Terjebak Cinta Maya di Atas Layar Datar
Cerpen Surat Cinta untuk istri yang hoby bermain smartphone hingga bukan lupa daratan melainkan semendadak lupa suami dan anak, kok bisa? Emm ... tidak perlu kamu tanyakan pada batu yang diam membisu atau pada daun merunduk anggun. Tersebab bisain aja iya kan?
Oke seperti biasa sebelum membaca cerita jangan lupa subcribe agar tidak ketinggalan informasi keren selanjutnya dan pantengin terus forum cerpen.
Hanphone oh Handphone, Cekidot! Terjebak Cinta Maya di Atas Layar Datar, by Teh Icus
“Pah, Zaky katanya minta beli handphone baru.”
“Hmm ..., hihihi.”
“Pah, denger, nggak? Tuh anak minta hp baru, yang lama katanya udah jadul, memorinya kecil lagi.”
“Hehehe.”
“Iih, Pah, denger, nggak, sih? Dari tadi lihatin layar hp melulu, pake cengar-cengir sendiri, bagi-bagi atuh ada yang lucu teh!”
“Eh ... apa?” Pak Aris gelagapan, karena baru saja merasakan nyeri di sekitar pahanya, akibat pukulan keras dari sang istri. Nyaris saja handphone kesayangannya jatuh.
“Tau, ah gelap!” Bu Dini melipat kedua tangannya di dada. Bibir berlipstik merah merona itu seketika saja cemberut.
“Maaf, Mah, Papah tadi lagi fokus baca chat di grup alumni teman-teman masa SMA Papah dulu. Mamah tadi bicara apa?”
“Oh, pantesan atuh anteng gitu, sampai-sampai bidadari surga ini nyerocos hingga berbusa dicuekin.
Pasti ada mantan pacar Papah, ya, di grup? Sini lihat chatnya!” Bu Dini berusaha merebut handphone dari genggaman suaminya.
“Nggak ada Mah, percaya deh. Ini cuma sahabat-sahabat Papah waktu zaman Papah masih unyu-unyu, ganteng ngegemesin gitu.”
“Awas, ya, kalau selingkuh. Pah, si Zaki, tuh, minta beli hp baru, katanya sebagai hadiah dia rangking satu.”
“Iya, boleh, nanti sore Papah beliin.”
“Mamah juga sekalian, ya, pengen yang rada canggih gitu, yang kameranya bagus buat selfie." Bu Dini memijit tangan suaminya, mencoba merayu.
“Iya, hayuk, entar sore kita ke plaza.”
“Asyiik, makasih, pangeran tampanku.”
“Uhuk ... uhuk ... aduh, Mah, seneng sih seneng, jangan terlalu kenceng juga kali meluknya. Napas Papah sampai sesak gini.” Pak Aris berusaha melepaskan pelukan istrinya yang bertubuh agak berisi itu.
“Iya, Pah, maaf. Duh, Mamah nggak sabar, deh, pengen segera pamerin hp baru ke ibu-ibu.” Bu Dini senyum-senyum sendiri. Matanya berbinar bahagia, bak anak kecil yang akan dibelikan mainan oleh orang tuanya.
Pak Aris hanya geleng-geleng kepala menyaksikan tingkah istrinya. Tak lama kemudian ia sudah memelototi layar hp, berkutat kembali dengan chat-chat di grup WA alumni. Sesekali terdengar tawanya membahana ke seluruh ruangan rumah mewah yang berukuran paling besar di kampung Kubis itu.
“Zaki, Mah, nyari handphone yang gimana, sih, sebenernya? Dengkul Papah berasa mau copot nih.” Pak Aris mengibas-ngibaskan brosur di tangannya.
“Duh, Pah, beli aja gih. Mamah nggak sempet masak, ini drama lagi seru-serunya. Isi ceritanya lagi sedih banget. Pankhuri masuk ke jurang akibat longsor, jasadnya belum ketemu, nggak tahu dia selamat atau meninggal. Aditya, sang suami sampai depresi, wajah bersihnya jadi berjenggot gitu. Duh, tapi penampilannya kayak gini malah bikin Nakuul Mehta tambah ganteng.”
Pyar Pyar, Pankhuri, Aditya, Nakuul, duh Pak Aris benar-benar merasa pusing mendengar cerita istrinya. Ia hanya mengembuskan napas, kesal. Perutnya terasa perih, maagnya mungkin kambuh. Ia melangkah gontai meninggalkan sang istri yang masih setia menatap hpnya.
“Zaki, ikut yuk.” Berdua mereka menyusuri jalanan, mencari gerobak penjual nasi goreng, walau pun biasanya pedagang nasi goreng buka pada malam hari, tetapi Pak Aris berharap ada yang membuka lapaknya lebih awal.
***
“Zaki, tumben nggak main Mobile Legend, udah tamat, ya, gamenya? Terus kamu menang? Mana hpnya?” cecar Pak Aris mendapati raut wajah putranya bersedih.
“Handphone Zaki disita Pah, ketahuan main Moba di sekolah.”
“Apa? Disita? Zaki ... Zaki, kayak nggak tahu peraturan aja, di SMP kamu, kan, memang nggak boleh bawa handphone. Kenapa masih bandel juga, sih?” omel Papahnya.
“Gamenya, kan, lagi seru-serunya, Pah. Zaki hampir menang, terus main bareng juga di sekolah, lagian teman-teman Zaki juga suka kok bawa hp, tadi mah Zakinya aja yang lagi apes.”
“Terus bisa diambil lagi?”
“Mamah lagi istirahat, Pah, pusing katanya.”
“Kenapa lagi atuh si Darling, teh? Kuotanya habis gitu, jadi nggak bisa youtube-an?” Pak Aris beranjak dari sofa dan berjalan menuju kamar.
Setibanya di kamar, Pak Aris menyaksikan sang istri tengah terbaring lemah. Tubuhnya terbungkus selimut.
“Mah, kenapa? Sudah sampai mana nontonnya? Cerita Pyar Pyar nya udah tamat?”
“Duh, Pah ..., kepala Mamah pusing. Mamah nggak kuat lihat layar hp, nih mata Mamah berair gini. Perih, Pah," terang Bu Dini dengan suara lemah dan agak parau.
“Ya udah, kita ke dokter yuk.”
Satu jam kemudian, mereka tiba di tempat praktik dr. Martin, dokter langganan mereka.
“Wah wah ada Bapak dan Ibu Aris nih, siapa yang sakit?” tanya dr. Martin seraya tersenyum ramah.
“Ini, Dok, istri saya mengeluh kepalanya pusing, matanya perih.” Ia melirik sang istri yang duduk di sampingnya sedang memijit-mijit kepala.
“Oke, saya periksa dulu ya.”
Setelah setengah jam memeriksa Bu Dini, dr. Martin membuka suara. “Bu, sehari berapa jam mainin ponsel?”
“Hampir seharian, Dok,” jawab Pak Aris. Sementara Bu Dini masih memegangi kepalanya.
“Kemungkinan pusingnya Ibu disebabkan radiasi ponsel. Mata Ibu juga sepertinya minus. Saya kasih rujukan buat periksa ke rumah sakit mata, ya, biar diperiksa lebih lanjut. Dan ini saya kasih resep buat meringankan sakit kepalanya. Untuk sementara Ibu jangan pegang ponsel dulu." Dokter Martin menyerahkan resep yang sudah ditulisi berbagai obat pada Pak Aris, agar ditebus di loket bagian obat-obatan. "Semoga lekas sembuh.”
“Baik, Dok, terima kasih.” Bergantian Pak Zaki dan Bu Dini menyalami dr. Martin, kemudian keduanya berpamitan.
“Makanya, Mah, pakai hp itu seperlunya saja, jangan sampai kebablasan. Jadi gini, kan, akibatnya? Mamah masih mau tamatin nonton Pyar Pyar-nya?” ucap Pak Aris setelah mereka berada di dalam Pajero Sport, menuju perjalanan pulang.
“Kan Papah yang mulai, ingat nggak waktu Papah sampai jadi S3 gara-gara hp?”
“S3? Maksudnya?”
“Iya, senyum-senyum sendiri, asyik mainin hp. Mamah bicara pun nggak digubris, jadi aja Mamah juga tergiur pakai hp, sampai nyandu. Lupa waktu, khilaf ngurus rumah juga.”
“Iya, Mah, maaf, Papah seharusnya jadi contoh yang baik buat Mamah sama Zaki.”
Pikiran Pak Aris melayang saat ia nyaris saja celaka karena saling chat di grup WA pada saat berkendara. Inilah yang membuatnya tersadar, lalu memakai handphone seperlunya saja.
“Oh, ya, Mah, besok kita dapat undangan ke sekolah Zaki.”
“Undangan apa, Pah? Pasti undangan beasiswa buat anak berprestasi. Duh, anak itu memang selalu bikin bangga orang tua. Pusing Mamah seketika jadi lenyap.” Kedua mata Bu Dini berbinar bahagia.
“Bukan, Mah, undangan ngambil hpnya Zaki yang disita.”
“Apa? Disita? Ya, ampun, itu, kan, hp mahal, Pah.” Bu Dini tak percaya mendengar putra kebanggaannya yang cerdas, penuh dengan segudang prestasi itu bisa kena kasus juga. Pusing di kepalanya semakin menjadi. Seketika saja, semuanya menjadi gelap.
“Duh ... Mah bangun Mah, jangan pingsan di sini, nanti aja di rumah. Papah nggak kuat ngangkatnya, Mah .....” Pak Aris memandang pasrah pada istrinya yang sedang tak sadarkan diri itu. The End
“Hmm ..., hihihi.”
“Pah, denger, nggak? Tuh anak minta hp baru, yang lama katanya udah jadul, memorinya kecil lagi.”
“Hehehe.”
“Iih, Pah, denger, nggak, sih? Dari tadi lihatin layar hp melulu, pake cengar-cengir sendiri, bagi-bagi atuh ada yang lucu teh!”
“Eh ... apa?” Pak Aris gelagapan, karena baru saja merasakan nyeri di sekitar pahanya, akibat pukulan keras dari sang istri. Nyaris saja handphone kesayangannya jatuh.
“Tau, ah gelap!” Bu Dini melipat kedua tangannya di dada. Bibir berlipstik merah merona itu seketika saja cemberut.
“Maaf, Mah, Papah tadi lagi fokus baca chat di grup alumni teman-teman masa SMA Papah dulu. Mamah tadi bicara apa?”
“Oh, pantesan atuh anteng gitu, sampai-sampai bidadari surga ini nyerocos hingga berbusa dicuekin.
Pasti ada mantan pacar Papah, ya, di grup? Sini lihat chatnya!” Bu Dini berusaha merebut handphone dari genggaman suaminya.
“Nggak ada Mah, percaya deh. Ini cuma sahabat-sahabat Papah waktu zaman Papah masih unyu-unyu, ganteng ngegemesin gitu.”
“Awas, ya, kalau selingkuh. Pah, si Zaki, tuh, minta beli hp baru, katanya sebagai hadiah dia rangking satu.”
“Iya, boleh, nanti sore Papah beliin.”
“Mamah juga sekalian, ya, pengen yang rada canggih gitu, yang kameranya bagus buat selfie." Bu Dini memijit tangan suaminya, mencoba merayu.
“Iya, hayuk, entar sore kita ke plaza.”
“Asyiik, makasih, pangeran tampanku.”
“Uhuk ... uhuk ... aduh, Mah, seneng sih seneng, jangan terlalu kenceng juga kali meluknya. Napas Papah sampai sesak gini.” Pak Aris berusaha melepaskan pelukan istrinya yang bertubuh agak berisi itu.
“Iya, Pah, maaf. Duh, Mamah nggak sabar, deh, pengen segera pamerin hp baru ke ibu-ibu.” Bu Dini senyum-senyum sendiri. Matanya berbinar bahagia, bak anak kecil yang akan dibelikan mainan oleh orang tuanya.
Pak Aris hanya geleng-geleng kepala menyaksikan tingkah istrinya. Tak lama kemudian ia sudah memelototi layar hp, berkutat kembali dengan chat-chat di grup WA alumni. Sesekali terdengar tawanya membahana ke seluruh ruangan rumah mewah yang berukuran paling besar di kampung Kubis itu.
“Zaki, Mah, nyari handphone yang gimana, sih, sebenernya? Dengkul Papah berasa mau copot nih.” Pak Aris mengibas-ngibaskan brosur di tangannya.
Keringat bercucuran, wajahnya menyiratkan kekesalan. Sudah empat jam lamanya mereka mengubek seisi plaza, naik turun eskalator, namun belum juga mendapatkan benda yang dicari istri dan anaknya.
“Sabar atuh, Pah. Baca, tuh, slogan di atas, teliti sebelum membeli. Nih, ya, dengerin, yang namanya beli sesuatu itu harus pilih-pilih dulu, biar pas sampai rumah nggak nyesel, bener kan Zaki?”
Baca Juga :
“Sabar atuh, Pah. Baca, tuh, slogan di atas, teliti sebelum membeli. Nih, ya, dengerin, yang namanya beli sesuatu itu harus pilih-pilih dulu, biar pas sampai rumah nggak nyesel, bener kan Zaki?”
Baca Juga :
Anak SMP itu mengangguk tanda setuju. “Iya, Mah. Zaki, sih, lagi nyari hp yang nggak loading pas dipake main Mobile Legend.”
“Teliti sih teliti, mau sampai jam berapa di sini? Sampai semua tokonya tutup? Udah mau malem ini, emang kita mau nginep?”
“Zaki mau yang itu aja, Pah." Anak itu tiba-tiba saja menunjuk salah satu handphone yang menarik perhatiannya di salah satu etalase, di gerai handphone plaza itu.
Akhirnya, gumam Pak Aris. Namun keningnya seketika saja berkerut, hilang sudab rasa leganya, mengingat kemungkinan mereka harus berkeliling lagi mencari handphone untuk istrinya. Tiba-tiba saja pening melanda, ia memijit-mijit kepalanya.
Beruntung, kekuatiran Pak Aris tidak terbukti, karena handphone yang diinginkan istrinya ada di gerai itu juga, Alhamdulillah, kini Pak Aris benar-benar bisa brrnapas lega.
“Assalamu alaikum.” Terdengar suara Pak Aris yang sore itu baru pulang dari kantornya.
“Waalaikum salam.” Zaki mencium takzim punggung tangan Papahnya dengan matamasih terpaku pada layar handphone. Ia tengah asyik bermain Moba, game yang sedang ramai digemari saat ini.
Pak Aris membuka tudung saji di meja makan, perutnya keroncongan. Betapa terperanjatnya ia mendapati isi tudung saji itu kosong.
“Zaki, Mamah ke mana?”
“Tuh, lagi di kamar, Pah.”
“Mamah emang nggak masak? Zaki udah makan?”
Zaki menggeleng. “Mamah seharian di kamar. Zaki minta makan, Mamah malah ngasih uang, katanya Mamah nggak mau diganggu. Tadi, sih, Zaki udah beli seblak di Teh Nia.”
Pak Aris menggeleng-gelengkan kepala mendengar penuturan putranya. Ia beranjak menuju kamar, penasaran dengan hal yang sedang dilakukan istrinya.
“Mah, kenapa nangis? Mamah sakit?” Pak Aris kaget melihat sejumlah tissue yang berserakan di lantai kamar. Terdengar suara isakan sang istri. Bergegas ia meraba dahi Bu Dini.
“Iih, Papah apa-apan sih, ganggu aja! Ini, Pah, Mamah lagi nonton youtube, Pyar Ka Dard Hai, kan, di TV nggak ditayangin semua, udah ditamatin gitu aja. Untung ada tayangannya per episode, lengkap sampai tamat.”
“Ya, ampun, Mah, kirain Mamah kenapa. Mamah emang nggak masak? Papah lapar, nih.”
“Teliti sih teliti, mau sampai jam berapa di sini? Sampai semua tokonya tutup? Udah mau malem ini, emang kita mau nginep?”
“Zaki mau yang itu aja, Pah." Anak itu tiba-tiba saja menunjuk salah satu handphone yang menarik perhatiannya di salah satu etalase, di gerai handphone plaza itu.
Akhirnya, gumam Pak Aris. Namun keningnya seketika saja berkerut, hilang sudab rasa leganya, mengingat kemungkinan mereka harus berkeliling lagi mencari handphone untuk istrinya. Tiba-tiba saja pening melanda, ia memijit-mijit kepalanya.
Beruntung, kekuatiran Pak Aris tidak terbukti, karena handphone yang diinginkan istrinya ada di gerai itu juga, Alhamdulillah, kini Pak Aris benar-benar bisa brrnapas lega.
“Assalamu alaikum.” Terdengar suara Pak Aris yang sore itu baru pulang dari kantornya.
“Waalaikum salam.” Zaki mencium takzim punggung tangan Papahnya dengan matamasih terpaku pada layar handphone. Ia tengah asyik bermain Moba, game yang sedang ramai digemari saat ini.
Pak Aris membuka tudung saji di meja makan, perutnya keroncongan. Betapa terperanjatnya ia mendapati isi tudung saji itu kosong.
“Zaki, Mamah ke mana?”
“Tuh, lagi di kamar, Pah.”
“Mamah emang nggak masak? Zaki udah makan?”
Zaki menggeleng. “Mamah seharian di kamar. Zaki minta makan, Mamah malah ngasih uang, katanya Mamah nggak mau diganggu. Tadi, sih, Zaki udah beli seblak di Teh Nia.”
Pak Aris menggeleng-gelengkan kepala mendengar penuturan putranya. Ia beranjak menuju kamar, penasaran dengan hal yang sedang dilakukan istrinya.
“Mah, kenapa nangis? Mamah sakit?” Pak Aris kaget melihat sejumlah tissue yang berserakan di lantai kamar. Terdengar suara isakan sang istri. Bergegas ia meraba dahi Bu Dini.
“Iih, Papah apa-apan sih, ganggu aja! Ini, Pah, Mamah lagi nonton youtube, Pyar Ka Dard Hai, kan, di TV nggak ditayangin semua, udah ditamatin gitu aja. Untung ada tayangannya per episode, lengkap sampai tamat.”
“Ya, ampun, Mah, kirain Mamah kenapa. Mamah emang nggak masak? Papah lapar, nih.”
“Duh, Pah, beli aja gih. Mamah nggak sempet masak, ini drama lagi seru-serunya. Isi ceritanya lagi sedih banget. Pankhuri masuk ke jurang akibat longsor, jasadnya belum ketemu, nggak tahu dia selamat atau meninggal. Aditya, sang suami sampai depresi, wajah bersihnya jadi berjenggot gitu. Duh, tapi penampilannya kayak gini malah bikin Nakuul Mehta tambah ganteng.”
Pyar Pyar, Pankhuri, Aditya, Nakuul, duh Pak Aris benar-benar merasa pusing mendengar cerita istrinya. Ia hanya mengembuskan napas, kesal. Perutnya terasa perih, maagnya mungkin kambuh. Ia melangkah gontai meninggalkan sang istri yang masih setia menatap hpnya.
“Zaki, ikut yuk.” Berdua mereka menyusuri jalanan, mencari gerobak penjual nasi goreng, walau pun biasanya pedagang nasi goreng buka pada malam hari, tetapi Pak Aris berharap ada yang membuka lapaknya lebih awal.
***
“Zaki, tumben nggak main Mobile Legend, udah tamat, ya, gamenya? Terus kamu menang? Mana hpnya?” cecar Pak Aris mendapati raut wajah putranya bersedih.
“Handphone Zaki disita Pah, ketahuan main Moba di sekolah.”
“Apa? Disita? Zaki ... Zaki, kayak nggak tahu peraturan aja, di SMP kamu, kan, memang nggak boleh bawa handphone. Kenapa masih bandel juga, sih?” omel Papahnya.
“Gamenya, kan, lagi seru-serunya, Pah. Zaki hampir menang, terus main bareng juga di sekolah, lagian teman-teman Zaki juga suka kok bawa hp, tadi mah Zakinya aja yang lagi apes.”
“Terus bisa diambil lagi?”
“Bisa, Pah, tapi harus tanda tangan surat pernyataan dan diantar orang tua ngambilnya. Ini surat pemanggilan buat orang tuanya.”
“Hmm ..., kamu sih ada-ada aja. Besok Papah antar ke sekolah, tapi selama kamu di sekolah hpnya Papah yang simpan ya. Pas kamu pulang, baru Papah kasih. Eh, Mamah mana? Lagi nonton youtube, ya? Pasti belum masak lagi," tebak Pak Aris.
“Hmm ..., kamu sih ada-ada aja. Besok Papah antar ke sekolah, tapi selama kamu di sekolah hpnya Papah yang simpan ya. Pas kamu pulang, baru Papah kasih. Eh, Mamah mana? Lagi nonton youtube, ya? Pasti belum masak lagi," tebak Pak Aris.
“Mamah lagi istirahat, Pah, pusing katanya.”
“Kenapa lagi atuh si Darling, teh? Kuotanya habis gitu, jadi nggak bisa youtube-an?” Pak Aris beranjak dari sofa dan berjalan menuju kamar.
Setibanya di kamar, Pak Aris menyaksikan sang istri tengah terbaring lemah. Tubuhnya terbungkus selimut.
“Mah, kenapa? Sudah sampai mana nontonnya? Cerita Pyar Pyar nya udah tamat?”
“Duh, Pah ..., kepala Mamah pusing. Mamah nggak kuat lihat layar hp, nih mata Mamah berair gini. Perih, Pah," terang Bu Dini dengan suara lemah dan agak parau.
“Ya udah, kita ke dokter yuk.”
Satu jam kemudian, mereka tiba di tempat praktik dr. Martin, dokter langganan mereka.
“Wah wah ada Bapak dan Ibu Aris nih, siapa yang sakit?” tanya dr. Martin seraya tersenyum ramah.
“Ini, Dok, istri saya mengeluh kepalanya pusing, matanya perih.” Ia melirik sang istri yang duduk di sampingnya sedang memijit-mijit kepala.
“Oke, saya periksa dulu ya.”
Setelah setengah jam memeriksa Bu Dini, dr. Martin membuka suara. “Bu, sehari berapa jam mainin ponsel?”
“Hampir seharian, Dok,” jawab Pak Aris. Sementara Bu Dini masih memegangi kepalanya.
“Kemungkinan pusingnya Ibu disebabkan radiasi ponsel. Mata Ibu juga sepertinya minus. Saya kasih rujukan buat periksa ke rumah sakit mata, ya, biar diperiksa lebih lanjut. Dan ini saya kasih resep buat meringankan sakit kepalanya. Untuk sementara Ibu jangan pegang ponsel dulu." Dokter Martin menyerahkan resep yang sudah ditulisi berbagai obat pada Pak Aris, agar ditebus di loket bagian obat-obatan. "Semoga lekas sembuh.”
“Baik, Dok, terima kasih.” Bergantian Pak Zaki dan Bu Dini menyalami dr. Martin, kemudian keduanya berpamitan.
“Makanya, Mah, pakai hp itu seperlunya saja, jangan sampai kebablasan. Jadi gini, kan, akibatnya? Mamah masih mau tamatin nonton Pyar Pyar-nya?” ucap Pak Aris setelah mereka berada di dalam Pajero Sport, menuju perjalanan pulang.
“Kan Papah yang mulai, ingat nggak waktu Papah sampai jadi S3 gara-gara hp?”
“S3? Maksudnya?”
“Iya, senyum-senyum sendiri, asyik mainin hp. Mamah bicara pun nggak digubris, jadi aja Mamah juga tergiur pakai hp, sampai nyandu. Lupa waktu, khilaf ngurus rumah juga.”
“Iya, Mah, maaf, Papah seharusnya jadi contoh yang baik buat Mamah sama Zaki.”
Pikiran Pak Aris melayang saat ia nyaris saja celaka karena saling chat di grup WA pada saat berkendara. Inilah yang membuatnya tersadar, lalu memakai handphone seperlunya saja.
“Oh, ya, Mah, besok kita dapat undangan ke sekolah Zaki.”
“Undangan apa, Pah? Pasti undangan beasiswa buat anak berprestasi. Duh, anak itu memang selalu bikin bangga orang tua. Pusing Mamah seketika jadi lenyap.” Kedua mata Bu Dini berbinar bahagia.
“Bukan, Mah, undangan ngambil hpnya Zaki yang disita.”
“Apa? Disita? Ya, ampun, itu, kan, hp mahal, Pah.” Bu Dini tak percaya mendengar putra kebanggaannya yang cerdas, penuh dengan segudang prestasi itu bisa kena kasus juga. Pusing di kepalanya semakin menjadi. Seketika saja, semuanya menjadi gelap.
“Duh ... Mah bangun Mah, jangan pingsan di sini, nanti aja di rumah. Papah nggak kuat ngangkatnya, Mah .....” Pak Aris memandang pasrah pada istrinya yang sedang tak sadarkan diri itu. The End
Author, Teh Icus
Sumber gambar; Instagram
Istri emang enggak boleh apa maint smartphone? Kek nya banyak juga suami yang seperti itu deh.
ReplyDeleteTapi ceritanya lucu, full dialog pimpong semaunya.
Wah, terima kasih, Kakak.
ReplyDelete