Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Yang Tak Sempat Terucap, Cerpen Young Adult Romance

Event Menulis Cerpen Young Adult Romance 



Cerita Pendek Cinta Pertama,  Yang tak Sempat Terucap, by Beti Atina Hariyani


Jarum jam sudah menunjukkan pukul 07.10, tetapi bus yang aku tumpangi baru berhenti di depan sekolah, sesaat setelah pintu gerbang sekolah ditutup. Kuamati sekeliling, masih ada beberapa siswa yang berlarian kearahku, kami semua sama-sama terlambat, termasuk Sasa juga terlambat. Sasa adalah siswi kelas lX IPS 1 yang kelasnya bersebelahan dengan kelasku.




"Pak satpam." Aku berteriak memanggil Pak Satpam yang sedang duduk di dalam pos jaga. Beruntung, beliau keluar dan menghampiri kami, termasuk aku, yang berdiri di luar gerbang.


"Terlambat lagi ya?, boleh masuk tapi harus tanda tangan di kartu keterlambatan ya, nanti kartunya diserahin ke guru BP, kecuali yang terlambatnya belum ada lima menit," ucap Pak Agus, Satpam sekolah SMA disini yang masih lumayan baru, jadi masih taat banget dengan aturan, dan masih susah di negosiasi.


"Pak, itu Sasa terlambatnya belum ada lima menit loh," ucapku pada Pak Agus, sambil mengerlingkan mata sebelah kiriku pada Sasa. Sementara Sasa, tersenyum kearahku.



"Ya sudah, Sasa masuk, yang lain ke pos dulu." Pak Agus membuka pintu gerbang, lalu menutup kembali, tidak lupa mengunci gerbangnya agar tidak ada siswa yang keluar masuk dengan bebas.



Ah, bahagianya hatiku bisa menyelamatkan Sasa, pagi ini. Gadis berambut lurus sebahu itu memang telah lama kutaksir, hanya saja belum ada kesempatan untuk mengungkapkan.



Aku berjalan terburu-buru masuk kelas setelah mengumpulkan kartu keterlambatan ke ruang BP. Di dalam kelas, ternyata masih ramai karena guru mapel Biologi belum masuk kelas, aku bersyukur karena tidak mendapat hukuman tambahan dari guru kelas.



"Woi, terlambat lagi bro? Untunglah Pak Hasan belum datang." Dika, teman sebangkuku menepuk bahu kiriku dengan keras, lantas aku duduk.



Namaku Anton, Aku adalah anak kelas lX IPS 3. Aku termasuk anak yang tampan, hanya saja kurang beruntung dalam hal ekonomi, bahkan untuk sekolah pun aku hanya mengandalkan dari beasiswa. Untuk bisa memiliki uang saku, setiap hari aku harus membanting tulang membantu Bapak dan Ibu berjualan buah di warung dekat rumah.



Setelah menyelamatkan Sasa di pagi hari saat dia terlambat, aku jadi percaya diri untuk mendekatinya, meski sebenarnya aku sadar jika tidak sepadan dengan dirinya, tapi kata hatiku mengatakan bahwa Sasa akan menerima aku apa adanya. Buktinya dia mau aja tuh saat aku ajak makan bersama di kantin atau tempat makan kaki lima, bahkan terlihat biasa saja dan tidak sungkan.




"Thanks ya Ton, atas semua perhatian kamu selama ini," ucap Sasa, bahkan Sasa tidak canggung-canggung lagi curhat kepadaku, curhat tentang ibunya yang selalu sibuk tidak peduli dengan dirinya, juga tentang Bapaknya yang jarang pulang karena bekerja di luar kota.


"Ok, santai aja lah Sa," balasku pada Sasa sambil tersenyum, tentu saja dengan senyum terindah yang aku punya.


Sasa ini memang luar biasa, ia tidak hanya cantik dan menarik, dia juga lucu, terlihat saat beberapa kali bercanda, dia bisa mengimbangiku yang terkenal humoris. Selama ini, aku tak pernah melihat ada cowok yang jalan dengan Sasa, dan sepertinya aku tidak punya saingan dalam mendekati dia, sehingga aku lebih leluasa dan memiliki banyak kesempatan untuk menjadi pacarnya.



Sasa selalu menerima bantuan ku, saat Sasa mengalami kesulitan mengerjakan tugas sekolah misalnya, kebetulan juga nih, aku dianugerahi otak yang cukup encer. Kemampuanku ini, bisa kumanfaatkan untuk mendekatinya.


"Aku boleh minta tolong ga Ton?" pinta Sasa saat itu, tepat saat aku selesai sholat Magrib. Sasa datang kerumah sambil membawa buku akuntansi. Lantas memintaku membuatkan tugas kertas kerja. Bagiku tugas ini cukup mudah, tapi bagi Sasa mungkin kesulitan mengerjakan tugas dua belas kolom yang saling berkaitan ini.


"Boleh dong, yuk sini masuk dulu," balasku sambil mempersilahkan Sasa untuk masuk rumah.


Satu jam berlalu, aku membantu tugas Sasa sambil ngobrol kesana kemari. Waktu yang terasa singkat bila berduaan saja. Sementara Emak beberapa kali menelpon, pasti karena aku tak kunjung membantu jualan.


Angin berembus pelan, menambah suasana menjadi sedikit romantis. Apalagi saat kami beradu pandang, jantungku terasa mau melompat dari tempat semula. Obrolan kami pun mulai merembet ke urusan lain, bukan sekedar mata pelajaran lagi.



"Ton, bisa bantu Emak di warung?" tanya emak, yang tiba-tiba nongol dari jendela, setelah beberapa kali telpon tapi aku tak kunjung datang, akhirnya Emak pulang. Kedatangan Emak menjadikanku harus segera beranjak.


"Aku bantuin jualan boleh?" tanya Sasa padaku.


"Emang kamu ga malu?" akupun kembali melempar pertanyaan.


"Ya enggaklah Ton," jawab Sasa lagi.


"Bolehlah, yuk." Kami beranjak, menuju warung buah di dekat rumah. Warung inilah sumber mata penghasilan keluargaku.


Aku dan Sasa berduaan saja, karena Emak dan Bapak mau istirahat sekalian bersih-bersih badan. Seperti biasanya, aku akan menutup warung saat jarum jam sudah menunjukkan angka sembilan.




"Ton, aku lagi sebel nih sama Ayah dan Bundaku, kenapa mereka itu selalu sibuk bekerja dan tidak perhatian sama aku, aku kan jadi iri sama teman-teman yang selalu diantar jemput atau selalu diperhatikan oleh kedua orang tuanya," curhat Sasa padaku tiba-tiba.



"Mungkin karena pekerjaannya memang banyak Sa, apalagi kan Ayah kamu kerjanya jauh." Kutatap mata sendu itu cukup lama, berharap bisa melihat kesedihan yang tiba-tiba saja muncul, padahal baru saja dia ceria saat membantuku melayani pembeli dan menata buah apel setelah dipilih-pilih oleh pembeli.


"Kantor Bunda itu tutupnya sore, Ton." Sasa menampakkan muka cemberut.


"Ya yang sabar aja dulu, barangkali Bunda kamu memiliki kesibukan lain diluar jam kerja di kantor," kataku memantapkan hatinya.


Aku sendiri bingung harus menjawab apa karena belum paham kondisi keluarga Sasa. Yang aku tahu, Sasa tak pernah dicari oleh orang tuanya meski keluar rumah sampai malam.


Jika sudah seperti ini, Sasa akan merebahkan kepalanya di pundakku hingga tercium aroma wangi rambutnya, duh selalu bikin deg-degan, detak jantung ini terasa berdetak lebih cepat seperti sehabis berlari 10km.


Tepat pukul sembilan, aku menutup warung, dan Sasa berpamitan pulang. Motor matic yang dikendarai Sasa menjauh, hingga tak terlihat lagi olehku.


Hari berikutnya, Sasa semakin sering datang ke rumahku. Untuk belajar atau kadang hanya menemani aku jualan sambil curhat.


"Anak-anak, besok libur ya, karena semua guru ada rapat." Pengumuman dari wali kelas disambut meriah oleh semua siswa. Lantas semua bersiap untuk pulang karena bel tanda mata pelajaran berakhir telah berbunyi.


Malam ini adalah malam Minggu yang begitu indah karena cuacanya cukup cerah, bulan pun berbagi cahaya redupnya pada penghuni bumi, termasuk cowok ganteng yang sedang kasmaran ini.


Kuraih benda pipih warna hitam, kuusap layarnya dan mengetik sebuah pesan untuk Sasa.


Batang bambu dipotong rendah
Disusun menjadi sebuah rak buku
Duhai si cantik bermata indah
Maukah malam ini jalan denganku?




Sebuah pantun sebagai ajakan jalan yang kububuhkan beberapa emoticon love, sudah terkirim. Hati dag dig dug menanti balasan dari gadis pujaan, berharap ia mengiyakan dan mau keluar malam ini.



Boleh Ton, datang saja kerumahku



Sebuah pesan kuterima, ini membuaku semakin berbunga-bunga seperti taman sakura yang baru saja diterpa angin, hingga bunganya berguguran memenuhi relung hati.


Setelah beberapa kali jalan keluar dengan Sasa, aku merasa sudah siap jika harus mengatakan isi hatiku yang sesungguhnya. Setidaknya agar hati ini lega, masalah diterima atau ditolak, itu urusan belakang. Jika aku tidak mengungkapkannya, bagaimana Sasa bisa tahu jika aku menginginkan hubungan yang lebih dari sekedar teman curhat dan teman nongkrong doang.



Sekaramh menurutku sangat tepat untuk mengungkapkan perasaan ini, karena aku merasa sudah sangat dekat dan nyaman saat berada disampingnya. Apalagi Sasa juga terlihat nyaman saat bersamaku.



Kuda besi keluaran tahun entah berapa ini, meski sudah jadul tetap nyaman untuk dipakai, aku melajukan motorku pelan-pelan sambil sesekali bersiul pelan dan bersenandung.



Aku mampir ke sebuah minimarket, membeli sebungkus coklat dan setangkai mawar segar. Tentu saja akan kuberikan pada Sasa sebagai pelengkap ungkapanku nanti.





Rumah bercat putih dengan pagar warna biru sudah nampak, aku memilih tempat untuk memarkirkan motor bututku. Tepat saat Sasa keluar rumah, Sasa nampak sangat cantik mengenakan gaun warna hijau muda. Rok selutut yang dikenakan memancarkan pesona kecantikan tersendiri, apalagi saat ia tersenyum. Duh, kenapa sih dada jadi seperti drum yang dipukul tak beraturan.



Sasa mendekat, aroma wangi tercium dari jarak beberapa meter. Pucuk dicinta ulam pun tiba, saat aku hendak nembak dia, eh dianya tampil sangat sempurna.


"Ayo Ton, masuk." Sasa mengajakku masuk. Aku mengikutinya dari belakang, sambil menyembunyikan coklat dan bunga di tangan kiri.



Aku masih senyum-senyum sendiri, menahan rasa grogi. Isi kepalaku seperti penuh oleh ungkapan cinta yang hendak aku sampaikan, ada puisi, prosa, rayuan gombal bahkan pantun terus berebut dan menari di dalam pikiran.



"Oh ya Ton, ntar aku kenalin kamu sama seseorang ya," ucap Sasa. Aku tidak begitu fokus dengan ucapapannya, aku lebih fokus menahan grogi.



"Ok," jawabku mantap.


Kakiku menapaki halaman rumah Sasa dengan pelan, lalu duduk di teras mungil yang dipenuhi bunga mawar, bunga cantik seperti pemiliknya.



"Duduk dulu ya Ton, aku ambilin minum." Sasa berlalu, masuk kedalam rumah.


Tiba-tiba ada sebuah mobil warna putih berhenti di dekat motorku. Seorang pria tampan dengan pakaian yang rapi turun saat pintu mobil terbuka. Ditangannya terlihat buket bunga yang sangat indah, juga tas kertas ukuran besar. Dia berjalan kearahku. Aku masih bertanya-tanya tentang pria itu. Dia siapa? Ada perlu apa? Kenapa datangnya kok bareng disaat aku hendak nembak Sasa?, Ah, kenapa aku jadi seperti orang bodoh. Berbagai kata-kata manis yang terangkai indah dalam ingatan menguap entah kemana.


Pria itu semakin dekat dan tersenyum kearahku.


"Hai, kamu Anton temennya Sasa bukan?" pria itu bertanya padaku. Pertanyaan yang membuat aku bingung, bagaimana dia tahu namaku, sementara aku baru pertama kali melihatnya.


"Eh, aa ... ee ... i ... iya," jawabku gugup.


Sasa keluar sambil membawa tiga gelas minuman berwarna orange, mungkin jus jeruk. Wajahnya terlihat sangat senang melihat kedatangan si pria asing itu. Ditelakkannya nampan, lalu tubuhnya menghambur dalam pelukan tamu barunya, yang membuatku semakin salah tingkah.


"Apa kabar sayang?" ucap Sasa, sambil melepaskan pelukannya.

Sayang? Sasa memanggilnya sayang. Emang dia siapa?


Batinku semakin bergejolak.


"Kabar baik dong," sebuah ucapan manis tapi terasa mengiris hati bagiku.


"Oh iya sayang, kenalin ini Anton temen sekolah aku yang kemarin aku ceritain," kata Sasa mempernalkan diriku. Si pria mengulurkan tangan, dan kuterima dengan tangan gemetar.


"Rangga," ucapnya mantap.


Aku hanya menjawab dengan senyuman.


"Ton, ini Mas Rangga, pacarku yang sedang kuliah di Jakarta, karena jarang pulang makanya kamu belum pernah ketemu." Sasa kembali tersenyum, memperlihatkan betapa ia sedang sangat bahagia.


"Terima kasih ya Ton, sudah menjaga Sasa selama ini." Rangga tersenyum padaku, seolah-olah ingin mengambil titipannya dariku. Titipan yang selama ini kujaga baik-baik dengan segenap jiwa dan raga.


Kata-kata Sasa dan Rangga laksana petir yang menyambar bagiku, kenapa selama ini Sasa tak pernah cerita jika sudah punya pacar. Lantas kenapa dia memberikan rasa nyaman ini?.


Tubuhku terasa lunglai, untung tidak roboh atau pingsan. Aku masih bisa menguasai diri agar tidak terlihat norak.


"Oh ya Sa, maaf aku baru ingat jika malam ini ada janji mengantar pesanan buah, aku pamit dulu ya," ucapku sambil berlalu. Berlama-lama ditempat ini tentu sangat tidak enak bagiku.




Coklat dan bunga kuremas hingga tak berbentuk, lalu kulempar di selokan. Malam yang seharusnya sangat indah karena aku ingin memberi kejutan indah pada Sasa, malah aku yang diberi kejutan luar biasa.


Aku pulang, dan segera masuk kamar. Dari rumah tetangga terdengar sebuah lagu yang menyayat hati.


Aku ngalah dudu mergo aku wes ra sayang
Aku mundur dudu mergo tresnoku wes ilang
Nanging aku iki ngerteni
Yen dirimu lebih sayang arek kae
Aku mundur alon-alon mergo sadar aku sopo
Mung di goleki pas atimu perih
Aku mundur alon-alon mergo sadar aku sopo
Mung dibutuhno pas atimu loro

The End 

Magelang, 16 April 2021

3 comments for "Yang Tak Sempat Terucap, Cerpen Young Adult Romance "