Romansa Di Ujung Pilu, Cerpen Remaja Romantis
Sejak tadi siswi yang baru saja pindah dari kota sebelah itu melamun. Tatapannya kosong menyibak rimbunnya rumpun bambu di belakang sekolah.
"Kenapa ngelamun, Sya?" tanya Diana.
"Ah, enggak. Lagi menikmati sejuknya udara di sini aja," jawab Meisya menghindar.
Tentu saja bukan itu jawabannya, sejak dia pindah sekolah, Diana yang pertama kali menjadi teman dekatnya, bahkan dibilang mereka sekarang bersahabat.
Diana gadis yang pendiam, dia sangat pandai dan termasuk siswi yang cantik di sekolah menengah pertama itu.
Meisya memang merasa tertolong. Sebagai siswi pindahan, tak gampang menemukan teman yang ramah dan baik. Diana memang berbeda, dia tak pernah pilih-pilih teman.
"Eh, kalian tau, gak?" Kata seorang siswi berbadan tambun.
"Tau, apaan?" timpal temannya yang berambut keriting.
"Si Diana itu naksir sama Kak Rizki, loh," cerocosnya sambil mengunyah permen.
"Ah, yang bener, Des?"
"Eh, gak percaya? Aku liat sendiri dia nitipin surat sama sepupunya kakak ganteng itu."
Meisya terhenyak, sejak datang di sekolah baru ini, memang Rizki selalu menjadi buah bibir para siswi. Rumahnya kebetulan dia lewati jika kebetulan berjalan kaki dari rumah ke sekolahnya yang hanya sekitar 15 menit.
Baca Juga :
Rizki Altafariz seorang ketua OSIS berwajah khas Arab, hidung mancung, kulit putih dan badan yang atletis, menjadikan ketampanan yang sempurna itu menjadikan nilai plus sang ketua.
Orang tuanya adalah seorang pemilik yayasan anak yatim, mereka adalah keluarga kaya raya. Meisya sering melewati komplek rumah megah berhiaskan hijaunya palem dan puluhan bonsai yang cantik.
Rimbunnya pohon bambu menaungi jalan kecil menuju sekolah. Meisya tertegun melihat seorang siswa yang berdiri di depan pintu gerbang rumah mewah, senyum terukir di bibir siswa itu.
"Ya, ampun! Dia ... dia tersenyum kepadaku? Benarkah itu?" Hati Meisya tiba-tiba meracau. Siapa yang tak terkesima dengan senyuman dan tatapan tajam Rizki. *** "Sya, aku mau curhat sama kamu, tapi ... jaga rahasia ini, ya," Mata Diana berbinar.
"Sip, aku selalu menyimpan rahasia, kok!" seru Meisya. Hatinya mulai berdebar.
"Aku menyukai seseorang, Sya. Tapi aku takut dia menolakku."
"Siapa sih, yang akan menolak gadis cantik dan pintar seperti kamu, Diana?"
"Ah, kamu. Aku bak pungguk merindukan bulan, banyak yang mengantre untuk jadi pacarnya, Sya, dan aku ...."
"Aku kenapa, yakinlah! Kamu pasti bisa, kok."
"Kamu tau siapa Kak Rizki?"
"Kak Rizki? Jadi selama ini kamu menyukai dia? Aih, gak nyangka." Meisya pura-pura, padahal, jauh di dalam sana ada seonggok hati yang terguncang. Ya ... gadis itu pun sama menyukai sang ketua OSIS.
Liburan Semester Sekolah
Libur semester satu menjelang, ada lomba pidato tingkat kecamatan yang baru saja diumumkan guru. Meisya dengan antusias mendaftar. Pidato adalah salah satu kegemarannya.
SMP Bina Bakti mengirimkan 2 orang peserta pidato, yaitu ; Meisya dan Rizki.
Lomba pun berakhir dengan seru, setelah tim juri menjumlahkan nilai. Kini waktu yang menegangkan itu tiba, Diana menggenggam tangan sahabatnya.
"Kami tim juri lomba pidato telah memutuskan bahwa hasil lomba pidato putri tahun ini diraih oleh ... Meisya Anandita Kirani dari SMP Bina Bakti." Suara lantang juri bertubuh subur itu menggema.
Meisya dan Diana berpelukkan, tak terasa air mata Meisya menetes karena bahagia bisa mengharumkan nama sekolahnya.
"Untuk juara pidato putra tahun ini jatuh kepada ... Rizki Altafariz dari sekolah yang sama, selamat untuk para juara." Lagi-lagi tepuk tangan penonton bergemuruh.
Meisya dan Rizki berdiri di atas panggung, saling melempar senyum dan ucapan selamat. Semua siswa dan guru dari sekolahnya tersenyum bahagia.
Awal semester dua dimulai ....
Ada seorang pemuda yang berdiri gelisah di tikungan jalan kecil menuju sekolah, berkali-kali dia mengusap butiran peluh yang mulai membasahi dahinya. Lalu ... sosok gadis yang sejak tadi menghiasi lamunannya itu muncul.
"Hai! Meisya."
"Ya, ampun! Kak Rizki, ngagetin aja, deh!" Meisya terhenyak saat langkahnya terhenti oleh sebuah suara.
"Jalan bareng, yuk!"
"A-apa! Jalan bareng?" Meisya tergagap.
"Iya ... kamu gak apa-apa kan?" Netra berbulu lebat itu menatap setajam elang, Meisya menunduk tak kuasa membalas tatapan yang sebenarnya telah menaburkan bunga-bunga merah muda di ruang hatinya.
"Kok, diem? Ayo jalan! Nanti kesorean pulangnya," gumam Rizki.
"Ehm ... Iya, Kak," jawab Meisya gelagapan.
Setelah berjalan dalam diam, beberapa helai daun bambu berjatuhan tersibak lembutnya angin sore. Hingga mereka sampai di sebuah jembatan kecil dengan aliran sungai deras berhiaskan batu-batu besar yang perkasa. Rizki menarik tangan Meisya.
"Mei ... selama ini aku ... aku mengagumimu." Suara Rizki memecah keheningan, tubuh mungil Meisya terguncang.
Jawaban apa yang harus dia ungkapkan, sedangkan dia tahu Diana juga menyukai Rizki.
"A-aku ...."
"Gak usah menjawab, Mei. Aku hanya ingin kamu tau, kalau aku menyukaimu sejak pertama kalinya kamu pindah ke sekolahku," pungkas Rizki.
Lega sekali pemuda itu sekarang. Setelah sekian lama dia menyimpan rasa yang sekuat tenaga dia sembunyikan.
Siswi baru itu memang unik, hobinya pun sama dengannya, dan pesona keanggunannya menghempaskan deretan siswi yang ramai-ramai mengaguminya.
.
Sepasang mata berbulu lentik kini basah, genangan yang tumpah makin lama menyusuri lekuk dan dekik manis yang kini berubah sendu.
"Sya ... kenapa kamu tega! Di belakangku kau malah merebut orang yang kukagumi," desah Diana pelan.
Sejak tadi dia menguntit dari kejauhan, dan hasilnya kini hatinya hancur, "pagar makan tanaman" itulah istilah untuk sahabatnya sendiri.
Seminggu sudah Diana tak muncul di sekolah. Katanya dia sakit. Meisya menengok ke rumahnya sore itu, entah mengapa, gadis itu begitu acuh melihatnya datang. Bahkan dia banyak membuang muka.
Kata ibunya memang sejak kecil Diana sering sakit dan sekarang dokter memvonis dia terkena sakit lever. Meisya memeluk sahabatnya, tapi Diana mendorongnya.
"Jangan pura-pura kamu, Sya. Kamu seneng kan, liat kondisiku sekarang?" Matanya menatap Meisya tajam.
"Maksudmu apa, Di? Aku sedih kamu kaya gini," jawab Meisya keheranan.
"Bohong! Aku tau, kok. Kamu jadian sama Kak Rizki kan? Huh! Dasar pagar makan tanaman," cecar Diana.
"Kamu salah paham, Di. Aku sama dia gak ada hubungan apa-apa, memang benar dia menembakku, tapi aku menolaknya. Aku gak mau nyakitin kamu, dan ... aku emang gak menyukai dia," papar Meisya, ada sembilu yang kini menyayatnya perlahan, dia harus menolak Rizki demi sahabatnya itu.
"Oh, ya? Benarkah? Maafin aku, Sya." Diana memeluk Meisya, bulir bening bergulir di pelupuk mata Meisya, dia rela mengalah demi kebahagiaan sahabatnya.
"Sya, ajak dia ke sini, melihatku, untuk terakhir kalinya, ya."
"Hus! Kok, kamu ngomong kaya gitu, kamu pasti sembuh. Apalagi setelah bertemu dengan dia," goda Meisya.
.
Sebulan berlalu, penyakit Diana makin parah, kata dokter dia mengidap gangguan lever akut. Setiap hari nama Rizki yang dia sebut di kala tidur.
.
"Kak, ayolah! Tengok Diana sebentar aja," pinta Meisya. "Siapa tahu dia akan sembuh jika melihat Kakak."
"Mei, kamu kenapa, sih? Dulu kamu nolak aku hanya gara-gara gak mau nyakitin Diana, sekarang kamu minta aku juga nemuin dia. Kamu tau? Sejak dulu dia mengejar-ngejar aku, tapi aku ga suka, dia terlalu sombong karena merasa dia juara umum," papar Rizki.
Meisya terperangah, begitu bencinya Rizki kepada sahabatnya.
"Dia gak kaya gitu, Kak. Dia baik dan ... sejak dulu mengagumi Kakak." Meisya tertunduk menahan kecamuk di jiwanya yang haru s mati-matian dia pendam.
Rizki menangkup dagu gadis beralis indah dengan rambut bergelombang itu. Lalu tatapan lembutnya bertemu dengan mata sendu yang menyembunyikan rahasia hati itu.
"Jawab aku dengan jujur, Mei. Kamu menyukai aku kan?"
Meisya terpaku, daya magis yang kini ditebarkan oleh manik kecokelatan itu benar-benar menghipnotisnya. Lalu tanpa sadar kepalanya mengangguk.
"Ah, syukurlah! Makasih, Mei," desah Rizki.
"Tapi ... Kakak janji kan? Kakak mau nemuin Diana, dan menyembunyikan semuanya?"
"Aku gak mungkin bisa berbohong, Mei. Kamu tau lambat laun dia juga akan tahu dari orang lain!" kilah Rizki.
"Please, Kak? Dia sahabat baikku, aku gak mau dia tambah parah hanya karena aku ...."
"Ok, Manis! Asal kamu senyum dulu," goda Rizki.
Selamat Jalan Cinta
Baru saja mereka berdua memasuki lorong ruang tunggu ruang rawat rumah sakit, tiba-tiba jerit dan tangis membahana dari ruang rawat itu, dengan tergesa Rizki dan Meisya menuju ruang di ujung lorong.
Lalu ... Meisya terkejut saat sosok yang selama ini dia sayangi kini terbujur kaku. Diana pergi ... setelah melawan sakit yang menggerogotinya, juga rasa cinta yang dia simpan untuk Rizki, siswa yang sejak lama dia kagumi dan tak pernah menolehnya sedikit pun.
"Diana ... Diana, Kak!" pekik Meisya histeris, tangannya meronta saat tim dokter membawa tubuh kaku yang mengukir senyum itu dibawa untuk dimandikan.
"Maafin aku, Diana ...," gumam Rizki. Meisya menangis sejadi-jadinya.
Dia merasa bersalah karena tak bisa membawa Rizki untuk bertemu dengan gadis itu. Mungkin jika Diana bertemu Rizki, sahabatnya akan sembuh dan kembali ceria, tapi ... Tuhan lebih dulu memanggilnya.
Meisya dan Rizki menaburkan bunga di atas pusara yang masih basah. Meisya menangis melepas kepergian sahabat karibnya. Rizki mengusap lembut bahu gadis itu, dia juga tak menyangka secepat ini Diana akan pergi, bahkan dia merasa berdosa karena tak sempat menengoknya.
Angin lembut menggoyang dedaunan di pinggir pemakaman, dua sejoli itu perlahan melangkah meninggalkan pusara, dan senyum bayangan putih itu mengiringi kepergian mereka, senyuman tulus Diana. Tamat
Oleh : Zatil Mutie, Cianjur, 26 September 2020
Cerita baru lagi ya? Di tunggu cerpen selanjutnya ya.
ReplyDeleteMakin cakep nih
Ok. Ditunggu ya🥰
DeleteMantab pokoknya, lanjutkan, di nunggu sambil ngemil ini
ReplyDelete