Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Badai Menghantam, Bagian 24, Cinta Terlarang Ini Dosa Siapa?

Baca Novel Online Cinta Terlarang yang Bikin Baper



Novel Cinta Terlarang
- Alena Velovena : Berikan pada istrimu pelukan hangat itu jika tidak bisa kamu berikan padaku. Berhentilah berjuang untuk kita, untuk kamu dan dia. Aku masih mengingingatmu saat hujan, aku masih mengingat kita dan aku tau kesendirian itu yang tetap kurasakan walaupun jiwa kita bersama.

Biarkan aku melepaskanmu. Aku berharap hari ini kamu bisa melepaskanku. Pergilah. Sejauh mungkin pergilah. Ingat Sang Maha Kehidupan, ingat janji kita pada-Nya.


Badai Menghantam


Mentari baru saja mendepak bumi, menyulap siang menjadi senja. Rintik pertama hujan mulai berjatuhan ke bumi hari jumat, saat orang-orang pada umumnya pulang kerja, berada di rumah. Awan menjanjikan hujan sebenarnya  telah sering menggantung dilangit beberapa hari sebelumnya.

Hanya saja, entah mengapa senja itu sepertinya hujan mengamuk disetai angin dan badai. Angin kencang membuat beberapa ranting patah, pohon memang menderita hanya tidak mati.

Urya di rumah, mempersiapkan segala sesuatunya untuk kepergianya melihat proyek di luar pulau jawa. Patut kiranya diketahui hubungan Urya dan Eva telah membaik kembali setelah "perang dingin" hampir tiga bulan lamanya.

Terbongkarnya hubungan Urya dan Alena dan kepedihan dalam rumah tangga mereka yang hampir tidak bisa diselamatkan kini segalanya kembali seperti semula.

"Aku suka hujan ...." Eva begumam berdiri di beranda memandang halaman rumah yang dengan cepat tergenang air. Urya berdiri disampingnya, menatap lega, menghitung pucuk-pucuk rambut istrinya.

"Apa iya? Seperti dicurahkan dari langit," kata Urya berbisik, mendongak  memandang langit menguyurkan rintik-rintik air yang jatuh deras.

"Iya, Mas. Air hujan mengingatkanku saat tidur dijalanan. Saat susah, waktu aku masih kuliah ..." belum selesai Eva melanjukan kata-katanya.

"Maafin, Mas. Bisa 'kan tidak diungkit kembali, Dek?" Urya menimpali, memeluk istrinya. Ada perih dihati pria bermata tajam itu, menghunjam hati. Bagaimanapun juga Alena ada didalam hatinya.

"Kenapa, Mas? Aku hanya mau bilang, aku tidak suka kemarau berkepanjangan, gersang dan segala sesuatunya bisa menjadi bencana."

Eva mencebik menyindir. Susah-payah telah mereka lalui  bersama-sama. Siapa sangka suami yang belahan jiwanya itu bisa menikah lagi dengan wanita lain?

"Sayang,  masuk, yuk." Urya menepuk pundak bidadari surga pertamanya  itu. Ia juga tidak suka musim kemarau, terutama kemarau dalam pernikahan mereka.

Urya hanya menginginkan hadirnya malaikat kecil sebagai pewarisanya, bukan pertengkaran. Apalagi perpisahan. Bagi Urya Eva adalah jiwanya dan Alena adalah hatinya.

"Iyah  ..." Eva mengangguk, lalu melangkah beriringan dengan Urya masuk ke ruang tengah dalam rumah. Kemudian duduk di sofa seraya memoncongkan bibirnya yang bisa dikucir.

"Apa Mas perlu menghilang dari muka bumi ini agar kamu bahagia, Dek?"
"Kalau bicara itu dijaga mulutnya. Jika aku tidak cinta sama, Mas. Tidak mungkin sekarang aku masih di rumahmu. Tidak mungkin aku mau tinggal  bersama lelaki seperti, Mas. Apa tidak peka, aku sangat mencintai, Mas Urya?"
"Laper. Makan dulu, yuk." Urya mencium kening wanita berdarah jawa tengah itu dengan lembut lagi mesra.

Beruntung hujan tiba, hawa dingin memang membikin lapar.  Mungkin benar kata Eva, musim kemarau yang menyebabkan pertengkaran dan perselingkuhan terjadi?

Sejujurnya Eva belum bisa percaya sepenuhnya pada Urya, luka akibat terkhianati masih sangat membekas. Akan tetapi ia menyadari tidak mungkin selamanya memenjarakan suamianya itu.

Eva mengerti daripada menyimpan baper, lebih baik laper, apalagi tadi sore sudah memasak ayam goreng sambal bawang. Lahap sekali mereka berdua makan malam itu. Eva melayaninya penuh cinta dan memastikan masakanya tidak asin lagi.

"Ada apa sih?" Urya tertawa kecil, menatap sedikit menindas saat suapan pertama.
"Tidak kok, Mas. Aku hanya merasa lutut aja, eh lucu maksudnya," jawab Eva menunduk malu.
"Lucu kenapa loh, Sayang?"
"Engak kok, Mas. Cuma ..."
"Cuma  cumi atau apa? Oh  Mas tau, jangan bilang, apa iya masakan keasinan disuruh beli garam lagi? Ya ampun, Sanyang. Adek gemesin deh." Bukan Urya jika tidak menyebalkan, sepertinya ia cukup puas menggoda istrinya.

"Oh masih ingat aku, masih ingat tentang kita, Mas? Adek kira di jawa timur itu yang Mas ingat," balas Eva mengintimidasi. Mengungkit-ungkit masa lalu mungkin kebiasan Eva atau justru semua wanita seperti itu?
"Dek Please. Sudah ya. Tidak baik bicara sembari makan."

Sejenak Eva tersenyum mendengar permintaan Urya untuk makan tanpa banyak bicara. Permintaan itu membawa ingatanya kembali mundur ketika satu tahun pernikahan mereka. Selalu ditinggal pergi suaminya, mendapat gelar jablai.

Bukan hanya itu,  badai menghantam bahtera rumah tangga mereka. Sempat kedua orang tuanya meminta Eva meninggalkan suaminya. Beruntung ia bukan wanita berhati ketan, mampu menahan terjangan angin puyuh dalam berbagai bentuk dan rupa.

Mulai dari kakak seniornya di kampus hingga salah satu dosen saat kuliah dulu mencoba mendekatinya. Bahkan mantan jaman SMA ada yang ingin mengajak balikan. Menyakitkan.

*
Jika kau jatuh cinta maka kau harus memiliki tempat tujuan. Biarkan menjadi anak-anak sungai yang selalu mengulang-ulang nyanyiannya disepanjang telinga malam. Kau akan benar-benar menyadari sebuah perasaan rindu yang mendalam yang tiada berkesudahan

*

"Lihat tangan Adek penuh sabun, bagaima caranya bisa membersihkan hidung, Mas?"

Selesai makan, Urya menggangu istrinya yang sedang mencuci piring di dapur. Ia berdiri selisihan sambil ngobrol.

"Gunakan bibir, Dek," sergah Urya tanda lampu hijau minta jatah.
"Sabar ya, Mas ...."

Lagi-lagi Urya memotong pembicaran Eva, bibir berpagut begitu saja, begitu dalam lagi senyap. Semendadak angin mereka lupa piring-piring belum dicuci  dan permainan dimulai. Hujan semakin deras, bukan hawa dingin, justru di dalam rumah tersebut semakin memanas.

Bergetar, tangan Eva memeluk leher Urya, kedua kakinya berjinjit agar tarian semakin mudah. Sementara tangan Urya kini memegang bahu istrinya, sedikit menekan agar semakin rapat. Terbang keangkasa, begitu sedap pagutan-tarian lidah tidak bertulang dari orang yang terindukan.

Terhipnotis, Eva memejamkan matanya, membiarkan semuanya mengalir bak telaga bening tanpa warna, sekerjap terhenyak bersama tubuhnya yang sudah mulai gemetar.

Semua dendam akibat perselingkuhan di musim kemarau kini tidak lagi gersang berganti musim penghujan. Beberapa ranting pohon yang patah, satu persatu kuncup mulai menumbuhkan tunasnya untuk berganti musim semi.

Menyatu dalam api Tuhan, Eva dan Urya bagai pohon yang tengah berbunga mekar. Apakah akan berbuah?

Hujan di luar semendadak angin reda, denting menerpa jendela di dalam kamar, menimbulkan suara berisik bertalu-talu. Kedua anak manusia yang  dimabuk asmara  sudah berada di dalam sana, tidak peduli dengan suara dan tidak mendengar apa-apa.

"Mas ...." Eva mendesah, rasanya geli hangat, sekaligus memanjakan.
"Iya sayang," jawab Urya sembari mencium kening istrinya.
"Kapan pulang dari Kalimanatan?"
"Berangkat aja belum, sudah ditanya kapan pulang, Dek."
"Aku takut Mas Urya seperti dulu. Selingkuh lagi," kata Eva menindas.
"Apa Mas batalkan saja tiketnya besok?"

Lubuk hati Urya terdalam sejujurnya merasa bersalah dan tidak tega terus-menerus menutupi kebohongan dengan kebohongan baru. Ia sangat merindukan Alena saat dalam pelukan Eva, itu sangat menyakitkan.

"Mas berani mengkhianatiku lagi? Tanggung akibatnya. Lebih baik Mas Urya tidak ada lagi di dunia ini ...."

Gelegar, kitat petir menyambar-nyambar bagai sebuah pertanda alam semesta. Akan tetapi Urya seolah tuli, bukanya membiarkan istrinya menyelesaikan  kata-katanya itu, ia  jusrtu memanaskan gairah asmara.  Di telinga mereka cuma debur jantung yang semakin berantakan dan nafas yang mendesah-desah menjadi musik romantis mengiringi tarian kerinduan.

Ada perasaan sakit sekaligus nikmat di dada Eva yang terhenyak muncul dalam dada Urya. Dengan gempuran dari Lelanange Jagat berpacu kencang, Eva  merasakan kegelian, mengelitik pada puncak-puncak akal warasnya.

Enam puluh menit kemudian ... mungkin lebih, tanpa bisa ditahan Oleh Eva, sebuah gemuruh bagai banjir bandang membuat tubuhnya meregang. Banjir itu menerjang segala hal yang menjadi penghalang, bagai bom di jatuhkan di Herosaima, tubuhnya serasa meledak. Berkali-kali hingga pagi.

Hari itu Urya berpamitan pada Eva untuk pergi ke Kalimantan. Siapa sangka ternyata musim penghujan, menjadi malam terakhir bagi mereka. Sebuah malam terakhir yang begitu merdu untuk dinyanyikan ternyata berubah badai berkepanjangan, apa akan terjadi?

Pertemuan Suatu Senja 


"Jadi sekarang kamu lagi menulis buku atau menulis lagu? Mau dong aku dibuatin," kata Alena pada suatu senja di Jakarta.

"Beneran mau dibuatin buku olehku?" Agra melempar senyum lega, menatapnya seolah tidak percaya.

"Apasih yang gak mau dari kamu, Gra? Jangankan buku tulisanmu. Buku nikah saja aku mau."

Mereka  saling bertukar cerita, Agra bercerita tentang komunitas menulis yang akhirnya menemukan jati diri oleh karena itu sengaja Agra tulis cerita hidupnya lewat novel online.  Sebaliknya Alena bercerita tentang kehidupannya setelah lepas SMA .

Selesai Kuliah di Malang, ia  pernah bekerja di beberapa perusahan di luar jawa seperti NTB dan Bali. Kemudian ia pulang ke Pulau Jawa dan beruntunglah ia diterima dan baru saja berkerja disalah satu TV sebagai creatif direktor.

Alena juga berkata bahwa cocok berkerja yang berkaitan dengan seni yang selama ini ia tinggalkan.

Permintaan Alena itu mengispirasinya  untuk menulis beberapa novel dan juga beberapa lagu. Agra tidak pernah menyangka bahwa pertemuan di kafe itu membuat mereka janjian saling bertemu.

Cinta di pucuk ulam pun tiba, janur ajur cinta pertamanya yang belum pudar menyala lagi. Tidak perlu lama Agra memberanikan diri mengajak Alena naik pelaminan dan ternyata ia tidak menolak.

Bahagia indah terasa mimpi-mimpiku selama ini untuk memiliki Alena menjadi nyata. Harapan untuk membangun mahligai cinta bertahta bahagia kini tidak lagi sekedar angan.

Selama ini Agra  mendambakan istri yang cantik berkulit putih orentalis, energik dan tidak bosan untuk memandangnya saat bangun di pagi hari. yang namanya cewek energik pasti lincah di atas ranjang tentu itu akan membuatnya  betah di rumah. Ingin Agra  tanamkan benih cinta pada rahimnya dan ia akan melahirkan anak-ananya  kelak.  Walaupun agak ganjil kenapa Alena menerima Agra begitu saja? 
***

Prosa Hujan 


Taukah kamu, satu-satunya hal yang mampu merperlambat waktu adalah rindu. Selalu saja, jarak menghadirkan ruang sepi dalam dada. 

Apa kamu tau? Kamu dan aku bahkan sering merasa sepi dalam keramaian. Tanpa letih, aku begitu bodoh masih saja mencari-cari kamu dikepalaku, membawamu pergi kemana saja bersamaku. 

Jika saja ada pilihan untuk berharap, maka aku memilih untuk hilang ingatan. Agar aku tidak lagi sesekali mendatangi tempat kita untuk memperlambat waktu. 

Menyebalkan, setiap aku menulis tentang hujan selalu saja membawa pulang kehangatanmu diaksaraku. Sementara jariku harus tabah menari menikmati lelahnya waktu.  Next

Daftar Isi Novel 


Selengkapnya Episode 1- 50   INDEK LINK DISINI

<Part Sebelumnya< > Part Selanjutnya

Post a Comment for "Badai Menghantam, Bagian 24, Cinta Terlarang Ini Dosa Siapa? "