Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Musim Kemarau, Bagian 23, Cinta Terlarang Ini Dosa Siapa?

Baca Novel Online Cinta TerlaraIni Dosa Siapa? Episode 23 Musim Kemarau


Novel Cinta Terlarang- Jarak telah membuat Alena dan Urya tidak saling bertemu, menghadirkan ruang sepi menyiksa hati. Kerap kali wanita seroja bergoyang merasa hampa di tengah keramaian. Alena mencari-cari Urya di kepalanya. Tiada hal yang paling menyakitkan di dunia ini kecuali di khianati oleh orang yang tercinta.

Setidaknya itulah apa yang terpikirkan oleh Alena : Kenapa Urya tidak memberi kabar sama sekali? Seperti di telan bumi begitu saja. Habis manis sepah di buang. Rasa kecewa dan terluka membuat Alena memutuskan mencari kerja di Jakarta. Ia di terima bekerja di salah satu TV Swasta. Satu tujuannya, mencari keberadaan dan menemui Urya.

Berbekal pengalaman di dunia pariwisata, Alena lebih memilih pekerjaan yang berhubungan dengan seni untuk menghibur luka rara dalam dada.

Musim Gersang Berpanjangan 


"Aku selalu menyukai pelukanmu, Kak Urya." Alena bergumam, membiarkan dirinya tenggelam dalam bayangan. Sudah tiga bulan Alena tidak berjumpa dengan Urya, ia kini seperti sawah di musim kemarau menanti datangnya musim hujan.

Panas musim kemarau jiwa Alena semakin sulit terkendali, di tambah udara panas jakarta, Air Conditioner tidak mampu mendinginkan ruangan kamarnya.


Malam perlahan berjalan lamban, di depan mata Alena seolah ada pertunjukan film diputar berulang-ulang, berisi gambar menakjubkan tentang tarian melintasi sembilan samudra dengan suaminya ....

"Kak Urya," desah Alena. "Sedang apa Kakak di sana?"

Hembusan angin dingin menimbulkan suara berkesiut di luar jendela. Alena menelentang kembali dengan mata setengah terpejam.

Kamar hotel itu sebenarnya sangat dingin. Entah apa yang merasuki, justru tubuh Alena seperti terbakar api? Gerah kelonjotan.

Betapa wanita itu sangat terkejut, ketika didapati 'di bawah' sana agak basah dan mengeluarkan aroma surgawi. Sebuah kegelian ternyata telah lama tidak muncul di lembah, diantara tebing-tebing dimana seharusnya dipenuhi hutan rimba andai saja tidak direboisasi.

Pendakian jemari dari gunung satu menuju gunung selanjutnya, meremas rasa hati yang kian membuncah.

"Kak Urya ... Apa yang Kakak lakukan padaku itu jahat." Cepat-cepat wanita itu memindahkan tangannya tapi jatuh di perutnya. Sejak berpisah dengan Urya di Bali, Alena belum pernah sekalipun datang bulan.

Hormon tidak lucu sama sekali itulah yang bertanggung jawab atas dorongan untuk Alena menikmati diri sendiri dengan caranya sendiri.

Kenapa hanya tatapan Urya yang memenuhi isi minda Alena? Sebuah drama semesta karena ia ayah dari janin yang dititipkan dalam rahimnya.

Alena mengandung anak Urya dengan kenyataan ia belum menikah secara hukum negara. Apa yang harus dilakukan?

Marah, Alena mengelinjang, mendesah gelisah. Bagaimana ia menjelaskan semua itu pada keluarganya di Malang?


"Bukankah Kak Urya sangat menginginkan anak? Aku sudah memberinya seperti apa yang diharapkan. Kenapa dia pergi?"

Alena memekik sekeras mungkin dengan pita suara yang hampir putus dalam senyap.

Sesekali terkadang ia merasa lucu, geli minta garuk. Maka mengaruklah dengan lincah ujung jari selincah tarian salsa, ritmenya semakin cepat diiringi nada harmoni dari hembusan nafasnya hingga terjadi goncangan kecil dengan sekala rikter, berpotensi menimbulkan banjir namun tidak bandang.

"Aaaaah ... Kak Urya ... Sekali saja ... Sekali saja lihat aku di sini ... Bisa 'kan?" Alena menjerit manja, matanya berkabut, tubuhnya melemas dan tidak terkendali.

Malam bagai tidak peduli. Tetap dengan kelam, Alena tenggelam kedalam telaga bening, hanyut dalam bayangan.

Catatan Diary Alena Velovena ; November Purnama Ketiga 



Setelah masuk hitungan minggu serta bulan, akhirnya aku akui bahwa memang harus merelakannya pergi dari hatiku. 

Buat apa Kak Urya harus hadir dalam catatan buku hidupku jika tak bisa kumiliki, minimal seumur hidup?

Buat apa coba Kak Urya datang membawa setiti cinta jika pada akhirnya segunung luka dia timpakan padaku?

 Aku rasa memang sudah kehilangan dirinya atau memang dari awal memang tak kumiliki. Dan akhirnya yang tersisa hanyalah kenang-kenangan kita berdua sahaja, rela tak rela memang hanya kenangan saja, tak lebih.

Sakit rasanya jika ketulusan sikap cintaku dibayar dengan fitnah sercar hinaan cacian semata dan yang lebih menyakitkan itu yang melakukan adalah orang terkasih. 

Sangat terluka hatiku jika kejelekan, kesalahan dan keburukan sikap yang menjadi ukuran untukku selamanya. Menutup semua kebaikan di mata sanak saudara tentu aku tak mau itu terjadi.


***

Apalagi kemudian tarian Alena menelusup diantara himpitan tebing hingga tibalah pada batu menonjol menyeruak dari persembunyiannya.

"Seperti menyukai fajar, aku selalu merindukan Kakak. Saat menatap berlama-lama di atas batu, hanya ada tentang kita."

Kekacauan telah mempora-porandakan akal waras Alena setiap berhadapan dengan Urya. Bagaimana caranya agar bisa lupa dari hal memalukan sekaligus mengasyikan itu?

Alena menggigit bibir bawahnya, tersentak bagai tersengat listrik. Ketika ujung telunjuknya tidak sengaja menyentuh kenangan menonjol itu. Sebuah desah cukup keras menghambur dari bibirnya .

"Kehamilanku ini anugrah atau musibah?"

Begitulah Alena selalu terpesona oleh bisikan prosa-prosa tentang hujan dari Urya. Seperti bayi yang baru lahir, berbasah-basah peluh mereka berdua.

Semuanya terasa nyata, bahkan saat Urya telah tiada dipelukan Alena. Apa sebuah kerinduan begitu memabukkan?

Alena mengeliat-geliat keenakan, kedua kakinya merentang tegang, dengan tumit tenggelam di kasur. Entah berapa kali ia hanyut, mungkin enam ... sembilan kemudian, malam ikut pergi berganti fajar.

Alena bertekad harus menemukan Urya, bagaimanapun caranya, bahkan jika harus ke ujung dunia.


Setelah mandi dan memakai baju, Alena tetap berangkat kerja, melanjutkan aktivitas seperti biasanya.

Bedanya kini ia di Ibu Kota Jakarta dan bukan lagi dalam dunia pariwisata. Beruntunglah pagi itu tidak macet di sepanjang jalan Daan Mogot. Ia tiba di Indosiar dengan lancar.

Budaya adalah senjata utama perekat bangsa penyebar budi pekerti jadi tepatlah dengan acara Variety Show yang Alena kerjakan saat itu. Ia harus mulai belajar dari nol lagi.

Alena selalu menenggelamkan diri  sibuk dalam pekerjaan untuk bisa sedikit mengalihkan perasaan rindunya pada Urya.

November Hari Ketujuh


Sore itu Alena sengaja tidak langsung pulang ke rumah. Ia hang out  sebentar di salah satu kafe di jakarta untuk menenangkan pikiran.


Siapa tau bisa mendapat informasi tentang Urya atau paling tidak bertemu dengan suasana baru bahkan teman baru. Eh tidak menyangka justru bertemu teman lama.

"Kamu ... Agra?" Sapa Alena suatu senja setelah bertahun-tahun tidak pernah jumpa. Bukanya sombong dia dulu cinta mati padanya, sewaktu SMA.

Balikan dengan mantan? Oh tidak. Takutnya dia sudah punya pasangaan dan Alena tidak mau jatuh di lubang yang sama. Lantas bagaimana Alena menghadirkan ayah untuk benih Urya sebelum lahir ke dunia?

Sempitnya pikiran tentang arti cinta, seandainya kamu berlumur dosa sepertinya, maka akan berkata, "sekali cinta tetap cinta,'' tapi ternyata kamu memang bukan dirinya. Next.

Daftar Isi Novel 


Post a Comment for "Musim Kemarau, Bagian 23, Cinta Terlarang Ini Dosa Siapa? "