Perebut Lelaki Orang, Bagian 21, Cinta Terlarang Ini Dosa Siapa?
Baca Novel Online Cinta TerlaranIni Dosa Siapa? Episode 21
Novel Cinta Terlarang- Wanita perebut laki orang pantaskah disebut manusia? Demikian memang gergasi jahat tidak bermatabat. Sebagai sesama wanita dimana perasaannya? Beruntunglah Eva bukan wanita berhati ketan meski harus menahan kiriman angin puyuh yang kini gemelegar sesakan dada.
"Gimana, Mbak Va udah maafin Kakak belum?"
Suara tanya wanita brengsek disebrang itu menyambar pertahanan jiwanya. Eva mencoba memastikan apa itu benar atau tidak dirinya? Ia hanya menahan dengan diam.
Diam yang siap menghunjam membalas dengan kata-kata yang akan di ingatnya semur hidup bahkan hingga ke neraka. Tepatlah seorang perebut suami orang neraka jahanam tempat yang layak! Tidak. Itu terlalu mudah untuknya. Neraka dunia harus ia dapatkan saat ini juga.
"Kak, kok diem?" tanya Alena lagi.
"Bagus ya. Jangan matiin teleponya dengarkan aku baik-baik!" Eva gemetar dengan bola mata memancarkan kilatan api menyala-nyala.
Wanita itu hanya diam entah apa yang terpikirkan?
"Mbak Va?"
"Benar ... Kamu ini wanita seperti apa? Apa kamu sudah tidak laku? Kalau mau jadi pel acur berapa hargamu?"
Melesat seperti bujur panah menghujani, pertanyan demi pertanyaan menyerang wanita bi nal itu tanpa ampun.
"Maaf ya Mbak Va. Aku tidak pernah minta apapun dari Kak Urya. Aku mencintainya tulus."
"Cinta katamu? Ba ng sat! Apa tidak ada laki-laki lain selain merebut suami orang?"
"Salah Mbak sendiri gak bisa jaga Kak Urya yang berpaling padaku. Mbak Va enak resmi jadi suaminya. Sedangkan aku dapat apa? Jawab Mbak!"
Serangan balik pertanyaan Alena benar-benar menghuncam pertahanan Eva yang rapuh.
"Salah siapa kamu jual murah 'bar ang'mu. Tinggalkan Urya atau kamu akan mendapatkan akibatnya!"
"Gak bisa Mbak Va ... Silahkan saja Mbak marah dan mencaciku sepuas hati Mbak Va namun cintaku hanya untuk Kak Urya. Aku rela menjadi yang kedua asal bisa bersamanya."
"Kamu ini tuli atau buta. Gila kamu ... Urya itu suamiku dan aku gak sudi dimadu. Aku gak mau tau kamu harus pergi meninggalkanya," bentak Eva menggigil gemetar, terang-terangan seolah menjeburkanya pada kubangan lumpur hingga sulit untuk membuatnya bernafas.
"Aku harus kuat dan tidak boleh kalah dengan wanita sundal itu."
Eva jatuh ke lantai dengan detak jantung yang siap meledak.
"Berapa uang yang kamu inginkan? Bilang saja pasti aku bayar."
"Bayar Mbak? Lalu bagaimana dengan keperawananku? ... hidupku? ... keluargaku?"
"Itu salahmu sendiri, Na!"
"Aku mohon maafin aku Mbak Va. Aku rela apa saja tapi jangan pisahkan aku dengan Kak Urya. Aku benar-benar mencintainya. Silahkan saja Mbak Va caci-maki diriku sepuasnya.
Mau diinjak-injak? Mau di cakar-cakar? Mau dijambak-jambak? Apapun itu aku terima. Tapi jangan pisahkan aku dengan Kak Urya."
Alena tergugu, entah wanita macam apa? begitu mudah bibirnya mengurai kata-kata tidak masuk akal. Benar Alena sudah gila dan dibutakan oleh cintanya.
Sementara Eva tidak tau apa yang harus dilakukan? Cinta butanyalah yang akan membalaskan sakit hatinya. Eva berencana membuat Urya meninggalkan Alena dengan kejam sebagai bentuk balas dendam.
"Baik. Kita lihat satu bulan ini. Kita uji ... Apakah Urya memilihmu atau memilihku?" Jarinya mengepal, Eva menghela nafas," Jika Urya memilihmu, aku akan pergi. Tapi jika Urya memilihku kamu harus pergi. Bagaimana? Jawab ba ng sat."
"Ok Mbak Va ... Aku terima tantangan itu. Sepakat," lalu Alena mematikan hapenya begitu saja. Tidak boleh ada air mata tertumpah sia-sia untuk mereka yang urat sarafnya sudah putus.
Sungguhpun demikian, tetap saja tirta bening itu melompat membasih pipi, mata Eva berkabut degan pandangan kosong.
Waktu seakan berhenti saat Eva mencoba berdiri, melangkahkan kaki menuju kamar mandi dengan menahan sesak di dada.
Kran air dalam kamar mandi Eva putar dengan tangan gemetar membiarkan tubuhnya terguyur mambasahi hati yang perih terbakar mengangah.
Gemericik air memantul jatuh ke lantai tetap saja tidak bisa mendinginkan hati yang sudah terlanjur panas lagi gersang. Panasnya matahari semua orang merasakanya namun panasnya hati di tanggung sendiri.
Waktu terus saja berputar, Eva masih menangis menggugu dalam kamar mandi menjambak-jambak rambutnya sendiri.
Mengapa takdir ini begitu kejam, mengapa? Entahlah, yang jelas balas dendam sudah menjadi keputusan.
Jika cinta teryakini patut untuk di perjuangkan, maka perjuangkanlah. Lalu apa yang Eva perjuangkan? Baginya saat ini masuk kamar mendatangi Urya yang sedang tertidur pulas.
Melihatnya seolah tidak berdosa ingin rasanya Eva menusuk-nusuk dengan pisau dapur tapi tidak untuk saat ini ia harus menusuk-nusuknya, lalu segera ia mengunci kamar.
Suara menutup pintu mambangunkan Urya, melihat Eva hanya mengenakan handuk saja kemudian senyum tanda kemenangan.
Menang karena mendapatkan tubuh Eva, paling tidak itulah yang mungkin terpikirkan.
"Adek udah maafin, Mas?"
Wajah Urya berseri. Eva tidak menjawab dengan kata-kata melainkan terlepasnya handuk pembungkus tubuh meluncur begitu saja.
Rupanya Eva ingin membuat permainan semakin seru. Ia sengaja menyuguhkan pemandangan terindah surgawi sebentuk konspirasi emosi.
Tanpa panjang kali lebar permainan itu telah dimulai. Setiap konspirasi tentu memiliki resiko gagal, demikian bervariasi dari konspirasi satu menuju konspirasi berikutnya.
Semua emosi dan amarahnya tertumpah dalam pertempuran yang sedang berlangsung. Gempuran demi gempuran membuat nafas berderu bersama angan dan emosi yang melayang ke udara. Tapi saat perang itu hampir selesai sengaja Eva hentikan.
"Kok berhenti, ada apa, Dek Va?"
"Mas cinta gak sih ama aku?"
"Kalau gak cinta kenapa Mas kembali pada Adek?"
"Bisa saja Mas bohong. Apa jaminannya?"
Sedikit pertanyaan Eva lemparkan untuk memancing emosi. Kail sudah di lempar tinggal menunggu umpan dimakan.
"Apapun akan Mas lalukan asal Adek mau menerima Mas kembali."
"Benar?" Eva melotot dengan tatapan mata menghuncam siap menerkam, "mulai sekarang Mas gak boleh ambil pekerjaan keluar kota! Aku gak mau berjauh-jauhan mulai sekarang kita mulai dari nol. Kalau Mas Urya gak mau silahkan pergi sekarang juga," imbuhnya mengancam.
"Baik Mas janji gak akan kerja jauh lagi dan kita mulai dari nol. Kosong-kosong."
"Janji katamu, Mas? Lalu bagaimana dengan janji yang sudah Mas ingkari?" Eva menindas memberinya sedikit pelajaran pada bedabah bernama Urya.
Pelajaran yang justru sesakkan dada Eva karena harus hidup dalam ke pura-puraan.
"Sayang ... Percayalah kali ini Mas gak akan ingkar janji lagi," ucapnya merayu tanpa dosa.
"Hape Mas Urya tadi sudah aku banting. Hancur berkeping-keping. Lalu aku buang di tempat sampah. Aku mau mulai dari awal lagi,'' balasnya menguji emosinya.
Biasanya gadget Urya saat dipengangnya langsung marah-marah, tidak boleh.
"Gak apa-apa Sayang ... Mas 'kan bisa beli lagi,'' ujarnya dengan suara sedikit parau.
Urya mengangkat wajah Eva yang kini menunduk di atas pangkuan-dekapannya. Ada perasaan mengganjal dalam diri pria berambut hitam itu mendengar istrinya menindas. Kata-katanya sederhana sekali, tapi jawabannya sangat tidak mudah.
Tentu saja Eva tau sebenarnya Urya marah. Sengaja menantang untuk membunuh perasaannya pelan-pelan.
"Bahagiakan aku sekarang, Mas."
Eva kini memegang kendali, membuat lelaki bermata elang tidak berkutik.
"Apa yang tidak buat Adek?" Urya menatapnya tajam, memeluk erat seolah tidak ingin terlepas.
Lalu Eva menekanya lebih kuat dan tidak dapat dicegah ia mencium Urya dibibirnya. Sejenak suasana hening, keduanya menikmati 'rujak bi bir' lembut yang berbalut masa lampau .
Satu persatu membentuk proyeksi kenangan masa lalu nampak jelas bagi keduanya. Suka-duka, canda-tawa , tangis, lucu dan semua hal saat pertama berjumpa hingga kepelaminan kembali hadir seperti film layar lebar hitam-putih.
"I love you, Mas."
"I love you too."
Nafas keduanya beralun teratur, tidak ada kemarahan, tidak ada perburuan untuk sejenak ciuman itu benar-benar sehalus sutra.
"Mas ...."
Mendesah, pertempuran berlanjut kembali hingga berkali-kali. Tertumpahlah segala emosi dan dendam yang ada dalam gairah hasrat yang menggelora dalam cinta.
Berhasil sempurna perangkap yang sudah Eva ciptakan. Wanita jika sudah beraksi bisa hancur dunia ini. Sekuat apapun lelaki pasti akan tunduk jika jatahnya terpenuhi dengan sempurna.
"Mulai sekarang Mas Urya yang masak dan nyuci!" pinta Eva menindasnya karena malas bangun dari atas ranjang, "laper nih ambilin makan, sekarang juga!"
Urya menurut, pergi untuk melayani Eva yang kini seperti tuan putri. Terang saja laki-laki itu lucu, karena kalau jatahnya terpenuhi, apapun yang di minta istri langsung berangkat laksanakan. Namun jika jatahnya tidak terpenuhi, biar teriak dengan pita suara hampir rusak, tetap saja tidak bergerak.
Lalu bagaimana dengan nasib gergasi jahat nenek sihir Alena? Mungkin sekarang dirinya sedang merana meratapi nasib sialnya. Kenyataan gadis tidak perawan apa jadinya? Paling-paling kalau ada yang mau juga hanya untuk permainan laki-laki hidung belang.
"Gimana, Mbak Va udah maafin Kakak belum?"
Suara tanya wanita brengsek disebrang itu menyambar pertahanan jiwanya. Eva mencoba memastikan apa itu benar atau tidak dirinya? Ia hanya menahan dengan diam.
Berebut Suami untuk Piala
Diam yang siap menghunjam membalas dengan kata-kata yang akan di ingatnya semur hidup bahkan hingga ke neraka. Tepatlah seorang perebut suami orang neraka jahanam tempat yang layak! Tidak. Itu terlalu mudah untuknya. Neraka dunia harus ia dapatkan saat ini juga.
"Kak, kok diem?" tanya Alena lagi.
"Bagus ya. Jangan matiin teleponya dengarkan aku baik-baik!" Eva gemetar dengan bola mata memancarkan kilatan api menyala-nyala.
Wanita itu hanya diam entah apa yang terpikirkan?
"Mbak Va?"
"Benar ... Kamu ini wanita seperti apa? Apa kamu sudah tidak laku? Kalau mau jadi pel acur berapa hargamu?"
Melesat seperti bujur panah menghujani, pertanyan demi pertanyaan menyerang wanita bi nal itu tanpa ampun.
"Maaf ya Mbak Va. Aku tidak pernah minta apapun dari Kak Urya. Aku mencintainya tulus."
"Cinta katamu? Ba ng sat! Apa tidak ada laki-laki lain selain merebut suami orang?"
"Salah Mbak sendiri gak bisa jaga Kak Urya yang berpaling padaku. Mbak Va enak resmi jadi suaminya. Sedangkan aku dapat apa? Jawab Mbak!"
Serangan balik pertanyaan Alena benar-benar menghuncam pertahanan Eva yang rapuh.
"Salah siapa kamu jual murah 'bar ang'mu. Tinggalkan Urya atau kamu akan mendapatkan akibatnya!"
"Gak bisa Mbak Va ... Silahkan saja Mbak marah dan mencaciku sepuas hati Mbak Va namun cintaku hanya untuk Kak Urya. Aku rela menjadi yang kedua asal bisa bersamanya."
"Kamu ini tuli atau buta. Gila kamu ... Urya itu suamiku dan aku gak sudi dimadu. Aku gak mau tau kamu harus pergi meninggalkanya," bentak Eva menggigil gemetar, terang-terangan seolah menjeburkanya pada kubangan lumpur hingga sulit untuk membuatnya bernafas.
"Aku harus kuat dan tidak boleh kalah dengan wanita sundal itu."
Eva jatuh ke lantai dengan detak jantung yang siap meledak.
"Berapa uang yang kamu inginkan? Bilang saja pasti aku bayar."
"Bayar Mbak? Lalu bagaimana dengan keperawananku? ... hidupku? ... keluargaku?"
"Itu salahmu sendiri, Na!"
"Aku mohon maafin aku Mbak Va. Aku rela apa saja tapi jangan pisahkan aku dengan Kak Urya. Aku benar-benar mencintainya. Silahkan saja Mbak Va caci-maki diriku sepuasnya.
Mau diinjak-injak? Mau di cakar-cakar? Mau dijambak-jambak? Apapun itu aku terima. Tapi jangan pisahkan aku dengan Kak Urya."
Alena tergugu, entah wanita macam apa? begitu mudah bibirnya mengurai kata-kata tidak masuk akal. Benar Alena sudah gila dan dibutakan oleh cintanya.
Sementara Eva tidak tau apa yang harus dilakukan? Cinta butanyalah yang akan membalaskan sakit hatinya. Eva berencana membuat Urya meninggalkan Alena dengan kejam sebagai bentuk balas dendam.
"Baik. Kita lihat satu bulan ini. Kita uji ... Apakah Urya memilihmu atau memilihku?" Jarinya mengepal, Eva menghela nafas," Jika Urya memilihmu, aku akan pergi. Tapi jika Urya memilihku kamu harus pergi. Bagaimana? Jawab ba ng sat."
"Ok Mbak Va ... Aku terima tantangan itu. Sepakat," lalu Alena mematikan hapenya begitu saja. Tidak boleh ada air mata tertumpah sia-sia untuk mereka yang urat sarafnya sudah putus.
Sungguhpun demikian, tetap saja tirta bening itu melompat membasih pipi, mata Eva berkabut degan pandangan kosong.
Waktu seakan berhenti saat Eva mencoba berdiri, melangkahkan kaki menuju kamar mandi dengan menahan sesak di dada.
Kran air dalam kamar mandi Eva putar dengan tangan gemetar membiarkan tubuhnya terguyur mambasahi hati yang perih terbakar mengangah.
Gemericik air memantul jatuh ke lantai tetap saja tidak bisa mendinginkan hati yang sudah terlanjur panas lagi gersang. Panasnya matahari semua orang merasakanya namun panasnya hati di tanggung sendiri.
Waktu terus saja berputar, Eva masih menangis menggugu dalam kamar mandi menjambak-jambak rambutnya sendiri.
Mengapa takdir ini begitu kejam, mengapa? Entahlah, yang jelas balas dendam sudah menjadi keputusan.
Memenangkan Piala Cinta
Jika cinta teryakini patut untuk di perjuangkan, maka perjuangkanlah. Lalu apa yang Eva perjuangkan? Baginya saat ini masuk kamar mendatangi Urya yang sedang tertidur pulas.
Melihatnya seolah tidak berdosa ingin rasanya Eva menusuk-nusuk dengan pisau dapur tapi tidak untuk saat ini ia harus menusuk-nusuknya, lalu segera ia mengunci kamar.
Suara menutup pintu mambangunkan Urya, melihat Eva hanya mengenakan handuk saja kemudian senyum tanda kemenangan.
Menang karena mendapatkan tubuh Eva, paling tidak itulah yang mungkin terpikirkan.
"Adek udah maafin, Mas?"
Wajah Urya berseri. Eva tidak menjawab dengan kata-kata melainkan terlepasnya handuk pembungkus tubuh meluncur begitu saja.
Rupanya Eva ingin membuat permainan semakin seru. Ia sengaja menyuguhkan pemandangan terindah surgawi sebentuk konspirasi emosi.
Tanpa panjang kali lebar permainan itu telah dimulai. Setiap konspirasi tentu memiliki resiko gagal, demikian bervariasi dari konspirasi satu menuju konspirasi berikutnya.
Semua emosi dan amarahnya tertumpah dalam pertempuran yang sedang berlangsung. Gempuran demi gempuran membuat nafas berderu bersama angan dan emosi yang melayang ke udara. Tapi saat perang itu hampir selesai sengaja Eva hentikan.
"Kok berhenti, ada apa, Dek Va?"
"Mas cinta gak sih ama aku?"
"Kalau gak cinta kenapa Mas kembali pada Adek?"
"Bisa saja Mas bohong. Apa jaminannya?"
Sedikit pertanyaan Eva lemparkan untuk memancing emosi. Kail sudah di lempar tinggal menunggu umpan dimakan.
"Apapun akan Mas lalukan asal Adek mau menerima Mas kembali."
"Benar?" Eva melotot dengan tatapan mata menghuncam siap menerkam, "mulai sekarang Mas gak boleh ambil pekerjaan keluar kota! Aku gak mau berjauh-jauhan mulai sekarang kita mulai dari nol. Kalau Mas Urya gak mau silahkan pergi sekarang juga," imbuhnya mengancam.
"Baik Mas janji gak akan kerja jauh lagi dan kita mulai dari nol. Kosong-kosong."
"Janji katamu, Mas? Lalu bagaimana dengan janji yang sudah Mas ingkari?" Eva menindas memberinya sedikit pelajaran pada bedabah bernama Urya.
Pelajaran yang justru sesakkan dada Eva karena harus hidup dalam ke pura-puraan.
"Sayang ... Percayalah kali ini Mas gak akan ingkar janji lagi," ucapnya merayu tanpa dosa.
"Hape Mas Urya tadi sudah aku banting. Hancur berkeping-keping. Lalu aku buang di tempat sampah. Aku mau mulai dari awal lagi,'' balasnya menguji emosinya.
Biasanya gadget Urya saat dipengangnya langsung marah-marah, tidak boleh.
"Gak apa-apa Sayang ... Mas 'kan bisa beli lagi,'' ujarnya dengan suara sedikit parau.
Urya mengangkat wajah Eva yang kini menunduk di atas pangkuan-dekapannya. Ada perasaan mengganjal dalam diri pria berambut hitam itu mendengar istrinya menindas. Kata-katanya sederhana sekali, tapi jawabannya sangat tidak mudah.
Tentu saja Eva tau sebenarnya Urya marah. Sengaja menantang untuk membunuh perasaannya pelan-pelan.
"Bahagiakan aku sekarang, Mas."
Eva kini memegang kendali, membuat lelaki bermata elang tidak berkutik.
"Apa yang tidak buat Adek?" Urya menatapnya tajam, memeluk erat seolah tidak ingin terlepas.
Lalu Eva menekanya lebih kuat dan tidak dapat dicegah ia mencium Urya dibibirnya. Sejenak suasana hening, keduanya menikmati 'rujak bi bir' lembut yang berbalut masa lampau .
Satu persatu membentuk proyeksi kenangan masa lalu nampak jelas bagi keduanya. Suka-duka, canda-tawa , tangis, lucu dan semua hal saat pertama berjumpa hingga kepelaminan kembali hadir seperti film layar lebar hitam-putih.
"I love you, Mas."
"I love you too."
Nafas keduanya beralun teratur, tidak ada kemarahan, tidak ada perburuan untuk sejenak ciuman itu benar-benar sehalus sutra.
"Mas ...."
Mendesah, pertempuran berlanjut kembali hingga berkali-kali. Tertumpahlah segala emosi dan dendam yang ada dalam gairah hasrat yang menggelora dalam cinta.
Berhasil sempurna perangkap yang sudah Eva ciptakan. Wanita jika sudah beraksi bisa hancur dunia ini. Sekuat apapun lelaki pasti akan tunduk jika jatahnya terpenuhi dengan sempurna.
"Mulai sekarang Mas Urya yang masak dan nyuci!" pinta Eva menindasnya karena malas bangun dari atas ranjang, "laper nih ambilin makan, sekarang juga!"
Urya menurut, pergi untuk melayani Eva yang kini seperti tuan putri. Terang saja laki-laki itu lucu, karena kalau jatahnya terpenuhi, apapun yang di minta istri langsung berangkat laksanakan. Namun jika jatahnya tidak terpenuhi, biar teriak dengan pita suara hampir rusak, tetap saja tidak bergerak.
Lalu bagaimana dengan nasib gergasi jahat nenek sihir Alena? Mungkin sekarang dirinya sedang merana meratapi nasib sialnya. Kenyataan gadis tidak perawan apa jadinya? Paling-paling kalau ada yang mau juga hanya untuk permainan laki-laki hidung belang.
Next
Post a Comment for "Perebut Lelaki Orang, Bagian 21, Cinta Terlarang Ini Dosa Siapa? "
Disclaimer: Semua isi konten baik, teks, gambar dan vidio adalah tanggung jawab author sepenuhnya dan jika ada pihak-pihak yang merasa keberatan/dirugikan silahkan hubungi admin pada disclaimer untuk kami hapus.