Sepanjang Kegelapan, Bagian 25, Cinta Terlarang Ini Dosa Siapa?
Baca Gratis Novel Online Cinta Terlarang Ini Dosa Siapa? Sepanjang Kegelapan, Episode 25
Terik mentari belum ada setengah jalan menuju sore, denting jarum jam menunjukan pukul empat belas lebih tiga puluh lima menit. Eva dengan gontai turun dari atas ranjang, beruntung otaknya ingat belum memakai rok. Ia tidur dengan baju kaos panjang yang cuma sanggup menutupi setengah badanya saja yang semelohai. Tergesa diraih rok dan dipakainya.
Apakah Urya? Tidak mungkin suaminya yang menelepon. Pasalnya baru satu jam Urya memberikan kabar cek in di bandara. Apakah sudah sampai di Kalimantan? Rasanya terlalu cepat, pikirnya. Sambil terhuyung bukan karena terlalu berat membawa dua bukit tersebab melandai-landai miliknya itu hanya sedang-sintal yang padat lagi berisi, Eva meraih gadget di atas meja kecil, sebelah kanan ranjang tempat tidurnya.
Masih sangat malas, sambil menguap untuk menghilangkan kabut dari matanya, Eva mengucap salam. Sengaja wanita berkulit putih itu membuat suaranya tidak jelas dan bernada malas. Biar yang menelepon mengerti, saat ini Eva tidak ingin diganggu. Tidak tau orang masih tepar? Gerutunya.
“Apa benar ini dengan Nyonya, Surya. Ini kami dari kepolisian,” suara ramah di seberang sana.
“Iya benar, Pak,” jawab Eva terkejut, ada apa polisi meneleponya. Dadanya bergetar, bertanya-tanya.
Beberapa saat percakapan via udara itu masih sangat ramah, Polisi memastikan bahwa Eva adalah benar istrinya Surya.
“Kami ingin menyampaikan kabar duka,” kata Polisi setelah beberapa saat, masih dengan nada kelembutan yang begitu luar biasa, bahkan kabar buruk disampaikan dengan cara terbaik.
“Iya, Pak. Saya sudah siap mendengarnya,” Eva gemetar, sudah tidak sabar ingin mendengar kabar yang membuat hatinya gusar. Apakah bencana menimpa keluarganya di jepara atau mama mertuanya atau siapa? Pikiran Eva meloncat-loncat semakin tidak terkendali.
“Pesawat yang ditumpangi suami Ibu mengalami kecelakaan dan sampai sekarang belum jelas diketahui keberadaanya ….”
Semendadak angin dunia seakan gelap gulita, kiyamat-tamat. Kedua kaki Eva sudah tidak sanggup lagi menopang tubuhnya. Ia terjatuh, membiarkan hpnya tergelatak di lantai begitu saja.
Novel Cinta Terlarang- Siapasih, berkali-kali menelepon? Tidak tau apa badan rasanya masih tepar-pegel-ngilu akibat menari melintasi Sembilan samudra asmara tadi malam. Gumam wanita sesatya ing embanan itu. Sedikit malas, gerutu Eva dalam hati, menggeliat dua kali, menguap bersungut-sungut.
Terik mentari belum ada setengah jalan menuju sore, denting jarum jam menunjukan pukul empat belas lebih tiga puluh lima menit. Eva dengan gontai turun dari atas ranjang, beruntung otaknya ingat belum memakai rok. Ia tidur dengan baju kaos panjang yang cuma sanggup menutupi setengah badanya saja yang semelohai. Tergesa diraih rok dan dipakainya.
Apakah Urya? Tidak mungkin suaminya yang menelepon. Pasalnya baru satu jam Urya memberikan kabar cek in di bandara. Apakah sudah sampai di Kalimantan? Rasanya terlalu cepat, pikirnya. Sambil terhuyung bukan karena terlalu berat membawa dua bukit tersebab melandai-landai miliknya itu hanya sedang-sintal yang padat lagi berisi, Eva meraih gadget di atas meja kecil, sebelah kanan ranjang tempat tidurnya.
Kabar Buruk yang Tak Dirindukan
Masih sangat malas, sambil menguap untuk menghilangkan kabut dari matanya, Eva mengucap salam. Sengaja wanita berkulit putih itu membuat suaranya tidak jelas dan bernada malas. Biar yang menelepon mengerti, saat ini Eva tidak ingin diganggu. Tidak tau orang masih tepar? Gerutunya.
“Apa benar ini dengan Nyonya, Surya. Ini kami dari kepolisian,” suara ramah di seberang sana.
“Iya benar, Pak,” jawab Eva terkejut, ada apa polisi meneleponya. Dadanya bergetar, bertanya-tanya.
Beberapa saat percakapan via udara itu masih sangat ramah, Polisi memastikan bahwa Eva adalah benar istrinya Surya.
“Kami ingin menyampaikan kabar duka,” kata Polisi setelah beberapa saat, masih dengan nada kelembutan yang begitu luar biasa, bahkan kabar buruk disampaikan dengan cara terbaik.
“Iya, Pak. Saya sudah siap mendengarnya,” Eva gemetar, sudah tidak sabar ingin mendengar kabar yang membuat hatinya gusar. Apakah bencana menimpa keluarganya di jepara atau mama mertuanya atau siapa? Pikiran Eva meloncat-loncat semakin tidak terkendali.
“Pesawat yang ditumpangi suami Ibu mengalami kecelakaan dan sampai sekarang belum jelas diketahui keberadaanya ….”
Semendadak angin dunia seakan gelap gulita, kiyamat-tamat. Kedua kaki Eva sudah tidak sanggup lagi menopang tubuhnya. Ia terjatuh, membiarkan hpnya tergelatak di lantai begitu saja.
Menunduk, meletakan kepalanya di tangan yang tersandar dikedua lututnya. Tangis Eva pecah, menjerit melengking dengan suara menembus dinding-dinding rumahnya.
Bercucuran air mata Eva menyimbahi hati yang kering kerontang. Lantaran ia tidak sanggup lagi menahan gumpalan di dalam dada. Apalagi saat bibir merekah itu mencecapi sekitaran dada, sungguh hanya Urya yang mampu membuat Eva tepar kelonjotan tidak berdaya.
“Kamu tega, Mas. Meninggalkan aku sendiri saat mengandung darah dagingmu.”
Eva tergugu karena belum sempat memberi tau perihal kehamilanya. Ia ingin balas dendam pada suaminya yang menikah lagi karena ingin seorang malaikat kecil.
Saat seorang suami menikah lagi karena ingin keturunan, cara terbaik menghukumnya adalah menjauhkan dari darah dagingnya. Namun bukan berarti Urya direnggut takdir kejam begitu saja.
Bercucuran air mata Eva menyimbahi hati yang kering kerontang. Lantaran ia tidak sanggup lagi menahan gumpalan di dalam dada. Apalagi saat bibir merekah itu mencecapi sekitaran dada, sungguh hanya Urya yang mampu membuat Eva tepar kelonjotan tidak berdaya.
“Kamu tega, Mas. Meninggalkan aku sendiri saat mengandung darah dagingmu.”
Eva tergugu karena belum sempat memberi tau perihal kehamilanya. Ia ingin balas dendam pada suaminya yang menikah lagi karena ingin seorang malaikat kecil.
Saat seorang suami menikah lagi karena ingin keturunan, cara terbaik menghukumnya adalah menjauhkan dari darah dagingnya. Namun bukan berarti Urya direnggut takdir kejam begitu saja.
“Jangan pergi, Mas. Aku belum sempat balas dendam. Tidak … aku bahkan tidak mungkin sanggup menyakitimu, Mas. Kenapa bukan aku saja yang mati, kenapa?”
Seperti dihantam godam, jiwa Eva remuk-bubuk hancur berkeping-keping. Ia benar-benar terjatuh pada lembah putus asa, curam dan sangat menyakitkan.
“Mas, aku mencintaimu. Aku merindukanmu. Jangan tinggalkan aku, Mas. Bawa aku ikut bersamamu, Mas ...,” ucap Eva lirih sebelum akhirnya tidak sadarkan diri, semendadak angin semuanya gelap dan senyap.
Sejauh mata memandang, hanya terhampar sebuah tanah lapang begitu luas berawarna coklat pekat. Demikian begitu luasnya hingga, dimana awalnya atau mungkin tidak ada akhirnya. Kabut putih memenuhi hamparan-lurus tanah lapang tidak bertepi itu. Apakah itu sebuah tanah lapang yang mengapung-apung sepanjang jalan kegelapan Urya dan Eva?
Eva melihat-lihat sekelilingnya, apakah di atas, di bawah atau entah di mana? Dirinya berada, hanya ruang hampa terasa. Dalam gelap, mereka masih bisa melihat saling bercumbu-rayu dalam imaginasi, hanya gelap.
Sepanjang jalan kegelapan mereka masih bisa menari mesra dalam khayal, hanya gelap. Mereka masih bisa tersenyum dalam sunyi, hanya gelap. Sebuah kegelapan cinta dari orang-orang yang membenci.
Eva tersenyum merasa sekelilingnya merengkuh gagah, apalagi semua cahaya perlahan mulai lenyap. Sebuah kegelapan sedikit demi sedikit memakan cahaya kebencian, membuat mata Eva berkabut.
Kenapa dalam kegelapan semua beban terasa lenyap, aneh memang? Seperti seorang yang sedang tidur, semuanya gelap, segala permasalahan duniawi yang begitu melelahkanpun lenyap.
Kegelapan meremas dada, mengelinjang begitu nikmat dan senyap. Itulah selaksa damai yang mendatangkan teduh. Lebih aneh, dalam sunyi ada keheningan membuat langkahnya begitu ringan, siapakah kegelapan sebenaranya yang menguji kesabaran pahit, perihnya perpisahan? Semua seolah membuatnya terjaga.
Apakah gelap adalah sunyi di dalam malam? Sementara dalam jubah-jubah mimpi membohongi penantian. Bulan sabit di atas pohon nyiur begitu mempesona bagi siapa saja memandangnya, namun berakhir menakutkan karna menjadi pertanda perpisahan.
Suamiku, apa kamu ingat saat berpamitan? Kamu mengucapkan selamat tinggal dengan senyuman. Kemudian ciuman intim yang kamu daratkan dibibirku begitu dalam.
Suamiku, belahan jiwaku. Dimanakah kamu berada? Kacaunya kehidupan telah memenuhi dada, kesedihan telah menguasai diriku. Suamiku, belahan jiwaku, kirimkanlah senyumamu untuk merayapi inci demi inci sekitaran leher dengan bibirmu agar aku bisa terbang kembali seperti dulu.
Suamiku, semangat hidupku, apa kamu masih ingat saat kupersembahkan mahkota suci paling berharga milikku? Sejak hari itu seluruh hidupku hanya mengabdi padamu, tidak peduli suka dan duka menjadi duri menusuk dada.
Mas, aku rindu, sangat rindu bahkan. Biarkan aku membawa benih yang kamu titipkan dalam rahimku ini kepada pecinta kebun anggur. Anggur yang kita peras akan memadamkan kerinduan walau sesaat.
Mas, aku milikmu. Kamu adalah pemimpin jalan hidupku yang mengajari keindahan dan kebagiaan melalui kegagahan lagi perkasa. Apalagi saat hentakan demi hentakan bertubi-tubi, berkali-kali menyatu dalam pelukan, aku hanya maunya kamu. Iya kamu, Mas. Kamu lelaki nyebilin.
Demikian dalamnya lautan bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tau? Sama seperti dirimu, Mas. Saat pandangan pertama kamu terlihat manis, setelah menjadi istrimu ternyata kamu pria tidak berperasaan dan brengsek.
Bagaimanapun juga, kamu suamiku yang punya banyak sisi baik. Aku tidak pernah bertemu dan tidak mau bertemu orang lain seperti dirimu yang luar biasa baik dan juga jahat sampai keterlaluan seperti ini. Sebal. Sebal. Aku merindukanmu, Mas.
Seperti dihantam godam, jiwa Eva remuk-bubuk hancur berkeping-keping. Ia benar-benar terjatuh pada lembah putus asa, curam dan sangat menyakitkan.
“Mas, aku mencintaimu. Aku merindukanmu. Jangan tinggalkan aku, Mas. Bawa aku ikut bersamamu, Mas ...,” ucap Eva lirih sebelum akhirnya tidak sadarkan diri, semendadak angin semuanya gelap dan senyap.
Sepanjang Jalan Kegelapan
Sejauh mata memandang, hanya terhampar sebuah tanah lapang begitu luas berawarna coklat pekat. Demikian begitu luasnya hingga, dimana awalnya atau mungkin tidak ada akhirnya. Kabut putih memenuhi hamparan-lurus tanah lapang tidak bertepi itu. Apakah itu sebuah tanah lapang yang mengapung-apung sepanjang jalan kegelapan Urya dan Eva?
Eva melihat-lihat sekelilingnya, apakah di atas, di bawah atau entah di mana? Dirinya berada, hanya ruang hampa terasa. Dalam gelap, mereka masih bisa melihat saling bercumbu-rayu dalam imaginasi, hanya gelap.
Sepanjang jalan kegelapan mereka masih bisa menari mesra dalam khayal, hanya gelap. Mereka masih bisa tersenyum dalam sunyi, hanya gelap. Sebuah kegelapan cinta dari orang-orang yang membenci.
Eva tersenyum merasa sekelilingnya merengkuh gagah, apalagi semua cahaya perlahan mulai lenyap. Sebuah kegelapan sedikit demi sedikit memakan cahaya kebencian, membuat mata Eva berkabut.
Kenapa dalam kegelapan semua beban terasa lenyap, aneh memang? Seperti seorang yang sedang tidur, semuanya gelap, segala permasalahan duniawi yang begitu melelahkanpun lenyap.
Kegelapan meremas dada, mengelinjang begitu nikmat dan senyap. Itulah selaksa damai yang mendatangkan teduh. Lebih aneh, dalam sunyi ada keheningan membuat langkahnya begitu ringan, siapakah kegelapan sebenaranya yang menguji kesabaran pahit, perihnya perpisahan? Semua seolah membuatnya terjaga.
Jalan Kerinduan Eva dalam Aksara
Apakah gelap adalah sunyi di dalam malam? Sementara dalam jubah-jubah mimpi membohongi penantian. Bulan sabit di atas pohon nyiur begitu mempesona bagi siapa saja memandangnya, namun berakhir menakutkan karna menjadi pertanda perpisahan.
Suamiku, apa kamu ingat saat berpamitan? Kamu mengucapkan selamat tinggal dengan senyuman. Kemudian ciuman intim yang kamu daratkan dibibirku begitu dalam.
Suamiku, belahan jiwaku. Dimanakah kamu berada? Kacaunya kehidupan telah memenuhi dada, kesedihan telah menguasai diriku. Suamiku, belahan jiwaku, kirimkanlah senyumamu untuk merayapi inci demi inci sekitaran leher dengan bibirmu agar aku bisa terbang kembali seperti dulu.
Suamiku, semangat hidupku, apa kamu masih ingat saat kupersembahkan mahkota suci paling berharga milikku? Sejak hari itu seluruh hidupku hanya mengabdi padamu, tidak peduli suka dan duka menjadi duri menusuk dada.
Mas, aku rindu, sangat rindu bahkan. Biarkan aku membawa benih yang kamu titipkan dalam rahimku ini kepada pecinta kebun anggur. Anggur yang kita peras akan memadamkan kerinduan walau sesaat.
Mas, aku milikmu. Kamu adalah pemimpin jalan hidupku yang mengajari keindahan dan kebagiaan melalui kegagahan lagi perkasa. Apalagi saat hentakan demi hentakan bertubi-tubi, berkali-kali menyatu dalam pelukan, aku hanya maunya kamu. Iya kamu, Mas. Kamu lelaki nyebilin.
Demikian dalamnya lautan bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tau? Sama seperti dirimu, Mas. Saat pandangan pertama kamu terlihat manis, setelah menjadi istrimu ternyata kamu pria tidak berperasaan dan brengsek.
Bagaimanapun juga, kamu suamiku yang punya banyak sisi baik. Aku tidak pernah bertemu dan tidak mau bertemu orang lain seperti dirimu yang luar biasa baik dan juga jahat sampai keterlaluan seperti ini. Sebal. Sebal. Aku merindukanmu, Mas.
Next.
Daftar Isi Novel
Baca selengkapnya Part 1 - 50 INDEK LINK
Dikit imit ... 🙄🙄
ReplyDeleteMasa sih, perasaan udah panjang deh,
DeleteðŸ¤ðŸ¤
Nyimak saja
ReplyDeleteMantab
ReplyDelete