Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Terjerat Janda Muda, Tentang Mentari pada Suatu Senja, Episode 2

Menggenggam Bara Neraka, Bab 2: Tentang Mentari Pada Suatu Senja




Cerbung Romantis  - Rasanya sudah sebulan Mentari jarang aktif ngaskus, sejak hatinya hari itu ditelan mendung akibat ketidakpercayaan. Menyakitkan bila kekasih hati sudah tidak mempercayainya. Pagi itu kau menerima chating pesan masuk dari para sahabatmu, para kaskuser, penulis digital di bawah naungan platform yang sama.

“Even ‘kan udah selesai, kenapa ia tidak ada kabar menghubungiku? Ah apa mungkin ia masih sakit hati karena selalu kuberikan alasan sibuk? Iih jengkelin banget!”

Kau lebih pada bicara sendiri dalam hati, jarimu masih menari membalas chatingan teman-temamu itu dengan alasan sibuk dan berbagai alasan lainnya. Ada sesuatu yang tidak mungkin bisa diungkap, paling tidak untuk saat ini atau mungkin selamanya.

Apakah nasib cintamu akan ikut tumbang seperti pada platform menulis sebelumnya? Ya menulis yang awal membawamu mengenal ia untuk pertama kali hampir tiga tahun lalu, hingga satu tahun berikutnya di Plukme semakin akrab sebelum akhirnya tenggelam.

Sebuah perjalanan panjang benih-benih rasa itu tumbuh kian subur, melewati jalan cadas beringas, hinaan, cacian bahkan berbagai fitnah, kau terima dengan tegar hanya agar selalu bersama lelaki kekasih hatimu itu.

“Ah untuk apa mengingat semua itu? Ia bahkan tidak mempercayaiku sama sekali! Ah aku juga dibohongi, ia juga dekat dengan Tamara. Ah aku tidak mau tau kabar tentangnya lagi. Ah…. Menyebalkan!”

Kau menghela nafas dalam-dalam, memenuhi rongga kosong memenuhi dada. Pikirannya terhempas kosong mengingat kabar tentang ia, lelaki bermata tajam. Kabar membawa ingatanya kembali pada tiga bulan yang lalu, saat kabar kedatanganya menjadi awal cerita ini berbeda.

 



Malang, 25 Juni 2019 Jawa Timur


Ada kabar ia akan datang senja nanti? Mungkin di sekitar mentari menelan cahayanya pukul 4 sore. Akan ia kenakan baju sederhana kemeja batik bercorak lurik dengan celana emba casual berwarna coklat kebanggaanya.

Sepertinya ia tidak akan membawa apa-apa. Hanya kecerdasan dibalut ketergesaan dan belenggu rindu yang telah lama di sembunyikan. Sesuatu yang tanpa bentuk itu justru oleh-oleh paling kuat yang tidak akan hilang dan tidak akan terlupakan.

Di mana tempatnya, apa bungkusnya, di mana kau menyimpannya? Entahlah... Apa itu sebuah hadiah terindah yang telah lama kau nanti atau justru musibah karena tidak ingin kenangan jahat masa lalu menghantui.

Hanya satu yang pasti, ini kali pertama kau membuka pintu hatimu pada lelaki setelah sekian lama tertutup oleh cadar keterasingan. Kau akan mengenakan terusan merah marun muda yang menutup seluruh tubuh dangan padu padan niqob hitam yang kau pakai terakhir seperti foto chatting dengannya.

Hanya lewat kecepatan cahaya memantul pada lensa bola mata cantikmu ‘lah yang akan terlihat. Semua kau coba tutupi dengan merahnya kain serba longgar sebagai pertanda wanita berhati sabar.

Akankah hati longgar menahan getar saat di hadapannya? Akankan rindumu bisa kau tutupi? Di hadapan lelaki yang kali pertama akan bertemu meski ia bukan pria pertama yang meninggalkan jejak seribu kenangan jahat. Sungguhpun pancaran lensa matamu tidak pernah bisa kau tutupi dengan kaca mata hitam. Sungguh tidak akan pernah bisa karena pasti akan terbaca olehnya.

Kau mengenakan pakaian itu tanpa banyak pertimbangan, hanya karena kau tau betapa ia menyukai wanita berpakaian seperti itu. Tanpa ada acara pilah-pilih baju, coba-coba ini itu, keapa-adaanya itulah yang paling sempurna untuk di kenakan. Senja itu rumah hanya berisi kau dan putri semata wayangmu yang selalu menjadi penyemangat hidupmu.


Ketukan di pintu membuat putri cantikmu kaget dan terbangun dari asyiknya bermain di atas sofa depan televisi. Kau mengelus rambutnya hendak meninggalkanya bermain di sana. Namun gadis cilik itu memelukmu kencang.

"Mungkin takut pada suara orang asing. Rupanya anakmu belajar takut pada suara asing yang sering kali membuatmu termenung mencucurkan sebening tirta di dalam kamar mandi dan menatap kosong.

"Kau tepiskan ketakutan putrimu dengan memeluknya kencang dan memeluk rambuntnya yang wangi strawberry. Senja itu, pelukan yang membawa ketenangan kau lanjutkan dengan meningalkannya bermain sendiri.


"Kau buka pintu itu, kemudian kau tersenyum kecil di balik kain penutup hitam dan mempersilahkan tamu itu ke arah teras depan rumah. Kau bahkan tidak mengijinkan apalagi mempersilahkanya masuk ke rumahmu.


"Betapa tanganmu berkeringat nyaris menggigil kencang menahan keinginan menyingkirkan rambut-rambut panjang yang menutupi mata tajamnya. Ingin sekali kau memotong rambut panjangnya, karena kau tidak suka lelaki berambut panjang.


"Namun... Mata tajamnya memaksa jantungmu berdetak tidak karuan dan mengancam sekaligus menentramkan. Kau kubur dalam-dalam keinginan itu dan mengarahkan tanganmu itu ke arah kursi mempersilahkanya untuk duduk. Ia duduk di kursi tamu teras depan rumahmu, kau duduk di depanya sebelah kanan berjauhan sembari menatap aneh sesekali padanya. Tidak ada percakapan apa-apa.


"Semendadak angin semua hening membisu dengan lidah kelu, entah itu karena menahan malu atau karena pertama bertemu atau justru sudah merasa biasa meski hanya kenal lewat dunia maya.

"Kamu mulai membuka percakapan yang sungguh bukan basa-basi. Kabar adalah hal terpenting yang selalu kau nanti darinya.

"Baik, Kamu? Eh... aku panggil, Mbak atau Dek?"

Ia sepertinya canggung dan serba salah mau memanggil apa? Mungkin karena ia lebih muda 3 tahun darimu. Tidak... usia bukan masalah, nyatanya kau menganggap ia lebih dewasa darimu.

"Baik! Terserah Njenengan, Mas!"


"Ah aku tau kau bisa menjawab pertanyaan lebih baik dari itu. Semua orang tau jawaban dari pertanyaan adalah 'baik' dan kita bukan semua orang."

"Semua memang terserah Njenengan, Mas. Aku masih seperti biasanya sibuk di sini. Seperti biasanya menyibukkan diri agar aku lebih merasa baik-baik saja. Sibuk merawat bapak yang sakit dan mencari nafkah untuk anakku seperti biasanya."

Kau melihatnya dalam mimpi, melihat wajahnya dalam kesepian dan keterasingan. Mungkinkah ia adalah teman jiwamu yang hilang? Setengah dari dirimu saat di tetapkan.Seandainya memang benar seperti itu, tentu kau tidak akan perlu mengalami dilema berkepanjangan. Kenyataan ia berpunya, membuatmu ragu melangkah namun hatimu mulai terbelenggu rindu.

Jatuh Cinta dari Dunia Maya   


Berawal dari dunia maya, kau mengenalnya lewat rangkaian aksara yang selalu mampu pemporak-porandan akal warasmu sekaligus membuatmu merasa terjaga. Kau dan dia mulai saling bercerita, berbagi rasa hingga sebuah dongeng indah itu tercipta tanpa sengaja. Pada suatu senja, di teras depan rumah, udara bening tanpa warna di salah satu pedesaan kabupaten Malang menjadi saksi pertemuan itu.

Setelah putri semata wayangmu kembali ke dalam rumah, ia melanjutkan percakapan yang sempat tertunda.

"Aku menayakan kabarmu, bukan bagaimana kamu mengalihkan perhatianku dengan putri cantikmu."

"Aku masih selalu mengingatmu saat malam hari, masih sering merinduimu. Aku masih membayangkan komentar-komentarmu lewat chating yang sagat jujur pada saat aku menceritakan kisahku.

Tapi, aku bahagia hidup bersama putriku, bersama bapakku yang selalu memberikan dukungan penuh saat aku terjatuh. Bapak yang kulit keningnya mulai keriput, tanganya menggigil namun hatinya setegar karang."

Kau tidak mungkin menceritakan tentang suamimu yang dulu, menceritakan bagaimana kalian bercerai. Itu aib, sebuah aib yang tidak patut untuk di kisahkan.


Baca Juga:
[Cerbung] Cinta Terlarang Ini Dosa Siapa?
➤  [Cerpen Juara 1 Event BBB] Syukur  
➤  [Cerpen] Masker Ampas Kopi
➤  [Cerpen] Hari Pernikahan Mantan


"Baguslah."
"Maaf, aku terlalu banyak membeberkan informasi."


Ia tersenyum. Kemudian di antara kalian tercipta keheningan itu. Keheningan yang terasa sangat kering hingga membakar kerongkongan.

"Kau berdiri segera masuk ke dalam rumah menuju ruang tengah mengambil tisu di atas meja. Lelehan air matamu tidak lagi terbendung, menyimbahi pipi, dada yang gersang kerontang tanpa tau apa penyebabnya.

Kemudian kau meracik kopi hitam kental tidak terlalu manis untuknya dan meracik minuman segar untuk dirimu sendiri. Entah seperti dejavu atau apa? Kau seolah sudah sangat mengenal dirinya lebih dari siapapun, padahal itu adalah kali pertama kalian bertemu.

"Mungkin ada yang kau lupakan? Es kelapa muda janjimu akan kau suguhkan saat ia datang menemuimu. Tapi entah mengapa, kau malah memilih menyuguhkan kopi hitam untuknya dan kau duduk di depanya.

"Akhirnya aku merasakan juga kopi buatanmu....," katanya sembari tersenyum menyindir. Kau hanya menunduk, mungkin tersenyum kecil di balik cadar hitammu, meperhatikan lantai rumahmu seakan ada yang salah dengan mereka. Padahal kau sekedar kabur dari pandangan mata lelaki itu.

Lelaki yang lebih setahun kau kagumi secara diam-diam, lelaki yang selalu ada dalam mimpimu.

Kau mulai membayangkan, menciumi tanganya dengan takzim berulang kali setelah selesai melakukan kewajiban pada Sang Maha Cinta, lima kali dalam waktu dua puluh empat jam dan kemudian kau berkata pada hatimu bahwa kau adalah istri yang patuh, istri yang selalu merelakan dirinya dalam cinta Sang Maha Cinta.

Dari seluruh bayangan lelaki itu, hanya matanya ‘lah masih tersisa utuh dalam minda, sedangkan bayangan lain dari foto yang pernah kau lihat mulai meranggas. Kau mulai sadar untuk sesaat, bahwa ia hanya mimpi bagimu atau justru malah impianmu itu akan segera terwujud? Entahlah.


"Sepertinya tidak ada yang bisa kita biacarakan. Lebih baik aku pulang, untuk apa kita di sini seperti ini. Seperti melakukan hal yang sia-sia. 





Bukankah sudah aku ceritakan semua tentang diriku. Inilah aku apa adanya, bukan ada apanya. Aku merasa mengganggu aktivitasmu," ucapnya memecah hening.

"Inggih, Mas."

"Sebuah jawaban yang sudah sangat kuhafal dan bisa kutebak."

"Memang inggih..., Apapun yang Mas katakan emang selalu iya jawabannya. Karena aku tidak pernah punya kekuatan yang cukup besar untuk menolak, Mas."

"Baiklah aku ingin menikahimu!" serunya menantang tanpa dosa.

Bagai petir menggelegar menyambar hati dan keyakinanmu, apa yang kau takutkan benar-benar terjadi. Ucapannya membuat kau terbang ke angkasa melintasi tujuh samudra kemudian jatuh terjun bebas ke lembah kebimbangan.

Apakah menjadi istrinya adalah pilihan terbaik? Tentu saja agar gelar janda yang kau sandang cepat berakhir dan agar tidak menjadi bahan olok-olok oleh tetangga. Tapi kenyataan ia beristri, tentu kau tidak ingin di katakan merebut lelaki orang.

Tidak.... Bukankah lelaki boleh memiliki istri lebih dari satu? Sebagi bentuk pengapdian pada Sang Maha Cinta. Mungkin para penyembah hawa nafsu menentang perihal itu.

Tidak... Kau bahkan mulai berhijrah, dari penyembah hawa nafsu menuju pengabdian tanpa batas. Kenyataan kau seorang wanita yang mempunyai hati dan rasa yang sama tidak bisa di pungkiri.

"Jangan!" balasmu menggigil gemetar.
"Ternyata kamu bisa menolakku, 'kan?"

"Jangan mempermainkan aku yang lemah tak berdaya...."

"Aku hanya memberi tahu padamu bahwa kamu bisa menolakku."

"Sudahlah. Aku hanya wanita yang tak sempurna. Mas bisa mencari wanita yang lebih baik dari diriku."

"Lantas, apakah aku lelaki sempurna? Bukankah kamu tau semua tentang diriku?"


"Inggih, tapi... Bagaimana Mas tidak menyesal jika menikahiku? Mas bahkan tidak tau seperti apa wajahku? Bagaimana jika aku tidak menarik? Kemudian Mas membuangku begitu saja setelah menikah."

Ia hanya tersenyum tipis kemudian berdiri menghela nafas dalam-dalam seraya menatapmu tajam.

"Benar. Aku memang tidak pernah tau seperti apa wajahmu. Puas?"

Sesuatu gumpalan dalam dadamu mulai merangsek panas memenuhi dada, mata. Tidak terkendali.

"Inggih," balasmu lirih.

"Aku memang bisa mencari dan memilih wanita yang cantik dan jelas wajahnya seperti apa. Tetapi apa bisa aku mencintainya? Emang aku lelaki apaan?"

"Nyatanya, Mas punya istri," balasmu terbata sedikit meninggi.

"Benar. Bukankah kamu sudah tau dari awal? Aku sudah berkata jujur semuanya. Ini bukan masalah cantik, ini adalah pilihan dan urusan hati. Sudahlah, tak usah di bahas lagi. Akhir jawabannya akan selalu sama. Tak perlu aku menjelaskan apapun padamu. Jika tidak, ya sudahlah.

Setidaknya, janjiku padamu sudah lunas. Sehingga saat tubuhku menjadi makanan cacing tanah, aku tidak berhutang apa-apa padamu lagi."

Kau memilih menyudahi perbincangan karena kau benci dengan kenyataan bahwa dirinya benar dan kau benci dengan kenyataan bahwa kau tidak bisa mengambil keputusan setiap berhubungan dengannya. Bahkan kenyataan aneh, bahwa kau memang ingin menjadi istrinya tidak bisa dibantah.


Waktu berpacu lebih cepat dari biasanya. Menyulap siang menjadi senja. Hamparan pegunungan Pingiran Kota Malang satu persatu menyalakan cahaya lampu dari setiap rumah.

"Tunggu!" Itulah pertama kali kau menghentikan langkah kakinya.

Ia mengurungkan niatnya dan berbalik memandangmu. Matanya bertanya. Dada pria itu berdegup kencang.

"Aku merindukamu. Nikahi aku segera atau tidak sama sekali setelah hari ini."

Sekuat hati kau berusaha mengungkapkan perasaan itu dengan tenggorokan tercekat.

Ia menatap tidak percaya.

Kau segera berjalan mendekat, menatapnya tanpa berkata-kata, mengalirkan keyakinan, semendadak semua hening selama beberapa saat.

Kau menggigit bibir dibalik cadarmu, berharap-harap cemas dalam hati. Itulah pertama kalinya dalam hidupmu terus terang mengungkapkan cinta pada lelaki di dunia nyata.
Jantungmu berdebar kencang sekali, kau sudah menabah-nabahkan hati untuk siap menerima kemungkinan terburuk.
Matanya memandangmu dengan tajam dan penuh harap.

Ia akhirnya tersenyum, meraih tanganmu yang halus. Tatapan matanya seperti menyiratkan sesuatu. Sesuatu yang sangat misterius sebelum akhirnya berkata,

"Baiklah…." ia berhenti sesaat, "aku memang harus menentukan pilihan...."

Kau segera menarik tanganmu dengan pandangan menepiskan ketakutan dalam hati. Antara takut dan bahagia perlahan menggerogoti hatimu.

"Apa kau siap resiko dari keputusan yang akan kita buat? Ada jurang nestapa, hinaan dan cacian yang siap menghadang."
"Aku milik Rabb-ku, raga dan nyawa ini milik-Nya. Cintaku Lillah karena Sang Maha Cinta."
"Baiklah, langit dan bumi menjadi saksi akan perkataanmu. Bila kau sudah siap, aku bisa apa?"

Senja itu waktu berputar tidak seperti biasanya, terasa amat lambat dengan berjuta pertanyaan. Sedangankan jalan terjal penuh cadas beringas mengerising siap melontarkan cacian, hinaan dan fitnah. Apakah cinta mereka akan murni tanpa tersentuh pamrih? Atau akan hancur dalam neraka dunia.

Next 

Daftar Isi Cerbung 



Jangan lupa pantengin terus agar tidak ketinggalan cerita selanjutnya yang diposting secara on going.

Selamat membaca dan jangan lupa bahagia

Post a Comment for "Terjerat Janda Muda, Tentang Mentari pada Suatu Senja, Episode 2"