Terjerat Janda Mempesona, Im Staying Here, Episode 3
Baca Cerbung Menggenggam Bara Neraka Bagian 3 : Terjerat Janda Mempesona
Cerbung Romantis- Lelaki mana yang ingin hatinya bercabang seperti ranting kayu? Bila salah satu rantingnya patah, maka sangat menderita walaupun tidak mati. Bukan itu! Aku hanya ingin kau memahami, bahwa aku bisa hidup tanpamu meski kamu memilih tiada. Pada dasarnya, penderitaan adalah teman hidup paling setia. Benarkah?
~•♡•~
Semendadak angin hening, kecuali suara ban mobil mendesing cepat, mesin mobil menderum halus menembus malam di bawah langit tidak berbintang.
Dirandra memandang keluar jendela, menatap milyaran rintik turun dari langit mengguyur jalanan kota Tangerang. Rintik hujan membawa ingatanya pada kenangan jahat masa lalu.
Memikirkan Mentari atau Tamara? Mungkin bukan keduanya. Kisah tentang mereka telah usai. Menyambut cerita baru, lebih mengharu biru.
"Pergilah, Mas! Jika sudah letih tidak menemukan wanita lain yang bisa membuat mas bahagia. Ingat 'im stying here'."
Dirandra menghela nafas dalam-dalam, memenuhkan ronga kosong dalam dada. Panas melesak kelopak matanya mulai berkaca-kaca, meneteskan air mata kepedihan.
Lampu reklame, lampu jalanan, lampu-lampu mobil berbaur menyatu, berkelebat-kelebat seperti kumpulan gergasi kunang-kunang yang beterbangan memecah malam.
"Pa! Jangan melamun!"
Sebuah suara melelengking memecahkan gendang telinga, Ahya mencubit Diranda yang duduk disebelahnya.
Seketika bunyi ban mendecit dan mobil berhenti. Hampir saja kuda besi hitam bertenaga kuda itu menubruk mobil yang berada didepanya.
Tersentak pria hidung bangir itu kembali dari sebuah perjalanan pendek yang meletakan dimasa lampau. Ia melempar senyum manis pada istrinya.
"Apa sih yang papa pikiran?Jawab, Pa!" Ahya mulai menginterogasi, mencari tau apa yang sebenarnya terjadi pada ayah dari dua anaknya itu.
"Emm ...engak ada. Mungkin karena kelelahan aja, Ma." Begitu mudah bibir Dirandra mengucap seolah tidak terjadi apa-apa. Sebuah jawaban yang justru menjelaskan semuanya pada Ahya bahwa pria itu tengah berbohong.
"Benar gak ada apa-apa, itu telunjuk jari papa kenapa menyilang?"
Sebagai istri yang telah melahirkan seorang putra dan putri darinya, Ahya paham betul kebiasaan suaminya berbohong. Sejatinya Dirandra adalah lelaki jujur, karena itu saat berbohong ia menyilangkan jari telunjuk ke jari tengah.
"Cukup! Papa gak mau berdebat!" balasnya sinis. Sejenak tercipta kebekuan, diantara mereka lebih dingin dari kutub antartika :
"Tamara, Kamu Kapan Kembali?
*Jemariku lapar malam ini untuk merangkai frasa tentang kamu di seberang sana. Iya kamu yang pada akhirnya selalu ada batas dalam setiap perjalanan. Selalu ada kata selesai untuk yang dimulai.
Kau yang rambutmu lurus seperti serutan sekam, pantulan cahaya debu kosmetik yang menyulap wajahmu seindah peri turun dari surga. Kini memenuhi mata, dada dan tidak terkendali.
Kau yang harum parfum strabery, aroma itu menusuk hidungku meski kukatakan berhenti. Rindu ini benar-benar curang! Selalu bertambah tanpa tau bagaimana caraku menghapusnya.
Entah sampai kapan aku menunggu. Kamu Kapan Kembali*?"
Dirandra ingatanya kembali terjebur pada Tamara, wanita cantik asal negeri jiran. Hanya Tamara satu-satunya wanita dari malaysia ke indonesia hanya untuk menemuinya.
"Buka pintunya!" Tantang Ahya mendelik. Jika mengomel sama dengan melahirkan maka sudah mengulit--pohonlah wajah Ahya. Menggelegak, kali ini kemarahannya tidak terelakkan lagi.
"Sayang ... Maafin Papa," balas Dirandra dengan nada menurun.
"Buka pintunya! Turunin di sini sekarang juga. Lebih baik aku jalan kaki dari pada bicara sama tembok."
"Sayang ... Maafin Papa."
"Maaf? Enak banget minta maaf habis itu diulangi lagi. Tidak!"
"Kenapa jadi begini sih? Mama marah-marah tidak jelas!"
"Tidak jelas kata Papa? Oh begitu tetap tidak mau mau ngaku. Buka pintunya atau aku pecahkan kaca mobilnya ..." Ahya belum selesai mengomel putri kecilnya bangun, menangis kejer.
Dirandra hanya diam bersama roda mobil yang menggelinding muram, ditemani guyuran hujan.
Kenangan Jahat Masa Lalu
Tepat rembulan bersinar sendu-sedan ditelan gelap, malam 'pun yang membentangkan lautan bintang-bintang di langit mulai pekat. Kuda hitam roda empat baru saja tiba masuk parkiran depan rumah Dirandra.
Setelah sepuluh tahun lebih menikah, Ahya mencoba tetap sabar menghadapi prilaku suaminya yang terus berkelana terhadap wanita. Pertahanan hatinya mulai meranggas.
Lampu-lampu mamancarkan cahaya indah menghiasi rumah elite itu.
Siapa sangka Dirandra selama ini dianggap tegas tidak mampu lepas dari kenangan jahat masa lalunya? Kini para wanitanya itu menjadi makanan mindanya, 'bayam bayam' mantan.
Tanpa kata, Dirandra membuka pintu yang terbuat kayu jati dengan ukiran minimalis dengan warna mengkilat alami gloss sanding sealer begitu saja. Ahya segera menuju kamar tengah dan mengunci pintunya dari dalam.
"Ma! Buka dong pintunya!" Pinta pria bermata elang itu yang masih mematung di depan pintu. "Papa minta maaf, Ma!"
Hening, tidak ada jawaban sama sekali dari Ahya. Rasa sakit hati yang teramat sangat membuatnya menutup rapat-rapat bibirnya.
Apakah Dirandra marah atau sedih? Tentu tidak, karena ia dan Tamara masih berpelukan dalam maya.
Tidak disangka penyakit lamanya kembali terulang. Dirandra selalu tumbang di hadapan kecantikan wanita.
Dirandra mengamati layar smartphone-nya. Kesan kuat menarik jari-jemarinya menari-nari mencari pesan singkat whatsapp. Jantungnya berdegup keras ketika terhenti pada satu nama dikontak.
Tertunduk di depan kamar bagian depan, Dirandra menggenggam erat smartphone di sakunya. Seakan dengan demikian ia mampu menahan gejolak jantungnya yang bergetar. Sebuah rasa sakit samar-samar menyeruak dari uluh hati, naik ke dada dan menyekat tenggorokannya.
"Tamara," desis Dirandra sembari memejamkan mata yang dipenuhi butiran debu, terasa perih.
Dirandra menghempaskan tubuhnya di atas bedcover. Gadget terlepas dari genggamannya, jatuh begitu saja di atas sprai putih kapas.
Terlentang, pria pemuja aksara itu memandang nyalang langit-langit berwarna hijau daun muda. Langit-langit itu kini berubah menjadi layar lebar dan sebuah film bermain di situ ....
Gaya rambut pendek serutan sekam yang mengkilau, bukan promosi sampho, Tamara tersenyum manis dan hangat. Lembut, jelita sekali ia, sekaligus menggairahkan dan menantang rengkuhan penuh desah. Apalagi saat bibir sensual memanggil kenyal? Basah menarik lumatan intim lagi mendalam.
Alis segaris bulan sabit, ada tarian terindah pada sepasang manik bola matanya, pusat segala perasaan tersembunyi di sana, berbinar dan tegas.
Sebening embun pagi memberikan gambaran jiwanya terdalam. Merona manja bagai sengaja tercipta keindahan penuh pesona.
Tamara tersunging, duduk di atas hamparan hati merindu, menekan sekuat tenaga dengan goncangan kembar tidak beraturan, damai membius syaraf dalam minda.
Seluruh wajahnya menyemburatkan kegirangan yang menyebar ke segala arah, indah diiringi nyanyian desah-desah merdu mengharu biru.
Tamara tertawa renyai, tanpa sehelai benang, wajahnya melepaskan rindu yang terpenjara, membiarkan tergoncang-goncang jiwanya melintasi sembilan samudra kerinduan.
Sejenak hening, senyap nikmat damai. Bahkan gaya gravitasi bumi tidak mampu menyembunyikan bukit terindah melandai-landai seputih salju. Menjulang, menantang remasan jemari sunyi terkuat. Keindahan pualam selembut kapas menantang rintihan terdalam dari rindu hati.
Sekuat tenaga Dirandra memejamkan mata, melawan bayang-bayangan di lagit itu. Sebuah bayangan yang justru menusuk-nusuk hati. Sakit, hanya tidak berdarah.
Sungguh itu bukanlah bayangan yang erotis, bukan dua insan dalam peraduan. Semua itu justru menjadi kenangan jahat masa lalu.
Berawal karena kecelakaan, sejak Tamara meminta ijin untuk pergi dari Dirandra. Alasannya tidak ingin menyakiti hati Mentari. Sementara Mentari pergi karena 'sariawan' terhadap Tamara. Rumit, penuh drama dan konflik.
Dirandra bangkit, meraih gadget disebelahnya. Terlihat pesan singkat dari satu nama gadis yang tidak asing banginya.
"Abang sibuk? "
Apakah ia merindukanku? Dirandra lebih pada bicara sendiri dalam hati. Apakah pertanyaan itu untuk Tamara atau untuk Emely? Next
~•♡•~
Semendadak angin hening, kecuali suara ban mobil mendesing cepat, mesin mobil menderum halus menembus malam di bawah langit tidak berbintang.
Dirandra memandang keluar jendela, menatap milyaran rintik turun dari langit mengguyur jalanan kota Tangerang. Rintik hujan membawa ingatanya pada kenangan jahat masa lalu.
Memikirkan Mentari atau Tamara? Mungkin bukan keduanya. Kisah tentang mereka telah usai. Menyambut cerita baru, lebih mengharu biru.
"Pergilah, Mas! Jika sudah letih tidak menemukan wanita lain yang bisa membuat mas bahagia. Ingat 'im stying here'."
Dirandra menghela nafas dalam-dalam, memenuhkan ronga kosong dalam dada. Panas melesak kelopak matanya mulai berkaca-kaca, meneteskan air mata kepedihan.
Lampu reklame, lampu jalanan, lampu-lampu mobil berbaur menyatu, berkelebat-kelebat seperti kumpulan gergasi kunang-kunang yang beterbangan memecah malam.
"Pa! Jangan melamun!"
Sebuah suara melelengking memecahkan gendang telinga, Ahya mencubit Diranda yang duduk disebelahnya.
Ilustrasi : Ahya |
Seketika bunyi ban mendecit dan mobil berhenti. Hampir saja kuda besi hitam bertenaga kuda itu menubruk mobil yang berada didepanya.
Tersentak pria hidung bangir itu kembali dari sebuah perjalanan pendek yang meletakan dimasa lampau. Ia melempar senyum manis pada istrinya.
"Apa sih yang papa pikiran?Jawab, Pa!" Ahya mulai menginterogasi, mencari tau apa yang sebenarnya terjadi pada ayah dari dua anaknya itu.
"Emm ...engak ada. Mungkin karena kelelahan aja, Ma." Begitu mudah bibir Dirandra mengucap seolah tidak terjadi apa-apa. Sebuah jawaban yang justru menjelaskan semuanya pada Ahya bahwa pria itu tengah berbohong.
"Benar gak ada apa-apa, itu telunjuk jari papa kenapa menyilang?"
Sebagai istri yang telah melahirkan seorang putra dan putri darinya, Ahya paham betul kebiasaan suaminya berbohong. Sejatinya Dirandra adalah lelaki jujur, karena itu saat berbohong ia menyilangkan jari telunjuk ke jari tengah.
"Cukup! Papa gak mau berdebat!" balasnya sinis. Sejenak tercipta kebekuan, diantara mereka lebih dingin dari kutub antartika :
"Tamara, Kamu Kapan Kembali?
*Jemariku lapar malam ini untuk merangkai frasa tentang kamu di seberang sana. Iya kamu yang pada akhirnya selalu ada batas dalam setiap perjalanan. Selalu ada kata selesai untuk yang dimulai.
Kau yang rambutmu lurus seperti serutan sekam, pantulan cahaya debu kosmetik yang menyulap wajahmu seindah peri turun dari surga. Kini memenuhi mata, dada dan tidak terkendali.
Kau yang harum parfum strabery, aroma itu menusuk hidungku meski kukatakan berhenti. Rindu ini benar-benar curang! Selalu bertambah tanpa tau bagaimana caraku menghapusnya.
Entah sampai kapan aku menunggu. Kamu Kapan Kembali*?"
Dirandra ingatanya kembali terjebur pada Tamara, wanita cantik asal negeri jiran. Hanya Tamara satu-satunya wanita dari malaysia ke indonesia hanya untuk menemuinya.
"Buka pintunya!" Tantang Ahya mendelik. Jika mengomel sama dengan melahirkan maka sudah mengulit--pohonlah wajah Ahya. Menggelegak, kali ini kemarahannya tidak terelakkan lagi.
"Sayang ... Maafin Papa," balas Dirandra dengan nada menurun.
"Buka pintunya! Turunin di sini sekarang juga. Lebih baik aku jalan kaki dari pada bicara sama tembok."
"Sayang ... Maafin Papa."
"Maaf? Enak banget minta maaf habis itu diulangi lagi. Tidak!"
"Kenapa jadi begini sih? Mama marah-marah tidak jelas!"
"Tidak jelas kata Papa? Oh begitu tetap tidak mau mau ngaku. Buka pintunya atau aku pecahkan kaca mobilnya ..." Ahya belum selesai mengomel putri kecilnya bangun, menangis kejer.
Dirandra hanya diam bersama roda mobil yang menggelinding muram, ditemani guyuran hujan.
Kenangan Jahat Masa Lalu
Tepat rembulan bersinar sendu-sedan ditelan gelap, malam 'pun yang membentangkan lautan bintang-bintang di langit mulai pekat. Kuda hitam roda empat baru saja tiba masuk parkiran depan rumah Dirandra.
Setelah sepuluh tahun lebih menikah, Ahya mencoba tetap sabar menghadapi prilaku suaminya yang terus berkelana terhadap wanita. Pertahanan hatinya mulai meranggas.
Lampu-lampu mamancarkan cahaya indah menghiasi rumah elite itu.
Siapa sangka Dirandra selama ini dianggap tegas tidak mampu lepas dari kenangan jahat masa lalunya? Kini para wanitanya itu menjadi makanan mindanya, 'bayam bayam' mantan.
Tanpa kata, Dirandra membuka pintu yang terbuat kayu jati dengan ukiran minimalis dengan warna mengkilat alami gloss sanding sealer begitu saja. Ahya segera menuju kamar tengah dan mengunci pintunya dari dalam.
"Ma! Buka dong pintunya!" Pinta pria bermata elang itu yang masih mematung di depan pintu. "Papa minta maaf, Ma!"
Hening, tidak ada jawaban sama sekali dari Ahya. Rasa sakit hati yang teramat sangat membuatnya menutup rapat-rapat bibirnya.
Apakah Dirandra marah atau sedih? Tentu tidak, karena ia dan Tamara masih berpelukan dalam maya.
Tidak disangka penyakit lamanya kembali terulang. Dirandra selalu tumbang di hadapan kecantikan wanita.
Dirandra mengamati layar smartphone-nya. Kesan kuat menarik jari-jemarinya menari-nari mencari pesan singkat whatsapp. Jantungnya berdegup keras ketika terhenti pada satu nama dikontak.
Tertunduk di depan kamar bagian depan, Dirandra menggenggam erat smartphone di sakunya. Seakan dengan demikian ia mampu menahan gejolak jantungnya yang bergetar. Sebuah rasa sakit samar-samar menyeruak dari uluh hati, naik ke dada dan menyekat tenggorokannya.
"Tamara," desis Dirandra sembari memejamkan mata yang dipenuhi butiran debu, terasa perih.
Dirandra menghempaskan tubuhnya di atas bedcover. Gadget terlepas dari genggamannya, jatuh begitu saja di atas sprai putih kapas.
Terlentang, pria pemuja aksara itu memandang nyalang langit-langit berwarna hijau daun muda. Langit-langit itu kini berubah menjadi layar lebar dan sebuah film bermain di situ ....
Gaya rambut pendek serutan sekam yang mengkilau, bukan promosi sampho, Tamara tersenyum manis dan hangat. Lembut, jelita sekali ia, sekaligus menggairahkan dan menantang rengkuhan penuh desah. Apalagi saat bibir sensual memanggil kenyal? Basah menarik lumatan intim lagi mendalam.
Alis segaris bulan sabit, ada tarian terindah pada sepasang manik bola matanya, pusat segala perasaan tersembunyi di sana, berbinar dan tegas.
Sebening embun pagi memberikan gambaran jiwanya terdalam. Merona manja bagai sengaja tercipta keindahan penuh pesona.
Tamara tersunging, duduk di atas hamparan hati merindu, menekan sekuat tenaga dengan goncangan kembar tidak beraturan, damai membius syaraf dalam minda.
Seluruh wajahnya menyemburatkan kegirangan yang menyebar ke segala arah, indah diiringi nyanyian desah-desah merdu mengharu biru.
Tamara tertawa renyai, tanpa sehelai benang, wajahnya melepaskan rindu yang terpenjara, membiarkan tergoncang-goncang jiwanya melintasi sembilan samudra kerinduan.
Sejenak hening, senyap nikmat damai. Bahkan gaya gravitasi bumi tidak mampu menyembunyikan bukit terindah melandai-landai seputih salju. Menjulang, menantang remasan jemari sunyi terkuat. Keindahan pualam selembut kapas menantang rintihan terdalam dari rindu hati.
Sekuat tenaga Dirandra memejamkan mata, melawan bayang-bayangan di lagit itu. Sebuah bayangan yang justru menusuk-nusuk hati. Sakit, hanya tidak berdarah.
Sungguh itu bukanlah bayangan yang erotis, bukan dua insan dalam peraduan. Semua itu justru menjadi kenangan jahat masa lalu.
Berawal karena kecelakaan, sejak Tamara meminta ijin untuk pergi dari Dirandra. Alasannya tidak ingin menyakiti hati Mentari. Sementara Mentari pergi karena 'sariawan' terhadap Tamara. Rumit, penuh drama dan konflik.
Dirandra bangkit, meraih gadget disebelahnya. Terlihat pesan singkat dari satu nama gadis yang tidak asing banginya.
"Abang sibuk? "
Apakah ia merindukanku? Dirandra lebih pada bicara sendiri dalam hati. Apakah pertanyaan itu untuk Tamara atau untuk Emely? Next
Post a Comment for "Terjerat Janda Mempesona, Im Staying Here, Episode 3 "
Disclaimer: Semua isi konten baik, teks, gambar dan vidio adalah tanggung jawab author sepenuhnya dan jika ada pihak-pihak yang merasa keberatan/dirugikan silahkan hubungi admin pada disclaimer untuk kami hapus.