepi dibalik bebatuan untuk privasi. Ciuman-pagutan terasa bagai kesenduan perpisahan. Alena terpejam, sebening tirta merangsek hangat tumpahi pipi, sementara lidahnya sibuk menari-beradu seolah tidak ingin melepaskan.
Kontak badan selama ini yang menjadi jalinan batin dan cinta apakah bisa menyatukan mereka menjadi suami-istri syah secara negara hingga tua-renta? Sementara ada Eva menjadi dinding pemisah sekaligus jurang yang kapan saja bisa membuat Alena jatuh terjerembab tidak berdaya memiliki Urya.
Apakah birahi fisik demikian Alena dan Urya perlukan untuk menata masa depan? Sebuah pertanyaan sulit! Di mana rumput bergoyang tidak mampu memberikan jawaban.
Api gairah mulai menyala. Alena seperti biasa dipangkuan Urya, membiarkan dua benteng bukit kembar pembungkus hatinya dipermainkan. Rasa nikmat seperti biasa mulai menjalar keseluruh tubuhnya. Apakah Alena akan selalu bisa merasakan lagi tarian-tarian jemari kesepian itu? Untuk seasat kebahagiaan memang untuk gelap malam berkuasa.
Apakah lelaki bermata elang itu akan melupakan kehangatan malam di Tanah Lot? Pikir Alena di tengah gelimang kenikmatan yang memenuhi benaknya. Meski bulan tidak bisa menghasilkan sinar sendiri namun cahaya pantulan dalam gelap justru indah walau hanya sesaat.
Eva Puspita Sari; Niat Balas Dendam
Terlihat pepohonan yang tinggi berjajar di luar jendela. Eva mencoba bangun dari posisi tidurnya, akan tetapi entah mengapa rasanya terasa berat. Sudah berapa jam matanya terpejam, rasa resah hatinya tidak juga menghilang. Kepala Eva rasanya berat dan pusing dengan berbagai pertanyaan yang mana tidak tau apa jawabanya.
"Halo! Halo!"
Terteiak Eva sekencang mungkin namun ternyata suaranya yang keluar kalah dengan desiran angin yang masuk melalui jendela. Bibir terasa kering dan Eva merasa sangat haus sekali.
"Tolong," ucapnya lirih dan entah dari mana Mama dari laki-laki pengkhianat masuk ke kamar
"Kapan Mama datang?"
"Tadi. Sengaja Mama tidak membangunkanmu. Ini minum dulu," ucapnya dengan memberikan segelas air putih. Karena memang sudah sangat haus Eva meminum air itu.
Meski seluruh air di lautan Eva minum tentu tidak akan pernah bisa menghilangkan keringnya jiwa yang sudah terlanjur gersang. Gersang oleh pengkhianatan cinta menyakitkan.
"Sudah kamu istirahat dulu , Va!" perintahnya.
Dalam hati Eva berkata ;
"Istirahat? Bagaimana aku bisa istirahat? Anakmu sudah menghancurkan hidupku?
Pertanyaan itu hanya tersimpan dalam-dalam di lubuk hati ini. Meski berusaha melupakan Mas Urya, kenyataanya? ...
Semakin melupankanya malah semakin teringat, semakin teringat semakin sakit hati ini. Kenapa aku masih hidup?
Kenapa Tuhan?
Aku tau ini sangat salah namun beban ini sungguh sangat menyiksa. Buat apa ada cinta jika hanya membuat luka?
Tentu saja aku bisa menikah dengan orang lain tanpa memperdulikan keluarga Urya.
Buata apa? Aku gak butuh harta. Kini hanya ada satu dalam hidupku yaitu membalas perlakuan tidak adil ini. Emang di dunia ini ada yang adil? Jawab
Membunuh Urya? Tidak itu terlalu mudah baginya. Aku tau dia sangat menginginkan anak jadi satu-satu cara balas dendam adalah aku harus punya anak dari Urya.
Setelah anak itu lahir aku akan membawanya dan meninggalkan laki-laki brengsek itu.
Dan Urya tidak akan pernah aku ijinkan untuk menyentuh anakku kelak. Aku bersumpah, apapun caranya aku harus biasa hamil. Tuhan jika Engkau tidak mengijinkan akan hal ini sebaiknya ambil saja nyawaku."
Remuk, dihancurkan secara perlahan Eva hanya mampu menyembunyikan sakit hatinya dalam senyuman.
"Iya Ma," balasnya lirih. Seketika Mama Urya
memeluk erat penuh kasih sayang terdalam. Akan tetapi kasih sayang itulah yang justru menyiksa hidupnya.
"Jangan pikirkan Urya. Yang penting kamu kembali sehat dulu. Mama akan menemani sampai kamu benar-benar pulih, Va."
Eva tersenyum dalam pelukanya. Biarlah diam menjadi jawaban akan kegelisahan hati. Lagi dan lagi bulir air mata tidak bisa terbendung dan melompat begitu saja membasahi pipinya sebelum akhirnya dihapus.
Buat apa menangisi seorang pengkhianat?
Semenjak hari itu Eva mulai bangkit dengan tertatih menahan sakit yang teramat perih meski dengan kenyataan seperti orang linglung. Tidak peduli orang berkata apa hanya ada satu tujuannya yaitu Balas Dendam.
Seperti halnya mentari bersinar terik membakar sesuatu yang kering saat siang hari tidak perlu bertanya pada bumi.
"Akan aku buat Urya merasakan sakit yang teramat perih nanti. Lebih sakit dari apa yang aku alami selama ini."
Eva bertekat balas dendam pada suaminya, lelaki playboy penjahat cinta.
Next
Daftar Isi Novel
Novel Cinta Terlarang INDEK LINK DISINI
Post a Comment for "Surya Cewana VS Niat Balas Dendam, Bagian 17, Cinta Terlarang Ini Dosa Siapa? "
Disclaimer: Semua isi konten baik, teks, gambar dan vidio adalah tanggung jawab author sepenuhnya dan jika ada pihak-pihak yang merasa keberatan/dirugikan silahkan hubungi admin pada disclaimer untuk kami hapus.