Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Pesona Mama Muda: Kurebut Suamiku Kembali, Episode 4

Cerbung Menggenggam Bara Neraka Bagian 4: Kurebut Suamiku Kembali 




Cerbung Romantis- Air mata biasanya mudah tertumpah membasahi pipi Ahya, kini kering kerontang lebih gersang daripada kemarau panjang. Ia menatap putri kecilnya yang baru saja tertidur.

Wajah cantik putri kecilnya membawa ingatan Ahya pada sepuluh tahun pernikahannya dengan Dirandra. Pada waktu itu ia masih kuliah semester enam di salah satu Sekolah Perguruan Tinggi Islam di Kudus, Jawa Tengah.

"Aku tidak menjanjikan bahagia bersamamu, yang aku tau ingin bersamamu seumur hidupku. Walaupun muslim telah berganti dan dihalaman berbeda. Maukah adek menjadi istri, Kakak?"

Seoalah mendengar syair dari surga, kata-kata dari Dirandra itu kembali terdengar. Ahya tidak pernah menyangka, bahwa suaminya pernah menikah lagi dengan wanita lain.

Perihnya Dikhianati Suami Sendiri 


Hari itu Ahya pernah mencoba untuk mengakhiri hidupnya, sayang gagal dan selamat. Bukannya sembuh, Dirandra justu semakin menjadi-jadi.

Waktu berjalan dengan kematian menyeringai, wanita berkulit putih itu akhirnya belajar menerima takdirnya. Tentu saja, dendam dan amarah kerap mucul saat tidak tepat waktu.


"Aku mencoba belajar mencintaimu, namun sia-sia. Jika bisa memilih, aku lebih baik pergi darimu sejauh mungkin. Tapi apa? Kudapati diriku hampa tanpamu." Gumam Ahya lebih bicara pada diri sendiri.





Benarkah kebahagiaan wanita tidak ditemukan pada kekayaan lelaki maupun kepatuhan padanya dan kebaikan hatinya? Hati Ahya terikat pada jiwa Dirandra, hanya lelaki itu yang mampu membuatnya bahagia sekaligus tersiksa.

Ahya masih saja mematut di depan cermin. Memandangi sembulan lemak pada perutnya. Usianya nampak tiga tahun lebih muda dari umur aslinya. Meski ia telah melahirkan dua orang anak, ia selalu rajin olah raga dan pola hidup sehat.

"Akan kurebut kembali suamiku."

Saat amarah memuncak itulah waktu yang tepat untuk bercinta, Ahya sedang rindu sentuhan suaminya.

"Pa ... dingin, nih. Papa gak mau peluk Mama?"

Bunyi pesan singkat whatsapp masuk, sementara, Dirandra yang sedang ingin membalas chat dari seorang gadis didapati jemarinya kaku. Dalam sekejap suaminya menjawab,

"Buka dong pintunya, Ma."
"Sudah dari tadi ..."
"Mama memakai baju apa?"
"Nothing."

Tidak sampai tiga detik, Dirandra masuk ke kamar, menyelusup dalam selimut, lalu menciumi Ahya seraya berbisik.

"Pantesan mama kedinginan! Lhah wong gak pakai apa-apa."

Apa Dirandra tidak peka? Atau justru perasaannya mati. Bagaimana Ahya tidak gerah kepanasan, sementara lelaki yang dicintainya memikirkan wanita lain? Jawab!

"Terimakasih, Ma. Kamu membuat Papa bahagia," kata Dirandra mesra.

Dada bergetar, tanpa menunggu lama Dirandra mengelus-elus pipi Ahya dengan lembut . Ahya menyandarkan pipinya lebih kuat ke telapak tangan Dirandra, tersenyum lembut dan menyemburatkan sinar matanya yang hangat.

Sejenak mereka hanya berpandangan-pandangan, Dirandra membelai mesra pipi mulus hangat itu.

Kali ini senyum Dirandra tidak bagus untuk kesehatan, lebih manis daripada gula. Bahkan dengan takjub ia menyadari segala kegundahan yang menghantuinya lenyap seketika. Ahya belahan jiwanya.

"I love you, Ma."
"I love you too."

Di luar, malam telah berganti pagi. Menyulap Kota Tangerang dengan cahaya fajar yang cerah. Bagi Dirandra hidupnya adalah perjalanan penuh resiko dan permainan semesta yang terkadang tidak lucu sama sekali. Ia sudah banyak mengalami percobaan dan permainan semesta sebentuk bahaya yang menjelma begitu saja tanpa peringatan.




Dirandra berkali-kali jatuh terjerembab ke jurang asmara yang memabukkan. Hatinya seperti ranting pohon, bila salah satu rantingnya patah ia sangat menderita tapi tidak akan mati.


Bahkan tidak lucunya, Dirandra hingga kini belum mampu sepenuhnya keluar dari jurang percobaan itu. Ia hidup dalam oleng tidak berkesudahan dan ketidakpercayaan terhadap wanita menjadi momok yang menakutkan. Kapan saja cinta menyapa? Takdir selalu merenggutnya.

"Papa hanya milikku," kata Ahya menindas Dirandra penuh api gairah membakar.
"Luapin saja, Ma. Tapi jangan lupa berdoa dulu."


Campuran antara Ahya yang pemarah-setia dengan Dirandra yang sabar-bercabang bisa semarak sekaligus semruyak. Keduanya tidak pernah sepaham namun tidak akan pernah bisa terpisahkan bahkan hingga di surga.

Sepasang suami istri itu memainkan peranannya masing-masing. Demikian panggung kehidupan yang sudah jelas ditetapkan oleh seorang sutradara.



Memang, terkadang seorang sutradara memberikan kebebasan yang tidak lucu kepada para pelakon untuk memainkan ceritanya sendiri. Selama cerita itu tidak keluar dari outline yang ditetapkan.

Apapun point of view yang dipakai? Setiap plot tercipta dari sebab-akibat alur cerita.


Ijinkan Aku Pergi


Baru 99 menit kemudian, mungkin lebih tiga jam ... keduanya terhempas di pantai bersama. Tergeletak dengan nafas terengah-engah yang berangsur normal.


Kedua wajah letih saling berpandangan, puas dan damai. Kasur dan sprai sudah awut-awutan, berantakan penuh keindahan.

"Apa Papa bahagia pagi ini?" Ahya mencebik , meletakkan kapalnya di atas dada suaminya itu. Sesekali memeluk erat.

"Makasih sayang. Emmmuuuah ..." kecupan hangat mendarat di kening Ahya.


"Papa bahagia 'kan? Ini adalah hadiah untuk Papa. Mohon ijinin Mama pulang ke Jepara. Anak-anak aku bawa semua," kata Ahya dengan mata berkaca-kaca.

"Kenapa, Ma? Ini belum waktunya liburan," balas Dirandra terkejut.

"Mama sayang Papa. Selamanya ...Tapi belum sanggup untuk berbagi. Maaf ...."

Ahya tersenyum. Kemudian di antara mereka tercipta keheningan itu. Keheningan yang terasa sangat kering hingga membakar kerongkongan.

Dirandra hanya terdiam, seperti dibunuh hanya tidak mati. Hatinya remuk, perih tidak terkendali.

Ahya melepaskan pelukan dari suaminya, berdiri dan berjalan menuju kamar mandi. Entah apa yang dilakukan di dalam sana, menangis atau mengamuk? Denting jam terus berlalu, menyulap pagi merangkak terasa lambat.

Kemewahan sentuhan personal nampak jelas terlihat pada ruang tamu tengah. Setelah mandi, Dirandra duduk manis di atas sofa panjang. Lampu gantung flos menerangi ruangan dengan gaya desain perjalanan dari berbagai penjuru kota, membuat pria bermata elang itu nampak gagah sumringah sekaligus sayu.


"Tidak sedikit pun aku ingin berpaling darimu , Ahya. Keraguan yang bersemayam dalam dadamu membuatku takut kehilanganmu. Percayalah aku masih mencintaimu seperti dulu."

Kedua kelopak matanya memandang kosong pada berbagai komponen furniture hitam putih yang tertata apik dalam format ruang simentris, Dirandra mulai diresapi perasaan galau, hampa membakar jiwa.




"Tentu kita bisa terluka karena pernah bahagia. Itu adalah perjalanan dalam membina hubungan rumah tangga. Tiada duka atau bahagia selamanya. Semua adalah harga yang harus dibayar. "

Ahya masih di dapur, setelah meracik kopi untuk suaminya. Kopi hitam tidak terlalu pahit dan tidak terlalu manis ia sajikan untuk Dirandra.

"Apakah ini akan menjadi kopi terakhir untukku?" kata Dirandra, sambil tersenyum menyindir.

Ahya hanya tersenyum sinis dan menunduk memperhatikan kuku-kukunya seakan ada yang salah dengan mereka, padahal Ahya hanya sekedar kabur dari pandangan lelaki itu.

Lelaki yang pernah ada untuknya selama sepuluh tahun. Lelaki yang telah memberinya seorang putra tampan dan seorang putri cantik. Lelaki yang namanya selalu ada dalam setiap doa Ahya ketika bersujud.

Mengenang suaminya, dari seluruh bayangan perjalanan pernikahannya, hanya kedua buah hatinya yang membuat Ahya merasa utuh. Sementara bayangan lain tentang Dirandra mulai mengabur, tergantikan oleh rasa kecewa dari hati yang bercabang, kenyataan Dirandra memikirkan wanita lain membuat Ahya sulit untuk bisa hidup bersamanya lagi.

Sementara kebahagiaan hidupnya hanya Ahya temukan dari Dirndra. Ahya sudah membulatkan tekad untuk pulang ke kekeluargaannya.




"Silahkan Papa menikah lagi dengan dia, tapi Mama tidak bisa bersama Papa lagi. Papa tidak perlu khawatir, Mama tidak akan meminta cerai dari Papa. Mama sayang Papa selamanya. Tapi Mama belum sanggup untuk berbagi."


"Apa Mama lupa dengan janji kita dulu? Susah-senang, bahagia-sedih akan selalu bersama. Lantas sekarang Mama ingin meninggalkan Papa di sini?"

"Mama tidak pernah meninggalkan Papa. Selamanya hanya Papa dihati Mama. Selamanya Papa adalah ayah dari anak-anak kita. Itu tidak akan tergantikan oleh siapapun juga. Mama tidak meningalkan Papa. Kita hanya berpisah tempat saja."

Tanpa terasa, dua titik mengelayut jatuh membasahi pipi Ahya. Seolah ada bongkahan batu mengganjal dalam dadanya. Ingin menjerit namun tertahan.

Apa yang akan terjadi?

Daftar Isi Cerbung 


 Selengkapnya   : INDEKS LINK  

Post a Comment for "Pesona Mama Muda: Kurebut Suamiku Kembali, Episode 4 "