Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Syukur, Kenangan Terindah, Cerpen Motivasi Penuh Makna

Event Menulis Cerita Pendek Kenangan Terindah 


Cerita Pendek, Syukur 

Suara pintu seng yang dibuka perlahan menyadarkanku dari kantuk yang menyergap. Tak lama, muncul wanita berusia lima puluhan, berjalan masuk dengan tenggok yang digendong di punggung.


Di atas tenggok itu, tampak dua buah baskom yang ditumpuk. Tangan kanan mengapit sebuah tenggok, sedang tangan kirinya membawa kantong plastik kecil.

Aku menyongsong perempuan renta itu, lalu menerima tenggok dan bungkusan plastik dari tangannya. Aroma bakmi goreng Mbah Trimo yang lezat langsung menggoda indera penciumanku.

"Laris, Mbah?" tanyaku dengan riang, melihat tenggok dan baskom di gendongan simbah sudah kosong semua.


"Alhamdulillah, Ndhuk. Semua laku. Tadi ada beberapa sisa tempe dan tahu bacem, simbah bagikan sama anak-anak di perko depan Toko Progo."



Perempuan berkebaya kuning itu melepas penat, duduk di atas dhingklik, sambil mengipasi tubuhnya dengan kain gendongan.

"Mereka pasti senang, ya, Mbah, dapat makanan gratis."

"Simbah lebih bahagia, Ndhuk. Kamu tahu, kamu akan bahagia bila bisa membahagiakan orang lain. Kebahagiaan itu menular."

"Anak-anak itu, nggak punya rumah, ya, Mbah?" kataku sambil menuang minuman.

"Yo belum tentu, Ndhuk. Mereka ada yang punya rumah, tapi pergi. Kamu tahu si Parmin? Yang bentuk rambutnya persis sikat WC, terus dicat warna warni kaya anak ayam di pasar itu? Dia anak orang kaya, Ndhuk. Ayah ibunya tak pernah di rumah. Akhirnya dia keluar dari rumah, untuk mencari perhatian, menjadi anak jalanan."

Baca Juga: 





"Diminum dulu, Mbah." Kusodorkan air teh tawar kesukaan simbah. Dengan tangan gemetar, diterima cangkir aluminium, lalu menenggak habis isinya.


"Berarti, aku ndak boleh main sama mereka, ya, Mbah?"

"Kenapa tidak? Simbah ndak pernah melarang kamu bergaul sama siapa pun, asal kamu bisa jaga diri. Kamu ngerti 'kan maksud simbah? Ngelio, nanging ojo nganti keli. Ikutlah mengalir, tapi jangan sampai terbawa arus."



Aku manggut-manggut, seakan mengerti. Kata-kata simbah masih terdengar membingungkan untuk aku yang masih kelas satu SMP.

"Makanya, Ndhuk. Kekayaan itu tidak menjamin kebahagiaan. Kita memang tidak kaya harta, tapi kita harus kaya hati. Rejeki itu sudah ditakar, ndak mungkin tertukar."

"Tertukar ... seperti sendal simbah di masjid tempo hari, ya?" Aku tertawa kecil mengingatnya.

"Iyo, Ndhuk."

"Tapi, orang kaya 'kan enak, Mbah. Mau apa-apa bisa beli, karena mereka banyak uang."

"Uang memang bisa membeli apa saja, tapi dia tak bisa membeli kasih sayang, Ndhuk. Jagalah kejujuran, karena ia adalah mata uang yang berlaku di mana saja."

"Maksudnya, Mbah?"

"Kelak kalau kamu dewasa, pasti akan mengerti."

Aku meringis.

"Mbah, kok pulangnya kemaleman? Jangan terlalu capek, Mbah." Aku memijit kakinya yang keriput dan ... kurus.

"Tadi antri beli bakmi goreng, kamu belum makan, to, Ndhuk?" Aku mengangguk, lalu mengambil piring aluminium yang sudah bolong di sana sini.

"Ibukmu mana?"

"Ada, Mbah, lagi nyuci."

"Sana panggil, ajak makan sekalian!"

"Iya, Mbah."

Setelah makan, kusiapkan peralatan tempur untuk mengolah sayuran.

"Simbah istirahat saja, biar aku sama Ibuk yang selesaikan ini." Kuambil bayam untuk disiangi.

"Simbah belum ngantuk, Ndhuk."

Simbah meraih pisau, ikut menyiangi sayuran untuk dibuat gudangan besok. Sudah dua puluh tahun lebih simbah berjualan nasi gudangan dan baceman di pendopo Pasar Beringharjo. Beliau berjualan sekitar pukul setengah empat sore hingga jam delapan malam.





Aku hanya bisa menarik napas panjang. Simbah memang sangat keras kepala, sama sepertiku. Kutatap wanita yang mendendangkan lagu Kimigayo tersebut. Lagu warisan jaman penjajahan yang sangat dihapalnya. Bahkan, saking seringnya simbah mendendangkannya, aku jadi ikut hapal lagu kemerdekaan Jepang tersebut.

Rambut simbah yang setiap hari digelung mulai memutih. Kebaya yang dikenakan sedikit longgar. Sisa kecantikan masih tampak pada wajah yang selalu dihiasi senyum itu.

"Ndhuk, kalau sudah besar, kamu mau jadi apa?" tanya beliau.

"Apa, ya, Mbah? Mmm ... mau jualan nasi gudangan aja, kaya Simbah."

"Lho, kok jualan nasi gudangan? Memangnya kamu nggak pingin jadi guru, jadi dokter, jadi apa, gitu?" Simbah berkata tanpa menatapku. Matanya masih fokus pada bayam di tangan.

"Iya, Mbah. Biar anak cucuku nggak kelaparan, juga bisa berbagi makanan dengan anak jalanan, hahaha ...."

Simbah ikut tertawa.

"Apapun cita-citamu, kamu harus perjuangkan, ya, Ndhuk. Sekolahlah setinggi mungkin! Jangan seperti Simbah yang hanya lulusan SR! Kalau bisa, kamu kuliah. Jadilah orang yang bermanfaat." Aku mengangguk, lagi.

"Tapi, kuliah 'kan mahal, Mbah. Siapa yang mau bayar?"

"Gusti Allah, Ndhuk. Dia Maha Kaya. Mintalah pada Allah, jangan pada selain Dia."





Jam menunjukkan pukul satu dini hari, tapi rumah ramai sekali. Aku mengucek mata sebentar, berusaha memahami apa yang terjadi. Pak Hamid, ketua RT kami, membopong simbah keluar rumah. Sementara di belakangnya, ibu mengusap mata berkali-kali.

Ada ceceran darah di sprei. Aku segera bangun, simbah pasti muntah darah lagi.

"Mbah ... Simbah!" Aku menyusul Pak Hamid, berlari, tanpa alas kaki. Air mataku berderai, sama seperti ibu. Kami masuk ke mobil Pak Hamid, menuju rumah sakit. "Tuhan, tolong selamatkan Simbah." Sepanjang jalan, hanya itu yang terucap dalam hati.

Rasanya, lambat sekali mobil ini melaju. "Buk, siapa yang akan membayar biaya rumah sakit? Bukankah masuk ke rumah sakit itu mahal?" lirihku di sela isak. Ibu tak menjawab, hanya merengkuhku ke dalam pelukan.

***
"Terima kasih, Dokter Gayatri. Anda selalu bisa menguatkan saya dan keluarga. Dulu saya sering menyalahkan Tuhan atas apa yang menimpa ibu. Saya bahagia, bisa membahagiakan ibu di akhir usianya."

"Sama-sama, Mbak Wid. Kita yang sehat, harus bisa menjadi penyemangat untuk yang sakit. Kita harus percaya pada Tuhan, bahwa Dia akan memberikan yang terbaik. Yang penting, kita selalu bersabar dan bersyukur."

***

Kulepas jas putih bertuliskan, dr. Gayatri Sp.P di dada. Ternyata benar kata simbah, kau akan bahagia bila bisa membuat orang lain bahagia.

Simbah, lihatlah! Di sinilah sekarang aku mengabdi, Rumah Sakit Paru dr Ario Wirawan, Salatiga. Seperti pesan simbah, aku ingin menjadi orang yang bermanfaat. Aku yang pernah menertawai diri sendiri dan ditertawakan teman-teman karena ingin menjadi dokter, telah mewujudkan semuanya.

Sejak simbah meninggal lima belas tahun yang lalu, aku mulai merajut mimpiku. Aku ingin menjadi seorang dokter. Ingin menyelamatkan lebih banyak orang, melihat binar bahagia orang yang tadinya berkalang duka.

Kalian heran, aku dapat uang darimana untuk melanjutkan kuliah? Sejak SMP hingga S1, aku bekerja paruh waktu. Berbagai pekerjaan kuterima, mulai dari tukang cuci piring, membantu menimbang gula pasir, bahkan memberi les privat. Aku pun mendapat beasiswa selama sekolah. Masuk Kedokteran UGM juga melalui Bidik Misi. Penyakit paru yang merenggut nyawa simbah, menjadi pembakar semangatku.

***

"Selamat sore, Cantikku." Seorang pria bercelana jeans dan kemeja biru menyambutku. Dia bersandar di pintu Fortuner hitam yang terparkir di depan rumah sakit.

"Selamat sore, Sayang." Kucium punggung tangannya, kemudian, dikecupnya keningku.

"Kita jadi ke Jogja, nyekar simbah?"
"Jadi dong, Sayang."
"Rumah sudah beres 'kan? Aku ngga mau anak-anak kelaparan selama kita di Jogja."


"Aman, Sayang." Dia membuka pintu mobil. Di dalam, sudah ada seorang anak kecil yang segera mengambil tempat di pangkuanku.

"Sekar, cantiknya ibu." Aku mencium pipinya gemas. Gadis dua tahun itu tergelak tanpa henti. Simbah, tunggu kami. Kubawakan cucu buyutmu.

Aku malu. Dulu pernah aku merasa iri kepada mereka yang mampu, yang lebih kaya. Setelah simbah meninggal, lambat laun aku mulai mengerti pesan-pesannya, seiring aku tumbuh dewasa.

Apa yang tak aku syukuri dalam hidup ini? Hidup penuh cinta dengan keluarga kecil di sebuah desa nan asri di Salatiga. Oh, bukan, kuralat. Aku hidup dengan keluarga besar rumah cinta "Bhakti Ananda" di sini.

Memang, rejeki sudah ditakar, tak mungkin tertukar. Siapa sangka, Gayatri, anak seorang buruh cuci, kini sudah bisa membukakan sang ibu usaha laundry?

Setelah lulus S1, aku menikah dengan Shaka Wirayudha, seorang dokter spesialis paru. Dia yang membiayaiku menyelesaikan S2. Rumah cinta "Bhakti Ananda" kami dirikan juga karena kebaikan hatinya, untuk menampung anak jalanan, anak yatim, juga para orang tua yang ditinggalkan anaknya begitu saja. Juga untuk mengenang simbah. Di rumah ini, kami saling berbagi cinta, dari anak-anak hingga orang tua.



Kang Parmin, anak jalanan yang dulu suka tidur di emperan toko, kupercaya untuk mengelolanya bersama sang istri. Seperti pesan simbah, aku tetap bergaul dengan siapa saja, bahkan bisa mengetuk hati Kang Parmin untuk kembali pada keluarganya.

Terima kasih, Simbah. Banyak pelajaran darimu yang menjadikanku seperti sekarang.

Lalu, nikmat Tuhan mana lagikah yang kamu dustakan? Apakah ada alasan, untuk tidak bersyukur dengan semua yang telah Allah gariskan?


Jogjakarta, 19 Mei 2019.

Jumlah kata: 1274
Tema: Kenangan

Penulis : Desy Rosmayawati


Post a Comment for " Syukur, Kenangan Terindah, Cerpen Motivasi Penuh Makna "