Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Penyesalan, Bagian 14 , Cinta Terlarang Ini Dosa Siapa?

Baca Novel Online Cinta Terlarang yang Bikin Baper 




Novel Cinta Terlarang  -  Wanita semampai satya patma sari leledang itu terbujur lemas tidak berdaya dalam mobil. Wajah cantiknya tidak lagi bersinar, sayu pucat. Ia kini di antara hidup dan mati.


Matanya terpejam, bibir biasanya ranum kini mengering layu. Seakan pertanda tiada gairah lagi untuk menjalani kehidupan di dunia ini. Segalanya gelap dan pekat.


Langit diluar sana sepertinya ikut berkonspirasi, hujan tumpah mengguyur bumi. Mendung menggulung hitam disertai angin dan kilatan-kilatan petir menyambar.


Roda mobil menggelinding kencang membelah hujan. Sementara Urya bersimbah air mata kalbunya mengerang kesakitan, meraung keperihan menahan goresan luka dan sayatan yang menyambar hati oleh sebuah perselingkuhan.


Hal paling menyakitkan adalah ketika orang tercinta mencoba menghabisi dirinya sendiri. Sesuatu saling mengikat lalu menggumpal seolah membentuk bongkahan beban menghantam dalam dada. Porak poranda hancur lebur. Perih tiada kira.

Sebening tirta itu melompat membasahi pipi berkali-kali dan Urya sangat ketakutan. Hanya satu dalam benak hatinya, ia tidak ingin sama sekali kehilangan orang yang sangat dicintanya.

"Kenapa kamu lakukan ini padaku, Dek Va?''

Urya mengerang, hatinya kering kerontang lantaran kekasih hati Eva, bidadari surganya masih terbujur tidak sadarkan diri. Ia menggigil gemetar meluluh lantahkan pertahanan jiwanya.


Kecupan mendarat di kening Eva bertubi-tubi yang kini seolah tiada arti.


"Sayang bangunlah... Aku mohon jangan hukum aku seperti ini ..." ucap laki-laki berhidung mancung dengan suara serak dengan jiwa tergantung pada luka yang ia ciptakan sendiri.


Kepedihan merenggut kebahagiaan yang kini seakan terdengar prosa penyesalan.


Penyesalan Tiada Guna?



Apa kau masih ingat saat kita bermain hujan bersama, Dek Va? Kita saling berjanji di bawah pohon dengan langit dan petir sebagai saksinya untuk hidup bersama hingga ujung senja. Apapun yang terjadi kita akan bersama.



Aku tanpamu bagai sebatang pohon dengan ranting-ranting patah tanpa dihiasi buah ataupun bunga.

Cantik, jika cintaku padamu adalah cinta buta! Campakkanlah dengan kata-kata terketus yang bisa kau katakan namun jangan hukum aku dengan diam.


Cantik, jika cintaku padamu menjauhkan dari janji kita maka hinakan aku dengan hinaan yang paling hina yang bisa kau lontarkan namun jangan kau diam membisu seperti ini, buka bibirmu katakan sesuatu.

Betapa sombongnya aku selama ini. Betapa angkuhnya aku meniti titian cinta berlumuran kebohongan dan dusta. Tangis penyesalanku kini seperti tidak ada gunanya.


Aku masih mencintaimu menggenggam butiran pasir di Pantai Kartini. Pantai kau dan aku pernah melukiskan segala keindahan dunia yang diasuh oleh buih-buih ombak, kemudian aku tuliskan agar tidak hilang ingatan.



Aku masih mencintaimu memeluk hangat Pegunungan Ungaran. Bayu pegunungan kau dan aku menyatu seutuhnya dan sepenuhnya. Angin dingin jangan biarkan memisahkan kehangatan dalam peluk tidak lagi erat.


Aku masih mencintaimu berikrar satya Menara Kudus. Janji suci untuk tidak akan pernah terceraikan oleh apapun masalah kehidupan menghantam. Cinta yang kudus terkadang diuji dengan tulus.


Aku masih mencintaimu seteguh Tawang Mangu. Pendakian curam Gunung Lawu membetas rindu di Telaga Sarangan. Kau dan aku adalah satu, sakitmu deritaku tawamu bahagiaku...




Sesampainya di rumah sakit Eva segera dibawa menuju UGD dan langsung ditangani oleh Dokter. Satu persatu keluarga Urya berdatangan menjaga Eva di rumah sakit.



Tiga hari tiga malam Eva dirawat intensif di paviliun khusus, sebelum akhirnya dokter memperbolehkannya pindah ke ruang lain untuk pasien yang berada dalam proses penyembuhan.



Hari ketiga Urya bisa mengunjungi Eva saat jam bezoek, ia berharap bidadarinya bangun kembali. Perlahan-lahan datang sebuah kesadaran yang memerihkan di hatinya: Eva hancur oleh perbuatannya, kesadaran itu semakin kuat. Selama menikah Urya merasa belum bisa menjadi suami terbaik.



Pikiran Urya dipenuhi gundah dan rasa bersalah. Ia sudah sangat siap bahwa sesuatu yang dramatis akan terjadi lagi dalam kisah kasih mereka berdua. Ia bahkan sudah merasakannya begitu bidadarinya masih tertidur.



Urya melihat kabut menyaput di kedua mata Eva yang terpejam cantik.



"Maafkan aku..., Aku tidak tau harus berbuat apa?"


Suara Urya lirih ketika duduk di bangku dekat kepala ranjang. Ia memandang diam dan lekat ke mata kekasihnya.



Urya mengelus telapak tangan kekasihnya, membelai pipinya dengan lembut. Inilah pertama kalinya Urya menyentuhkan lagi Eva selama tiga hari, menyimpan rindu untuk istrinya yang masih berbaring tidak berdaya.



Betapa saratnya sentuhan itu oleh rasa, oleh kangen. Seperti selimut hangat membalut tubuh di pagi dingin. Seperti embun dingin turun membasuh siang terik. Ah… Urya memejamkan matanya yang tiba-tiba terasa perih.



"Cepat bangun istriku, belahan jiwaku. Bidadariku....," bisik Urya sambil membelai pipi yang halus mulus bak pualam itu.


Urya memaksakan sebuah senyuman sambil membuka matanya. Senyuman itu pilu sekali.


Kendati demikian tidak urung, kedua bola matanya telah tersaput air bening tipis, membuat pandangannya berkilauan seperti air laut disinari mentari.


Urya sambil terus membelai pipi Eva, sambil berbisik dalam hati: kamu seharusnya tidak memberikan penghukuman padaku seperti ini. Kamu tau aku sanga mencintaimu 'kan?



Ia menahan dorongan duka yang menggumpal di dadanya sekuat tenaga. Dicarinya sumber-sumber kedamaian di seluruh wajah Eva, terutama di kedua matanya yang sayu, terpejam penuh sayang.


Hati Urya menjerit ramai walau bibirnya terkatup rapat: mengapa aku biarkan kamu datang ke oasis di tengah kerontangnya kehidupanku; membiarkan kamu terdampar dalam bahtera berlayar. Kamu hancurkan hidupmu sendiri karena diriku, mengapa?


Jika sampai Eva tidak bangun lagi untuk selamanya, maka terbenamlah sudah semua matahari di semua hari. Hidupku akan seperti malam yang teramat panjang dengan mimpi teramat buruk, batin Urya dalam hati lagi.


Itulah pertemuan terakhir sebelum akhirnya Urya harus tinggal di kamar dengan dinding dingin beruji besi. Polisi menangkapnya, dengan tuduhan bahwa upaya bunuh diri Eva karena dirinya. Mendekam dalam penjara kini harus dia terima.



Apakah adil? Bagi Urya bukan hukuman dalam jeruji besi yang ia sesali hanya jika istrinya tidak bisa diselamatkan itu hukuman lebih menyakitkan dan menakutkan.

Nasi sudah menjadi bubur, menyesal kemudian kini tiada artinya. Lengkap sudah penderitaan yang harus dialami, bukan keturunan ia dapatkan melainkan akan kehilangan orang paling dicinta dalam hidupnya.

Sayup-sayup mulai terdengar prosa kesedihan dari lelaki bernama Urya ....


Dulu, Urya dan Eva sama-sama menguatkan. Pernah sama-sama takut kehilangan. Bagi Eva, suaminya adalah pria yang sangat dicintai, sedangkan bagi Urya hanya menganggap pelukan terhangat.


Cinta? Oh tidak! Kalau memang cinta kenapa menikah lagi? Menyakiti hati Eva dengan berselingkuh dengan Alena. Menghancurkan harapannya? Itu bukan cinta melainkan kebodohan.


Air mata menjadi hal abadi nelangsa di musim digampar bias dosa, sesal kini tiada guna. Bayangan sesal tidak lekang-lekang jua, tetap perih bagaikan badai mengamuk lautan yang menghitamkan kesucian. Hati remuk menelan kegetiran mencacah palung jiwa terdalam paling sunyi.

Hanya sesal kini menemani dengan asa berikutnya dalam pembaringan. Mematung meratap pada dinding-dinding dingin dalam penjara penghukuman. Porak poranda berantakan seperti istana pasir tersapu bersih itukah namanya rumah tangga yang terbina? Mengapa membangun istana pasir yang sudah tau pasti akan sirna?

Seluruh keyakinan tercipta seperti sajak telah terlupakan dan terbuang begitu saja. Tertanam gejolak amarah, menghantui setiap gerak mata pada lekuk aura gemerlapan menembus batas kesengsaraan.


Terbang bebas menguasai kurungan penderitaan sedekat ketakutan ancaman tidak tertahankan.


Sementara Alena yang tidak tau apa-apa tentang tragedi menimpa Urya dan Eva merasa cemas tidak menentu. Hatinya gundah gulana, bertanya-tanya hanya tidak juga mendapatkan jawaban.

"Kenapa Kak Urya tidak memberi kabar ya?"


Alena terlentang menatap kosong nyalang langit kamar dengan perasaan jengkel, "ini benar-benar tidak adil."

Sesaat tersenyum tipis, Alena membalikkan tubuh sintalnya dengan posisi tengkurap di atas ranjang. Memeluk guling kemudian mengambil album di atas nakas.


Menghela nafas, lekuk tubuhnya melandai, menonjol di bawah pinggang nampak jelas ia perempuan seroja bergoyang. Kenyal padat dan berisi.


Alena masih memandangi foto mereka saat bersama, befose manja saat di Flores bulan madu waktu itu. Teringat jelas saat bibir tipis manisnya dilumat mesra oleh lelaki yang sangat cinta.


"Aku sangat merindukanmu Kak. Adek kangen banget."


Alena lirih lebih pada bicara sendiri dengan membolak- balik album kenangan mereka. Seolah masih terasa desiran ombak angin laut berhembus membelai mesra, dengan berlari-lari tanpa alas kaki.

Alena menghela nafas yang memenuhi rongga dadanya lalu dilemparlah album itu begitu saja.
Minum segelas air putih sebelum tidur setelah mengunci kamarnya.


Berapa kali Alena mencoba memejamkan mata, sialnya justru matanya semakin melek, gelisah memikirkan suami belahan jiwanya.

Kembali bangun dan membuang nafas lalu mengambil gadget dan disentuhnya layar datar persegi empat itu. Open aplikasi galery save untuk melihat foto dan vidio rahasia mereka saat diranjang. Diamatilah satu persatu isi dalam layar datar itu.

Tubuhnya mulai gemetar, jantung berdetak kencang dag dig dug imajinasinya bermain. Mulailah Alena melihat koleksinya sendiri saat bersama Urya di mana ia mendapatkan gelar sarjana kama sutra.


Segera Alena menyelusup dalam selimut, tubuhnya terasa dingin dan desir darahnya memanas. Nafasnya memburu tidak teratur dan entah kapan mulanya kain-kain tipis itu sudah terlepas dari tubuhnya.


Masih dalam selimut ia mulai berfantasi mengingat kenangan indah yang tidak akan pernah terlupakan seumur hidupnya.



"Tega... tega! Kenapa Kak Urya begitu jahat padaku, kenapa?"


Sesuatu tidak terkendali membuat lembab dan basah di bawah sana. Perjalanan lembut di ujung jari disertai sebening tirta membasahi pipi. Menelusuri masuk menusuk-nusuk hati, berkali-kali.


Berkali-kali juga meremas dadanya sakit tersebab menahan rindu. Dulu ada yang bilang rindu hanya dapat diobati dengan temu. Setelah bertemu di Surabaya dan akhirnya bersama hingga keliling pulau dan kota, temu justru semakin membuat rindu.


Denting jam terus berputar, tidak terasa 15 menit telah berlalu.


Keringat membasahi tubuhnya meski udara AC itu sangat dingin. Terengah-engah kelojotan hingga Alena menjerit dan melayanglah benda persegi empat itu.

"Urya kurang ajar kamu. Kenapa kamu buat aku seperti ini? Sialan," teriak histeris Alena menangis kehilangan kendali. Rindu itu telah menggerogoti hatinya hingga seperti orang tidak waras.

"Ini keputusanku sendiri. Aku harus kuat," ucapnya meracau sendiri, "tidak! Tidak! Oh Tidak!" imbuhnya menjambak rambutnya sendiri.

Alena menangis tergugu dalam kamar, jiwanya terguncang, hatinya terkoyak-koyak berantakan. Marah, kecewa, rindu, cinta, hasrat, mengikat membentuk lingkaran membelenggu jiwanya.

"Wanita itu luar biasa, berlubang tapi tak bocor, ditusuk tak mati, berdarah tapi tak terluka, merintih tapi menikmati, menjerit tapi minta lagi, bilang sakit tapi menikmati, digempur tapi tidak menyerah malah pasang kuda-kuda," ucapnya sendiri cekikikan.

Wanita memang luar biasa, jangan anggap perempuan itu lemah. Karena pada hakikatnya obat kuat diciptakan untuk hadapi wanita. Benarkah demikian? Alena tertawa ngakak sendiri guling-guling hingga jatuh ke lantai.

"Kamu jahat Urya! Tega kamu buat aku seperti ini. Kenapa mencintaimu begitu menyakitkan?"


Sempitnya pikiran Alena tentang arti pernikahan, memaksa jatuh terjerembap pada lembah putus asa. Alena menyadari perasaan rindu yang mendalam tiada berkesudahan seperti samudra yang tidak berujung meski ada pantai.

Memahami rasa aneh tentang Urya membuat Alena terluka dan mengaliri lukanya dengan kerelaan, keikhlasan dan kesenangan. Bahkan terkadang, kapal yang tidak punya pengemudi akan tersesat diantara pulau-pulau ganas. Meski begitu kapal itu tidak akan menyelam ke dasar laut.


Hingga detik ini tidak ada satu pun pujangga yang mampu memahami apa itu cinta apalagi Alena? Justru terpenjara oleh hatinya sendiri. Apa yang akan terjadi?



Next Episode Selanjutnya


Daftar Isi Novel 



Post a Comment for "Penyesalan, Bagian 14 , Cinta Terlarang Ini Dosa Siapa? "