Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Cerpen : Dasar Tak Berperasaan, Sejuta Cerita Cinta Mama Muda

Event Menulis Cerpen Sejuta Cerita Cinta Mama Muda 




Cerita Singkat-
Adakah satu rumus matematika yang bisa menjelaskan tentang seorang wanita? Adalah semuanya misteri yang belum terpecahkan. Wanita biasanya cenderung memuja perasaan untuk menjadi peka.


Merasakan meski tidak melihat, memahami meski tidak terucap. Lantas bagaimana jika kepekaan itu lenyap?


Okey seperti biasa, jangan lupa pantengin forum cerpen untuk membaca cerita pendek dari para muda menulis. Langsung saja, cekidot!

Cerpen Sejuta Cinta Mama Muda,  Dia yang Tak Peka 

“Selamat pagi semuanya, mau masak apa nih hari ini?” sapa Bu Nadya padaku dan ibu-ibu yang tengah mengerubungi gerobak sayur Mang Ayub. Ia sesekali mengibas-ngibaskan tangan kanannya yang berhiaskan beberapa cincin emas di jari tengah dan jari manisnya.


Sementara itu tangan kirinya juga sibuk menyibakkan bagian kerah bajunya. Tangan kirinya pun memakai gelang emas berukuran lumayan besar.


“Pagi, Jeng Nad, tumben nih telat, biasanya paling awal datang kesini, iya nih bingung, mau belanja apa, di rumah pada ngeluh bosan makan masakan yang itu-itu saja,” jawab Bu Dini sambil memilih-milih sayuran mentah dalam gerobak.


Sementara aku masih memperhatikan perhiasan Bu Nadya yang berkilauan tertimpa sinar mentari pagi, lengkap bener koleksi yang dipakainya, udah kayak toko emas berjalan aja, Jeng Nad, hehehe.

Baca Juga; 

• Love Story Young Mommy, Ngidam





“Ehem, tadi tuh ada surprise party dulu di rumah, hari ini aku kan ultah, terus pas bangun tidur tiba-tiba suami ngasih kejutan loh, bagus gak nih?”


Bu Nad memperlihatkan kalung rantai emas yang melingkar di lehernya, lengkap dengan bandul berbentuk bulat bertaburan berlian di sekelilingnya.


“Widih, cakep banget, Jeng, pasti ukuran gramnya besar ya? Rantainya saja gede gitu,” Bu Marsha memperhatikan kalung Bu Nad tanpa berkedip.


“Kayaknya sih begitu, dia gak mungkin lah kasih istri tercintanya sesuatu yang biasa-biasa aja, selalu kasih yang special tentunya, kayak gelang ini nih, ini tuh hadiah wedding anniversary, eh ngomong-ngomong, suami kalian seromantis apa sih?” tanya Bu Nad antusias.


“Aku biasanya diajak jalan-jalan ke luar kota atau ke luar negeri,” suara Bu Din dengan bangganya.

“Kalau aku sih paling diajak candle light dinner berdua, untuk perayaannya, di rumah biasanya dia bikin pesta, kalau cerita Jeng Mitha gimana nih?” Bu Mar mencolek lenganku yang tengah melamun.

“Anniversary-nya besok, jadi belum ada kisahnya,” aku berusaha tersenyum menutupi keresahan, tak berapa lama, aku pamit, meninggalkan mereka yang menatapku penuh keheranan, aku melangkah terburu-buru, ingin segera mendinginkan hati dan pikiran.



Baca Juga
:

• Ayah Akulah Putrimu

• Mertua VS Menantu Rewel Bawel


“Loh, De, mana belanjaannya? Datang-datang kok cemberut gitu? Di jalan ada yang gangguin? Siapa orangnya? Biar Abang gibas pakai jurus seribu bayangan,” tanya suamiku heran, menyingsingkan kedua lengan bajunya.

“Gak jadi belanjanya, bingung mau masak apa!” jawabku ketus.

“Ade kenapa, sakit?” Ya sudah jangan dipaksakan masak, kita makan di luar aja yuk,” ajaknya bersemangat, meraba dahiku, aku menggeleng.

“Gak ah lagi malas makan.”

“Ade lagi diet? Nanti maag-nya kambuh loh, ayo ganti baju, sesekali lah kita makan di luar, mumpung weekend.”

“Gak mau, Abang makan aja sendiri,” air mataku hampir jatuh, namun berusaha ditahan, kulangkahkan kaki ke kamar, ia mengikuti.

“De, kenapa? Kalau Abang punya salah, Abang minta maaf ya,” mengelus lembut punggungku.

“Abang tahu gak besok tanggal berapa?” berharap ia ingat wedding anniversary kami.

“Tanggal dua Mei, Hari Pendidikan Nasional, oh iya De makasih loh usah ngingetin, tolong disetrika batik PGRI Abang ya, buat besok upacara.”

“Selain itu ingat gak tanggal segitu ada hal penting lain apa?” masih berharap ia ingat.

“Apa De? Abang gak ingat,” keningnya berkerut, berusaha mengingat-ingat.

“Abang beneran gak ingat?” Ia menggeleng.

Duh, kecewa rasanya hati ini mendengar jawaban darinya, kudorong tubuhnya keluar kamar, “Bang, tinggalin Ade sendiri ya, Ade mau istirahat, pusing.”

“Loh, De, katanya tadi gak sakit, sarapan dulu ya, terus minum obat, atau mau periksa ke dokter?”

Braak!!!

Aku membanting pintu kamar, merebahkan badan di atas kasur, tumpah sudah air mata yang sedari tadi berusaha aku tahan untuk tak jatuh.


Baca Juga: 

• I Love You, Mister


“De, bangun, sayang, masih sakit? Kita ke dokter yuk, Abang udah siapin sarapan, semalam Abang kuatir, seharian kemarin Ade gak makan sama sekali, De, makan ya, terus minum obat.”

Terdengar suara pintu diketuk beberapa kali. Mataku sembab, akibat menangis semalaman, perut pun keroncongan.

“De, buka, pintunya, dong, Abang kangen nih.”

Aku tertawa mendengar ucapannya barusan. Hatiku seketika luluh. Perlahan kubuka pintu kamar dan melangkah menuju ke meja makan, kemudian duduk di salah satu kursinya.




Kuedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Masya Allah, rapih bener, lantainya wangi cairan pembersih, sepertinya baru saja dipel. Aku beranjak dan melangkah ke dapur, lagi-lagi dibuat takjub, piring kotor yang menumpuk kemarin sudah tertata rapi di rak. Aku kembali ke meja makan.

“De, jangan jogging di dalam rumah, yuk sarapan, Abang masak nasi goreng nih,” kulirik suami yang tengah sarapan, ia telah berdandan rapi dan mengenakan batik PGRI, bajunya masih tampak sedikit kusut.

Sebuah Perasaan Bersalah 


Seketika timbul rasa bersalah, telah memperlakukan suami dengan sedemikian buruknya, hanya karena terpengaruh dengan cerita ibu-ibu. Aku yang tak mampu bersyukur, walaupun suamiku tak peka, namun ia sangat perhatian, terbukti kemarin ia begitu kuatir saat aku seharian mengurung diri dalam kamar.


Baca Juga: 




Ia tak gengsi mengerjakan pekerjaan rumah, ini lebih berharga dari perhiasan emas, candle light dinner, atau jalan-jalan, aku tak butuh semua itu.

“Maafkan sikap Ade kemarin, ya Bang, sini, Ade setrika dulu batiknya,” lidahku kelu, hanya itu yang mampu terucap, aku malu sekali padanya, tumpah kembali air mataku, deras.

“Maafkan Abang juga ya, De, gak usah disetrika De, Abang udah kesiangan, kita jalan-jalan aja yuk, oh iya ada sesuatu nih buat Ade, happy wedding anniversary, maaf ya Abang cuma mampu kasih ini,” ia mengeluarkan kotak berwarna merah muda berbentuk hati dan mengeluarkan isinya, sebuah cincin emas mungil, ia sematkan di jari manisku.


“Jadi ... Abang ingat?” ia mengangguk dan menghapus air mataku dengan jemarinya. Di luar terdengar sayup-sayup suara keributan, kalau tak salah dengar orang-orang memperbincangkan Jeng Nad yang baru saja kena hipnotis, seluruh perhiasannya raib tak bersisa.


The End

Kumpulan Cerpen Mama Muda 

Post a Comment for "Cerpen : Dasar Tak Berperasaan, Sejuta Cerita Cinta Mama Muda "